Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 24.

Senja sore itu mengantar senyum manis pada si pemilik. Setelah Ibnu pulang suasana rumah kembali ramai, belum lagi Fariz yang sibuk dengan tugas kuliahnya selain itu, dengan syarat Fariz tidak ingin diganggu oleh siapa pun.

Sejak pulang sekolah Irgi, Reka, dan Genta masih setia di rumah Ibnu. Selain menemani Galuh, mereka juga memutuskan untuk bermain game kecil-kecilan di gazebo yang ada di halaman belakang rumah.

Ibnu sadar kalau sudah ada di rumah ia tak akan bisa diam, hal yang paling Fariz benci dari kehadiran Ibnu adalah ramai. Di saat tenang ingin ia dapat, justru sebaliknya. Maka, sebelum terjadi pertengkaran Fariz menyuruh Ibnu untuk menjauh darinya.

"Abang lo ganas! Kadang gue mikir, lo sama Galuh kok betah tinggal di rumah, sama orang yang kakunya kayak Bang Fariz?"

Ibnu terkekeh mendengar celetuk Genta, padahal sejak Genta sendiri sudah mengenal Fariz. Ibnu hanya menaikkan sebelah bahunya lalu melanjutkan permaiman kartu mereka yang tertunda beberapa menit lalu, ketika Ibnu dipanggil oleh Kamila karena Galuh yang memintanya. Angin semilir menyeruak di antara mereka, membuat rambut mereka ikut tertiup.

"Lo kenapa ke sini sih, Luh? Di sini dingin, anginnya juga kencang," sahut Irgi. Galuh menoleh, anak itu memiringkan tubuhnya lalu melemparkan kulit kacang pada Irgi.

"Terserah gue, lagian di dalam nggak ada orang, kalian kumpul di sini, nggak asik banget kalau sendirian."

Apa pun yang Galuh katakan hanyalah kebohongan. Kenyatanyaannya Galuh benci sendirian, Galuh tak suka ditinggal meski ruangan itu sudah penuh dengan fasilitas lengkap.

Galuh sudah pernah mengatakan berulang kali pada Ibnu dan Fariz, terkadang kedua kakaknya lupa, sama seperti tadi, jika Kamila tidak memberitahunya mungkin saat ini Galuh sudah ngambek pada Ibnu karena telah meninggalkannya.

"Enak juga tidur di kamar Luh, di kasur daripada di sini," tambah Reka.

Melihat Ibnu memberi peringatan untuk tidak banyak bicara pada kedua teman adiknya, malah membuat Genta menahan tawa. Ia tahu Ibnu pusing mendengar celoteh Galuh nantinya. Bahkan sebelum Galuh ada bersama mereka saat ini, Genta sudah bertanya, tapi Ibnu menjawab tidak ada masalah dengan Galuh.

Namun, kenyataannya tidak seperti itu. Dibalik punggung Ibnu Galuh sudah memasang wajah kesalnya, padahal Ibnu sudah menggendong anak itu dari dalam kamarnya.

"Reka curang tuh!"

"Nggak ada, ya enak aja. "

"Luh, diem! Tidur di dalam sana deh, pusing gue."

Galuh pun bangun, lalu menatap Ibnu meski cowok itu tidak membalasnya. Galuh terkejut mendengar suara Ibnu yang jelas seperti orang menahan kesal. Padahal sejak ia melihat Ibnu datang ke kamarnya, Ibnu baik-baik saja.

"Lo kesel sama gue?" tanya Galuh sedikit memiringkan kepalanya, namun cowok itu justru pamit lebih dulu dan meninggalkan gazebo.

"Bang Nu kenapa, Bang Gen?"

Genta tersenyum kemudian menggeser duduknya sedikit mendekat pada Galuh. Genta pun memegang bahu Galuh sebelum cowok itu juga pergi untuk menyusul Ibnu tanpa mengatakan apapun.

Senyum yang semua terlihat, kini telah berganti teduh yang membuat orang-orang terdekatnya ikut sedih. Selama Irgi mengenal Galuh, Irgi jarang sekali melihat Galuh terabaikan oleh Ibnu. Meski detik terkadang mulai meresahkan. Sama seperti semesta yang terdakang sulit untuk ditebak.

Langit sudah berubah warnanya, sama seperti senyum yang semula cerah berubah mendung. Galuh tampak sedih dan kesal, padahal ia hanya ingin ikut serta dalam permainan meski dirinya tidak benar-benar bermain. Hanya ingin bersama-sama , bukan sendirian.

"Mending kita masuk deh, udaranya mulai nggak enak nih, gue juga mau pulang, udah di tanyain Tante gue juga." ucap Reka. Galuh tidak menyahut, anak itu tiba-tiba pergi dan tanpa berkata apa -apa.

Galuh melangkah lebih cepat menaiki anak tangga, Irgi dan Reka menyusul di belakamhnya terus memanggil namanya, sampai suara Regi mengalun sempurna membuat Irgi menghentikan langkahnya, begitu juga Reka.

Regi berjalan mendekati kedua remaja itu, memberi sebuah bingkisan pada masing-masing. Tatap heran kini menjadi objek yang membuat Regi tertawa.

"Bukan bom kok, tadi Om dapat oleh-oleh cukup banyak, soal Galuh nggak perlu khawatir, nanto Om Regi yang bicara sama dia, udah sore nih, biar Om minta Fariz buar anterin kalian, gimana?"

Irgi dengan cepat menggeleng, setelah menerima bingkisan yang Regi berikan. Irgi cukup tahu diri untuk tidak mengusik Fariz kalau lelaki itu sudah mengatakan ketentuan dalam ketengannya.

"Makasih banyak Om, aku sama Reka bisa pulang sendiri, bingkisannya makasih juga, kita pamit dulu kalau gitu," ucap Irgi, ia pun menyalimi punggung tangan Regi, di susul oleh Reka. Tak lupa pada Kamila yang baru saja keluar dari peraembunyiannya di dalam dapur. Wanita itu pun mendekat setelah ia meletakan semangkuk sayur di atas meja.

"Kalian hati-hati, makasih juga udah anterin Galuh pulang hari ini. Salam buat Mama, ya Gi," ucap Kamila. Irgi mengangguk, setelahnya Irgi dan Reka pun melangkah pergi meninggalkan mereka.

Ada tanya yang terlihat di wajag Regi, saat Kamila mengatakan kalau Irgi telah mengantarkan Galuh pulang. Pria itu pun menoleh ke arah istrinya untuk meminta jawaban. Namun, belum sempat bertanya Kamila lebih dulu meninggalkan Regi untuk melanjutkan pekerjaannya yang tinggal sedikit lagi.

"Hari ini Galuh kenapa ? Kok kamu bilang kayak barusan ke Irgi?"

"Anak kamu itu susah dibilangin, tadi Genta cerita ke Bunda, Galuh diem-diem main basket, akhirnya kambuh, coba bujuk dia sana. Kayaknya anak itu ngambek sama Ibnu, barusan."

Regi hanya bisa menghela napas kalau Kamila sudah bersuara. Rasanya memang Reka harus lebih tegas pada kedua putranya itu. Reka tahu kodisi Galuh tidak sekuat kedua putranya yang lain, hanya saja meminta Galuh untuk sedikit tenang dan menurut itu adalah yang mustahil untuk dilakukan. Meski Regi yang melakukannya sekali pun. Nyatanya, semua usaha sudah dilakukan, hanya untuk membuat Galuh beristirahat sedikit lebih lama.

"Gue nggak ngapa-ngapain dia, Bang! Coba dong lo ngertiin gue!"

Suara Ibnu yang begitu keras terdengar sampai ke bawah. Membuat Regi dan Kamila terkejut mendengarnya. Cepat-cepat Regi menyusul untuk memastikan apa yang terjadi, bukannya baik, Regi justru dibuat marah oleh Fariz.

Regi tahu semua hal tidak seharusnya di selesaikan oleh kekerasan, atau hal lainnya yangbakan membahayakan. Hanya saja melihat Fariz yang siap memukul Ibnu sudah membuat Regi geram.

Beruntungnya Genta sudah pulang jika tidak mungkin cowok itu akan melihat kejadian yang kurang menyenangkan.

"Bohong! Nggak mungkin dia cuekin gue, kalau lo nggak ngomong apa-apa ke dia."

"Harus berapa kali gue bilang, gue nggak tahu! Sekali aja lo dengerin gue. Gara-gara dia, gue kena hukum sama Pak Rusdi! Puas lo? Minggir!"

Ibnu sudah sangat kesal sejak pulang sekolah, bukan hanya itu, kejadian di sekolah sudah membuatnya benar-benar muak, belum lagi di tambah dengan Fariz yang semakin membuatnya malas untuk berbicara.

Setelah Ibnu menyelesaikan ucapannya, Ibnu pun mendorong Fariz sampai cowok itu tak bergerak sedikit pun. Sementara Regi menyaksikan semuanya dari balik pintu kamar Ibnu. Pria itu memang kesal, hanya saja, ia mengurungkan niatnya untuk melerai. Regi tahu batasannya sebagai orang tua untuk tidak ikut campur kalau memamg tidak terlalu serius, hanya memastikan bukan berarti tak peduli. Regi cukup sadar, kedua putranya pasti memiliki alasan masing-masing dan cara masing-masing untuk menyelesaikan masalah mereka.

Selama ini, Regi tidak terlalu khawatir mengenai anak-anaknya. Tapi ia tak lupa dengan perannya sebagai seorang ayah dan kepala rumah tangga, untuk tetap mengarahkan keluarganya apalagi Regi memiliki tiga orang jagoan. Terkadang Regi khawatir kalau seandainya ia tak ada nanti, nasib ketiga putranya akan seperti apa?

Regi tahu sifat ketiga anaknya yang keras kepala sama seperti dirinya, terlebih ketika ia melihat Galuh yang mengcopy paste sifatnya. Entah mengapa ketika Galuh bersuara rasanya membuat Regu teringat pada mendiang ayahnya sendiri.

"Lho, Papa nggak ada niatan mau pisahin mereka nih? "

Regi pun membawa Kamila sedikit menjauh dari kamar Ibnu, membuat wanita itu menatap heran pada suaminya. Untung saja susu cokelat yang ia bawa tidak tumpah, jika tidak, mungkin Regi sudah menjadi sasaran utamanya.

"Bunda bikin kaget aja, tadi niatnya mau masuk, tapi nggak jadi, kirain Fariz beneran mau pukul Ibnu, kalau itu terjadi, Papa udah masuk dari tadi, kali."

Mendengar ucapan Regi, ada sedikit lega yang Kamila perlihatkan melalui senyum yang membuat Regi tak bisa menahan dirinya untuk ikut tersenyum. Setelahnya Kamila pun permisi untuk segera memberikan susu cokelat pesanan Galuh, jika tidak anak bungsu mereka bisa mengomel sepanjang hari, esok hari.

"Pak, saya udah bilang saya nggak ngerusakin ruang peralatan, lagipula saya datang ke sana ruangan itu udah berantakan. Bapak tahu sendirilah, saya juga lagi di kelas kok, tanya aja Desga."

"Jangan bohong kamu Garuda,saya dapat laporan kalau kamu sengaja melakukannya."

"Ya Tuhan. Pak, gini aja deh, lagian apa gunanya kalau saya yang melakukan semua itu ? Saya yang susah payah merawatnya, masa saya juga yang tega melakukannya? Lagian Bapak sendiri kenapa nggak cari tahu dulu sebelum Pak Rusdi nuduh saya kayak gini."

"Kalau memang kamu bukan pelakunya, lalu siapa Garuda?"

"Tapi, Pak-"

"Sudah. Saya tidak mau tahu, kalau kamu memang tidak melakukannya, cari pelakunya, sebagai hukuman atas tindakan kamu yang sudah kelewat batas itu."

Suara Pak Rusdi masih tetap terngiang di kepalanya, bahkan saat makan malam, Ibnu sama sekali tidak bersuara. Padahal Regi dan yang lainnya sedang membuka topik ringan mengenai oleh-oleh yang di bawa Regi dari rekan kerjanya.

Tapi, ingatan Ibnu terbawa ketika ia berada di gazebo. Ia ingat kalau sebelumnya telah membuat Galuh kesal bahkan ngambek sampai anak itu tidak ikut makan malam bersama mereka.

Ibnu sedikit berpikir tentang ucapan Fariz, saat ia hampir saja kena pukul oleh kakaknya itu. Benar, ia hampir melupakan kalau dirinya telah mengatakan hal yang membuat Galuh sakit hati.

"Lo itu nyebelin! Mending diem, pusing gue dengernya. Ngerepotin doang kerjaannya!"

Ibnu pun menepuk kenimgnya saar ia mengingat ucapannya sendiri lalu pergi ke kamar Galuh yang jarang tertutup rapat.

Di sana Ibnu bisa melihat tubuh adiknya yang terbalut sempurna dari balik selimut usai minum susu yang Kamila bawa.

"Kamu kok belum tidur, Nu? Udah jam berapa ini? Tidur sana, besok sekolah," ucap Kamila saat wanita itu baru akan melangkah keluar.

Ibnu memiringkan kepalanya melihat Galuh sebelum menjawab pertanyaan Bundanya. Ibnu sedikit menunduk menlihat Kamila yang masih berdiri di depannya. Wanita itu tersenyum tipis kemudian mengusap lengan Ibnu dengan lembut.

"Galuh udah tidur, kamu mau nemenin? Dia habis makan sama minum obat, terus tidur deh, ada apa, ngelihatinnya sampai gitu banget?"

"Bun... Galuh nggak cerita macem-macem 'kan sama Bunda?"

"Dengerin Bunda, sekecil apa pun masalah kalian, usahakan jangan sampai saling melukai satu sama lain. Meski dengan ucapan sederhana, belum tentu orang yang mendengarnya akan menerima dan baik-baik saja. Kamu sama Fariz 'kan sudah dewasa, setidaknya jauh lebih mengerti dari Galuh. Bunda tahu kalian sudah sama-sama besar, sama-sama tahu mana yang baik dan mana yang tidak. Tapi tolong, Bantuin Bunda sama Papa jaga Galuh. Dia memang nyebelin, Bunda tahu itu, dia juga manja, dia juga suka ngambek, Bunda tahu semuanya. Tapi, di balik semua itu, kita nggak pernah tahu apa yang lagi dia pikirin, apa yang lagi dia rasain. Mungkin, Bunda yang salah, kadang suka marahin kamu atau Fariz, bukan berarti Bunda nggak sayang, Bunda cuma nggak mau kalau kalian bertengkar, Ibnu anak Bunda yang pengertian, yang suka bantuin Bunda, Bunda yakin kalau Ibnu pasti bisa, jagain adiknya. Kalau begitu, Bunda tinggal dulu, ya kasian Papa udah nunggu kayaknya."

Apa yang Kamila katakan memang benar, bahkan wanita itu juga sering bilang padanya kalau Galuh itu berbeda. Dia istimewa, harusnya Ibnu tahu sejak awal ia bisa dekat dengan Fariz itu semua semenjak kehadiran Galuh di tengah-tengah mereka.

"Bun, makasih."

Kalimat singkat yang jarang Kamila dengar dari Ibnu. Wanita itu tidak menjawab hanya mengusap wajah putranya dan kemudian pergi meninggalkan Ibnu yang masih berdiri di tempatnya.

"Kalau aja lo nggak ada di antara, mungkin gue nggak bisa kayak sekarang sama Fariz. Sampai detik ini gue masih nggak percaya lo adalah adik gue, Luh. Lo itu kayak angin, sulit tergenggam. Semua kata-kata lo yang kadang buat emosi bikin gue mikir dua kali buat jauh dari lo."

Langkahnya berhenti tepat di dekat tempat tidur adiknya. Melihat Galuh yang terlelap begitu nyenyak membuat Ibnu tak tega untuk membangunkannya.

Ibnu pun memilih berbaring miring menghadap Galuh. Di sebelah adiknya ia bisa merasakan napas Galuh yang terlihat begitu tenang.

Terkadang Ibnu berpikir kalau Galuh sama seperti batu yang terukir indah seperti patung. Hanya saja Ibnu merasa kesal kalau anak itu sudah meminta banyak hal padanya.

Sama seperti beberapa waktu lalu ketika ia hendak tidur siang di hari minggu tenangnya. Galuh memintanya membuatkan sebuah gambar animasi yang sangat ia sukai. Galuh meminta bukan tanpa alasan, anak itu merajuk dengan begitu manis sampai Ibnu mau membuatkannya.

Galuh selalu mengatakan kalau gambar yang dibuat Ibnu selalu keren dan bagus. Galuh mengatakannya marena memang Ibnu pandai menggambar, selain pandai memanjat. Mungkin Galuh akan menjuluki Ibnu sebagai orang yang serba bisa? Selain Galuh, tak banyak yang tahu tentang hobi Ibnu yang diam-diam ia salurkan melalui sebuah gambar.

Bagi Ibnu, gambar adalah sebuah seni yang hanya dapat ia buat kapan pun jika ia mau. Tapi melihat senyum Galuh adalah sebuah seni yang jarang ia dapat meskia menginginkannya kapan pun.

Galuh baginya adalah angin, yang terasa begitu dingin namun sulit tergenggam meski selalu ada kapan saja. Galuh untuk Ibnu sama sama seperti lantun musik. Tanpa nada lagu tak akan indah untuk di dengar. Maka, Ibnu akan berkata, tanpa Galuh, Ibnu tidak akan hidup.

Hidup di antara dinginnya Fariz adalah mustahil untuk Ibnu, maka hadirnya Galuh adalah penghangat yang begitu berarti.






G A L U H 2

Yuhuuu, ada yang kangen? Segini dulu ya, jangan lupa tetap jaga kesehatan di mana pun kalian berada. Terima kasih sudah berkunjung.

Salam manis Mr. Choco.🍫🍫

Note : Ada yang inget saat Galuh ngambek Nu ? Yang bilang kalau dia itu penyakitan sampai Nu di cuekin Galuh. Di chapter ini aku buka sedikit kisah sebelum malam di mana Nu di marahin.

Okay cukup sekian 🤗🤗🤗

Publish, 16 Januari 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro