Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 6

Tidak semua orang mampu melewati medan tempur yang curam. Mereka akan berusaha semaksimal mungkin untuk tetap bertahan walau luka selalu di dapatnya.

Garuda Ibnu Haikal
. . .

Malam ini Fariz memutuskan untuk tidur bersama Galuh, begitu juga dengan Ibnu. Walau keduanya telah dilarang sang pemilik kamar, tapi bukan Ibnu namanya jika dia tidak memaksa apa yang dia mau. Dan di sinilah Ibnu. Tidur di lantai dengan beralaskan kasur lantai dan juga bantal yang Fariz lemparkan.

Fariz tidak sekejam itu, kan? Dia hanya kesal sejak tadi Ibnu menjahili adiknya. Sudah berapa kali Galuh memekik sebal, melempari beberapa camilannya pada Ibnu. Sementara Ibnu hanya tertawa dan terus menyahuti apa yang Galuh katakan padanya.

Contohnya seperti saat ini, anak itu melaknat kakaknya akan menjafi semakin tampan, tentu akan di timpali beberapa pertanyaan dari Fariz. Jika bukan karena Galuh sudah pasti Fariz memaki Ibnu berkali-kali. Untung saja Fariz masih bisa mengontrol emosinya. Bukan masalah ia kasihan pada Ibnu, hanya saja dia sudah terlalu kesal melihat tingkahnya yang tidak bisa diam.

"Kayak cacing kesurupan, tahu nggak sih, Bang. Gue heran, dulu Bunda ngidam apaan sih waktu hamil lo?"

"Ya, gimana dong? Udah terlahir ganteng dan lo mengakuinya barusan."

"Itu kesalahan lidah, nggak bisa di benarkan itu."

"Alah ngeles kayak bajaj."

""Nggak gitu, Bang. Dengerin dulu," ujar Galuh.

Anak itu menatap lekat Ibnu yang berdiri di ambang pintu kamarnya. Galuh memang meminta tolong pada Ibnu untuk mengambilkan camilannya di kulkas, cowok itu baru kembali setelah dia mendapatkan apa yang diminta Galuh. Belum melangkah masuk, kakinya tertahan dengan pertanyaan menyebalkan Fariz dan Galuh.

"Lo ngatain gue, tapi minta tolong ke gue juga, anak siapa sih, lo?"

"Galuh, anaknya Papa Regi."

Tidak ada debat diantara keduanya, jika sudah mengatas namakan Regi sebagai akhir percakapan tidak berguna menurut Fariz.

Tepat di jam 11, Galuh benar-benar terlelap. Begitu juga dengan Ibnu. Sementara Fariz, lelaki itu memilih terjaga dan menatap langit gelap di atas sana. Namun, pikirannya berkeliaran ke mana-mana. Terlebih mengingat beberapa jam lalu sebelum Galuh terlelap, anak itu sempat mengatakan hal yang paling Fariz benci.

"Bang Fariz?" Suara Galuh lebih dulu menyita perhatiannya, setelah berdebat dengan Ibnu, Galuh memutuskan untuk mendekatkan tubuhnya pada Fariz.

"Apa?" Sejenak Galuh menatap, sebelum ia kembali bersuara dan membuat Fariz mengeriyitkan keningnya.

"Gue bingung," ucap Galuh, bukan hanya Fariz yang heran, Ibnu juga merasa ada sesuatu yang aneh dengan adiknya.

"Jangan ngada-ngada. Udah tidur deh." sahut Fariz cepat. Galuh terkekeh, lalu menarik selimutnya sebelum kembali diganggu oleh Ibnu.

Namun, siapa sangka detik berikutnya Galuh terbangun lalu berjalan cepat menuju kamar mandi. Dia memuntahkan kembali makanan yang sudah ia makan. Cepat-cepat Ibnu menyusulnya, sekali lagi Ibnu-lah yang pertana kali melihat cairan bening yang baru saja meluncur dari pelupuk mata adiknya.

"Gimana?" tanya Ibnu. Galuh tidak menjawab, anak itu masih berjongkok di depan kloset. Sesekali Ibnu memijat leher adiknya. Dia tahu Galuh akan memuntahkan isi perutnya, walau makanan yang dimakannya tidak terlalu banyak. Sementara Fariz, lelaki itu buru-buru membuatkan teh hangat dan obat pereda nyeri milik Galuh yang entah diletakan di mana oleh si pemilik.

"Sial! Di mana sih obatnya."gerutu yang beruoang kali Fariz lontarkan, tak kunjung membuatnya semakin panik. Sampai suar gaduh yang berasal dari pantri membuat Kamila harus ikut turun tangan.

Selang beberapa waktu, Galuh sudah berada di atas tempat tidurnya sambil bersandar dengan bantal sebagai sandaranan punggungnya. Kepalanya terasa begitu penat, sampai detik membawa ramai yang semula hening.

"Bunda?" Lirih suara Galuh membuat Kamila cemas. Diusapnya wajah putra bungsu kesayangannya. Sesekali wanita itu mencium punggung tangan Galuh sebelum membantunya meminum obat.

"Masih pusing, Bun." katanya, Kamila hanya mengangguk, lalu mengambil alih segelas teh hangat yang dibuat oleh Fariz dan juga obat milik Galuh.

"Minum dulu, nanti Bunda pijat supaya tidurnya nyenyak," ucap Kamila, Galuh menggeleng, ia tak mau membuat Bundanya lelah. Sebisa mungkin Galuh mencari alasan agar Kamila percaya.

"Bunda istirahat aja sama Papa, kan ada Bang Nu sama Bang Fariz, lagian aku udah nggak apa-apa kok." terang Galuh. Meski begitu, Kamila tidak pernah percaya dengan ucapan Galuh. Bukan hanya kalimatnya, namun juga wajahnya tidak pernah meyakinkan kalau putranya benar baik-baik saja, seperti yang dikatakannya.

"Yaudah, minum dulu obatnya, terus istirahat. Kalau ada apa-apa panggil Bunda atau Papa."

Tak ada yang membantah, Kamila benar-benar keluar setelah memastikan Galuh meminum obatnya. Kamila hanya khawatir, cukup sekali wanita itu melihat putranya berbaring tak berdaya ketika di rumah sakit.

"Ingat, kalian berdua jangan berantem, jangan ribut dan jangan buat adiknya susah tidur. Ngerti?"

Pesan Kamila memang selalu dipatuhi oleh kedua putranya, walau begitu tetap saja Kamila selalu khawatir tentang Galuh.

"Lo mau ngomong apa tadi, Lu?" tanya Ibnu tiba-tiba. Galuh meliriknya sebelum akhirnya berbaring mencari posisi nyamannya tepat di dekat Fariz.

"Gue adik kalian berdua, kan, ya?"

"Iyalah. Lo pikir lo lahir dibelahan bumi lain? Udah deh, Luh. Mata lo udah sayup gitu, tidur gih. Jangan aneh-aneh. Lo nggak lihat tuh, muka Abang lo udah kaya cumi goreng. Tidur!" sahut Ibnu.

Sebenarnya Ibnu juga kesal, bahkan kalimat itu sudah Galuh katakan hampir lima kali di hari yang sama. Bosan dan menyebalkan, itulah yang Ibnu keluhkan sepanjang hari.

"Gimana kalau..."

"Lo belum tidur?"

Fariz terkejut ketika melihat Ibnu sudah berdiri di sebelahnya. Fariz memang belum tidur, ia sendiri tidak sadar ketika langkahnya ia bawa perlahan mendekat ke arah jendela. Sementara di tempat tidur, Galuh sudah terlelap dengan selimut yang membungkus tubuhnya sampai ke leher. Wajah pucatnya selalu menjadi objek pertama yang Fariz tangkap ketika Galuh sakit.

"Gak ada urusan."

"Sekali aja lo lihat gue, Bang."

"Persetan dengan itu, pergi lo!"

"Fine. Gue yakin, suatu saat lo bakal perhatian sama gue."

Seolah seperti kenyataan, bahkan Fariz tidak sadar kalau dirinya sudah ikut terlelap dalam lamunannya semalam. Ia juga masih dalam posisi yang sama. Membiarkan Galuh terlelap di atas lengan kirinya. Mata bulat Galuh selalu menjadi pusat perhatian yang siapa saja akan gemas bila melihatnya, termasuk Fariz.

Sama halnya dengan Fariz, Ibnu jauh lebih gemas dengan adik kecilnya. Hampir setiap saat Ibnu selalu membuat Galuh kesal. Tapi tidak dengan pagi ini.

Pagi ini Ibnu melarang Galuh dengan tegas untuk tidak ikut MOS terakhir. Meski subuh tadi Galuh sempat terbangun sebentar. Di sanalah Ibnu mulai angkat bicara. Bukan karena Galuh adiknya, tapi Ibnu tidak mau ambil resiko lebih besar dari pada kemarin.

Mengingat semalam Galuh muntah-muntah, maka Ibnu memutuskan untuk tidak memperbolehkan Galuh ikut serta di dalamnya.

"Cukup! Lo berdua apaan sih?!"

Tajam penekanan itu membuat keduanya saling pandang, tak ada yang menyahut apalagi berkomentar. Suara keras Fariz membuat Galuh dan Ibnu tersentak dan tidak mampu untuk melintarkan sepatah kata pun.

"Lo. Ibnu, tugas lo jagain adek lo, ngerti?" Ibnu hanya mendesah, tanpa diperingatkan juga Ibmu tahu. Dia tidak seperti Fariz yang gengsi dengan rasa sayang.

Ada jeda cukup lama sampai suara Kamila membuyarkan rencana mereka. Wanita itu masuk ke dala. Kamar Galuh dengan nampan beriai sepiring roti tawar dengan varian masing-masimg kesukaan putranya. Tak lupa tiga gelas berisi susu cokelat untuk Galuh, segelas teh hangat untuk Fariz dan segelah air mineral pesanan Ibnu.

"Bun, aku boleh sekolah, ya?" rajuk Galuh. Setelah sampai, Kamila pun memberikan sarapan untuk ketiga putranya sebelum ia duduk di sisi Galuh usai menaruh nampan yang sudah kosong isinya. Kemudian setelahnya ia pun mengusap wajah putra bungsunya.

"Bunda nggak larang, tapi kalau kondisi kamu kayak sekarang, kasian Bang Ibnu, kasihan Irgj juga. Kamu mau sehat, kan?" lembut penuturan Kamila membuat Galuh berpikir sejenak, lalu mengangguk setelahnya.

"Kalau gitu, sekarang nurut kata Bunda, kamu istirahat du di rumah, kalau udah merasa fit lagi, Bunda nggak larang kamu ke sekolah. Dari pada Papa panik lagi, nggak apa-apa, ya, Sayang?"

Galuh hanya tersenyum, detik berikutnya Kamila memeluknya dari samping. Membiarkan peluk hangat itu menjadi alasan Kamila kalau sebenarnya dia takut kehilangan.

"Oke, sidang di tutup! Hari ini aku berangkat bareng Gent. Jadi aku pamit duluan Bun, Bang, Luh, duluan, ya!"

Teriak Ibnu usai menyalimi Kamila, setelahnya cowok itu pun pergi dengan ransel yang berukuran cukup besar, yang sudah ia siapkan sejak kemarin sore.

Bagi Ibnu, Galuh segalanya. Meski dirinya selalu ternistakan oleh ucapan serta perlakuan menyebalkan dari adiknya. Tetap saja, Ibnu akan kalah dengan rasa sayangnya yang besar pada Galuh.

Begitu juga Fariz. Baginya, Galuh dan Ibnu adalah dua wujud yang berbeda namun memiliki frekuensi yang sama dengan alur yang berbeda. Sama seperti awan, hanya satu namanya. Awan, dengan warna putih sebagai identitasnya, namun ketika mega mendung tiba, gelap menjadi warna berbeda, begitu juga dengan malam. Awannya tak lagi terlihat.

Maka Galuh dan Ibnu adalah dua raga dalam satu hela napas yang saling melengkapi. Hadir keduanya adalah isyarat kalau Fariz sedang berusaha membuka aksesnya terutama untuk Ibnu.

Sampai detik ini, Fariz kesal, bukan berarti benci. Dia tidak pernah suka kehadiran Ibnu, tapi dirinya selalu berbohong tentang perasaannya agar tidak mengkhawatirkan Ibnu.


G A L U H 2

Nah. Segini dulu, jangan lupa klik tanda bintang di bawah terus komentar, supaya aku makin semangat nulisnya 🤗🍫

Kali aja ada yang kangen sama adek ini 🤭 mana suaranya ?

Note : Di chapter ini aku sudah membuka perlahan tentang Fariz. Gimana sih si Fariz? Kenapa dia nggak suka kalau Galuh ngelantur, ada yang masih ingat bagian itu?
Bagian di mana Fariz benar-benar kesal karena Galuh selalu mengatakan hal yang melantur.

Cus, tunggu chapter selanjutnya dengan misteri mereka yang nggak ada habisnya. 😅( for me 😊)

Salam Mr. Choco 🍫

Terima kasih.

Publish 19 November 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro