Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 4

Benar apa yang orang katakan tentang harta, tahta, dan keluarga. Semua yang ada adalah nafsu. Bagaimana tidak, hawa nafsu akan menghancurkan segalanya, keegoisan dan rasa percaya yang kapan saja bisa hilang. Salah satunya adalah kecewa yang berdampingan dengan luka. Sesal yang juga berteman dengan duka.

Kisahnya masih berjalan sempurna, bukan? Lalu apa yang perlu di khawatirkan lagi, jika semua orang tahu bahwa langit tak akan selalu bersinar cerah di langit.

Debat di pagi hari adalah tradisi setelah kehadiran Galuh. Sama seperti nyawa yang baru saja masuk ke dalam raga yang sempat mati. Begitulah juluknya. Kamila dan Regi tidak pernah mengira kalau kehidupan mereka akan berubah setelah adanya Galuh di tengah-tengah mereka.

Sana seperti Fariz yang dibuat kesal setiap kali oleh Ibnu dan Galuh. Semenjak Galuh ada diantara keduanya, sifat acuh Fariz sedikit berkurang pada Ibnu, tapi Kamila tidak akan melupakan satu hal. Dinginnya Fariz adalah sesuatu yang paling Ibnu takuti.

"Bun, aku pamit dulu anterin mereka."

Kamila mengangguk, wanita itu bersyukur bisa melihat ketiga putranya yang jalan beriringan. Meski si bungsu selalu memekik kesal karena Ibnu mengganggunya.

"Bang Nu! Seragamnya lecek, diem. Bunda Abang nih," ucap Galuh. Bahkan ketika anak itu sudah ada di dalam mobil Fariz, Galuh masih bisa berteriak. Sementara Ibnu hanya terkekeh bangga atas kehahilannya.

Hampir setiap hari suara mereka terdengar. Keduanya akan diam kalau sakit, selebihnya suara mereka akan menjadi musuh untuk Fariz. Bukan hanya itu, Fariz benci tangis Galuh. Tapi dia akan menjadi lebih posesif kalau Galuh atau Ibnu dalam bahaya atau sakit. Sama seperti ketika Ibnu yang mengalami kecelakaan dan Galuh yang tiba-tiba drop.

"Ibnu, udah jangan gangguin adiknya, inget kata-kata Bunda, jagain Galuh, telepon Bunda atau Fariz atau Papa kalau ada apa-apa, oke?"

Ibnu mengangguk lalu mencium pipi Kamila sebelum masuk ke dalam mobil. "Yaudah, aku berangkat dulu, Bunda jangan capek-capek di rumah. Pokoknya Galuh aman karena ada sang Garuda di sini," katanya bangga.

"Garuda, nama doang! Buruan, telat nih gagal deh jadi siswa baru."

"Yaelah, lebay hidup lo, nggak akan ada yang bisa sentuh lo sebelum menghadapi Abangnya yang super duper ganteng, titisan Papa Regi Wijaya."

"Berisik. Lima detik nggak naik tinggal!"

"Bagus Bang Fariz, emang dia mah bikin waktu berharga kita lenyap," sahut Galuh, baru juga menyahut, si bungsu juga harus mendapat tatap tajam Fariz. Menyebalkan!

"Bukan kita, tapi gue doang." balas Fariz, diam-diam Fariz menarik gass mobilnya, membuat Ibnu buru-buru masuk ke dalam dan melambai pada Kamila yang sudah tertawa karena kelakuan ketiganya yang benar-benar unik.

"Heh! Harusnya lo nggak ada di sini, penyakitan mending di rumah bobok manis sama bunda tercinta, huhuhu."

Waktu memang tidak pernah bisa di prediksi, bahkan ketika Galuh baru masuk ke dalam barisan kelompoknya, salah seorang siswa baru yang memang terlihat sombong mulai membuat suasana yang semula tenang, kini menjadi ricuh.

"Ups! Maaf, gue lupa kalau lo juga anak baru, kenalin nama gue Miko. Galuh, kan? Ah iya, nggak perlu kenalan, lo itu, kan adik senior di sini, siapa namanya? Ooo... Garuda itu, baik-baik, ya."

Benar apa yang Irgi bilang tentang siswa baru bernama Miko. Dia itu seperti setan, bahkan kemarin saja Irgi dihukum karena ulah Miko. Padahal baru dua hari MOS, tapi Miko sudah berbuat ulah. Galuh memang baru melihat Miko hari ini, karena kemarin dirinya terlambat datang. Lagi pula, kelas kelompok Irgi dan Galuh memang berbeda, jadi Galuh belum tahu siapa Miko.

Galuh mendecih, lalu menatap kasihan ke arah Miko, senyum yang tidak biasa pun Galuh perlihatkan. Anak itu kesal bukan karena Miko menyuruhnya atau mengatainya anak Bunda, bukan tapi dia sudah membawa nama kakaknya, Ibnu. Dia tidak suka kalau orang lain mengatakan hal buruk tentang kakak-kakaknya. Bagi Galuh, hanya Galuh seorang yang boleh memaki, menghardik, dan menyuruh kakaknya, jangan orang lain.

Walau Galuh tahu, itu sangat berdosa dan tidak sopan. Tapi, dia sungguh-sungguh tidak pernah suka siapapun yang menjelekkan kedua kakaknya, atau siapapun di keluarganya.

"Ya, gue penyakitan, gue harap lo nggak buta dengan lihat wajah gue. Oh ya, setahu gue, kalau orang kenalan itu harus resmi, bener, kan Gi?" katanya lalu menatap Irgi yang berdiri tepat di sebelahnya. Irgi mengangguk, kemudian mengusap lengan Galuh yang terasa panas.

"Udah Luh, jangan diladenin, otaknya nggak waras, kurang reparasi." Galuh terkekeh mendengar bisikan Irgi. Tapi tatapnya masih tertuju pada Miko. Cowok yang masih setia berdiri di depan Galuh dan Irgi, dia hanya membuang napas lalu menyeringai mengusap bibirnya. Seolah jiwa api membaranya mulai keluar.

"Kenalin, Ananda Haikal Galuh, adiknya Garuda, orang yang lo bilang sok keren itu." ucap Galuh. Tangannya terulur, namun ditepis oleh Miko, Galuh berdecak pelan, sebelum ia menarik kembali tanganbya, lalu menatap Miko dengan tatap tak terbaca.

"Setahu gue, cuma banci yang doyan ngatain orang lain tapi nggak mau natap wajahnya. Basi!"

Setelah menyelesaikan kalimatnya, Galuh dan Irgi pergi ke barisan lain membiarkan Miko menahan amarahnya sendirian di sana.

"Bangsat lo! Lihatin aja, gue bakal bales perbuatan lo ini, gue harap lo nggak nyesel telah berurusan sama gue." gumam Miko sebelum teguran dari senior yang bertugas memintanya kembali ke dalam barisan.

"Lo cari bahaya tahu nggak," seru Irgi, setelah apel hsai, mereka di perbolehkan istirahat sebentar sebelum melakukan kegiatan lainnya. Bahkan Galuh meminta Irgi untuk tetap bungkam karena sebelum apel benar-benar berakhir, Galuh mimisan tapi ia menolak untuk pergi ke UKS.

"Gue nggak suka aja, Bang Nu di remehin, lo tahu nggak? Gue masuk SMA yang sama kayak Bang Nu, karena gue sayang sama dia, tapi lo iangan bilang-bilang. Ini rahasia." katanya, Irgi terkekeh, lalu menatap Galuh yang tengah memakan roti cokelat yang sempat diberikan oleh Ibnu sebelum mereka apel.

"Mana ada orang sayang di rahasiain. Kalau sayang, ya bilang, susah amat tuh mulut tinggal bilang 'Bang, aku sayang sama Abang.' Gitu doang, Luh."

Galuh menggeleng, "Gitu doangnya itu yang susah, Bang Nu suka ngatain gue, jadi males, lagian tujuannya bukan itu, tapi gue mau terus bareng- bareng sama Lo, jadi kalau mau bolos, kan enak."

Lama Irgi berpikir, setelah menyadari ucapa Galuh, telapak tangannya ia bawa mendarat tepat di kening sahabatnya. Matanya membelalak, kemudian Irgi pun berdiri di hadapan Galuh.

"Ke UKS ayok. Omongan lo udah ngelantur, lo tahu kondisi lo nggak fit, tapi hobi banget buat orang spot jantung." celoteh Irgi.

"Duduk diem nggak usah banyak omong, kepala gue pusing dengernya. Jangan ngadu ke Abang gue, kalau nggak kita end!"

Siapa sangka ucapannya justru telah di dengar oleh si empu yang sedang mereka bicarakan. Irgi mengusap telungkuknya, sesekali Galuh menatapnya, pertanyaannya pun tidak dijawab oleh Irgi. Tak lama, Galuh menoleh ke belakang di sana sudah ada kaki jenjang dengan celana abu dan juga sepatu yang sangat Galuh kenal.

Pandangnya ia bawa mulai dari bawah, sampai benar-benar menemukan wajah kesal Ibnu yang sudah berdiri dengan kedua tangannya yang ia masukkan ke dalam saku celana abu-abu miliknya.

"Bagus, ya lo di sini, gue cariin. Dan lo gibahin gue?"

Cepat-cepat Galuh bangkit, lalu berdiri di sebelah Irgi, "Kenapa nggak bilang, kalau ada Abang gue?" bisik itu membuat Irgi meringis. Bukan salahnya kalau dia tidak memberitahu, karena Irgi juga terkejut. Ibnu datang lalu melarangnya untuk tetap diam.

"Gue denger lho tadi, kalian ngomongin apaan."

"Eh, nggak Bang, kita balik ke lapangan kok ini, beneran ayo Gi."

Baru akan melangkah, sebelah tangannya sudah di tahan oleh Ibnu. Cukup erat, bahkan Galuh saja tak bisa melepaskannya. Tenaganya sudah terkuras, bahkan rasa pusingnya kembali melanda.

"Sakit, Bang." katanya, Ibnu tidak peduli, dia tetap memegang tangan Galuh. Dan membiarkan Irgi pergi sambil memintakan ijin pada Osis yang bertugas.

"Nggak! Lo harus balik sama gue, badan lo panas begini, muka lo pucat, apalagj alasan lo?"

Galuh tidak bisa melepaskan diri, jujur kakinya sudah tak sanggup lagi untuk berpijak, perlahan pandangnya memudar, melihat Ibnu saja mulai verbayang. Detik berikutnya tubuhnya benar-benar runtuh. Spontan Ibnu langsung memeluknya. Ibnu tidak akan membiarkan adiknya jatuh ke tanah.

Susah payah Ibnu mengangkat agar dapat menggendongnya. Langkahnya yang terburu-buru membuat beberapa pasang mata membicarakannya.

Ibnu tak peduli tentang gunjing orang lain mengenai dirinya. Baginya tidak ada yang lebih penting saat ini, selain Galuh.

"Gue di mana?"

"Di UKS lo pingsan tadi,"

Lama menunggu Galuh sampai sadar. Untung saja tadi ada Genta dan Iwan yang datang setelah menerima pesan Ibnu. Antusias Iwan yang senang melihat Galuh adalah hal yang paling menyebaljan untuk Ibnu lihat. Contohnya seperti sekarang.

Temannya itu tak henti-hentinya menoel pipi Galuh, padahal berkali-kali ditepis oleh si pemilik. Sampai Ibnu saja kesal sendiri melihatnya.

"Jangan bilang Bunda, ya," pelan suara Galuh membuat Ibnu tak tega. Ibnu mengangguk, lalu mengusap rambut hitam Galuh begitu lembut. "Iya, nggak bilang, udah lo istirahat aja, tadi gue udah minta ijin ke senior yang bimbing di kelas lo, jangan mikirin yang macem-macem, ngerti?" kata Ibnu, Galuh tersenyum lalu memejam sebentar untuk meredakan pusing yang masih belum pergi.

"Wan, tolong amblin hidie gue di loker, ya," pinta Ibnu, selain akal-akalan Ibnu, dia juga ingin mrnghindari Galuh dari Iwan yang kelewat gemas dengan adiknya. Pertama kali mereka bertemu, ketika Ibnu mengadakan kerja kelompok di rumahnya. Kebetulan, saat itu ada Galuh dan Irgi yang sedang bermain game. Galuh tidak suka mendownload game di ponselnya, tapi dia lebih sering mendownload lewat ponsel Ibnu atau Fariz. Maka, jangan tanyakan Galuh, dia bermain menggunakan ponsel siapa, jika tidak mau di beri hadiah manis olehnya. Sama seperti Iwan yang berhasil dihadiahj lemparan bantal. Cukup keras sampai Iwan memelik kesal pada Ibnu.

Ibnu hanya tertawa, lalu menyalahi temannya karena sudah berani mengganggu waktu tenang si pemilik mata bulat.

Bagi sebagian orang mengenal bukan hanya sekadar, mengulur tangan lalu menyebutkan nama. Bukan juga dengan menyapa atau becanda gurau. Tapi, mengenal adalah mereka yang mau memahami satu sama lain, sebelum perpisahan menjadi akhir dari segalanya.

G A L U H 2

Nah segini dulu ya, ada yang kangen? Yuk ramein, jangan lupa tinggalin jejak supaya aku makin semangat nulisnya.

Note : Part ini ada hubungannya di Galuh seri satu. Masih ingat sama Miko yang tiba-tiba ngajak Galuh dengan paksa?
Ini kisahnya, awal di mana dendam sebagai kehancuran.

Terima kasih salam sayang Mr. Choco 🍫

Publish, 10 November 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro