Chapter 3
Pagi menjelang, matahari pun sudah terbit. Tapi si pemilik sabit yang manis masih belum mau membuka matanya. Anak itu masih enggan untuk menyambut fajar yang istimewa. Bahkan dia juga mengabaikan panggilan Ibnu beberapa menit lalu, sebelum suara Fariz menjadi panggilan terakhir sampai dia benar-benar terbangun.
"Gue yakin lo udah bangun, lo masih MOS jangan lupa, lo sendiri yang bilang ke Bunda."
Suara tegas Fariz akhirnya membuat Galuh kesal, tapi siapa sangka. Galuh bangun dengan dengan wajah pucat pasinya. Membiarkan Fariz terdiam di temoatnya.
"Udah dengar, nggak usah diingetin." balasnya. Suara serak khas bangun tidur serta rambut yang berantakan, membuat Fariz kembali mendorong tubuh Galuh untuk berbaring. Beberapa detik tidak terjadi apa-apa, Galuh hanya tersentak lalu menatap Fariz kesal.
"Apaan sih! Gue mau sekolah, ospek kedua nih. " gerutu Galuh.
"Nggak perlu. Lagian itu MOS bukan OSPEK. Lo pikir anak kuliahan?" sahut Fariz cepat.
Galuh kesal, anak itu bangun lalu berdiri di atas tempat tidurnya sambil menatap Fariz tak suka. Fariz sudah tak heran melihat kelakuan Galuh jika tak suka dibangunkan olehnya.
Fariz sendiri juga heran, terkadang tingkah Galuh sama seperti Ibnu. Sama-sama menyebalkan dan susah untuk diberitahu.
"Gue bilang di rumah aja, nggak usah sekolah. Nurut!"
Sekeras apapun Fariz jika Galuh sudah bertekad, anak itu tetap pada pendiriannya. Tak peduli omelan Fariz yang penting dirinya bisa sekolah. Lagipula yang pucat wajahnya, bukan fisiknya. Ya, itu yang Galuh katakan pada Ibnu kemarin, ketika mereka duduk bersama sebelum Galuh terlelap.
"Fine!"
"Nah, gitu dong. Nggak perlu repot-repot buat buang tenaga, tungguin gue mau mandi dulu bilang sama Bunda, anak gantengnya lagi siap-siap."
Fariz hanya memutar bola matanya jengah, lalu pergi meninggalkan kamar Galuh. Baru satu langkah keluar dari kamar, suara Ibnu membuatnya terkejut. Buru-buru Fariz menghampiri Ibnu. Dilihatnya cowok itu tengah asik berdiskusi entah dengan siapa.
Rasanya seperti mimpi yang begitu nyata. Fariz pikir setelah keluar dari rumah sakit Ibnu baik-baik saja. Ternyata dia salah. Fariz mencoba mengingat lembaran kusamnya ketika dia masih SMA. Saat itu, Fariz sudah kelas 12. Kejadiannya sudah lumayan lama, ketika Ibnu duduk dibangku SMA, tepatnya baru masuk menjadi anak kelas 10.
Januari 2018. Tepat tiga tahun lalu kejadian yang hampir membawa Ibnu pada kematian. Perdebatan di pagi itu membuat semua orang menegang, belum lagi dengan keadaan Galuh yang sedang tidak stabil. Awalnya Fariz pikir Ibnu tidak bersungguh-sungguh untuk tetap pergi dengan mobilnya sendiri, padahal Regi sudah memberitahunya agar berangkat bersama Fariz. Ibnu, tetaplah Ibnu. Dia akan menjadi lebih keras kepala jika apa yang dia mau harua terlaksana.
"Nggak Pa, aku mau naik mobil sendiri, lagian aku ada acara dan harus bawa barang lebih banyak nggak apa-apa aku hati-hati kok, santai aja. Percaya sama Ibnu, yaudah kalau gitu aku pamit."
Belum ada 30 menit Ibnu pergi, dering telepon rumah membuat Fariz tersentak. Baru saja melangkah melewati pintu utama, suara Regi lebih dulu meneriaki namanya.
"Ada apa Pa?" tanya Fariz. Regi menatap Fariz khawatir, suaranya bergetar dan wajahnya terlihat begitu cemas.
"Ibnu kecelakaan Riz, kita harus ke sana, ke rumah sakit. Temen Papa yang bawa Ibnu, Riz kamu temenin Papa, Bunda kamu lagi temenin Galuh, ayo." ucap Regi. Sejenak Fariz terdiam, mencoba mencerna apa yang Regi ucapkan beberapa menit lalu.
"Fariz ayo!" Panggil Regi. Cepar-cepat Fariz menyusul Regi yang sudah lebih dulu keluar dan menunggu di dalan mobil.
⏳
Sudah hampir dua jam Regi dan Fariz menunggu kabar, tak lama seorang perawat keluar dari ruang UGD. Cepat-cepat Regi mendekat begitu juga dengan Fariz.
Ada gelisah yang Fariz coba halau sejak dalam perjalanan menuju rumah sakit. Ada resah yang coba dia buang jauh ketika mendengar Ibnu mengalami kecelakaan. Ada takut yang coba dilupakannya, namun lagi-lagi gagal.
Belum juga bertanya, tak lama setelah perawat keluar. Pintu ruangan kembali terbuka lebar. Di sana seorang dokter dan beb3rapa perawat lainnya muncul. Brankar Ibnu pun terlihat. Mata Regi membelalak, begitu juga dengan Fariz yang berdiri menegang di tempatnya.
"Ibnu?" Lirih suara Regi yang mengikuti brankar Ibnu menuju ruang ICU.
"Ibnu, ini Papa, Nak."
Sebanyak apapun Regi memanggil nama putranya, tetap saja Ibnu tak mampu membuia matanya apalqgi mendengar suara. Cowok itu lebih memilih menutup matanya dalam waktu lama.
"Maaf, anda harus menunggu di luar sebentar." ucap salah seorang perawat ketika memasuki ruang ICU.
Regi mengangguk, pikirannya mulai kacau tapi, dia tidak bisa mengabaikan Fariz yang hanya dian tanpa kata sejak tadi.
"Riz, kamu mikirin apa?" tanya Regi. Fariz menoleh, menatap Regi yang sudah duduk do sebelahnya.
"Pa, Ibnu di dalam, Galuh juga lagi drop, terus aku harus gimana? Aku nggak bisa jagain mereka," lirih suara Fariz membuat Regi mengehela napas lalu mengusap punggung putranya seraya menenangkan.
"Galuh sama Ibnu pasti baik-baik aja, kenapa kamu bilang begitu, ada yang kamu pikirin?" "
Fariz menggeleng. Bohong bila dia tidak memikirkan Ibnu, bohong bila Fariz tidak mengkhawatirkan Galuh. Bohong bila Fariz tidak kacau. Kenyataannya, dia memilih bolos sekolah, bahkan dia juga masih mengenakan seragam lengkap. Jika Fariz mau egois, dia memilih untuk pergi ke sekolah dan mengabaikan kabar tentang Ibnu. Tapi, saat ini dia ada di sana, di rumah sakit bersama dengan Regi.
Lama waktu berlalu, bahkan dokter yang menangani Ibnu sudah keluar dari tadi. Tapi Fariz masih enggan untuk masuk ke dalam walau hanya sekadar melihat keadaan adiknya.
Diam -diam Fariz pergi dari sana, niatnya hanya mencari udara segar, tapi siapa sangka. Dia justru melihat seseorang di taman dengan pakaian yang mencurigakan.
"Siapa orang itu?" gumamnya, kakinya melangkah perlahan, mencoba memastikan tapi wuara Restu lebih dulu mengejutkannya.
"Woi! Astaga gue cariin, di sekolah gak muncul, tahunya di sini. Gimana Garuda?" cerocos Restu. Fariz tersentak, pandangnya beralih menatap Restu yang sudah berdiri di sebelahnya.
"Lo ngagetin aja. Dia di ICU belum sadar, sorry gue nggak ngabarin, gue buru-buru tadi." sahut Fariz. Restu mengqngguk paham, cowok itu melirik aekitar mencari apa yang sedang Fariz lihat. Namun, Restu tidak menemukan siapapun di sana.
"Lo lihat apa, Riz?" tanya Restu, Fariz menoleh, "Ada orang tadi, lo ke sini sama siapa?" sahut Fariz. Restu mengusap bagian belakang lehernya lalu terkekeh.
"Sendiri, udah nggak usah nanya gue. Tadi gue ke rumah lo, tapi nggak ada orang di rumah. Kata Pak satpam, Bunda lo lqgi di rumah Om Brian, sama Galuh. Terus dia bilang kalian ke rumah sakit. Yaudah gue susul aja ke sini," balas Restu. Fariz mengangguk, bahkan sebelum benar-benar pergi Regi memang memberitahu Satpam komplek, kalau ada yang datang ke rumahnya untuk mengatakan kalau mereka pergi ke rumah sakit.
Dan di sinilah mereka duduk di atas rumput rumah sakit sambil menatap langit gelap di atas sana.
"Kejadiannya gimana? Sampai Garuda bisa kecelakaan?" tanya Restu. Fariz terdiam sejenak, membiarkan pikirannya bekerja untuk mengingat penjelasan orang yang memang melihat kejadiannya.
"Gue nggak tahu kronologinya, dia berangkat duluan tadi." kata Fariz. Restu tidak begitu mengerti, sampai Fariz kembali bersuara dan menjelaskan sesuai yang dia ingat.
"Gue turut perihatin, gue bakal bantuin lo Riz, lo nggak sendiri, gue pasti bantuin kapan pun lo mau." ucap Restu, Fariz mengangguk, lalu membuang napasnya lega. Setidaknya dia masih memiliki Restu orang yang bisa dia percaya.
⏳
"Bang Fariz!" teriak Galuh, anak itu sudah siap dengan seragam sekolahnya serta pernak-pernik khas siswa baru.
Fariz tersentak, ingatannya buyar, ketika melihat Galuh dan Ibnu yang sudah beridiri di dekatnya. Usai sarapan Fariz hanya diam, membiarkan kepingan memori yang masih tersimpan rapat.
Fariz ingat ketika Kamila tahu kalau Ibnu masuk rumah sakit, wanita itu menangis. Keesokan paginya, Kamila dan Galuh datang. Fariz juga tidak lupa saat itu keadaan Galuh tidak baik-baik saja. Anak itu masih sangat pucat di atas kursi rodanya. Dengan balutan jaket kebesaran milik Ibnu, Galuh menatap sendu pada Fariz.
Kali ini Fariz tidak akan membiarkan hal itu terjadi lagi, bahkan setelah kejadian 3 tahun lalu, mobil Ibnu benar-benar rusak parah. Cukup lama sampai detik ini mobil itu belum juga di perbaiki, hanya di simpan di dalam bagasi.
"Lo niat mau nganterin kita ke sekolah atau nggak sih? Ini udah siang, kalau nggak niat gue bisa berangkat naik angkutan umum sama Galuh." tegur Ibnu, kali ini Fariz tidak mengatakan apapun lagi, dia memilih pergi lebih dulu meninggalkan kedua adiknya yang berdiri saling menatap heran.
Memang tidak ada yang tahu, kapan mereka berdamai dan kapan mereka bertengkar. Hanya sekali, tapi semuanya terasa menyesakkan. Sampai waktu saja tidak bisa di prediksi, hanya semesta dan takdir yang saat ini sedang menunggu mereka.
G A L U H 2
Nah, segini dulu ya, jangan lupa ramein, terima kasih sudah mampir ke rumah Galuh. Salam sayang Mr. CHOCO 🍫
Publish 5 November 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro