Chapter 7
Galuh si penikmat senja dan pemakan cokelat maniak. Siapa yang tidak mengenal dirinya dari hal-hal kecil seperti itu. Seseorang akan mengatakan Galuh yang lemah, Galuh yang manja, dan Galuh yang egois dengan segala dramanya. Padahal dibalik itu semua, Galuh menyimpan banyak kisah.
Galuh adalah dua dari ribuan kata dalam satu nama yang memiliki keunikan abadi. Dia hadir bagai malaikat, namun setelahmya pergi seperti kelabu. Dia tak mudah untuk digapai, tapi dia selalu mengatakan hal yang manis walau pada kenyataannya Galuh selalu sepi.
Galuh bagai mawar berduri, indah, cantik, namun menyakitkan. Seperti apa dirinya tak ada yang mampu menggambarkan sosoknya. Dia damai dalam senyumnya, menangis dalam lukanya, tertawa dalam candanya, dan pada akhirnya Galuh akan berkata pada semesta. Jika hadir hanya sebentar, lalu untuk apa menyampaikan banyak kenangan untuk menyakiti banyak orang?
Galuh itu seperti pemanis dalam sebuah rasa, pelengkap dalam sebuah makanan, namun Galuh bukan sebuah penghalang untuk memisahkan sesuatu yang akhirnya pasti bisa bersatu. Hadirnya adalah takdir, hadirnya adalah nikmat, dan hadirnya adalah sebuah keajaiban meski sebentar.
Jika Galuh memiliki banyak harapan untuk bisa menyelesaikan misinya, maka di sini Ibnu yang akan meneruskan kisahnya. Sama seperti pagi tadi yang melarang adiknya untuk ikut MOS. Maka Ibnu memilih menjemput ingatannya yang sampai detik ini selalu ia cemaskan.
"Kenapa Nu?" Suara Genta menghentikan lamuman Ibnu. Cowok itu tak sesemangat kemarin, begitu yang Genta dapat tangkap. Genta paham bagaimana Ibnu dan Galuh, walau jarang akur, mereka sama-sama saling menyayangi.
Genta juga cukup memahami posisi Ibnu ketika berhadapan dengan Fariz. Bahkan, Genta sendiri yang terang-terangan membantu sahabatnya itu. Baginya Ibnu bukan hanya sekadar teman dan sahabat. Ibnu bisa menjadi orang yang berbeda dalam situasi yang berbeda. Ibnu akan terlihat lebih tegas ketika situasi terdesak. Bukan hanya Genta. Luki, Iwan, dan Desga pun mengakui kalau Ibnu itu memiliki sisi di mana semua orang harus bisa memahami dirinya.
"Kepikiran Galuh di rumah. Semalam muntah, terus mimisan juga, adek gue sakit apa kira-kira sampai sesakit itu dia bilang ke gue semalam." Keluh Ibnu. Genta mengusap punggung sahabatnya untuk memberikan ketenangan, namun siapa sangka. Tiba-tiba Ibnu bangkit dan berdiri menghadap Genta yang masih duduk di sisinya. Ada gurat khawatir yang Genta lihat di sana. Ada resah yang Ibnu coba tutupi, namun gagal.
"Nu, ini MOS terakhir mereka, tugas kita sekarang buat pertunjukan yang keren. Gue tahu pikiran lo lagj nggak di sini, tapi sebentar aja lo lupain, bukan berarti gue larang lo berhenti mikirin adek lo. Di sana ada Bunda, Papa, dan Abang lo, oke?"
Sejenak Ibnu terdiam. Genta benar, tidak seharusnya dia terus memikirkan Galuh, sementara di sana ada orang yang mengurusnya. Sial! Walau begitu, Ibnu tetap tidak bisa menghapus jejak Galuh dari ingatannya.
Galuh baginya bagai teh. Terlihat manis namun hambar bila tidak ada gula. Hidupnya mulai berwarna karena Galuh memberi kesan menarik. Anak itu pandai berandai, terkadang membuat orang sekitarnya berpikir untuk mengenalnya.
Katanya, Galuh itu parasit, pengganggu, namun selalu di rindu. Aneh, tapi menyenangkan. Karena bukan hanya Ibnu yang mengatakan itu, Irgi, Fariz dan yang lainnya mengakui itu.
Galuh istimewa, sesuai namanya, menyenangkan dan selalu membuat damai. Senyumnya adalah isyarat kalau dia hadir bukan sekadar dijaga, di rawat atau ditemani. Hadirnya ada bukan juga sebagai penghibur, melainkan sesuatu yang membuat semua orang akan terus mengenang sosoknya.
Bila senja tiba, Galuh ada di sana tersenyum dalam oranye langit yang membentang luas. Maka detik ini Ibnu berkata, apakah Galuh masih bisa di sentuh oleh genggam?
"Nu, pikirin diri lo sendiri, bukan sekarang waktu lo mikirin Galuh. Di sana dia baik-baik aja. Percaya sama gue."
"Gue bisa, tapi hati nggak bisa di bohongin. Semalam adek gue nangis, gue benci dia nangis, nggak elit tahu nggak sih kalau dia nangis nggak ganteng," sahut Ibnu. Genta tertawa, Ibnu itu sama seperti pelawak. Tak ada bahan untuk melucu, tapi otaknya bekerja untuk mencari hal yang menarik. Dia humoris, namun jika sudah marah, semua menjadi bencana. Ibnu itu sulit ditebak. Dia bagai kilat, indah namun menakutkan. Dia bagai angin, sejuk namun menusuk sampai ke tulang. Jadi, Ibnu sama seperti Galuh, dekat tapi tidak mau saling mengakui rasa sayangnya.
"Fine, kenapa nggak lo telepon orang rumah dan nanyain kabar adek lo? Soalnya nanti acara terakhir kita tampil, Nu." usul Genta, Ibnu menoleh, matanya membelalak, tak lama ia pun mencari ponselnya di dalam tas ransel yang diletakannya di atas meja.
"Bener juga, tadi gue berangkat dia masih sarapan juga sih, jadi nggak sempet gelud dulu."
"Yeh! Lo mah emang dasarnya aja ngajak ribut, adek sakit bukannya di sayang malah ngajak berantem. Gih buruan, habis ini kita harus latihan dulu bentar," ucap Genta. Ibnu mengibas tangannya menyuruh Genta untuk diam sejenak.
Tak perlu menunggu lama, sambungan telepon sudah terhubung. Suara lembut Kamila yang pertama Ibnu dengar di sana.
Berulang kali Kamila menyahut, tapi Ibnu malah tediam. Sampai tepuk di bahunya membuat Ibnu tersenatak lalu menyahut panggilab Kamila, Bundanya.
"Ah, maaf Bun. Oh, ya Galuh gimana ?" tanyanya. Ada ragu yang Ibnu coba tutupi sebelum akhirnya suara Kamila kembali terdengar.
"Bunda pikir kamu kenapa, Galuh lagi tidur habis minum obat tadi, kenapa? Kangen adek?" balas Kamila, Ibnu gugup, jujur ini kali pertamanya Ibnu meresahkan hal yang menyebalkan. Bahkan dia sendiri tidak tahu alasannya untuk khawatir pada Galuh.
"Bilang sama Galuh, Bun. Nanti, Nu pulang sore, soalnya dia kemarin bilang mau nitip sesuatu cuma Nu lupa, nanti kalau dia bangun tolong tanyain lagi, ya, Bun." ucap Ibnu. Kamila terkekeh, bahkan kekehnya terdengar jelas oleh Ibnu. Ibnu melirik Genta yang sudah menguping di sisinya.
"Bohong Tan, Nu dari tadi mikirin Galuh terus." sahut Genta cepat. Ibnu langsung menyingkirkan wajah Genta yang semakin mendekat padanya.
"Iya, Sayang. Nanti Bunda bilangin ke Galuh, udah kamu sekolah dulu, Bunda masih ada kerjaan nih, nanti Bunda kabarin lagi kalau Galuh udah bangun, ya?" putus Kamila. Ibnu menyahut pelan, sebagai tanda kalau panggilan mereka berakhir. Ada lega yang Ibnu coba perlihatkan pada Genta, namun hanya sebentar, sebelum akhirnya jerit suara Kamila kembali membuatnya menegang begitu juga dengan Genta.
"Nu, kenapa?" tanya Genta. Perlahan Ibnu pun meluruhkan tangannya, kakinya lemas hampir saja ia terjatuh. Untungnya Genta dengan cepat menahannya.
"Galuh pingsan lagi," katanya lirih. Genta membawa Ibnu untuk duduk sebentar, Ibnu menunduk air matanya menetes, pikirannya sudah kacau.
"Nu, tenangin diri lo, di sana ada Bunda, sama Abang lo. Tenang Nu, setelah ini lo bisa balik duluan," ucap Genta. Ibnu menatap nanar pada Genta. Ada hal yang ingin ia sampaikan namun sulit untuk diungkapkan, kelu bibirnya membuat Ibnu menyesali perbuatannya kemarin.
"Gue nggak tenang, adek gue sakit karena ulah gue kemarin. Harusnya gue larang dia buat nggak ikut apel, harusnya gue bersikap tegas kalau kondisi dia itu nggak kayak yang lain, tapi gue nggak melakukan itu. Gue malah biarin dia mengikuti kegiatan, bener kata Bang Fariz, gue itu lalai, nggak becus dan nggak berguna."
Panjang ucapan Ibnu membuat Genta gemas sendiri, sebenarnya Ibnu bukan orang yang melupakan kewajiban atau tanggung jawab. Justru kemarin Genta terus bersama Ibnu, walau saat Ibnu pergi menyusul Galuh, Genta sedang ada di ruang organisasi, menyusun rapat sepulang sekolah.
"Nu, dengerin gue. Lo itu udah berusaha. Lo, Abang yang paling keren yang gue tahu, meski kalian jarang akurnya, tapi gue yakin. Lo selalu mantau adek lo dari kejauhan. Buang jauh pikiran negatif lo tetantang rasa bersalah. Ini semua ujian, supaya lo dan keluarga lebih sabar lagi, please, jangan hate diri lo sendiri. Kalau lo nggak tenang, lo bisa balik sekarang, biar sisanya gue dan anak-anak lain yang ngurusin. Gih, sana," ucap Genta.
"Sorry, Gen. Gue nggak bisa terusin sampai selesai, pikiran gue nggak tenang," katanya. Genta mengangguk paham, lalu mengusap bahu Ibnu. Genta dan Luki terlalu peka untuk mengenal situasi sulit yang Ibnu alami. Bahkan ketika Ibnu mengalami kecelakaan saja, Genta tetap ada di sana, bergantian berjaga bersama Fariz dan teman-teman yang lainnya. Genta terlalu mengerti Ibnu. Oleh sebab itu, selain Luki, Iwan dan Desga, ada Genta yang menjadi bahu untuk Ibnu berkeluh kesah.
"Santai, salam buat Tante Kamila, kalau ada Om Regi sama Bang Fariz, sekalian juga, ya." kata Genta. Ibnu mengangguk. Lalu meraih ranselnya usai membereskan beberapa barang yang berserakan di dekatnya.
"Gue duluan, bilang sama panitia gue ada urusan keluarga, thanks Gen, gue pergi dulu." katanya dengan tergesah Ibnu melangkah lebih cepat dan pergi meninggalkan lingkungan sekolah. Walau di sana masih begitu ramai dan banyak pasang mata yang melihatnya, Ibnu tetap berjalan dan tak peduli apa yang akan mereka pikirkan tentang dirinya.
⏳
"Bunda, aku nggak apa-apa, kok." suara lirih itu terus diabaikan oleh Kamila. Wanita itu terus mengusap lengan putranya. Sesekali Kamila mencium kening Galuh, membuat anak itu memekik sebal. Sementara Kamila hanya terkekeh. Kamila tahu sifat gengsi yang Galuh punya adalah sifat yang sama seperti Fariz. Bahkan Kamila sangat ingat ketika anak sulungnya menangis tidak suka melihat Ibnu sebagai adiknya. Namun, detik seolah membawa bahagia, Fariz memang tidak suka Ibnu, tapi di sisi lain, Fariz orang pertama yang tahu kalah Ibnu terjatuh karena kecerobohannya. Detik itu Kamila bisa menyimpulkan, Fariz tidak benar-benar membenci, dia hanya tidak tahu bagaimana cara mengungkapkan rasa sayangnya pada Ibnu.
"Jangan bilang baik-baik aja, kalau akhirnya dalam tidur pun kamu bisa pingsan, Bunda khawatir, Sayang." ucap Kamila. Galuh tersenyum, lalu mengusap wajah Kanila dengan sebelah tangannya. "Bunda jangan terlalu cemas, aku itu cuma capek, makanya tidurnya kebablasan," kekehnya di sela ucapan pelan yang Galuh lontarkan. Kamila menggeleng, lalu mencium kening putranya sekali lagi sebelum ia berpamitan untuk menyelesaikan tugasnya yang tertunda.
"Sama Fariz dulu, ya, Bunda mau beres-beres di dapur dulu, sekalian mau ke kantor Papa, ada acara katanya, nanti kalau ada apa-apa kabarin Bunda. Makanan udah Bunda siapin di atas kompor, tinggal diangetin aja nanti, kalau mau makan yang lain, minta sama Abang, Bunda tinggal dulu, jangan lupa obat di minum."
Tutur panjang Kamila hanya diangguki oleh Galuh. Ia tahu, Bundanya jauh lebih khawatir jika terjadi sesuatu padanya atau yang lain. Kamila termasuk orang yang lemah jika sudah menyangkut buah hati. Dia terlalu rapuh apalagi kondisi Galuh yang terlampau lemah dibanding yang lain.
Galuh hanya mengangguk, setelah Kamila berpesan, anak itu bersandar sejenak menghilangkan rasa penat di kepalanya. Ada hening yang coba Galuh pecahkan di sana. Namun tak mampu untuknya berpikir, ada gelisah yang coba Galuh rasakan dihatinya. Namun, sekali lagi, Galuh tak mampu menolak takdir untuk tidak merasakan sakit yang terus berdenyut di kepalanya.
"Bunda tenang aja, ada Nu di sini tadi Bang Fariz keluar bentar, katanya mau beli sesuatu dulu," kejut suara Ibnu membuat Kamila menoleh cepat. Keningnya mengeriyit, menatap lekat putra keduanya yang masih berpakaian seragam lengkap juga ransel yang ada di punggungnya.
"Kamu udah pulang? Ini baru jam sebelas, kamu pulang cepat, ada apa?" tanya Kamila. Wanita itu bahkan melupakan beberapa jam lalu, setelah menelpon Ibnu. Jeritnya membuat siapapun akan berpikir yang macam-macam. Jangan salahkan Ibnu jika saat ini cowok itu sudah berdiri di ambang pintu kamar adiknya.
"Aku ijin pulang duluan, aku mau jagain Galuh aja di rumah. Lagian nggak tenang rasanya, udah Bunda ke kantor Papa aja. Di sini ada aku, kok." Terang Ibnu. Kamila tersenyum, lalu beranjak dan mendekati Ibnu. "Jangan berantem, kabarin Bubda kalau ada apa-apa." katanya, lalu Kamila pun pergi meninggalkan Ibnu dan Galuh yang masih lemah di tempat tidurnya.
Resah yang Ibnu lihat adalah sakit yang Galuh coba tutupi di depan semua orang. Bahkan, sampai detik ini senyum di wajahnya tak pudar walau warna bibirnya berubah pucat. Ibnu tidak pernah suka warna pasi yang tercipta di sana. Maka detik berikutnya Ibnu bersuara mengalihkan pandangan Galuh dari televisi yang menyala. Ibnu tahu, Galuh tidak menontonnya, anak itu hanya menatapnya, namun pandangannya kosong. Ibnu bisa menangkap rintih yang Galuh coba tutupi daarinya.
"Nangis aja, kalau itu bisa buat lo tenang." katanya. Ibnu melangkah mendekat, lalu meraih Galuh setelah langkahnya terhenti di sisi adiknya.
"Maafin gue, Bang."
"Lo nggak salah, jangan dipikirin, nangis sekuat yang lo bisa. Gue di sini, buat lo. Jadi bahu ketika lo sedih. Lo adek, gue. Ananda."
Pada akhirnya Galuh tetap tidak bisa bersembunyi dalam lukanya, di depan semua orang dia akan terlihat baik-baik saja. Namun detik selalu membuatnya melepas semua itu tepat di depan Ibnu dan Fariz. Walau sesekali ia sering membuat Kamila dan Regi khawatir. Tetap saja, dirinya tidak bisa melepas semua hal yang dirasakannya.
Benar apa yang semesta katakan pada takdir. Manusia hanya bisa mrngeluh belum bisa bersyukur atau berterima kasih atas segala hal yang Tuhan berikan.
G A L U H 2
Nah. Segini dulu, jangan lupa tinggalkan jejak. Klik tanda bintang di bawah. Oh, ya. Kalian bisa tag aku di IG nisa_jihad. Kalau kalian menemukan quotes. Dengan senang hati aku akan mampir ke sana dan menyapa kalian 🤗
Ada yang kangen mereka ? Tap tap tap, mana Tim Galuh dan Ibnu?
Tim Fariz Galuh?
Note : Ada yang inget kejadian Ibnu berdiri di ambang Pintu kamar Galuh? Di sana Ibnu bilang jangan parno ke Fariz. Di sini sedikit di ulas. Aelamat menikmati 😁
Kita ketemu di chapter berikutnya ya, see you 🍫😘😘
Salam Mr. Choco
Terima kasih
Publish, 21 November 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro