Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 37

Takdir selalu berkata lain, ada kalanya senyum menjadi sedih. Ada kalanya sedih berganti tawa. Tapi semua yang terlihat tampak berbeda dengan yang dipikirkan. Subuh tadi Galuh membangunkan semua penghuni rumah, termasuk Kamila yang datang untuk mengecek keadaannya. Namun, bukan sosok si pemilik yang ada di tempat tidurnya, melainkan Regi yang tertidur pulas dengan mwmosisikam tubuhnya duduk bersandar pada kepala ranjang. Sementara si pemilik merintih kesakitan di dalam kamar mandi. Anak itu memuntahkan  cairan bening yang terasa begitu mual baginya. Ia pun tertunduk lemas di deoan kloset dengan lengan yang begitu bergetar.

"Bun-da..." lirih suaranya, membuat napas berat itu tak lagi memberi jeda untuknya bersuara kembali. Suaranya tertahan dengan rasa mual yang lagi-lagi kembali mengeluarkan cairan bening berbau masam sampai menyengat penciuman.

"Pa... Bangun, Galuh ke mana?" Regi mengerutkan keningnya saat Kamila membangunkannya. Pria itu tampak panik, ia masih merasakan napas teratur putranya semalaman,  namun saat ini ia tak melihat sosok si pemilik kamar di sebelahnya.

"Lho, tadi dia di sini Bun, tidur di sebelah Papa," katanya. Kamila masih dalam tenang, sebelum suara gemericik air yang terdengar berisik berasal dari dalam kamar mandi.

Cepat-cepat Kamila berjalan mendekati pintu kamar mandi yang tidak tertutup rapat itu. Ia pun membukanya perlahan, sebelum jeritnya membuat Regi panik sejadinya.

"Sayang.... kamu kenapa, Nak?"

"Bun, sakit banget sih, kenapa sakit banget kepala aku, Bun." Lirih suara itu menyayat hati Kamila, wanita itu tampak cemas melihat begitu pucat wajah putra bungsunya." ucap Kamila.  Galuh menggeleng pelan, ketika ia hendak memuntahkan cairan masam yang begitu menyengat.

Kamila hanya bisa meringis tak tega melihat apa yang putranya lakukan  tidak ada hasil yang di keluarkannya, hanya cairan. Bahkan anak itu belum makan apa pum sejak kemarin. Alasannya mual dan pahit. Padahal kemarin dokter Surya telah menghubungi Regi kalau pagi ini ada  jadwal transfusi darah yang harus Galuh jalani. Namun, melihat keadaan putranya yang tidak memungkinkan untuk pergi, Regi pun mengulur sampai putranya sedikit lebih pulih.

"Udah muntahnya?" tanya Kamila, Galuh hanya mengangguk, lemas itulah yang terlihat saat Kamila mengusap punggung putranya yang terasa bergetar.

"Sini biar Papa gendong," tawar Regi, Galuh kembali menggeleng. Ia pun menoleh menatap Kamila sendu.  Di sana Kamila bisa melihat merah mata bulat itu dengan butiran cairan bening yang mulai menetes jatuh ke pipi, membuat Kamila semakin sesak melihatnya.  Wanita itu pun menangkup kedua pipi putranya perlahan sambil mengusap jejak air matanya.

"Anak Bunda kuat, ayo bangun, kita istirahat di tempat tidur."

Baru saja hendak berdiri, kesadaran Galuh pun mulai hilang, kedua matanya kembali terpejam membuat Kamila menjerit. Beruntungnya Regi di sana, mengangkap tubub Galuj sebelum anak itu kembali terjatuh mencium dinginnya lantai kamar mandi. Regi pun dengan cekatan mengangkat tubuh Galuh keluar dari sana di susul Kamila yang berada di belakangnya.

"Pagi-pagi udah heboh, kenapa sih, Bun?"  Suara Ibnu mengalihkan pandangan Regi dan Kamila yang tampak cemas. Namun detik berikutnya Regi pun membaringkan tubuh Galuh yang terasa begitu ringan.

Ibnu melangkah mendekati kedua orang tuanya, di sana, di atas tempat tidur Ibnu kembali melihat Galuh yang berbaring begitu lemah. Kelopak mata yang mulai menghitam dengan bibir pucat yang tak pernah terlihat warnanya. 

"Hari ini aku nggak mau sekolah!" Tiba-tiba suara lantang itu membuat Regi menatapnya tajam. Ibnu tampak marah, kedua tangannya terkepal tanpa ia sadar.

"Kamu bilang apa barusan?"

"Dia kayak gitu karena Nu, karena Nu yang lalai, Pa. Bener kata Bang Fariz, Nu nggak becus jagain Galuh."

"Halah! Omong kosong, tanpa lo ngomong kayak barusan, lo emang nggak becus."

Ibnu menoleh ke belakang ketika ia menyadari ada seseorang yang menyahuti ucapannya. Fariz di sana, berdiri di ambang pintu sambil bersandar dengan kedua tangan yang dilipat di depan dada. Tatapnya begitu dingin, bahkan lebih dingin dan tajam dari tatapan Regi.

"Bisa nggak sih lo sehari aja anggap gue adek lo? Atau seenggaknya, jadi temen main lo kek? Susah, ya?"

"Nggak akan bisa."

"Fariz! Ibnu! Sehari aja nggak ribut, bisa? Adik kalian lagi sakit di sini, Bunda yang salah. Udah! Kalian berdua keluar bantuin Bunda buat sarapan dan bubur untuk Galuh, sana!"

⏳⏳

"Kalau aja bukan Bunda yang minta. Kalau aja bukan Bunda yang  ngomong, mungkin gue nggak akan pernah mau satu ruangan sama lo, Bang. Ngeselin, manusia kayak patung, nyebelin. Maunya dingertiin, susah emang hidupnya, ribet!"

Fariz sangat jengah berdiri terlalu lama di sebelah Ibnu sebenarnya, hanya saja jika bukan Bundanya yang meminta, ia juga tak akan pernah mau untuk melakukan kegiatan yang membosankan seperti saat ini. Di sisi lain, pikiran masih tertuju pada Galuh. Di sisi lain ia juga memikirkan Ibnu yang tiba-tiba mengejutkannya semalam.

Cowok itu tampak asik berbaring di atas rumput halus di belakang rumahnya saat Fariz menatap keluar jendela. Bahkan Fariz bisa melihat tawa riang Ibnu ketika cowok itu berbincang entah dengan siapa. Karena yang Fariz lihat saat itu hanya ada Ibnu seorang diri  tak ada siapa pun di sana.

"Ah!" Fariz menoleh, ia melihat Ibnu meniup jemarinya yang terkena pisau. "Apa lo liat,liat? Gue udah ganteng dari lahir, mata lo biasa aja, hati-hati aja keluar tuh bola mata."

"Bego!"

"Setidaknya gue masih punya otak buat pikirin perasaan orang lain, daripada yang sok peduli."

"Nyindir aja terus, hidup lo penuh drama."

"Gue nggak nyindir, cuma bicara fakta. Kalau gue punya Abang tapi malah biarin adiknya pulang bareng orang lain."

Ibnu kesal setengah mati sejak kemarin dengan sikap Fariz yang terlalu dingin padanya. Ia jengah setiap kali berdebat tanpa ada ujung yang jelas. Bahkan saat Regi datang menghampiri mereka pun, keduanya hanya saling diam.

"Ibnu, Papa mau nanya sama kamu, kemarin kamu habis melakukan apa?"

Ibnu tersentak ketika Regi tiba-tiba  buka suara sekaligus mempertanyakan kasusnya kemarin saat di sekolah.

"Nu.... Nu..." Regi di sana, berdiri tak jauh dari tempat Ibnu dan Fariz berada.

"Jawab Ibnu! Kamu sudah melakukan apa?!"

Ibnu tersentak,  begitu juga dengan Fariz. Ibnu pun menunduk ketika Regi mendekat ke arahnya.

"Papa tanya sekali lagi, kamu sudah melakukan apa, sampai Ibu Geralda menghubungi Papa sebanyak dua kali, kenapa sama kamu Ibnu?"

"Lo? Lo masuk BK lagi?"

"Fariz, kamu diam!" Fariz kembali bungkam, ia memilih melanjutkan masakannya yang tinggal sedikit. Sebelum Kamila kembali meneriaki namanya karena lama membuat bubur untuk Galuh.

Fariz tidak bisa membohongi dirinya unruk tidak peduli pada Ibnu, sejak Regi menatap Ibnu begitu tajam,  Fariz merasa kalau Regi tengah berada dalam situasi yang sangat kacau. Bahkan nada biacara yang biasanya rendah, kini begitu keras di dengar. Terlebih saat ini Ibnu yang jadi sasaran amarahnya.

"Pa, semua yang Papa dengar itu nggak semuanya benar, dengar Ibnu Pa." Ibnu menatap Regi ketika pria itu sudah berada di hadapannya.

"Apalagi Ibnu? Apalagi yang mau kamu jelasin ke Papa? Kamu mau bilang guru kamu itu bohong? Ini yang terakhir Nu, sekali aja kamu ngertiin. Jangan buat masalah lagi, dulu kamu masuk ruangan itu karena kamu bertengkar dengan Fariz. Sekarang? Ayolah, Nak."

"Aku nggak berbuat kriminal, Pa. Coba dong Papa pikir baik-baik. Aku bukan Fariz dengan nilai yang sempurna di setiap mata pelajaran. Aku bukan Galuh yang setiap kali kalian khawatirkan. Aku Ibnu Pa, Aku Garuda, bukan Ananta Atau Ananda."

Kalimat Ibnu berakhir bersamaan dengan langkah yang ia bawa pergi meninggalkan dapur. Fariz mendengar semuanya, Fariz melihat segalanya. Tapi bibirnya begitu kelu untuk menahan kepergian Ibnu. Sementara Regi, pria itu memilih duduk di kursi meja makan dengan kepala tertunduk merasa bersalah.

Ibnu memang salah di mata semua orang dirinya memang keterlaluan, mungkin begitu. Tapi, bukan kah setiap orang memiliki alasan kuat untuk tindakan yang diambilnya? Ibnu memang keterlaluan mungkin, tapi Ibnu punya alasan, mengapa ia menghajar Miko sampai anak itu mendapat luka di wajahnya karena tinju yang Ibnu berikan cukup keras.

"Udahlah Nu, mereka lagi khawatir sama adik lo, maklumin aja kali," kata Arvy tiba-tiba. Ibnu menoleh ke sebelahnya di sana Arvy tersenyum begitu manis sambil mengusap bahunya.

"Iya, gue tahu, tapi Papa nggak  berhak marahin gue kayak tadi, emangnya salah gue belain adik sendiri? Gue nggak suka lihat orang lain senruh Galuh dengan kasar, apalagi orang itu Miko, pokoknya gue nggak terima."

"Nu, Miko nggak sepenuhnya salah, itu yang harus lo tahu sekarang."

"Maksudnya?"

"Adek lo, Galuh, dia juga ada kaitannya kenapa Miko bisa berbuat nekat kayak kemarin, sekarang lo pikirin alasan yang tepat buat bilang ke Bunda lo sama yakinin Abang dan Papa lo. Jangan kayak gue."

Ibnu terdiam sejenak, namun Arvy telah peegi tanpa pamit padanya. Hal yang selalu membuat Ibnu geram dengan Arvy, sosok yang tak pernah ada di mata Fariz ketika ia memergoki Ibnu.

Sakit memang, tapi tidak berdarah. Mungkin kalimat itu benar, melihat Ibnu adalah penyakit terbesar Fariz yang selalu kelu untuk berkata saat bersama Ibnu.

"Bodoh!"

G A L U H 2

Nah, segini dulu, ya. Terima kasih sudah mampir, jangan lupa tinggalkan jejak, supaya aku makin semangat lagi nulisnya. 🤗

Salam manis Mr. Choco 🍫🍫

Publish, 11 April 2021


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro