Chapter 33
Hampir setiap hari keadaan rumah kian membaik, bahkan kondisi Galuh sudah jauh lebih baik, bahkan tak lagi menolak untuk melakukan transfusi darah. Setidaknya kurang lebih selama satu semester Galuh telah melewatinya dengan baik. Meski ia harus izin tidak masuk sekolah beberapa kali.
Galuh, tetaplah Galuh. Tidak akan pernah bisa menjadi orang lain. Bahkan saat rasa malasnya muncul, anak itu benar-benarmerengek untuk tidak melakukan transfusi darah. Walau pada akhirnya Galuh akan merintih kesakitan nantinya. Kamila bisa apa? Ia hanya tak mau dikatakan sebagai Ibu kejam, tapi melihat putranya kesakitan, Kamila tidak bisa melakukan apa-apa selain membujuknya untuk ke rumah sakit.
"Bun, kali ini aja, boleh, ya?"
"Sayang, kamu udah bolos ke Om Surya, masa mau bolos lagi? Inget, bentar lagi kamu mau ujian, kondisi kamu harus bener-bener sehat, katanya mau liburan?"
Kamila bisa melihat senyum masam dengan bibir yang mengerucut bagai bebek. Galuh tidak suka kalau harus membatalkan liburannya. Ia hanya bosan berbaring cukup lama dengan selang yang menempel sebagai temannya selama berjam-jam.
"Bunda sih nggak mau maksa, ya, itu mah terserah kamu. Kalau kamu nurut, liburan bakal jadi, tapi kalau kamunya males, Bunda nggak janji," ucap Kamila lalu berdiri sebelum akhirnya Galuh kembali menarik lengan Bundanya sambil memelas ddngan wajah menggemaskannya.
"Oke, aku nurut. Terkahir, ya? Besok-besok nggak lagi, capek Bun," gumam Galuh pelan.
Kamila pun menangkup kedua pipi putra bungsunya, setelahnya membawa Galuh dalam peluknya.
"Maaf, kalau Bunda sama Papa buat kamu capek, Bunda sama Papa sayang sama kamu, mau kamu selalu sehat, maafin Bunda, ya?"
"Kue cokelat, tapi cuma buat aku, jangan kasih Bang Nu, dia rakus!"
Kamila terkekeh saat putra bungsunya mulai merajuk. Ia tahu kalau Galuh sangat suka dan cinta dengan makanan berbau cokelat. Galuh sangat terobsesi dengan cokelat, bahkan Galuh selalu meminta Regi untuk membangun perusahaan cokelat saja daripada perusahaannya yang sekarang. Celetuk itu berhasil membuat Regi tertawa puas, bahkan tak percaya dengan ucapan Galuh yang begitu terobsesi dengan cokelat.
"Bun, tuh, kan! Bunda suka ngelamun, malesin banget sih."
Kamila tersenyum lalu mengusap wajah putranya dengan lembut. Di sela obrolan santainya, tiba-tiba Ibnu datang dengan wajah khas bangun tidurnya. Cowok itu berjalan mendekati Galuh yang sejak tadi bersandar manis di bahu Bunda. Mereka menikmati camilan Buatan Bunda yang tinggal setengah sambil menonton animasi favorit Galuh tentunya.
Kebetulan hari ini, hari weekend, sudah pasti penghuni kediaman Regi akan menghabiskan waktu lebih banyak di rumah. Beberapa waktu lalu Restu telah menceritakan semuanya pada Fariz mengenai Galuh yang pingsan tiba-tiba. Sepanjang jalan Fariz benar-benar bungkam selain Ibnu yang tertidur pulas dengan jejak lukanya, dia juga melihat Galuh dengan wajah pucatnya. Sungguh, rasa kesal seperti mencabik hatinya yang kini semakin kesal dengan Rakiel.
"Abang ke mana Bun?"
Kamila menoleh, melihat Ibnu yang tak mau kalah dari adiknya. Cowok itu ikut duduk dan bersandar pada sofa tepat di sebelah Galuh.
"Katanya ke rumah Restu, kenapa? Tumben kamu nanya Fariz?"
"Kangen aja. Oh, ya Bun, hari ini Papa nggak ada rencana mau jalan keluar, kan?" Kamila menggeleng, lalu mengusap lengan Galuh yang sudah memeluk Bundanya dari samping.
"Nggak ada kayaknya, ada apa nanya Papa segala? Bunda curiga kamu mau buat yang aneh-aneh pasti, iya, kan?" Selidik kamila. Ibnu terkekeh, kemudian bangkit dan mendekat ke arah Kamila.
"Bagus! Nu ada janji sama Genta dan yang lain, mau main futsal, habis itu latihan. Nu siap-siap dulu, ya, Bun," ucap Ibnu. Kamila cukup terkejut saat Ibnu mencium pipinya, setelahnya cowok itu pun berlari kecil menaiki anak tangga kembali.
Sementara Galuh mendongak menatap Kamila dengan penuh harap, kalau dirinya bisa ikut bersama Ibnu. Kamila tidak bisa menahan diri jika Galuh sudah merajuk dengan sangat manis padanya.
"Iya, Boleh, tapi inget jangan dipaksa, kalau capek bilang sama Abang, ngerti?" Galuh mengangguk dengan semangat setelah mendapat persetujuan. Jujur Kamila paling sulit untuk melihat mata bulat Galuh jika sudah memelas, rasanya begitu menggemaskan.
"Yes! Makasih Bun, emang Bunda paling pengertian deh, jangan bilang Bang Fariz pokoknya, ini rahasia kita berdua. Galuh sayang Bunda."
Setelah mengatakan semua itu, Galuh pun beranjak lalu pergi meninggalkan Kamila yang masih tak percaya dengan kejadian beberapa menit lalu.
⏳⏳
"Lah dia ngikut Nu?" tanya Desga dan Luki bersamaan. Ibnu pun mengela napas pasrah, ia sudah berjanji pada Kamila untuk tidak membuat Galuh kesal atau ngambek. Bahkan sebelum Galuh ikut, Kamila sudah mengizinkannya, namun, keadaan berubah saat Galuh turun dengan ransel kesayangannya juga topi hitam yang baru dibelikan olehnya beberapa waktu lalu.
Anak itu merajuk pada Kamila agar bisa diizinkan ikut bersama Ibnu. Awalnya Ibnu menolak, ia tidak suka kalau Galuh ikut, anak itu akan banyak tingkah dan menyusahkan dirinya. Tapi siapa sangka? Galuh itu pintar, dia punya banyak akal untuk menghalang kepergia Ibnu. Cukup lama, sampai akhirnya Kamila benar-benar mengizinkannya pergi dengan Galuh bersamanya. Tidak hanya itu, Kamila juga memberi peringatan pada Ibnu sampai Ibnu kesal sepanjang jalan.
"Biasa, drama dulu, udah ayo, nanti keburu siang nggak enak." Desga mengangguk, untung saja mereka sudah siap lebih dulu sebelum Ibnu sampai. Kini tinggal Ibnu yang sedang mengganti sepatunya, sementara Galuh diminta untuk diam di bangku penonton sambil menjaga barang-barang milik yang lain.
Waktu memang tak terasa, sampai Ibnu menemukan Galuh terlelap di tempatnya. Anak itu tampak lelah, terlihat dari kelopak mata milik Galuh. Bahkan topi yang anak itu kenakan tergeletak di sebelahnya, mungkin terlalu lama menunggu Ibnu bermain, Galuh memilih tidur.
"Adek lo tidur Nu, gemes banget gue," ucap Iwan yang siap menoel pipi Galuh, namun, dengan cepat Ibnu menepisnya.
"Tangan lo kotor! Cuci dulu," gerutu Ibnu. Iwan memberengut kesal, lagian siapa suruh Galuh ikut. Sudah tahu Iwan tidak bisa melihat Galuh, rasanya ingin mencubitnya terus-menerus.
"Yaelah, gue udah steril tau! Cuma mau cubit doang," ucap Iwan pelan. Ibnu menatapnya, setelahnya ia pun mengusap pelan lengan Galuh sampai anak itu benar-benar membuka matanya. Raut wajahnya tampak bingung, namun detik berikutnya Ibnu pun menyodorkan sebotol air mineral padanya.
"Kok udah selesai? Emang udah jam berapa?"
"Setengah sepuluh, lo kenapa nggak bilang kalau ngantuk?"
Galuh meneguk air dalam botol yang diberikan oleh Ibnu, lalu menggeleng setelahnya.
"Lo lagi asik main, gue nggak mau ganggu. Terus kalian mau ke mama lagi?" Ibnu pun berdiri disusul oleh yang lain, yang juga sudah selesai mengemasi barang-barang mereka. Galuh berdiam cukup lama anak itu mendongak menatap Ibnu sebelum Ibnu mengulurkan tangannya meminta Galuh untuk segera bangkit.
"Gue anterin lo balik dulu, gue mau ke sekolah, mau latihan. Pulangnya pasti sore, kalau lo ikut pasti lama nunggunya dan lo bakal bosen di sana," ucap Ibnu. Galuh memang bangkit, tapi ia menolak uluran tangan Ibnu. Anak itu berjalan lebih dulu meninggalkan Ibnu dan yang lainnya membuat Ibnu ikut menyusul.
"Gue mau ikut! Kan udah bilang ke Bunda boleh, kok lo gitu sih? Gue mau ikut!"
"Nggak gitu, tapi lo bakal bosen di sana, Luh," Galuh memggeleng, lalu berhenti kemudian berbalik menatap Ibnu yang berdiri tak jauh dari tempatnya.
"Kenapa? Gue nyusahin? Lo nggak suka gue ikut ke mana lo pergi? Lo sama Bang Fariz, sama aja! Gue bisa pulang sendiri."
Setelah mengucapkan itu, Galuh pun berbalik lalu melangkah lebih cepat meninggalkan Ibnuyang terpaku ditempatnya. Ia sudah mengusap wajahnya dengan kasar berkali-kali. Ia tidak lupa pesan Bunda, hanya saja Ibnu tahu bagaimana Galuh jika sudah bosan, anak itu akan menggerutu meminta pulang berkali-kali. Ini bukan yang pertama, sebelumnya Galuh juga melakukan hal yang sama, bedanya waktu itu ada Fariz yang masih bisa membujuknya dengan tenang, jika saja Ibnu tidak emosi, mungkin adiknya tidak akan ngambek seperti sekarang.
⌛⌛
"Udahan ngambeknya, gue beliin apa yang lo minta deh, gue mau ke sekolah, lo boleh ikut."
Kalimat Ibnu, sebelum mereka pergi. Keputusan yang Ibnu ambil setelah berdiskusi dengan yang lainnnya. Sebelum Ibnu menyetujuinya, Iwan sudah menyusul Galuh, ia takut kalau Galuh benar-benar pergi. Untung saja Iwan bisa menemukan Galuh yang duduk di parkiran di bawah pohon tepat di sebelah motor Ibnu.
Iwan pun menghampirinya, mengajak Galuh berbicara saat anak itu kesal bukan hal yang mudah, butuh beberapa kata agar tidak menyinggung perasaannya. Galuh itu sensitif, semua orang terdekatnya tahu, termasuk Iwan.
Kini Iwan paham mengapa Ibnu begitu mengontrol emosinya saat bersama Galuh, Iwan tahu betul kalau Ibnu bisa dibilang cukup emosional dalam.hal apa pun. Bukan hanya Ibnu, Fariz pun demikian. Tak heran julukan protektif jatuh pada Ibnu dan Fariz. Padahal orang-orang diluar sana juga tahu, tidak seharusnya seorang anak laki-laki dijaga dengan begitu ketat.
Bagi Iwan tidak ada hal yang lebih sempurna selain melindungi orang yang disayang. Terlebih orang itu adalah saudara sedarah. Bahkan orang yang tidak sedarah pun bisa melakukan hal yang sama, tergantung bagaimana mereka menyikapinya.
"Masih ngambek nih?" Pertanyaan yang sama sudah berkali-kali Galuh dengar. Anak itu pun menatap jam dinding yang ada di ruangan tempat Ibnu dan yang lainnya beristirahat.
"Udah siang lho, udah mau jam satuan, makan dulu, gimana?" Kini Luki yang angkat bicara. Usai bermain futsal, Ibnu menyuruh Luki, Desga dan Danar untuk pergi lebih dulu, mempersiapkan peralatan yang akan mereka gunakan untuk latihan. Sementara Genta, dan Iwan diminta untuk membeli beberapa peralatan yang sempat dirusak oleh Miko.
"Gini deh, sebelumnya gue minta maaf soal di lapangan futsal tadi, gue yang salah, tapi kalau lo sakit karena telat makan, kali ini gue nggak mau disalahin sama Bunda atau Fariz, apalagi sama Papa, ngerti, 'kan maksud gue?"
Detik seperti beku, Galuh terdiam sambil menunduk. Ia tak tahu apa yang harus dilakukannya. Ia pun kembali mendongak melihat Ibnu lalu menubruk tubuh kakaknya begitu saja. Ibnu yang belum siap, langsung terjatuh menatap Galuh heran.
"Maaf, lain kali gue nggak ulangin ngambek nggak jelasnya, tapi jangan marah sama gue kayak tadi, gue nggak suka." Ibnu tersenyum, lalu mengusao kepala Galuh dengan lembut.
"Udah bangun buruan, kita makan siang dulu, tadi gue pesen chocolate drink di tempat kemarin kita pergi, paling bentar lagi sampai, sekarang lo makan dulu. Kasian Genta udah pesen lebih buat lo," ucap Ibnu. Galuh mengangguk lalu menerima nasi kotak yang dibawakan oleh Ibmu, sementara yang lainmya sudah merebahkam tubuhnya sejenak sebelum kembali latihan.
Mengenal Ibnu tidak hanya sehari lalu dekat, ada kalanya teman-teman Ibnu juga kesal dengan sikap Ibnu yang terkadang seenaknya. Tapi, bagaimanapun Ibnu tetap seorang pemimpim yang bertanggung jawab, mesko Galuh selalu mengatakan Ibnu miskin. Semua orang yang mendengar gerutu itu akan terbahak, apalagi saat ada Fariz ditengah-tengah mereka. Sudah pasti Ibnu akan tertindas oleh Galuh. Semua memang tidak terduga, sederhana namun selalu menyimpan memori manis dalam waktu yang lama.
G A L U H 2
Hallooooo... apa kabar ? Udah lama nggak nyapa kalian, maaf lagi-lagi slow update banget. 🤧 aku akan usahakan upadate rutin lagi. Nah segini dulu ya, jangan lupa tinggalkan jejak. Buat kalian yang kangen Galuh sama Bang Nu, mana suaranya ? Yuk angkat tangan 😁😁
Salam manis Mr. Choco 🍫🍫
Publish, 18 Maret 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro