Chapter 38
Katanya langit biru akan tetap biru, walau kelabu akan datang tanpa diundang. Katanya, hamparan putih di atas sana adalah awan yang ikut bergerak. Nyatanya, langit dan awan akan tetap di sana, tidak bergerak ke manapun. Seperti tenangnya air laut jika ombak tidak mengganggu. Seperti batu karang yang yang diam membisu terkena debur ombak, bila laut pasang. Namun Galuh akan tetap berdiri tegak meski rapuh. Dirinya akan tetap setenang air laut, meski debur ombak yang riuh menyisir tepi pantai.
"Bun, Abang mana?" Kata yang terlontar sejak ia sadar beberapa menit lalu. Dari sekian orang yang dilihatnya, hanya satu yang selalu ia tanyakan kabarnya, yaitu Ibnu.
"Bang Fariz?" Anak itu menggeleng lemah, kelopak matanya perlahan mulai menghitam, bibirnya pun tetap dalam warna yang sama, pasi begitu juga dengan wajahnya.
"Abang, Bun. Bang Nu, ke mana?" tanyanya lagi. Kali ini Kamila tidak menyahut, melainkan mengusap punggung tangan putranya begitu lembut. Wanita itu tampak sesak kalau mengingat tadi Ibnu pergi dalam keadaan kesal pada Regi. Bahkan pamit pun tidak. Ibnu tidak ingin mengajarkan hal buruk pada Galuh, bersikap tidak sopan pada orang tua. Hanya saja, ia takut kalau emosinya memuncak lalu melukao hati sang Bunda lebih dalam.
"Ibnu sekolah, Sayang, tumben nanyain Ibnu. Biasanya yang ditanya duluan Fariz," kata Bunda. Galuh tersenyum cukup lebar, dengan deretan gigi putih yang tampak rapi.
"Abang kok gitu, sih? Masa Aku di tinggal, Bun? Nggak asik banget deh," gerutunya. Kamila benar-benar terhibur bila mendengar gerutu yang begitu menggelitik dipendengannya. Apalagi melihat raut wajah Galuh dengan bibir mengerucut sebal.
"Masih ada besok, hari ini 'kan ada jadwal cek up, hayo... lupa, ya?" Peringat Kamila, Galuh benar-benar bosan bisa berlama-lama di ruangan sempit dengan selang-selang yang menempel di lengannya. Terakhir kali ia melakukannya, kira-kira bulan lalu, karena dirinya pernah menolak untuk tidak cek up.
"Nggak Bun, aku cuma mikir kenapa belakangan aku tuh kerasa capek banget, malah baru duduk sebentar rasanya tuh kayak sakit, apa aku kurang minum kali, ya?"
"Lo itu kebanyakan konsumsi cokelat, makanya masih muda udah rentan. Kurangin yang manis-manis. Sumbangin kalau perlu!"
Galuh dan Kamila pun menoleh, mereka melihat sosok yang baru saja berkomentar atas ucapan Galuh yang begitu membosankan.
"Mulut tuh di filter Bang, kayak sendirinya dermawan aja! Pergi lo!"
"Kamu nggak kuliah Riz?"
Dengan cepat Kamila melerai perdebatan kecil yang hampir saja membuatnya pusing. Untung saja Galuh langsung diam ketika lengannya diusap hangat oleh sang Bunda, jika tidak, anak itu mungkin sudah melemparkan bantal guling ke arah Fariz.
"Nanti, Bun."
"Kalau gitu temenin Galuh sebentar, ya, mau? Bunda mau ke kantor Papa sebentar," ucap Kamila. Fariz hanya mengangguk tak bergerak sedikit pun dari tempatnya berdiri. Sudah berulang kali Kamila menghela napas, ia tak tahu harus berbicara dengan sikap seperti apa pada Fariz. Putra sulungnya sama sekali tidak memberi akses, setidaknya senyum meski setipis kertas. Kamila tidak mengerti bagaimana Fariz kecil dulu mengatakan hal yang sampai detik ini terus tengiang di telinganya.
"Aku ndak mau punya dedek bayi, Bunda! Aku ndak mau!"
Kamila masih mengingatnya, Kamila masih menyimpan foto-foto kecilnya, bahkan ketika Regi mencoba mendekatkan Ibnu dalam pangkuan Fariz. Dan ada juga foto Regi yang tengah duduk memangku keduanya. Semua terekam manis dalam sebuah album foto yang disimpan rapi dalam lemari kecil di kamar Galuh.
"Aku sendirian di rumah juga nggak apa-apa," kata Galuh. Fariz yang sedari tadi berdiri pun melangkah masuk ke dalam kamar, setelahnya menarik kursi belajar milik Galuh untuk ia duduk.
Tatapnya masih sama, beku tak ada hangat sedikit pun. Bahkan ketika Kamila memutuskan untuk prgi lebih dulu, Fariz hanya mengangguk. Setelahnya ia pun beralih menatap Galuh yang menundukkan kepalanya dengan jemari yang saling bertautan satu sama lain.
"Jangan lihat gue kayak gitu, gue nggak suka!"
"Sehari nggak nyusahin, hidup lo nggak tentram kayaknya. Sehari nggak buat gue panik, kayaknya nggak bisa, mau lo apa sih? Mau mati? Gue ajarin, nggak gini caranya, buat Bunda sama Papa selalu cemas." Galuh benar-benar bungkam. Dia sama sekali tidak menyahut apalagi menatap Fariz.
"Nggak masalah kalau lo nggak mau gue repotin, nggak masalah kalau lo nggak mau gue di sini, tapi tolong lo mending pergi, gue mau sendiri."
Fariz tidak bodoh, ia tahu adiknya terluka atas ucapannya yang terlalu kasar. Tapi jujur, semua yang Fariz katakan hanya untuk meluapkan rasa cemasnya setelah semalam ia tak sengaja mengintip Ibnu yang lagi-lagi seperti orang bodoh.
Susah payah Fariz menghubungi Furqon, tapi cowok itu tak menjawab panggilannya, ia sudah gusar dengan tingkah Ibnu beberapa hari belakangan yang terlihat seperti orang tak waras.
"Jangan sentuh!" Fariz tersentak saat Galuh melarangnya. Padahal Fariz baru saja akan mengulurkan tangan untuk mengecek demamnya. Bukan hanya itu, tatap mata bulat yang tajam milik Galuh seolah berkata namun Fariz tidak memahaminya.
⏳⌛
"Ya ampun Ibnu, lo kenapa lagi sih? Belakangan ini lo sering banget ngelamun, mikirin kapan punya pacar?"
"Dia lagi puasa kali"
Ibnu mendengus kesal lalu menyandarkan tubuhnya pada punggung kursi dengan kepala yang sedikit mendongak ke atas.
"Gen, kenapa orang salah selalu disalahkan, padahal belum tentu itu kesalahan yang sebenarnya," katanya tiba-tiba. Genta mengerutkan keningnya, begitu juga dengan Luki dan Desga.
"Lo kalau ngomong jangan kayak ayam sakit sih, gue nggak pinter cerna omongan lo, Nu!"
"Otak lo minim, Luk, reparasi dulu sana, kali aja bisa cerdas kayak Albert Einsten."
"Gue paham nih, lo ada masalah di rumah pasti?" Ibnu mengangguk setelah Desga menebaknya. Bagi Ibnu, tak ada masalah yang lebih berat selain dengan Fariz dan Galuh. Dua makhluk Tuhan yang begitu meresahkan dunianya.
"Pasien masalah lo siapa lagi? Galuh? Abang lo?" Kali ini Iwan bersuara, cowok itu mendekat setelah menyelesaikan catatannya di papan tulis. Ibnu menatap sahabatnya bergantian lalu menunduk sebentar.
"Papa." Sontak semuanya tercengang, tak biasanya Ibnu bermasalah dengan Regi. Bahkan di mata mereka Ibnu sangat akrab dengan papanya. Belum lagi, Regi yang begitu ramah pada semua teman-teman anaknya. Lalu, mengapa Ibnu menyebut Regi begitu yakin?
"Gara-gara kemarin, Papa marah sama gue, Papa dapat telepon dari Bu Geralda, ya, gitu deh. Biasa Abang gue nyamber kayak petir," terang Ibnu. Genta, Iwan, Luki, dan Desga hanya ber-oh-ria, setelahnya mengangguk. Lagipula kesalahan kemarin bukan salah Ibnu sepenuhnya, namun bila dilihat dari sudut pandang yang lain, ada sesuatu yang membuat Ibnu meluapkan amarahnya kemarin.
"Tapi, Nu... Emangnya lo nggak coba tanya Galuh tentang masalah kemarin?" Ibnu terdiam untuk sejenak, ia tidak sempat memikirkannya. Jika saja Genta tidak mengatakannya. Ibnu pun menoleh ke arah Genta, meminta penjelasan. Namun lagi-lagi semuanya terhalang oleh Pak Rudi yang memintanya untuk segera ke ruangan guru.
Ada hal yang ingin coba Ibnu ketahui, ada hal coba Ibnu pecahkan. Dari sekian banyak masalah yang tersimpan hanya satu yang belum Ibnu dapatkan jawabannya. 'coba tanya Galuh, Nu. Dia juga terlibat' getar suara Arvy kembali memasuki ruang pendengarannya.
"Galuh?"
GALUH 2
Halloo..... Ada yang kangen Galuh? Yeeyy dia hadir. Maaf kemarin-kemrin nggak up ada problem sedikit, dan sekarang baru bisa Up lagi semoga menghibur dan terima kasih sudah berkunjung.
Salam manis Mr. Choco 🍫🍫🍫🍫
Publish, 29 April 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro