Chapter 27
Chapter ini di sambut sama lagunya Westlife- We Are One bisa nonton vidionya di sini
👇
Siang belum usai, bahkan terasa begitu panjang sampai lelah berulang kali menjadi keluh Ibnu. Ia lupa kalau di siang hari rumah mereka selalu sepi, Bunda akan menemani Papa pergi bertemu rekan bisnis, atau hanya sekadar menghadiri undangan dari rekannya.
Kali ini Ibnu hanya berdua, sejak ia memutuskan untuk mengantar adiknya pulang, sepanjang jalan Ibnu berusaha menghubungi Fariz. Namun, semua usahanya selalu menjadi angin lalu yang tak pernah sampai. Fariz akan mematikan data ponselnya saat jam kuliah sedang berlangsung, bahkan Ibnu hampir lupa kalau hari ini ada jam kuliah yang wajib Fariz ikuti dengan serius.
Ia ingin sekali mengumpat, belum lagi ketika diperjalanan kendaraan begitu padat merayap. Sampai asapnya berkeliaran ke mana-mana. Semantara Galuh masih setia dalam pejamnya, hal itu membuat Ibnu semakin cemas.
Semua itu memang sudah berlalu, tapi rasanya melihat adiknya berdiam diri membuat Ibnu gemas.
"Lo belum makan lho," ucap Ibnu sudah yang kesekian Galuh dengar, setelah ia tersadar dari pingsannya.
"Nggak mau," balasnya. Ibnu hanya bisa menghela napas, ia lupa kalau adiknya sedang tidak mood.
Ibnu tak mau berbicara terlalu banyak saat adiknya baru saja membuka mata, Ibnu hanya bisa melakukan hal kecil seperti mengusaprambut adiknya begitu lembut sampai mood adiknya kembali membaik.
"Seragam lo bernoda Bang," kata Galuh, Ibnu melirik ke arah Galuh yang sudah menatapnya dalam diam. Ibnu akan memiringkan tubuhnya jika adiknya mulai bersuara.
Ibnu tahu jika Galuh berbicara mengenai noda, anak itu akan merasa tak enak setiap kali Ibnu atau siapa pun yang membantunya. Ibnu tidak keberatan sebenarnya, ia akan suka rela mengeluarkan semua bajunya hanya untuk membersikan noda setiap kali Galuh mimisan.
"Kalau ngomong difilter dulu coba, ngomong apa sih, gue itu abang lo. Kalau lo kenapa-napa gue juga yang repot, sekarang lo mau makan apa ? Atau gue buatin sesuatu? Sebutin aja, kalau emang nggak mau gue buatin, nanti gue bisa pesen gofood, gimana?"
Galuh tak akan bisa menahan diri jika Ibnu sudah berkata panjang lebar, ia hanya ingin ditemani, meski ia harus menahan lapar, tapi ia tak mau ditinggal sendirian.
"Nggak mau, Abang di sini aja, pokoknya."
"Luh, lo harus makan, setidaknya isi oerut lo biar nggak sakit," ucap Ibnu lagi, detik berikutnya Galuh memeluk Ibnu tanpa meminta izin lebih dulu. Anak itu menelusupkan kepalanya dalam dekap Ibnu.
Ibnu tahu adiknya sedikit sensitif, bukan karena Galuh ingin bermanja. Di luar sana, banyak orang yang menganggap kalau Galuh lemah. Tapi, Ibnu akan menegaskan pada semua orang, kalau adiknya bukan anak yang seperti mereka bilang. Galuh itu istimewa, dia kuat bahkan jauh lebih kuat dari anak seusinya.
Kini, tugas Ibnu hanya perlu merayunya untuk makan lalu minum obat saja, 'kan? Tapi mengapa sangat sulit, dibandingkan jika Galuh bersama dengan Fariz anak itu akan menuruti perintah kakak sulungnya.
"Telepon Bunda sama Papa, Bang, gue mau martabak cokelat sama bolu panggang, buruan!"
Setidaknya Ibnu tidak tuli saat adiknya bergumam meminta sesuaru dari balik sana. Sebenarnya Ibnu sedikit geli, karena Galuh memeluknya cukup erat, terlebih anak itu sudah menarik selimutnya sampai ke kepala dan menyisakan rambut yang sedikit menyembul keluar.
"Sabar dong, tangan gue cuma dua, jarinya lima-lima, kalau gue ngetik pakai dua ibu jari, tapi karena lo rebahannya nggak bener, mana bisa cepet?"
"Kan lo tinggal buka kontak di ponsel, cari nama Bunda, terus dipencet, kok lo nyebelin sih, Bang?"
"Iya, sabar, mulut lo gue reparasi juga lama-lama."
Susah payah ia mencari nama Bunda di kontak panggilan terakhir pada ponselnya, belum lagi sebelah tangannya terasa kesemutan karena terlalu lama menjadi bantalan kepala Galuh yang tiba-tiba merubah posisinya. Sedikit kesal sebenarnya, ingin bangun saja anak itu malah menariknya kembali untuk berbaring di sebelahnya. Alasannya sederhana, tidak mau di tinggal walau sebentar.
Alasan Galuh memang sederhana, tapi di balik sana anak itu menyimpan banyak rahasia yang semua orang tidak tahu. Ketakutan yang selalu menjadi bayang-banyang dalam tidurnya, ketakutan akan kehilangan orang-orang disekitarnya.
Bagi, sebagian orang yang mungkin hal itu wajar dan dianggap sebagai bunga tidur. Jika memang bunga tidur, mengapa selalu datang setiap kali memejamkan mata? Tak ada yang tahu jawabannya, selain Galuh. Yang terlihat hanya kata-kata lirih mengartikan kalau dirinya sangat takut.
Seberusaha apa pun Galuh memberanikan diri di depan banyak orang, bayang semu itu akan hadir jika kabut hitam muncul dan membiarkan atensinya menghilang.
"Gini aja deh, dari pada telepon Bunda, mending kita jalan keluar, makan di toko cokelat deket lapangan futsal waktu itu, gimana?"
"Naik apa? Mobil lo belum dibernerin, punya Bang Fariz mana boleh, Papa nggak ada di rumah, mau naik taksi lagi? Buang duit Bang, mending ditabung buat masa depan bikin pabrik cokelat dari oada beli."
Galuh benar, anak itu tidak salah menjabarkan apa yang ada di dalam kepalanya, hanya saja terlalu jujur juga terasa begitu menyebalkan untuk didengar, kan?
Kali ini Ibnu tak lagi menurut jika di suruh berbaring kemabali, ia pun bangun dan duduk menghadap adiknya yang masih nyaman di dalam selimut tebalnya.
"Motor gue nganggur Luh, kasian kalau nggak dipakai, jomlo terus dong dia, mau nggak? Lumayan mumpung belum terlalu sore, nanti pulang dari sana gue ajak ke ladang ilalang deh, lihat senja."
Kali ini Ibnu tak lagi bisa menghitung banyaknya bujuk rayu agar Galuh mau makan, bahkan Ibnu sudah beranjak dari sana, anak itu masih diam di posisi yang sama. Sampai pada puncak ketika Ibnu mulai melangkahkan kakinya meninggalkan Galuh, barulah anak itu bangun dengan raut wajah kesalnya.
"Jangan ngebut apalagi kayak valentino, gue males lo mah ngegas orangnya!"
"Santai, bisa diatur dengan keceapatan standar, jadi terima tawaran gue, nih?"
Galuh mengangguk, setelahnya Ibnu pun melanjutkan langkahnya menuju kamarnya untuk berganti seragam yang masih melekat di tubuhnya.
"Jaket lo di lemari gue, kemarin Bunda lupa taruh. Cepet ganti baju gue tunggu di bawah!"
Begitu semangat sampai teriak saja seperti orang mengajak perang. Galuh tak akan menolak, karena sejak lama ia sudah menantikan jalan-jalan bersama Ibnu hanya berdua.
⏳⏳
"Masih jauh nggak, Bang?"
"Bentar lagi, di depan udah sampai, kenapa?"
"Nggak apa-apa, ternyata enak naik motor gini, kayak bebas gitu, nggak sih?"
Sepanjang jalan anak itu mengoceh padahal sebelum berangkat ia terus mencebik bibirnya karena kesal dengan Ibnu. Belum lagi sepatu yang akan ia kenakan malah tertinggal di sekolah, sejujurnya sebelum pelajaran olahraga berlangsung, Galuh sudah memuntahkan sarapannya di toilet tanpa sepengetahuan siapa pun, termasuk Irgi dan Reka.
Ibnu bisa melihat senyum lebar di wajah adiknya melalui kaca spion di sebelahnya. Setelahnya ia pun menepikam motornya di depan toko tujuannya. Ia menoleh ke arah belakang, melihat bagaimana berbinarnya mata Galuh saat melihar semua dekorasi yang ada di tempat itu semuanya adalah cokelat.
"Gimana? Keren nggak tempatnya?"
"Ini sih tinggal minta ke Papa buat bikin beginian di halaman depan, lo nemu di mana tempat beginian?"
"Ngehalu terus hidup lo! Yuk, masuk," ajak Ibnu, setelah keduanya turun, Ibnu pun merangkul adiknya sampai si empu memekik sebal karena tak suka. Ibnu tetaplah Ibnu, orang yang akan selalu memanjakan Galuh dengan caranya.
"Di sana kosong, dekat jendela, gue ke sana duluan, ya?" seru Galuh saat melihat salah satu tempat kosong di sudut dekat jendela. Cepat-cepat ia melangkah dan membiarkan Ibnu yang memesan.
Anak itu tampak menikmati lagu yang sedang diputar, setelah mematikan duduknya dengan nyaman. Ia pun melihat keluar jendela dengan sebelah tangan sebagai penopang dagu.
And one moment in the time
Is all the time we need
Just to make a difference
To make it better for you and me
If you just believe
Sampai pada lirik yang membuatnya terdiam cukup lama, sampai Ibnu yang datang saja Galuh tak sadar.
"We are one..." gumamnya pelan. Ibnu mengerutkan keningnya, lalu memetik jemarinya di depan Galuh sampai lamunan itu beralih. Galuh menatap Ibnu heran, bahkan dirinya tak tahu kalau Ibnu sudah duduk di hadapannya.
"Ngelamunin apa?"
"Gue mikir, kita itu beda. Beda pemikiran dan beda semuanya. Sampai gue pernah punya permintaan sama Tuhan, apa bisa Tuhan menjadikan semua perbedaan itu adalah satu? Kita emang beda, tapi hati kita tetap sama, rasa peduli lo, rasa sayang Bang Fariz, terus peluk dan perhatian Bunda sama Papa. Gue mau kayak burung di atas sana Bang, yang terbang bebas meski mereka berbeda tapi tetap bersama."
Seketika hening menyelimuti mereka, saat Galuh menatap langit di luar sana matanya seolah berbicara akan sesuatu yang sulit diartikan.
Galuh benar, dan lagu yang sudah berakhir beberapa menit lalu juga mengatakan kita satu, meski banyak perbedaan di antaranya. Tetap saja, keluarga adalah rumah kembali meski mati akan datang kapan saja.
"Gue selalu berharap sama Tuhan kalau lo bukan sekadar singgah lalu pergi Luh."
"Semua akan baik-baik aja kok, Nu. Percaya sama Galuh, dia pasti baik-baik aja."
Ibnu menoleh ke sebelahnya, Arvy tersenyum meski Ibnu tak mengatakan apa-apa. Ia tak mau membuat Galuh takut karena dirinya, ia juga tahu, Galuh sedang memikirkan banyak hal dalam otaknya. Tapi melihat senyum di wajah Galuh adalah damai yang membuat candu, apalagi kalau Galuh sudah tertawa, rasanya seperti hidup setelah mati. Seperti dulu saat ia melihat Fariz yang diam-diam mentertawakan dirinya saat Bunda meminta Ibnu mrncabut rumput liar.
Kini senyum lebar itu pudar bersamaan mendung yang berganti di luar sana, membuat Galuh kembali fokus pada makanan yang sudah beberapa menit lalu ia abai.
"Hujan Luh," seru Ibnu. Galuh tak peduli, ia sudah jauh lebih tenang dari sebelumnya, sesekali Ibnu melirik memperhatikan betapa sukanya Galuh pada makanan rasa cokelat di hadapannya.
Setidaknya, ada sesuatu yang bisa membuat mood adiknya jauh lebih baik daripada melihat wajah murung yang terus ditekuk.
"Lo bisa pesen buat makan di rumah, kalau lo suka kapan-kapan kita ke sini lagi."
Galuh hanya mengangguk, membiarkan waktu membawa keduanya dalam diam sambil menikmati pesanan masing-masing. Meski sesekali mereka bergurau membahas hal yang tak penting, untung saja Ibnu memiliki banyak cara untuk membuat suasana mencair kembali, seperti melakukan hal konyol sampai membuat Galuh memukulnya karena sebal, atau menebak sesuatu yang jawabannya tak jelas. Sederhana, namun semua itu terekam manis dalam ingatan keduanya. Meski mereka tahu, suatu saat nanti akan ada luka yang sulit terobati.
G A L U H 2
Nah segini dulu ya, maaf kalau aku slow updatenya, ada beberapa kegiatan dan kerjaan yang harus aku selesaikan. Tapi jangan khawatir, aku akan tetap update kok. Menemani malam kalian 🤭
Oh ya, aku juga punya kabar baik buat kalian, DIVE IN salah satu ceritaku akan terbit, buat kalian yang belum tahu DIVE IN masih bisa mampir lho 😁😁 jangan lupa nabung juga, biar bisa peluk nanti hihihi 😁😁
Okay deh, terima kasih sudah berkunjung sampai ketemu nanti see you
Salam manis Mr. Choco 🍫🍫🍫
Publish, 7 Februari 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro