Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 21

Sebelum hari ini tiba, ada hari di mana semua alur berubah menjadi pilu. Sebelum hari ini datang, hari itu sebelumnya sudah mengajak lukanya lebih dulu.

Ibnu, anak yang ceria, pandai bergurau walau membosankan untuk Fariz dengar. Tapi jauh sebelumnya, Ibnu pernah mengatakan kalau dia sendiri, di ruangan gelap bersama sepi yang selalu datang. Di ruang yang menyekat waktu tanpa ada satu pun yang tahu.

Jauh sebelum kecelakaan itu hadir, Ibnu juga pernah masuk rumah sakit akibat ulah seseorang. Regi tahu, orang itu, bahkan pernah mengancamnya untuk tidak melapor pada yang berwajib.

Ketika itu, Galuh masih SMP, liburan yang dirasanya menyenangkan, tapi malah membawa tangis Kamila hadir diantara senyum yang Galuh ciptakan.

Galuh, Ibnu, dan Fariz adalah satu. Mereka tak pernah terpisah, meski ketiganya memiliki sifat yang berbeda. Galuh tersenyum, tapi tak banyak yang tahu dibalik senyumnya ada tangis yang tak kalah sesak dari apa yang ia lihat saat Kamila memeluk Fariz.

Galuh tak bisa membayangkan betapa rapuhnya Kamila saat tahu Ibnu telah dibawa kabur oleh orang lain. Dalam situasi yang begitu ramai dan banyak orang yang berjalan ke sana dan ke mari, cukup membuat sedikit pandangan  beralih tanpa sadar.

"Om siapa? Om bukan temen Papa!"

Tepuk tangan itu menjadi pembuka saat Ibnu tersadar dari pingsan. Ia melihat sekitarnya, tak ada siapa-siapa di sana. Ibnu kembali menatap orang yang ia ajak bicara sebelum ia mendengar tawa besar itu menggema, membuat Ibnu terdiam untuk beberapa saat.

"Kamu pasti Garuda 'kan, anak Regi Wijaya?"

Tanya orang tersebut sambil memegang sebelah pipi Ibnu. Ibnu memalingkan wajahnya, membiarkan  hiruk piruk angin yang masuk melewati celah lubang di bawah pimtu itu mengembus.

"Wah, ada tamu di sini, rupanya. Ayah ketemu dia di mana?"

"Stasiun, kamu kenal dia, Nak?"

"Kenal, dong. Dia Garuda Ibnu Haikal. Adik kandung seorang Haikal Ananta Fariz yang bijaksana. Bagaimana aku bisa lupa?"

"Kalian mau ngepain?!"

"Mau buat Fariz menyesal, dia itu nggak pantas menang. Pertandingan waktu itu harusnya dimenangkan oleh gue, Kakak lo curang!"

"Gue nggak peduli, gue nggak ada urusan sama lo atau Bang Fariz. Gue nggak kenal lo, apalagi Ayah lo itu, gue nggak peduli! Biarin gue pergi!"

Kedua lelaki itu tertawa, puas dan sangat bahagia. Sementara Ibnu sudah ketakutan dalam diamnya. Sesekali ia melihat ruang gelap di sudut ruangan, sesekali ia memperhatikan dua orang yang masih sibuk dengan ponselnya. 

Ibnu fidak diam, Ibnu berusaha melepaskan ikatan pada pergelangan tangannya, cukup sakit karena begitu kencang. Sebisa mungkin ia mencoba, sampai akhirnya tali itu mengendur dan Ibnu berhasil melepaskan diri.

Langkah jinjit agar tidak ketahuan, justru membuat Ibnu melakukan kesalahan. Ia tak sengaja menginjak sebuah paralon yang berserakan di lantai kotor juga berdebu. Pandangnya membelalak, Ibnu terkejut ketika salah seorang lelaki itu melangkah mendekati dirinya.

"Gue nggak tahu lo siapa, apa mau lo, dan ada urusan apa sama Abang gue. Tapi tolong, biarin gue keluar. Ini nggak adil. Lo kayak kutu loncat, datang kayak jailangkung. Nyeremin!"

Dibalik rasa takut dan cemasnya Ibnu masih berkata hal yang absurd, baginya itu adalah cara mengurangi ketakutan, tapi setelahnya Ibnu terjatuh. Ia mendongak, menatap lelaki yang kira-kira usianya sama seperti Fariz.  Sorot mata yang tajam juga senyum yang menyebalkan. Ibnu tak lagi menatapnya, ia sudah cukup kesal sampai ia harus mendorong lelaki itu sekeras mungkin sampai terjatuh dan Ibnu pun bisa kabur dari  tempat di mana ia berada sebelumnya. Rumah kosomg berukuran sedang, di sanalah Ibnu di tahan.

"Sial! Jangan lari lo!"

Umpat lelaki itu, ia pun bangkit lalu menyusul Ibnu. Sementara pria yang di sebut Ayah itu, tengah sibuk dengan ponselnya. Sampai gumam terakhirnya menandakan Regi akan segera tewas dalam waktu dekat.

Itu hanya masa lalu. Namun, sampai detik ini Fariz masih mengingatnya. Meski Ibnu memilih melupakan semuanya, meski Galuh  memilih bungkam walau anak itu tahu, meski semua yang terjadi adalah rahasia. Tapi, tidak untuk Kamila.

Sepulang dari pertemuannya bersama Surya, pikiran Kamila berlalu ke mana-mana. Bahkan ketika Regi mengajaknya bicara, Kamila hanya diam. 

"Mikirin Galuh?" tanya Regi. Kamila menoleh, sabit di wajahnya tak bisa dibohongi. Regi tahu kalau Kamila bukan hanya memikirkan putra bungsu mereka. Tapi ada hal lain yang mungkin, masih Kamila simpan sampai detik ini.

"Bukan hanya Galuh, tapi Ibnu juga Fariz. Kamu tahu kejadian di stasiun itu sangat membuatku khawatir. Darma di sana, bahkan saat kita tahu Ibnu sudah terkapar di aspan dengan lumuran darah, dia ada di sana. Aku nggak akan biarkan dia kembali menyentuh anak-anak kita."

Dengus napas Regi, menjadi alasan Kamila untuk diam. Kini, sampai waktu kembali membawa ingatan mereka pada kejadian di rumah sakit.

"Sayang, biarin Ibnu di tangani dokter dulu. Kamu di sini sama Bunda, udah dong sedihnya."

Anak itu menggeleng, kemudian menatap Fariz yang masih berdiri di hadapannya. Lelaki itu tampak cemas, bahkan berkali-kali Fariz menyugar rambutnya karena kesal.

"Riz, istirahat dulu sini."

Tidak! Bukan Fariz jika langsung menurut, ia sudah kesal dengan ulah Kiel, pria yang sempat ia temui sebelum menyusul orang tuanya ke rumah sakit. 

"Nah! Akhirnya lo datang juga, Riz. Lama tak jumpa, badan lo masih oke aja, ngegym di mana lo? Boleh dong rekomendasi dari sang juara?"

"Bacot!"

Satu pukulan manis mendarat tepat di sudut bibir Kiel. Cowok itu meringis, lalu terkekeh. Padahal Fariz sudah memukulnya begitu keras sampai terhuyung ke belakang. 

"Jangan sentuh dia!"

Amarah Fariz sudah tak lagk terkontrol, bahkan ia sudah menggenggam erat kerah baju milik Kiel.  Tapi tetap saja, cowok yang sedang ia lawan bukanlah orang yang mudah diruntuhkan.

"Dia siapa? Dia punya nama 'kan, kenapa nggak lo sebut namanya? Lo bilang sama gue, lo benci dia, kenapa lo mau repot-repot buang tenaga buat orang yang lo benci?"

"Urusan lo sama gue, Rakiello!" pekik Fariz tepat di depan wajah Kiel. Cukup kasar Fariz mendorong cowok itu sampai membentur tembok. Karena kesal, Kiel pun menyerang Fariz, keduanya  berkelahi, keduanya sama-sama terluka. Tapi di sisa tenaganya sekuat yang Fariz bisa, Fariz pun memukul Kiel sekali lagi lalu membiarkannya tergeletak dan ia pun pergi.

"Denger ini baik-baik Riz! Gue Rakiello Azmi. Akan menantang lo di kejuaraan selanjutnya, kalau lo bukan pecundang, lo  datang dan lawan gue. Inget Riz. Hari itu, hari di mana lo akan rapuh!"

Usai mengatakan itu, Kiel tertawa, sementara Fariz memilih tak mendengar apapun. Jauh di balik semua kejadian itu, Fariz justru menyalahkan dirinya. Padahal pertandingan itu sudah berakhir 3 bulan sebelum mereka berlibur.

"Dari tadi gue perhatiin lo ngelamun,  mikirin apa?"  tanya Restu tiba-tiba.

Semua ingatan itu kembali tertutup, dan membiarkan hiruk piruk angin menerpa wajahnya. Rambut hitam yang semula tertata rapi, kink sudah berantakan karena angin yang kala itu cukup kencang.

"Galuh." balasnya. Restu terkekeh. Restu pun memberikan sebotol air meneral pada Fariz, namun di abaikannya. Restu tak yakin kalau Fariz hanya memikirkan Galuh, ia tahu sosok Fariz.

"Ibnu juga?" tebaknya. Fariz diam, Restu tahu kebisuan Fariz jika sudah mengenai Ibnu.

Tak banyak yang tahu tentang masa lalu yang pilu itu.  Hanya Restu dan Irgi yang mungkin saat itu orang yang bisa diajak berbagi.

"Terus, pesan singkat itu mau lo ladenin?" tanya Restu lagi. Fariz menggeleng, lalu menoleh.

"Gak menguntungkan, buang-buang waktu."  hanya itu. Lalu Fariz pun bangkit dan berjalan meninggalkan Restu yang masih diam di tempatnya.

Memang jam kuliah mereka sudah usai, tapi Restu mengajak Fariz untuk mampir sebentar ke kantin karena lapar. Beruntungnya, Fariz menyetujui, meski tak banyak bicara, Restu cukup tahu diri untuk tidak mengganggu pikiran sahabatnya yang terlampau menyeramkan jika sudah marah.

"Haikal, kemarin kamu ke mana aja? Absen kamu kosong, nggak kasih kabar lagi?"

Baru beberapa menit Galuh keluar dari ruang kesehatan,  Bu Andin sudah mencercanya dengan begitu manis. Bukan Galuh namanya, jika ia tidak bisa memberi penjelasan yang tak kalah manis dari pertanyaan guru yang cukup cantik apalagi Bu Andin adalah wali kelasnya.

"Bu Andin, begini. Kemarin saya itu sakit, Kakak saya lupa kayaknya kabarin Ibu, jadi bukan salah saya kalau absennya kosong. Salahin Kakak saya aja, Garuda, namanya."

Semanis cokelat jika dibandingkan dengan makanan satu itu, lagi-lagi Ibnu menjadi umpan. Bu Andin bukan seorang Guru yang mudah dibohongi, satu tarikan telinga mungkin cukup untuk membuat Irgi dan Reka ikut meringis melihat temannya di bawa begitu saja oleh Bu Andin. Sementara si pemilik telinga mengaduh sambil berceloteh.

"Bu, ini telinga lho, Bu. Bukan celengan ayam saya, sakit Bu, beneran ini nggak bohongan, lagian saya udah bilang jujur." kata Galuh.

"Suruh Garuda ke ruangan saya." titah Bu Andin, ketika Irgi dan Reka mengikuti mereka dari belakang. Melihat tangan Galuh  yang memberitahu mereka, Irgi pun segera berlari menuju kelas Ibnu. Sementara Reka diminta untuk tetap bersama Galuh.

"Bu, sekali lagi saya bilangin, saya itu sakit kemarin, saya beneran nggak lagi bohongin Ibu." katanya sambil mengusap sebelah telinganya yang terasa panas. Memang tidak terlalu kencang Bu Andin menjewernya, namun siapa yang tahu kondisi Galuh itu lemah. Sedikit saja tersenggol, anak itu akan menahan sakitnya sendiri. Sepelan apapun, Galuh akan tetap merasa sakit.

"Memang waktu itu Kakak kamu Fariz datang, tapi hanya meminta izin untuk beberapa hari, setelahnya tidak lagi." jelas Bu Andin.

"Terus masalahnya di mana ? Ini sama sekali nggak masuk akal, Ibu udah jewer saya, terus bawa saya kayak tadi, itu nggak baik Bu." ucap Galuh.

"Hari ini saya dapat laporan kalau kamu membuat ulah di kantin, salah satu siswa menjadi korban."

Galuh mendesah kesal, sungguh, ini hari pertamanya masuk sekolah, tapi sudah mendapat cibir yang menyebalkan. Mau tidak mau, Galuh harus menunggu Ibnu.  Dia tak mau banyak bicara, lagi pula sama saja, Bu Andin tak akan percaya padanya.

Kata Irgi, Bu Andin termasuk salah satu guru paling menyebalkan meski wajahnya cantik. Lihat saja sekarang, belum apa-apa wanita itu sudah membuat Galuh jadi malas mengikuti pelajarannya. 

Tak lama, suara pintu terbuka membuat Galuh menoleh, begitu juga Bu Andin. Di sana sudah ada Ibnu dan Genta yang  permisi untuk ikut masuk dan duduk bersama Galuh.

Di ruangan BK yang cukup besar, membuat Ibnu teringat sesuatu ketika ia sempat membolos karena malas nengikuti pelajaran Bu Andin.

"Maaf Bu, Bu Andin manggil saya, ada apa ?"  tanya Ibnu santun.  Tanpa basa-basi, Bu Andin menjelaskan apa yang telah di dapatnya dari siswa yang sudah melapor kalau Galuh telah berbuat ulah.

Ibnu bukan orang yang suka membantah ucapan guru, hanya saja ia tak mau percaya begitu saja sebelum Galuh yang mengatakannya. Ia tahu sifat adiknya, ia juga tahu Galuh bukan orang yang suka serius dalam ucapannya. Galuh memang sula memiliki ide jelek, bolos berjamaah  tapi tak pernah terwujud. Hanya ingin, bukan berarti akan melakukannya.  Maka, Ibnu mengusap punggung adiknya pelan. Membuat si pemilik menoleh dan menatap Ibnu lekat.

"Gue nggak bohong, Bang. Kalau absen kosong mungkin lo lupa atau Fariz lupa, tapi kalau gue celakain orang, buat apa? Justru orang itu yang sengaja buat gue sampai kesiram kuah soto masih panas, baju gue kotor karena dia, beneran Bang. Nggak bohong." ucap Galuh lirih. 

Ibnu diam,  sementara Genta diminta Ibnu untuk mengajak adiknya keluar setelah mendapat izin dari Bu Andin.  Kini, tinggal Ibnu seorang yang ada di dalam ruang BK, memberi pengertian sedikit pada Bu Andin tentang keadaan adiknya yang sebenarnya.

Awalnya Bu Andin ragu, namun penjelasan Ibnu yang cukup rinci sudah membuat Bu Andin yakin. Kalau dirinya sudah menuduh orang yang padahal adalah korban.

"Maaf kalau saya salah, tapi Ibu boleh hukum saya kalau memang adik saya benar-benar berbuat ulah. Saya nggak mungkin salah mengenal adik saya sendiri, saya tahu adik saya, dia bukan orang yang suka macam-macam kalau tidak diganggu duluan. Jadi, aekali lagi saya minta maaf,  terima kasih atas waktunya, permisi."

Percakapan itu berakhir, Ibnu pun pergi. Sedangkan di luar sana, Galuh, Irgi, Reka dan Genta masih menunggu sampai Ibnu keluar.

"Udah beres, udah nggak apa-apa lo aman." ucap Ibnu. Ia pun mendekati adiknya lalu mengusap wajah Galuh sebelum anak itu memeluknya erat.

"Makasih."

Hanya itu, setelahnya Galuh pun melepas peluknya lalu pamif untuk kembali ke kelas sebelum guru bidang selanjutnya masuk lebih dulu.  Cukup lama Galuh, Irgi dan Reka berada di luar kelas usai jam istirahat. 

Semua memang sudah usai, semua sudah berlalu, tapi hari esok masih ada. Masih banyak waktu untuk bermain dan merasa damai meski akhirnya selalu terluka.

Senyum Galuh adalah luka, rindunya adalah  benci, maka mengenangnya adalah sesuatu yang sulit untuk dilupakan. Itu Ibnu, orang yang selalu menjadi tameng untuk adiknya sendiri, orang yang rela terluka walau dirinya tahu, rintangan di depannya akan jauh lebih terjan untuk dilewati. Tapi Ibnu tak akan membiarkan sesuatu menyentuh Galuh.







G A L U H 2

Hola ada yang kangen? 🤭 okey nggak usah lama-lama deh.

NOTE : Masih inget  Om-om nyebelin yang sempet neror Fariz ? Nah, di sini aku kasih tahu, dia adalah Ayahnya Kiel. Inget,kan? Iya rivalnya Fariz waktu tanding.  Ini rahasia, yang belum banyak di cari tahu di seri sebelumnya 😁

Kalau kalian menemukan quotes dari part ini, kalian bisa banget tag aku di IG @nisa_jihad aku pasti bales🤗

Terima kasih sudah berkunjung, salam manis dari Mr. Choco 🍫🍫


Publish, 5 Januari 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro