Chapter 2
Dentum jarum jam berbunyi nyaring membuat ruangan seperti tak berpenghuni. Tidak ada yang yang aneh sebelumnya. Semua terlihat baik-baik saja. Semua terlihat biasa-biasa saja. Ada Galuh yang sedang duduk sambil menikmatinya camilan keripik pisang dalam pangkuannya, ada Ibnu yang sedang sibuk dengan tugas sekolahnya, sementara di sudut lain ada Fariz yang sibuk dengan laptop juga buku-bukunya.
Semua terlihat biasa, sebelum suara Kamila membelah hening diantara ketiganya. Wanita itu datang dengan nampan berisi jus mangga dan alpukat di sana. Biasanya Galuh akan ngambek jika jus mangganya di ambil lebih dulu oleh Ibnu. Namun, kali ini berbeda. Anak itu sama sekali tidak menoleh atau hanya melirik Kamila yang berdiri di sisi sofa.
Galuh masih asik dengan siaran animasi favoritnya, sampai Kamila harus memanggilnya berulang kali.
Tapi tetap saja, anak itu tidak menyahut, sampai tangan besar Regi menyentuh kepalanya. Galuh mendongak menemukan Regi berdiri di sebelahnya, anak itu akan kesal jika tatanan rambutnya berantakan. Dia tidak suka jika orang lain mengacak rambutnya.
"Dipanggil Bunda lho, kamu diem aja. Serius banget sih." ucap Regi. Galuh menoleh ke arah wanita yang masih sibuk mengantarkan jus pada Fariz. Lalu kembali menatap Regi sambil bersandar pada sandaran sofa.
"Aku lagi serius, animasinya keren Pa. Baru dibeliin sama Bang Nu kemarin, bagus, kan?" sahut Galuh. Regi mengangguk, setelahnya tersenyum.
Regi tidak lupa ketika Galuh meminta sebuah DVD Animasi baru pada Fariz tempo hari. Bukannya dapat apa yang diinginkan, Galuh justru mendapat penolakan secara terang-terangan. Mau tidak mau, Ibnu yang turun tangan langsung, merayu Galuh sebisanya, sampai anak itu benar-benar kembali tak lagi ngambek.
Regi tahu betul sifat Fariz yang kelewat dingin dan tak peduli. Tapi Regi yakin, kalau anak sulungnya tidak pernah berniat untuk membenci. Dia hanya kesal karena keinginannya sejak dulu justru tidak terwujud.
Awalnya Regi mengira Fariz akan memperlakukan Galuh sama seperti dia memperlalukan Ibnu. Tak mau bicara atau tidur sekamar, layaknya saudara. Namun Regi salah mengira, seiring berjalannya waktu. Sifat dingin Fariz justru melunak ketika melihat Galuh. Walau pada akhirnya Ibnu dan Fariz akan tetap sama. Memiliki jarak yang cukup jauh untuk di raih.
"Papa boleh nanya sesuatu sama kamu?" tanya Regi tiba-tiba. Galuh mengangguk, tapi pandangannya tetap fokus pada siaran animasi.
"Boleh Pa, mau nanya apa?" balas Galuh.
Perlahan Regi meminta Galuh untuk sedikit bergeser agar dirinya bisa duduk di sebelah putra bungsunya. Tak ada yang bisa Regi lakukan selain menemani Galuh di hari liburnya. Melihat ketiga putranya yang sudah tumbuh besar, rasanya masij tak menyangka.
"Papa mau tanya, apa sih yang buat kamu diem terus dari tadi?"
"Aku bosen lihat perang dingin Bang Fariz sama Bang Nu. Cuma gara-gara hal kecil, Bang Fariz semarah itu sama Bang Nu. Aku nggak terima lah. Lagian, Bang Nu udah minta maaf Pa, tapi Bang Fariz malah mojokin Bang Nu. Apa aku salah?"
Regi tersenyum mendengar penjelasan Galuh. Jika boleh jujur, sejak kelahiran Ibnu sampai detik ini pun Fariz tak pernah suka pada Ibnu. Katanya Ibnu itu menyebalkan, cerewet dan terlalu berisik. Padahal jika tidak ada Ibnu, Fariz menanyakan adiknya.
"Jadi kamu belain Ibnu sekarang?"
"Bukan belain, tapi menengahi," sahut Galuh. Regi tertawa. Putra bungsunya selalu bisa mencari alasan, padahal kelakuannya tak jauh berbeda dengan Ibnu dan Fariz.
"Kalian berdua lagi ngomongin Bunda, ya?" sahut Kamila. Wanita yang baru saja menemani Fariz sebelum putra sulungnya menghabiskan jus alpukat miliknya. Baru-lah Kamila mendekati kedua pria gagah yang asik sendiri sambil ditemani siaran animasi.
Kamila menyodorkan segelas jus mangga pada Galuh. Sisanya adalah secangkir kopi susu pesanan Regi, suami-nya.
"Bunda, besok ospekku di hari kedua, jadi jangan bangunin aku terlalu siang ya, Bun?" ucap Galuh. Kamila terkekeh, lalu mengusap wajah Galuh dengan gemas. Dia paling tidak bisa menolak apa yang Galuh minta.
Sejak usianya masih lima tahun, Galuh paling bisa mengalihkan perhatian kedua kakaknya yang sedang tidak akur. Alasannya sederhana, mau main kuda-kudaan dengan Ibnu sebagai kudanya dan Fariz yang memeganginya.
Serpihan kenangan yang jarang diketahui, mungkin mereka bertiga sudah melupakannya. "Bunda," suara Galuh kembali mengejutkannya, mata wanita itu membelalak, menatap si bungsu dengan kedua tangan anak itu yang telah melingkar dipinggangnya.
"Sayang deh sama Bunda. Kalau buat jus selalu enak, pantes Papa betah di rumah," celetukGaluh. Ibnu yang mendengarnya langsung terbatuk-batuk, lalu melemparkan sebuah kertas yang sudah di remat olehnya.
"Bang Ibnu! Kalo sirik bilang, jangan main belakang." Protes Galuh. Anak itu sudah berdiri di tempatnya, sebelum anak itu kembali melemparkan kertas yang mengenainya tadi, suara Fariz jauh lebih dulu menggema di sana. Membuat Regi tersentak hampir saja kopinya tumpah.
"Fariz! Suaranya santuy dikit dong. Kasian kopi Papa kalau jatuh bisa mubazir, ini dibuatnya pake cinta."
"Bisa gitu, pake cinta. Papa aja yang lebay, kopi masih dipegang aja bilang mau tumpah," ucap Ibnu.
Ibnu memang paling mahir untuk menyahut, siapapun lawan bicaranya. Tapi tidak dengan Fariz. Dia akan bungkam, bicara seperlunya, menjawab seadanya.
⏳
Tak terasa waktu berlalu begitu cepat, sejak siang tadi rumah tidak pernah hening, selalu ada hal yang pasti di ributkan. Entah itu segelas air minum, merebutkan remot tv, atau bahkan merebutkan camilan yang sudah jelas selalu di sediakan sesuai kesukaan masing-masing.
Namun, detik membawa ramai itu kedalam sebuah hening. Melihat Galuh yang terlelap di atas sofa sambil bersandar pada Ibnu. Semuanya terasa begitu cepat berlalu. Baru beberapa jam lalu, Kamila melihat mereka bertengkar, tapi kini sudah tenang. Walau sejatunya Galuh tak akan tenang tidur di sebelah Ibnu.
Ibnu akan merencanakan ide aneh untuk membuat Galuh tetap terjaga. Untung saja Fariz mau mendekat, itu pun Regi yang membujuknya. Jika tidak, mungkin Fariz masih santai di tempatnya.
"Jangan di gangguin! Lo budeg apa tulis sih, gue pusing dengernya kalo dia bangun." Teguran Fariz yang kesekian hanya diangguki oleh Ibnu, cowok itu akan mengatakan tidak melakukan apapun, padahal Fariz bisa melihat dengan jelas dari ujung matanya, kalau Ibnu sedang mengganggu adiknya.
"GARUDA! Gue lempar juga, lo lama-lama." Kesal Fariz.
Dia benar-benar sudah tak tahan melihat Ibnu yang kelewat menyebalkan itu. Fariz pun bangkit, dia mendekati Galuh untuk dibangunkan. Bukannya bangun, Galuh malah semakin merapatkan tubuhnya pada Ibnu.
Sejenak Fariz mendesah kasar, membiarkan beberapa menitnya terbuang begitu saja. Tapi dia juga tidak mau melihat Galuh dijahili. Dia tahu betul bagaimana sifat Galuh yang terlalu manja dan juga tukang ngambek. Bisa-bisa Fariz akan jadi korban ngambek oleh Galuh.
"Dia nggak mau, udah lo kelarin aja tuh tugasnya. Gue mau lanjut ngegame. Sirik aja sih, kerjaannya." celetuk Ibnu. Mendengar Ibnu berbicara, cowok itu langsung dihadiahi tatapan tajam oleh Fariz.
"Mata lo bisa- bisa keluar Bang, jangam suka melotot begitu," ucap Ibnu.
"Gak waras lo!"
Tak ada yang menyahut satu pun diantara mereka. Sampai hening kembali menyelimuti ketiganya. Sementara Kamila sedang sibuk di pantri, Regi justru asik menikmati pekerjaannya yang dia bilang kerja rasa liburan.
⏳
"Kok belum tidur?" tanya Kamila. Sejak terlelap, Kamila sama sekali tidak mengganggu waktu istirahat Galuh. Dia tahu, kalau putra bungsunya berbeda, anak itu istimewa, bahkan ketika dia tahu ada hal yang harus benar-benar dijaga Kamila orang pertama yang melarang semua orang untuk menyentuh Galuh kalau belum bersih.
Bagi Kamila tubuh ringkih Galuh ketika itu sudah cukup membuktikan kalau anaknya tidak baik-baik saja. Walau kenyataannya anak itu selalu memberi senyum dan mengatakan kalau dirinya kuat.
Sama halnya seperti dulu, ketika mereka masih sama-sama duduk di bangku SMP. Galuh yang tiba-tiba pingsan di depan koridor kelas Ibnu sampai membuat cowok itu kelimpungam mencari bantuan. Dan detik kembali membawanya pada masa di mana dia harus melihat Galuh yang kini berdiri di depan jendela kamarnya.
"Aku lagi lihatin bintang Bun. Irgi pernah bilang ke aku, diantara ribuan bintang pasti ada satu yang paling bersinar, Bunda tahu nggak?' ucap Galuh. Kamila menggeleng, wanita itu terus memperhatikan wajah Galuh dari samping. Putranya cukup pandai dalam menyembunyikan apapun dari balik senyumnya yang manis.
"Jangan lihat ke atas, kalau di sebelah Bunda sudah ada bintang yang paling sempurna. Dengan senyum yang nantinya akan selalu Bunda rindu." balas Kamila. Wanita itu merangkul putranya sambil emngusap lengannya begitu lembut. Sampai membuat Galuh meletakkan kepalanya dibahu Kamila.
"Makasih Bun, aku sayang sama Bunda."
G A L U H 2
Hallo aku kembali, bersama mereka. Yuk yang belum menyelam bersama Galuh. Bisa baca seri satu dengan judul yang sama. 🤭
Cuma saran, kalau baca seri satu usain jangan di lompat. Biar nggak terkejut setelah menyelam.
Dan perlu diingat kembali, ini bukan sekuel 😊 tapi ini kisah mereka sebelum hari itu tiba. Jadi gimana sih, sikap Fariz ke Ibnu?
Di sini semuanya terbuka. Sejarah tentang dia dan kisahnya. 😊😊
Terima kasih sudah mampir love you more 💃💃💃
Salam sayang Mr. CHOCO 🍫🍫🍫
Publish, 4 November 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro