Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 28

Sore sudah berlalu beberapa menit setelah hujan reda. Galuh tetap meminta Ibnu mengantarkannya ke padang ilalang, karena Ibnu sudah berjanji sebelumnya. Ibnu tidak lupa, tapi keadaan saat itu sebelumnya hujan, jalan menuju ke sana pasti sangat licin. Ibnu tidak mau ambil resiko jika terjadi sesuatu nanti.

Namun, usaha Ibnu membujuk adiknya selalu berakhir sia-sia. Ibnu lupa tentang moto Galuh yang selalu meresahkan kepalanya. Jika ia sudah meminta tidak dapat di tolak atau dibantah. Semuanya adalah mutlak.  Lagi pula semua yang Galuh minta bukan kesalahan anak itu. Melainkan Ibnu sendiri yang sudah berjanji pada Galuh akan mengajaknya pergi. Jangan salahkan Galuh kalau sepanjang jalan ia akan mengumpat habis-habisan pada Ibnu.

"Kita pulang aja Luh, jalanan ke sana itu licin, bisa bahaya kalau kita maksa jalan."

Galuh sudah bersumpah sejak mereka keluar dari toko cokelat, anak itu tidak akan berbicara selain menagih janji Ibnu. Bahkan, baru beberapa meter jalan, hujan kembali turun jauh lebih deras dari sebelumnya. Kalau saja mereka bisa pulang tanpa berdebat dulu, mungkin saat ini sudah sampai di rumah. 

Cukup lama mereka berteduh di sebuah halte bus, hingga membiarkan semilir angin dingin menusuk sampai ke tulang. Galuh sudah menggigil kedinginan karena pakaian yang dikenakannya sudah basah saat di jalan.

"Bibir lo biru, Luh."

"Gue mau ke padang ilalang pokoknya!"

"Besok, gue anter. Sekarang kita pulang dulu, badan lo udah menggigil begini."

Galuh hanya bisa diam, ia tak kuat menahan rasa dingin di tubuhnya. Bahkan Ibnu yang sudah merangkukulnya dengan erat saja, anak itu tetap tak dapat hangat yang Ibnu salurkan.

"Abang..." panggil Galuh, suaranya mulai melemah, matanya juga sudah mulai sayu, ia sudah tak lagi bisa  menahan bobot tubuhnya sendiri. Perlahan tubuhnya meluruh, membuat Ibnu tersentak saat adiknya hampir saja terjatuh bersama-sama karena Ibnu belum siap.

"Gue di sini, gue di sini. Tahan sedikit kita pulang sekarang, gue udah minta tolong  Genta jemput kita di sini. Oke?"

Ibnu semakin bersalah kalau sudah melihat Galuh lemah di hadapannya. Untung saja di halte bus tempat mereka berteduh, tak banyak pasang mata yang menatap ke arah mereka, jika tidak mungkin Ibnu sudah di sangka penculik adik sendiri.  Sebisa mungkin Ibnu memeluk Galuh sambil mengusap-usap tubuh adiknya.

"Bang Fariz nggak bisa jemput?" tanya Galuh tiba-tiba. Ibnu sedikit menunduk, kemudian mengusap pipi adiknya dengan lembut.  Ia bisa melihat bibir gemetar yang sudah membiru itu terus bergumam tak jelas.

"Fariz masih ada kelas, nggak apa-apa, 'kan?" ucap Ibnu, Galuh mengangguk, ia mengerti maksud ucapan Ibnu yang terdengar pelan adalah kebohongan kalau sebenarnya Fariz tak membalas atau mengangkat telepon dari Ibnu sejak beberapa waktu lalu.

Saat Ibnu hendak berdiri, Galuh kembali menahan Ibnu. Sebelum adiknya benar-benar terjatuh tadi,  cepat-cepat Ibnu membawa Galuh untuk duduk di kursi halte yang sudah mulai sepi. Sebelumnya memang sempat ramai, tak lama beberapa orang di sana pergi satu-persatu dengan tujuan masing-masing.

"Ibnu!" Itu Genta, dari balik jendela mobil yang ia turunkan terlihat wajah Genta yang  tak kalah khawatir. Cowok itu pun turun dari mobilnya berlari kecil menghampiri sahabatnya tak lupa payung yang sudah ia bawa di tangannya.

"Lo sama Genta, ya, Luh? Abang kawal dari belakang," ucap Ibnu. Galuh menggeleng, meski lemas anak itu semakin mengeratkan genggamnya pada jaket milik Ibnu.

"Mau sama Bang Nu, nggak apa-apa pulang naik motor, yang penting bareng." Ibnu menggeleng cepat, ia pun mengangkat tubuh Galuh lalu membawanya ke mobil Genta yang berada di depan mereka. Genta terus memayungi Ibnu yang sudah memastikan adiknya duduk dengan nyaman di dalam mobilnya. Berkali-kali Ibnu meyakinkan Galuh, meski butuh waktu agak lama untuk membujuk Galuh. Barulah Ibnu bisa meyakinkan Galuh kalau besok ia benar-benar menepati janjinya.

"Nitip Galuh, Gen. Gue ngikut di belakang," katanya. Genta mengangguk, setelah Ibnu menutup rapat pintu mobil, Genta pun berlari kecil untuk bisa kembali ke dalam mobil.  Di sana ia bisa melihat Galuh yang benar-benar sudah menggigil. Untung saja di dalam mobil di jok penumpang ada sebuah selimut milik Sky yang tertinggal. Ia baru ingat kalau semalam Sky baru pulang kuliah, cowok itu memang suka meletakan barang seperti selimut karena udara malam hari pasti akan terasa begitu dingin.

"Bun-da... Pa-pa..."

Genta benar-benar tak tega, ia pun menyambar selimut itu kemudian  ia kenakan pada Galuh,  setelahnya ia pun kembali melajukan mobilnya.  Sepanjang jalan, Genta terus menggenggam tangan Galuh  agar anak itu bisa mendapat hangat yang ia salurnya. Sesekali Genta menoleh, melihat Galuh yang sudah terpejam sambil bergumam.  Jika hujan tidak turun semakin deras, mungkin Genta sudah melajukan mobilnya lebih cepat.

"Ibnu, lo pelan-pelan. Di depan sana kabutnya  tebal, bisa bahaya!"

"Nggak bisa Vy, Galuh harus cepat sampai rumah, dia bisa demam tinggi nanti."

"Nggak Nu, lo harus tenang, jangan panik."

Siapa pun yang melihat Ibnu di sana pasti akan menganggap Ibnu gila. Dia tidak sendiri, di sana ada Arvy yang duduk di jok belakang.  Setelah mobil Genta pergi, Arvy muncul dengan baju yang juga sudah basah semua.  Keduanya sempat berdebat, karena Ibnu tidak mau mendenagarkan Arvy. Bahkan sampai  Ibnu mulai menyalakan motornya, Arvy berdiri di depannya  menahan Ibnu untuk tidak pergi saat hujan semakin deras. Entah ada angin apa, hujan yang semula sudah sedikit mereda tiba-tiba kembali mengguyur Ibu kota semakin deras beserta kilat yang menyambar.

Sampai Ibnu sudah lelah pun Arvy tak henti mengingatkan Ibnu untuk mengurangi tingkat kecepatannya. Arvy hanya takut kalau Ibnu sendiri akan dalam bahaya. Padahal jalanan sedikit luang, tidak seramai sebelumnya.

"Ibnu minggir!" Jerit Arvy membuatnya terkejut, sampai ia pun hampir menabrak pembatas jalan yang berada di sisi jalan.

"Sabar, jangan panik. Gue udah bilang tadi, kan? Pelan-pelan aja!"

Ibnu menggeleng, ia tak peduli, Arvy hanya banyak bicara sejak tadi. Ia jengah, padahal di depan sana sudah ada Genta yang menemani adiknya. Tetap saja perasaan cemasnya semakin menjadi-jadi.

⏳⏳

Sejak sampai di rumah,  Ibnu sama sekali tidak bisa tenang terlebih saat ia melihat Galuh yang semakin pucat dari balut selimut membungkus tubuhnya.

"Nu, lo belum ganti baju, nanti masuk angin lho," ucapnya. Ibnu menatap ke arah Genta yang duduk  di sisi ranjang milik Galuh. 

"Dia jadi demam,  Gen. Fariz belum pulang, Bunda sama Papa juga belum kasih kabar kapan mereka pulang, ini udah hampir jam delapan."

"Justru itu, kalau mereka pulang terus lihat lo kayak gini, bisa-bisa lo pusing sendiri. Lo kayak nggak tahu Abang lo aja sih, Nu?"

Ibnu terus menatap Galuh, usai Genta mengingatkannya. Genta benar, tapi Ibnu tidak bisa meninggalkan Galuh sendirian. Bahkan saat ia membaringkan adiknya saja, Genta dilarang untuk mebantunya.

Genta tahu apa yang Ibnu pikirkan, tapi dia juga tak ingin melihat Ibnu jatuh sakit sama seperti adiknya. Genta pun beranjak mendekat ke arah Ibnu, kemudian mengusap bahu sahabatnya pelan. Ibnu mendongak, menatap sendu ke arah Genta yang tersenyum tipis padanya.

"Ada gue, jangan khawatir, sekarang lo ganti baju. Terus buat sup kalau Galuh bangun nanti biar bisa langsung makan," ucapnya.

Ibnu tak menolak, lagi pula tubuhnya saat ini suudah kedinginan. Ibnu pun bangkit, kemudian menatap Genta sekali lagi, setelahnya ia pergi meninggalkan Galuh dan Genta yang kini sudah duduk di sebelah adiknya.

Baru saja ia keluar kamar derap langkah kaki yang begitu gaduh membuat Ibnu menoleh ke lantai dasar. Di sana ada Fariz yang baru saja masuk ke dalam rumah di belakangnya ada Restu. Di sana Ibnu bisa melihat wajah Restu yang kesal pada Fariz entah apa yang sedang terjadi, namun, ketika Ibnu hendak masuk ke dalam kamarnya suara barinton Fariz membuatnya tersentak.

Ibnu pun mendekat ke arah pagar penghalang, sementara di bawah tepatnya di beberapa anak tangga sana, ada Fariz yang sedang mengomel pada Restu.

"Woi! Berisik, pulang kayak orang ke malingan aja," sahut Ibnu tiba-tiba.  Tatap tajam mata Fariz membuat Ibnu tak berkedip, cowok itu justru diam di tempatnya sampai Fariz berlari kecil menaiki anak tangga, tak  lupa ada Restu yang menyusul di belakangnya.

"Gue udah bilang, jangan bawa Galuh ke mana-mana!"

Ibnu terkejut, saat Fariz mencengkram kaus yang ia kenakan. Mata lelaki itu tidak berkedip sedikitpun.  Bahkan kepalan tangannya sangat kuat, siap untuk ia layangkan di wajah Ibnu yang terlihat jauh lebih tenang.

"Lepas! Lo nggak waras?"

"Sky bilang lo pergi berdua!"

"Gue jelasin, lepasin dulu!"

Ibnu sangat kesal, apa yang Fariz tuduhkan jauh lebih menyebalkan daripada melihat kakek tua yang tak tahu diri saat ia berjalan di depan warung  dekat rumahnya kemarin.  Ibnu tak tahu apa yang sedang Fariz katakan, tapi ia masih berpikir kalau tadi memang ada orang yang sedang memperhatikan mereka saat di toko cokelat.

Sekuat tenaga Ibnu melepaskan cengkraman Fariz. Kemudian ia melangkah sedikit ke belakang untuk melihat Restu yang tak kalah gelisahnya dengan Fariz.

"Jawab Garuda!"

"Apalagi sih Bang? Lo udah tahu juga, kan?"

Ibnu sangat lelah, ia juga harus mengganti pakaiannya yang masih menempel manis di tubuhnya.  Baru  saja akan melangkah masuk ke dalam kamar, Fariz kembali menarij tangannya membuat Ibnu memekik kesal sambil menatap Fariz.

"Gue mau ganti baju! Lepasin tangan gue!"

"Atas izin siapa lo bawa Galuh keluar?"

Ibnu terkekeh, sungguh ia ingin sekali menampar mulut Fariz yang sangat manis itu, dia pun menatap jengah ke arah Kakaknya, kemudian menunjuk dada bidang Fariz karena sudah kesal.

"Atas rasa sayang gue. Dan perlu lo tahu, gue nggak sejahat itu sampai buat adik gue nggak makan. Asal lo tahu, dia hampir mati di lapangan karena sifat keras kepalanya, puas?"

"Satu lagi, bilang sama Kak Sky, kalau jadi orang jangan suka ngegas, kalau nggak tahu kronologinya. Minggir!"

Setelahnya Ibnu pun berlalu membiarkan Fariz membeku di tempatnya. Ia tahu ia telah jahat pada Fariz, tapi dia tak bisa membiarkan Galuh murung karena menunggu orang rumah yang begitu lama.

Ibnu hanya ingin membuat adiknya bahagai, menunjukkan hal kecil agar sabit di wajah Galuh kembali membentuk lengkung yang begitu sejuk.

⏳⏳

Waktu telah membawa semua amarah Fariz kembali damai. Setelah ia melihat keadaan Galuh, lelaki itu sedikit lega. Terlebih saar Genta menjelaskan banyak hal, mengapa Ibnu mengajak adiknya pergi keluar di saat kondisi Galuh tidak stabil. Sungguh, rasa bersalah itu lagi-lagi muncul saat ia melihat Ibnu yang sedang duduk di meja makan dengan beberapa buku pelajaran di sebelahnya.

"Nyesel nih?" tegur Restu saat ia berdiri di dekat tangga, keduanya baru saja turun usai memastikan Galuh makan dan juga minum obatnya, agar anak itu bisa kembali istirahat  meski Genta harus menginap semalaman untuk menemani Galuh. Tak lupa, selain Genta beberapa menit lalu Irgi datang bersama Reka, kedua remaja itu tak henti menyalahkan diri mereka karena tak bisa menjaga Galuh dengan baik.

"Gue udah bilang sama lo, 'kan Riz? Ibnu itu jauh lebih peka dari pada lo. Harusnya lo makasih punya adik care kayak dia. Dia bela-belain nunda semua tugasnya cuma buat Galuh. Sementara lo? Lo percaya sama Sky yang dia aja tahu dari Genta."

Fariz menoleh ke arah Restu, ia sudah kesal bahkan lebih kesal dari sebelumnya. Sejak diperjalanan, Restu terus menerus menceramahinya. Mengatakan banyak hal padahal saat itu pikiran Fariz sedang kacau. Ia sampai lupa kalau sebelumnya Bunda telah mengabarinya karena tidak bisa pulang malam ini. Urusan Regi yang begitu mendadak membuat kedua orang tuanya harus menginap di salah satu Vila mereka yang tak jauh dari acara yang Regi dan Kamila hadiri.

"Riz?"

"Gue mau keluar sebentar," putus Fariz. Restu tidak bisa memaksakan Fariz dalam segala apa pun. Bahkan sebelum mereka sampai, raut wajah Fariz memang sudah sangat cemas. Sepanjang jalan Fariz hanya mengatakan Galuh sedang tidak sehat. Ia juga rela membolos satu matakuliah hanya untuk pulang lebih awal. Hanya saja jalanan Jakarta tidak selancar yang dibayangkannya. Ia lupa kalau jalan yang biasa ia lewati sedang ada perbaikan. Ia hanya bisa mengumpat berkali-kali karena macet yang tak kunjung usai. Bahkan saat itu bersamaan dengan hujan yang turun semakin deras. Beruntungnya Restu membawa mobil, jika tidak mungkin mereja sudah basah sama seperti Ibnu.

"Gue harap lo bisa lebih kalem lagu ke Ibnu, Riz."

Pesan yang selalu Restu ucapkan ketika Fariz sedang kedal atau marah pada Ibnu, kemudian Restu pun melangkah lebih dulu menghampiri Ibnu yang masih fokus pada tugas-tugasnya.

"Serius banget Da, tugas sekolah?" tanya Restu, Ibnu pun mendongak menatap Restu yang sudah duduk bersebrangan dengannya, kemudian mengangguk.

"Mau nggak? Buatan Bunda, cobain deh," tawar Ibnu sambil menyodorkan toples kue yang sudah menemaninya sejak setengah jam lalu.  Restu menggeleng, lalu tersenyum sambil mengusap lengan Ibnu yang terasa dingin.

"Nu,  gue boleh nanya sesuatu?" 

"Boleh, tanya aja,  tapi maaf gue sambil ngerjain tugas, ya?"

"Iya, santai aja," ucapnya. Ibnu mengangguk, membiarkan Restu mengatakan apa yang ingin dia sampaikan. Belum sempat Restu bertanya, suara Galuh jauh lebih dulu terdengar sampai Restu ikut terkejut. 

Ia melihat Galuh yang berlari kecil menuruni anak tangga sambil memaki Irgi. Fariz tidak tinggal diam, saat adiknya hendak melangkah mengejar Irgi  ia pun menarik tangan Galuh sampai si penilik memekik kesakitan.

"Gue suruh lo istirahat, bukan lari-larian nggak jelas."

"Gimana mau istirahat mereka berisik,  lepasin!"

"Balik ke kamar sekarang!"

"Nggak mau! Lo maksa banget sih?inget Bang, hidup  itu nggak selalu penuh aturan. Kadang kita perlu melanggar kalau memang sudah bosan dengan aturan. Sama kayak gue, gue juga mau  ngumpul bareng sama kalian, apa gue salah?"

Sekali lagi, apa yang Galuh inginkan adalah mutlak. Tidak bisa ditolak atau dibantah. Anak itu akan melawan jika ia merasa tertekan. Benar apa yang Ibnu katakan, Galuh tidak hanya senja  dia juga seperti mendung yang kapan saja bisa datang.






G A L U H 2

H

allo semuanya apa kabar? Aku harap kalian semua baik-baik saja ya 😊 maaf aku baru kembali update,  buat kalian yang menunggu kisah Galuh, selamat menikmati 😚

Salam sayang dari Mr. Choco  🍫🍫🍫











Publish,  20 Februari 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro