Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 18

Hari menjelang siang, Kamila juga belum pulang. Sementara di rumah hanya ada Fariz dan Galuh. Usai mengantar Ibnu ke sekolah, lelaki itu menepati janji untuk membelikan apa yang telah disepakatinya agar Galuh mau menetap sedikit lebih lama di rumah.  Kini, Galuh menikmati camilan dengan siaran animasi terbaru hadiah dari Iwan, salah satu teman dekat Ibnu. 

"Lo makan cokelat terus sih, Luh. Nanti sakit gigi, baru tahu." celetuk Fariz. Lelaki itu duduk bersandar pada kepala ranjang. Sementara si pemilik  tengah  asik menikmati harinya.

"Karena enak. Nanti, kalau gue udah gede, pabrik cokelat bakal gue beli. Lo tenang aja, ada Om Surya yang bantuin periksa gigi gue. Udah nggak usah bawel, berisik." sahut Galuh.

Fariz lagi bicara, ia membiarkan semua berjalan begitu saja seperti angin yang berembus masuk melewati jendela kamar adiknya.

Fariz kira Galuh akan lupa, tapi belum lama Fariz pergi anak itu benar-benar menelponnya dan meminta Fariz untuk segera pulang.  Galuh tahu Kakak sulungnya paling tidak suka diganggu. Hanya saja, ia sudah bosan menunggu, setelah sarapan, Galuh hanya seorang diri. Walau demikian, setelah Kamila pergi, Galuh juga sempat menghubungi Regi, menanyakan kapan Papanya pulang.

Pria itu hanya menjawab, lusa baru bisa pulang. Tak ada yang bisa Galuh lakukan selain mengangguk mesti tak terlihat oleh Regi. Galuj tak mau Regi tahu, selama kepergian Regi, dia sempat drop. Galuh tidak akan tega bila keadaannya sampai ke telinga Regi, tapi siapa sangka. Sambungan telepon yang hampir usai, tertahan dengan suara Regi yang bertanya begitu tiba-tiba.

Galuh membelalak, anak itu mengatur napas sebelum menjawab pertanyaan Regi. Cukup ragu dan sedikit kesal, sebenarnya.  Lagi-lagi Regi tahu, dan itu dari bukan lagi dari Bundanya, melainkan dari Ibnu yang kelewat cerdas untuk memberikan informasi.

"Udah, Papa pokoknya cepetan pulang. Aku baik-baik aja Pa, lagian ada Bunda sama Abang."

"Nggak ada alasan kamu pingsan  tiba-tiba lho,  nekat mau sekolah lagi. Papa usahain besok pulang."

Sekadar menelpom, harusnya begitu. Tapi, Regi berbeda. Pria itu akan bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Sifat keras kepala Regi memang sudah melumak sedikit, tapi dampaknya  kini telah menurun pada ketiga anaknya.  Yang lebih parah, sifat itu seperti copy paste dan mendarah daging  dalam diri Galuh.

"Lo nggak capek apa ngeliatin gue begitu? Nggak kuliah gitu?" tanya Galuh, hening sejenak sebelum Fariz  bersuara. Galuh menoleh sebentar lalu menunjuk segelas air minum  yang ada di atas meja dekat  Fariz.

"Libur."

"Anak kuliahan itu nggak jauh beda sama kita-kita gitu, kan?" 

Fariz mengangguk,  setelah memberikan gelas itu pada adiknya, tak lama Galuh membalik tubuhnya lalu menatap Fariz cukup lama.

"Kayaknya gue mau kuliah habis lulus SMA. Coba lo lihat, kira-kira jurusan apa yang cocok  buat gue?"  katanya.  Fariz diam seolah kalimat itu pernah ia dengar entah dari siapa. 

"Lulus? Masih kelas sepuluh aja mikirin kuliah, pikirin kesehatan lo,  dua minggu lagi lo harus cek up buat transfusi darah." balas Fariz.  Galuh memberengut, ia tahu Fariz tak akan berkata lembut, tapi apa salahnya bertanya dan mencoba. Meski jawabannya tak pernah  sama apa yang di harapkannya.

"Males! Nggak seru banget, orang nanya jawabnya ketus, minggir gue mau tidur aja." sahut Galuh. Kemudian meletakan semuanya begitu saja di atas tempat tidur.

Fariz menggeleng lalu menyelimuti Galuh kemudian mengusap  kepalanya sampai benar-benar tertidur. Bahkan, semalam sebelum tidur Galuh sempat mengatakan dia tidak suka sendiri, dia tidak suka di tinggal meski sudah remaja, Galuh tetaplah si bungsu.  Fariz tak peduli orang akan berkata kalau adiknya manja, karena memang Galuh membutuhkannya. Galuh manja hanya pada orang  tertentu, walau begitu Galuh tetap kesayangan semua orang. Dia akan berkata dia tidak manja, tapi orang-orang akan menyayanginya dengan cara yang unik. 

Lama waktu berjalan, membiarkan hening cukup lama menjadi pengisi di dalam kamar yang berukuran cukup besar. 

Fariz masih di sana, menemani Galuh sampai anak itu benar-benar terlelap. Fariz tak bisa pergi jika adiknya belum tertidur, bahkan semalam saja ketika ia hendak mengerjakan tugas kuliahnya, Galuh benar-benar hampir membuatnya kesal, untung saja Fariz tidak meluapkan amaraya pada Galuh. Jika itu terjadi, mungkin hari ini Fariz benar-benar sudah di diami sampai besok.

Perlahan Fariz meletakan tangan adiknya  di atas tempat tidur. Melihat anak itu pulas saat memeluknya dari samping, Fariz tetap tidak tega, tapi urusannya dengan tugas masih belum tuntas.

"Gue tinggal bentar, ambil laptop sama buku." bisiknya. Siapa yang akan dengar walau bicara dengan berbisik.  Tapi, itu satu-satunya cara yang bisa membuat Galuh sedikit tenang walau tak ada orang di dekatnya. 

Itulah alasan, mengapa Ibnu selalu memilih tidur bersama Galuh dari pada di kamarnya sendiri. Galuh tidak suka sendirian, rasa takutnya selalu muncul di malam gulita seperti menyekat semua waktu berharganya. 

"Lo parnoan banget sih, Bang. Galuh cuma tidur,  nanti juga bangun."  Suara Ibnu beberapa waktu lalu masih terngiang di benak Fariz. Adiknya yang satu itu memang tak bisa membuatnya tenang walau sebentar. 

"Lo tahu, Galuh itu si maniak cokelat dikala luka.  Doyan makan tapi nggak gede-gede badannya." 

Sebatas itu, setelah Ibnu akan merecoki adiknya yang memang sudah terlelap lama.  Akhir dari ucapan Ibnu akan menjadi ribut yang tak kunjung usai, jika salah satu dari keduanya  belum ada yang menyerah.

. . .

"Sorry, Res, gue lupa bilang file tugas dari Pak Rudi, lo masih nyimpen, nggak?"

"Ada, nanti gue kirim,  gue siap-siap dulu mau pulang nih.  Oh, ya adek lo gimana?"  

"Baik, dia lagi tidur, sorry gue nggak jagain lo di sana. Yaudah nanti kirim, gue tunggu." 

Begitulah Fariz tak banyak bicara, walau pada Restu sekali pun. Lelaki itu akan bertanya jika dia butuh, menjawab jika dia perlu. Setelahnya akan  menutup pembicaraan sepihak jika tidak ada hal lain yang perlu di bahas. Baginya itu sangat membosankan. 

Seperti tadi ketika ia kembali dari kamarnya,  satu pesan singkat tiba-tiba muncul di layar yang semula hitam. 

"Bunda pulang agak sore,  sekalian mau jemput Papa yang  ada di bandara, jangan kasih tahu Galuh, oke?"

Kurang lebih seperti itu isi pesan yang diberi nama Bunda Haikal. Dari sekian nama di antara mereka, Fariz memilih nama yang sama  dari ketiganya, yaitu Haikal.

Saat ini mungkin hanya Fariz yang tahu kalau selain Galuh,  dibalik tubuh tegap Ibnu, cowok itu juga sedang melawan sakitnya yang bahkan, Ibnu sendiri tidak tahu apa yang terjadi.

Setiap kali melihat Ibnu, ingatan Fariz akan tertahan pada satu kejadian, gelap dan menyiksa.




G A L U H 2

Nah, segini dulu, ya. Ada yang kangen?

Okey, terima kasih sudah mampir ke rumah mereka. Ah, tinggal menghitung hari menuju 2021.

Galuh dan para Abang mau nanya nih,  resolusi kalian  di tahun 2021 apa sih?  Komentar, ya. Kita sharing bareng 🤭

NOTE : Di chapter ini masih lanjutan,  kisah sebelumnya. Kalau masih ingat dialog di Galuh seri 1, pasti kenal dong  omongan Nu yang suka ngomong asal ke Fariz 😁

Yaudah, segitu aja deh,  salam manis Mr. Choco 🤗🍫🍫🍫

Publish, 29 Desember 2020


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro