Chapter 29
Katakan saja pada semesta jika hari ini Galuh tak suka dengan cara Fariz yang memintanya untuk terus beristirahat. Ia sudah sangat bosan bahkan benar-benar kesal dengan sikap Fariz.
Bahkan saat Galuh benar-benar ingin memarik rambut panjang milik Fariz. Ia sudah geram, bukan hanya itu, belakang Fariz seperti berandal yang tak mau merapikan dirinya. Selain itu tubuh Fariz jadi terlihat sedikit kurus, padahal Bunda serimg menegurnya, tetap saja Fariz akan berdalih dengan alasan ia akan mencukurnya minggu depan. Sebelumnya alelaki itu sempat berpamitan untuk pergi keluar sebentar namun, diurungkannya. Terlebih saat Galuh melintas di hadapannya Fariz benar-benar tidak bisa pergi begitu saja. Maka Fariz memutuskan untuk menemani Galuh sampai anak itu kembali beristirahat meski ada Irgi di sana.
"Pergi lo!"
"Kalau gue nggak mau?"
"Ya, lo harus mau, gue sebel lihatnya. Lo kayak Bang Nu, sukanya ngomel doang."
"Mau mati lo? Biar gue kasih tahu caranya. Kalau kayak gini nyusahin doang."
Untuk yang kesekian, apa pun yang Galuh dengar dari mulut Fariz adalah belati. Ia tidak pernah lupa bagaimana tempo hari Kakak sulungnya juga mengatakan hal yang serupa. Ada duri yang begitu tajam menusuk relung, bahkan Irgi yang ada di sana saja hanya bisa terpaku melihat kedua saudara di depannya saling beradu pandang.
"Makasih Bang. Lo udah ngasih tahu, tubuh ini emang nggak bisa bertahan lama. Permisi."
Galuh melangkah meluar dari kamarnya, membiarkan hening menyelemuti Fariz yang masih berdiam diri di tempatnya. Ia lupa kalau Galuh sangat sensitif, anak itu seperti kapas, harus bersikap lembut untuk mendapatkan perhatiannya.
"Maaf Bang, gue rasa ucapan lo harus di filter lagi deh, dari tadi pagi dia udah nggak mood, sekarang karena lo, dia makin nggak mood. Gue harap lo jauh lebih paham dari gue, permisi."
Irgi melontarkan apa yang sejak tadi ia ingin katakan. Namun, tak banyak yang ia perbuat, Irgi cukup sadar kalau posisinya hanya seorang teman, tapi Irgi akan selalu melangkah lebih dulu meski itu hadus berhadapan dengan Fariz.
Sejauh ini, Fariz masih belum bisa mengendalikam emosinya, bukan hanya Ibnu, pada Galuh pun, Fariz bisa melakukan hal yang sama. Fariz masih ragu membuka akses untuk orang lain, meski itu adiknya sendiri. Selama ini Fariz masih biasa-biasa saja, bersikap layaknya kakak terhadap adiknya. Tapi, jauh di dasar sana, ada kalanya Fariz menyesali perbuatannya sendiri, ia hanya tak tahu caranya untuk mengungkapkan apa yang sedang dirasakannya. Itulah mengapa banyak julukan yang Fariz terima dari Ibnu ataupun Galuh sendiri.
"Luh, Bunda telepon nih," panggil Ibnu. Cowok itu masih asik berkutat dengan tugasnya, tak lupa di hadapannya ada Restu yang tak kalah asik dengan semangkuk mie instan buatannya.
Galuh menoleh ke arah Ibnu saat ia baru saja mendaratkan pijaknya di lantai dasar, sementara Ibnu sudsh sejak tadi menatap Galuh yang menuruni anak tangga sambil menekuk wajahnya.
"Ngobrol sama Bunda dulu, dari tadi Bunda nanyain lo terus," ucap Ibnu saat Galuh sudah duduk di sebelah Ibnu, anak itu tidak menjawab atau pun merespon. Dengan terkejut Ibnu melirik ke sebelahnya, di sana adiknya sudah menyandarkan kepalanya tanpa berkata apa-apa. Merasa tidak tega Ibnu pun memutuskan untuk menyudahi pembicaraannya dengan Bunda, dengan alasan kalau Galuh sudah tidur. Mau tidak mau, ia pun menutup teleponnya sepihak, membiarkan semuanya baik-baik saja. Ibnu tahu, kalau ia memberitahu keadaan Galuh, sudah pasti Ibu tiga anak itu, akan meminta pada suaminya agar cepat pulang.
"Lo kenapa?" tanya Ibnu, lagi-lagi ia harus menunda tugas sekolahnya hanya karena Galuh yang kini sudah memeluknya begitu erat.
"Bang Res? Boleh minta tolong nggak?" tanya Ibnu saat Restu hendak menyendokan sesuap mie instan ke dalam mulutnya. Restu hanya menaikan sebelah alis sebagai jawab.
"Tolong ambilin obat penurun demam di kotak p3k sama teh hangat di dapur, tadi gue udah buatin buat dia."
Tanpa menunggu, Restu pun beranjak dari tempatnya, mengambil apa yang Ibnu minta. Setelahnya Restu pun kembali dengan obat dan juga segelas teh hangat. Ia pun meletakannya di dekat Ibnu, sesekali Restu melihat Galuh dengan wajah pucatnya menempel pada Ibnu. Di balik sana Restu bisa melihat ada kesedihan yang Galuh tutupi dari Ibnu.
"Luh, ada apa? Cerita sama gue," ucap Ibnu, tapi Galuh masih belum mau membuka suaranya, bahkan saat Irgi dan Reka ikut bergabung bersama mereka, tak ada satu pun yang berbicara, hanya hening yang tercipta di sana.
"Kepala lo pusing? Perut lo sakit lagi? Lo kenapa sih? Jangan diem kayak gini, gue nggak ngerti."
Ibnu bukan orang yang sabar, ia akan kesal jika semua pertanyaannya hanya dijawab dengan sebuah gelengan kepala. Sejak dulu, Ibnu paling kesal jkka sudah melihat Galuh ngambek, apalagi karena Fariz.
"Lo capek nggak, ngurusin gue kalau lagi sakit?" tanya Galuh tiba-tiba. Ibnu tak tahu apa yang Galuh katakana, tapi sejak tadi sebelah tangannya ia gunakan untuk mengusap punggung adiknya, tak lupa sebagai penghangat adiknya dengan merangkul adiknya.
"Bilang sama gue, kenapa lo tiba-tiba nanya kayak gitu?"
"Gue! Kenapa?"
Ibnu dan yang lainnya terkeju, tidak dengan Galuh yang masih setia dalam rangkul Ibnu. Anak itu bahkan tak mau melihat ke arah Fariz yang kini sudah berdiri di antara mereka.
"Lo itu kenapa sih? Kalau lo mau pergi, ya pergi aja. Kalau lo masih kesel sama gue, ya, sama gue aja, tapi jangan ke Galuh juga, dia baru aja bangun, dia juga butuh hiburan, jangan gitu Bang, adek lo juga butuh udara segar, bukan cuma duduk diem di dalam kamar sesuai perintah lo. Punya hati nggak lo?!"
Ibnu sudah benar-benar kesal pada Fariz, bahkan tatapnya saat ini sama sekali tidak memperlihatkan rasa kasihan sama sekali, meski hatinya menyesal telah mengatakan hal yang tidak benar pada Galuh, beberapa menit lalu.
"Lo nanya gue punya hati atau nggak? Gue jawab, hati gue akan tetap menolak keberadaan lo."
Usai mengatakan apa yang seharusnya coba Fariz tahan, Fariz pun memilih berbalik kemudian melangkah pergi, meninggalkan semua orang yang menatap bingung ke arah Fariz. Sementara Genta yang baru saja keluar dari kamar mandi hanya bisa mengerutkan keningnya ketika Fariz melintas di hadapannya.
⏳⏳
Waktu sudah menunjukkan larut malam, tapi Ibnu masih di sibukan oleh tugas sekolah yang sempat tertunda. Sementara yang lain sudah terlelap dengan damai di alam mimpi, termasuk dengan Irgi, Reka, dan Genta. Mereka bertiga memutuskan untuk tidur di kamar Ibnu, sementara si pemilik senantiasa menemani Galuh sampai anak itu benar-benar terlelap seperti saat ini.
"Nu, lo belum tidur?" tegur Restu, saat ia memasuki kamar Galuh ketika terdapat cahaya dari kamar Galuh.
"Eh, Bang Res, belum nih. Tadi nemenin Galuh dulu tidur, lo sendiri kenapa belum tidur?" sahut Ibnu, Restu pun melangkah mendekati Ibnu, kemudian duduk di sisi ranjang milik Galuh. Sesekali ia menatap Galuh yang terlelap begitu damai di sana. Ada perasaan bersalah yang ingin Restu ungkapkan sebelumnya, namun terhenti karena Fariz dan Galuh yang saling beradu argumen.
"Belum, gue cuma mau nanya sama lo, soal yang di meja makan tadi," sahut Restu. Ibnu mengangguk kemudian memiringkan duduknya menghadap Restu usai beberapa tugas sekolahnya benar-benar selesai.
"Oh, itu, kenapa ?"
"Gue mau minta maaf sebelumnya, bukan maksud gue mau bela Abang lo, di sini gue cuma mau bilang, sebelum kita pulang kuliah tadi, Abang lo udah mengkhawatirkan kalian. Bahkan sebelum itu, Tante Kamila ngabarin kalau mereka nggak bisa pulang, pikiran Abang lo berantakan, jadi gue harap lo bisa maklum kalau semisal dia marah sama lo tadi. Bukan itu aja sih, tapi gue juga mau tahu, kenapa kalian bisa pulang basah-basahan?"
Ibnu mendesah lelah, menunduk sebelum ia kembali mengangkat kepalanya. Di tatapnya wajah Restu dengan nanar. Perlahan Ibnu pun bangkit kemudian berjalan mendekati Galuh yang sudah terlelap begitu nyenyak. Di sana Restu mengikuti arah pandangnya, menangkap Ibnu yang sudah berjongkok di hadapannya sambil mengusap rambut milik Galuh.
"Dia pingsan di sekolah, Bang Res." tuturnya pelan. Restu diam siap mendengarkan apa yang ingin Ibnu sampaikan. Wajahnya begitu letih bahkan terlihat sebuah penyesalan di sana.
"Waktu di rumah, dia nggak mau makan, bahkan murung karena di rumah nggak ada orang," katanya.
"Bang.... apa gue salah, mau buat adik sendiri bahagia? Apa gue salah ajak dia keluar buat balikin moodnya? Kalau, iya, di mana letak kesalahan itu, Bang?"
Lanjut Ibnu, Restu mengerti perasaan Ibnu yang tak pernah bisa melihat Galuh sedih, bukan hanya itu, Fariz juga akan melakukan hal yang sama. Sejak dulu, Restu melihat Fariz yang dingin pada Ibnu, berbicara saja jarang, apalagi harus melihat mereka jalan bersama. Dalam sejarah pertemanan Restu dan Fariz, hanya sekali ia melihat Fariz seperti orang gila ketika Ibnu masuk rumah sakit.
Saat di mana kecelakaan itu terjadi, untuk pertama kalinya, Restu melihat Fariz yang rapuh karena Ibnu. Sebelumnya Fariz biasa saja pada kedua adiknya. Ada perlakukan yang membedakan ketika Fariz bersama Ibnu, dan ketika Fariz bersama Galuh.
"Gue nggak bisa lihat dia murung terus Bang Res, gue cuma mau lihat dia bawel itu aja, rumah maki sepi apalagi kalau nggak ada Bunda sama Papa. Fariz? Abang gue terlalu kaku buat gue, deket sama gue aja dia nggak mau, apalagi ngobrol sama gue, lo tahu, 'kan?" ucap Ibnu di sela hening yang menuelimuti mereka. Ada getar ketika Ibnu melontarkan rasa sayang yang tak terlihat untuk Fariz.
"Kita pulang basah-basahan karena sebelumnya gue udah janji mau ajak dia ke padang ilalang di bukit. Tapi, keburu hujan," sahutnya lagi. Restu paham kali ini, ia menghela napasnya sebelum ia beranjak dari tempatnya.
"Setidaknya muka lo masih aman, Nu, Abang lo kayak macan, serem kalau marah. Yaudah, lo juga istirahat sana, besok sekolah, 'kan?" tutur Restu. Kemudian Restu pun beranjak lalu pergi meninggalkan Ibnu sendiri.
Baru saja keluar kamar, Restu dibuat terkejut oleh Fariz. Lelaki itu tampak lesu, bahkan raut wajahnya tak terbaca sama sekali.
"Lo baru balik Riz?" tanya Restu, Fariz hanya diam, sebelum kedua kakinya meluruh ke lantai dingin sambil menunduk.
"Lo kenapa Riz? Bangun ayo, udah larut takut yang lain bangun." ucap Restu, sebisa mungkin ia membantu Fariz bangkit, ia tak tahu apa yang sedang terjadi selama Fariz berada di luar usai menyuruh adiknya kembali ke kamar, itu pun dibantu oleh Ibnu yang membujuk Galuh.
"Papa gue kena tipu, Res, perusahaan Papa gue hancur," katanya.
Restu benar-benar terkejut. Memang belakangan Fariz terlihat jauh lebih diam dari biasanya, bahkan terlihat menyimpan banyak bebam dalam pikirannya. Selama ini Fariz terlihat baik-baik, namun siapa sangka? Kalau sebenarnya ia sedang memikirkan banyak hal, terutama ucapan Regi beberapa waktu lalu. Seolah Regi sedang menitipkan harta yang paling berharga selain rumah dan seisinya. Namun, Fariz masih menganggapnya biasa, ia hanya mrmikirkan kesembuhan Galuh, tak lebih. Tapi, apa yang terjadi? Saat di perjalanan ada nomor yang tidak diketahui, tiba-tiba mengirim pesan kalau perusahaan Regi akan hancur.
Hatinya terenyuh, amarahnya memuncak, tapi Fariz tidak bisa melakukan apa pun saat ini, selain menunggu kabar dari kedua orang tuanya. Bahkan saat Fariz berpamitan keluar pun, lelaki itu tidak benar-benar pergi dari sana, Fariz hanya berdiri di tembok depan pagar rumah mereka sambil bersandar. Ia tahu, telah membuat Galuh terluka dengan ucapannya, hanya saja tak ada yang bisa Fariz katakan selain pergi dan menyesali ucapannya. Selain itu, Fariz juga memikirkan Ibnu yang belakangan terlihat aneh.
Mungkin, ia hanya pergi sebentar saat ini, bukan karena Fariz menghindar, tapi ia tak ingin menyakiti Galuh dan Ibnu lebih banyak kardna ucapannya yang tak terkontrol.
G A L U H 2
Hallo selamat datang kembali, terima kasih karena sudah menunggu cerita ini update. Rasanya sudah lama sekali, tapi aku akan berusaha supaya bisa update rutin lagi. Love you all 😊
Salam manis Mr. Choco 🍫🍫
Publish, 25 Februari 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro