Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 23.


14 : 45, bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak 5 menit lalu. Kelas Galuh pun sudah mulai sepi. Tapi, Irgi, Galuh, dan Reka masih di sana.

Sejak pelajaran terakhir berlangsung Galuh memaksakan dirinya agar tidak terlihat sakit, meski tangannya sudah bergetar ketika menulis. Irgi yang menyadari hal itu tak mau mengambil resiko, dengan cepat Irgi menggengam jemari Galuh saat anak itu menuruniannya ke bawah meja.

"Gue panggil Abang lo, ya?" suara Reka kembali menyadarkannya. Galuh menggeleng, sejak pelajaran berakhir dan menunggu kelas sepi Galuh baru berani bersandar pada Irgi. 

"Lo kalau mau pulang, duluan aja. Nanti gue bisa pulang bareng Irgi," ucap Galuh. Reka menghela napasnya kasar. Kemudian kembali duduk pada kursi yang ia tarik mendekat pada kursi temannya.

"Gue nggak masalah pulang terlambat. Asal lo bisa pulang dengan selamat sampai rumah, baru gue bisa pulang. Jam segini Bunda lo pasti udah nunggu di rumah. Nunggu Kakak lo lama, Luh. Kelas 12 pasti ada pelajaran tambahan."

"Kabarin Bang Fariz aja, gimana?" usul Irgi.

Belum sempat menjawab,  suara gebrak pintu membuat ketiganya menoleh. Di sana ada Genta, hela napas yang terlihat kepayahan membuat Galuh mengerutkan keningnya.

"Abang lo masih sibuk, dia minta gue buat anterin lo pulang.  Yuk, tadi Bunda lo udah nelpon juga ke Ibnu."

Galuh tidak menolak, ia sudah mengenal Genta sebelumnya, ia juga percaya pada Genta karena Genta dekat dengan Ibnu. Mendengar ucapan Genta, susah payah Galuh berdiri, tubuh lemasnya membuat ia seperti kehilangan pijak.

Genta pun menghampiri Galuh, dan mengambil alih anak itu agar mau di gendong olehnya. Genta sempat meringis,  saat melihat Galuh seperti melihat mayat berjalan, sangat pucat. 

"Bang Nu, lama, ya?" lirih suara Galuh membuat Genta semakin tak tega. Ia pun segera pergi dari sana. Sementara barang-barang Galuh di bawa oleh Irgi dan Reka.

Sepanjang jalan melewati koridor, sebisa mungkin Genta mengajak Galuh berbicara, rasanya sudah hampir 10 kali bebicara pada Galuh, setelah ia meninggalkan kelasnya.

"Mau makan dulu?"

"Pulang, aja."

"Badan lo panas, ke klinik?"

"Pulang, aja."

Genta mempercepat langkahnya agar bisa segera sampai di parkiran. Belum benar-benar sampai di parkiran, Genta sudah dibuat panik oleh Galuh yang tiba-tiba menyandarkan kepalanya begitu saja di punggung Genta. Membuat Genta sesekali menoleh.

"Gi, buruan buka pintu mobilnya." Titah Genta, ketika sudah sampai di depan mobilnya. Irgi mengangguk, setelahnya ia pun membukakan pintu belakang pada mobil Genta.  Genta pun segera memasukkan Galuh  ke dalam mobilnya, setelahnya di susul oleh Irgi yang duduk di sebelah Galuh, sementara Reka duduk di kursi penumpang bagian depan telat di sebelah Genta yang duduk di belakamg kemudi.

Padahal Galuh tidak melakukan banyak hal di sekolah, anak itu hanya bergurau biasa saja ketika di kelas, setelahnya pergi ke kantin dan duduk di lapangan basket.

Sepanjang jalan, Genta terus bertanya pada Reka dan Irgi. Cowok itu benar-benar  heran sementara dari sekian pertanyaan yang diajukannya tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya.

Bahkan, Genta sendiri masih tidak yakin kalau tumbangnya Galuh bukan hanya ia dimarahi oleh Bu Andin. Tepat saat di pertigaan gang   menuju rumah Ibnu, Genta menepikam mobilnya. Genta pun menoleh ke belakang sebelum ia benar-benar sampai di rumah Ibnu.

"Irgi, Reka, Galuh. Gue tanya sekali lagi, kalian habis main basket diem-diem pasti?"

"Sorry."

"Gini, ya. Gue bukannya mau belain Ibnu, tapi lo tahu sendiri sifat Abang lo kayak gimana 'kan, Luh? Lo nggak kasian sama Ibnu? Setiap hari diceramahin terus sama Bang Fariz. Luh, gue nggak marah sama lo, tapi tolong sedikit aja lo ngerti posisi Ibnu. Sedikit aja lo kasih ketenangan, bisa?"

Genta sebenarnya tidak ingin mengatakan hal yang bisa membuat Ibnu marah padanya. Galuh bisa saja menceritakannya pada Ibnu, hanya saja Genta sudah gemas kalau Galuh terlalu mengikuti egonya hanya untuk kesenangannya sendiri, tanpa memikirkan akibat yang diterima oleh orang lain. 

"Maaf, kalau gue udah ngomong kasar. Gue harap ini yang terakhir, lo bisa pertimbangin sendiri nanti."

Usai mengatakan keluh kesahnya, Genta pun segera melajukan kembali mobilnya. Membiarkan ucapan Genta berkecamuk di kepala Galuh.  Anak itu benar-benar diam, bukan tak mau membantah, hanya saja rasanya ia sudah tak lagi memiliki tenaga meski hanya berkata-kata.

Maka, Galuh memilih diam dan bersandar pada Irgi. Irgi bisa mengerti maksud ucapan Genta. Genta benar, bahkan cowok itu menbak dengan tepat kalau mereka memang mencuri waktu  untuk bermain basket sebelum jam istirahat benar-benar berbunyi.

Ada sesal ketika Irgi mengiyakan ajakan Galuh. Anak itu benar-benar keras kepala, padahal Irgi dan Reka sudah menolaknya.

"Gurunya cuma sebentar,  tugasnya nanti aja. Gimana, kalau kita main basket dulu? Minimal 3 poin deh, habis itu ìstirahat."

Sungguh, baik Reka atau Irgi saat ini tak lagi bisa menahan diri untuk memaki sahabatnya. Tapi, sesekali Irgi melirik Galuh, ia hanya bisa membuang napas berat, begitu juga dengan Reka.

"Udah sampai. Sebentar, gue turun duluan," ucap Genta. Ketika ia sudah memarkirkan mobilnya di pekarangan rumah Ibnu.  Genta pun turun kemudian  membuka pintu mobil sebelah kiri, agar bisa menggendong Galuh di punggungnya.  Irgi ikut membantu dari dalam mobil sebelum ia turun.

"Gue bakal bilang ini ke Bunda, lo, ya? Nggak ada larangan, ini buat diri lo sendiri."

Galuh tak menyahut, anak itu hanya bisa pasrah karena tak sanggup lagi untuk membuka mata. Sepanjang perjalanan  ia hanya bisa meringis, karena pusing di kepalanya tak kunjung hilang.

Melihat ke datangan Irgi yang berjalan lebih dulu, cepat-cepat Kamila mendekat. Melihat Genta yang berlari kecil ke arahnya sambil menggendong Galuh.

Genta tak tahu harus mengatakan apa pada Kamila, jika wanita itu bertanya ke mana Ibnu. Semntara Ibnu hanya berpesan sedikit pulang terlambat dan meminta Genta untuk mengantar Galuh pulang. Genta tidak tahu kalau akhirnya anak itu akan tumbang lagi.

"Nanti Genta jelasin Tan, Genta bawa Galuh ke kamarnya dulu, kalau bisa Tante buatin teh anget aja, maaf, ya Tan."

Genta tak lagi bicara, ia hanya meminta Kamila membuatkan teh hangat sementara dirinya dan yang lain mengantarkan Galuh ke kamarnya.

Ada banyak pertanyaan di kepala Genta dan ketika melihat bercak darah yang sudah mengering dari hidung Galuh yang sama sekali tidak ia sadari. Ada banyak hal yang Genta tidak mengerti ketika Galuh berbisik agar tidak mengatakan apa pun pada Kamila dan Fariz, nanti. Namun, ketika melihat wajah cemas Kamila adalah fakta, kalau sebenarnya sesuatu yang cukup parah sedang bersembunyi di balik senyum milik Galuh.

"Makasih, Bang. Seragam lo jadi kotor," ucap Galuh pelan. Genta menggeleng, setelah ia membaringkan Galuh begitu hati-hati di kasurnya. Tak lupa dengan Irgi dan Reka yang turut membantu.

Genta pun berjongkok di sebelah tempat tidur Galuh sambil mengusap kepala anak itu dengan senyum yang jarang sekali Genta perlihatkan.

"Nggak apa-apa, cuma bercak, masih bisa dibersihin pakai rinso. Kalau otak lo yang penuh sama kata-kata ngelantur kayak tadi, gimana cara bersihinnya? Gue emang sahabat kakak lo, tapi gue juga sayang sama lo, maafin gue buat yang tadi, " ucap Genta.

Galuh sungguh beruntung bisa memiliki Ibnu dan semuanya.  Bahkan, setelah  Genta membaringkannya, cowok itu tak sungkan atau merasa jijik untuk membantu melepaskan sepatu  dan membersihkan jejak darah yang sudah mengering. 

Lama waktu berjalan, usai mengantarkan teh hangat  dan memastikan Galuh terlelap, Kamila akhirnya bisa mengobrol dengan Genta. Sementara Irgi dan Reka dibiarkan di dalam kamar untuk menemani Galuh sambil mengerjakan tugas.

Percakapan mereka sudah hampir berakhir, sebelum terpotong oleh kedatangan Ibnu dengan penampipan kacaunya. Terlebih di belakang sana ada Fariz yang tak kalah kacau dari Ibnu.

Tatap Kamila pada kedua putranya begitu tajam,  wanita itu pun melangkah lebih cepat untuk mendekati keduanya. 

"Kalian bertengkar?" tanya Kamila, ketika melihat kedua putranya yang sudah berdiri sejajar dengan penampilan yang benar-benar berantakan.  Tak hanya itu, terdapat luka di sudut bibir Fariz, sedangkan Ibnu hanya memar pada tulang pipinya. 

Usap lembut yang membuat keduanya sama-sama meringis membuat Kamila semakin cemas. Ia hanya takut kalau Darma benar-benar menyuruh orang untuk melukai keluarganya.

"Nggak kok Bun, aku juga nggak tahu kalau Bang Fariz bisa dapat luka, kalau aku... maaf," ucap Ibnu, kemudian menunduk. Ibnu tahu kalau Bundanya sedang khawatir, tapi kelakuan Miko saat di sekolah benar-benar membuatnya naik darah.

Hela napas  Kamila yang terdengar lelah membuat Fariz melirik ke arah Ibnu. Ibnu sadar, ia pun pamit lebih dulu untuk pergi ke kamarnya di susul Genta yang mengekor di belakang.

Setelah memastikan Ibnu masuk ke dalam kamarnya, Fariz pun mendekat ke arah Kamila yang sudah kembali duduk di sofa. Wanita itu tampak lelah, terlihat dari bagaimana ia memijat pangkal hidungnya. 

"Bun..."

"Hari ini kamu berantem sama siapa, Riz? Bunda udah bilang 'kan, jangan cari masalah sama orang. Cukup pertandingan itu sebagai akhir. Kamu lupa pesan Bunda?" sahut Kamila, Fariz pun berjongkok di depan Bundanya, kemudian menggengam tangan lentik milik Kamila lalu menciumnya.

"Maaf. Hari ini kacau, Fariz nggak kasih tahu Bunda kalau Fariz mau latihan. Luka ini... karena Fariz lengah aja kok," ucap Fariz.

Fariz memang berkata yang sebenarnya, hanya saja kekhawatiran Kamila tidak bisa membuatnya tenang.  Kamila masih ingat saat Fariz bertanding, anak sulungnya sempat mengalami cidera ketika melawan Rakiel yang melakukan kecurangan.

Sejak saat itu, Kamila memutuskan  melarang Fariz untuk tidak ikut pertandingan apa pun sementara waktu. Hanya saja, Kamila lupa, Fariz bukanlah Galuh atau Ibnu, yang bisa menurut dengan mudah meski sudah diberitahu berkali-kali.

"Bun, maafin Fariz."

"Fariz... kamu itu anak sulung, Bunda nggak pernah mau lihat kamu bertengkar sama adik-adik kamu. Tapi, Bunda nggak pernah suka kalau kamu bertengkar sama orang lain hanya untuk ambisi. Kamu boleh marah, kamu boleh kesal, kamu boleh melakukan apa pun yang kamu suka. Tapi tolong, jangan buat Bunda khawatir setiap kali melihat kamu pulang dalam keadaan berantakan kayak sekarang, Sayang."

Kedua tangan Kamila yang semula tergenggam kini sudah berpindah untuk menangkup kedua pipi putra sulungnya, sambil memgusap pelan  luka pada sudut bibir Fariz.  Meski tidak sehangat Ibnu, Kamila tahu tatapan Fariz adalah tatap luka yang kapan saja bisa meluap. Dingin tatapnya adalah sinyal kalau Fariz tidak ingin membahas apa pun selain kesehatan Galuh dan Ibnu. Bahkan, luka yang Fariz terima saat ini tidak seberapa dibanding, jika ia harus melihat Galuh atau Ibnu yang sakit.

"Fariz nggak apa-apa, Bun. Ini cuma luka kecil, besok juga sembuh. Sekarang Bunda istirahat dulu sebelum Papa pulang, kelihatannya Bunda juga kurang sehat, kan?"

Kamila tidak tahu harus mengatakan apa tentang sikap Fariz yang sama seperti bunglon. Benar kata Galuh dan Ibnu, mereka memiliki sosok Kakak yang bisa berubah kapan pun dia ingin.

Fariz di mata Ibnu adalah dingin, berbeda dengan Fariz yang hangat ketika bersama Galuh. Itu pun tidak bertahan lama, Fariz tetap sosok yang kaku dan tajam. Dirinya tetap sosok yang sampai kapan pun tak pernah terbaca oleh siapa-siapa, walau itu Kamila atau Regi.





G A L U H 2

Nah segini dulu ya, ada yang rindu sama mereka ? Sedikit-sedikit kita cari tahu tentang Ibnu juga lho, ada yang penasaran sama Rakiel? Atau lupa sama Kiel?

Udah ah, nanti juga ketahuan siapa Kiel. Yup terima kasih sudah berkunjung  salam manis Mr. Choco 🍫🍫









Publish, 15 Januari 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro