Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 17

Fariz kira Galuh akan bangun terlambat seperti biasa. Namun, Fariz salah. Anak itu sudah lebih dulu membuka matanya tetapi, masih memeluknya dari samping dengan kepala yang menelusup masuk dalam selimutnya.

Fariz tidak keberatan sebenarnya, hanya saja ada sesuatu yang cukup  membuatnya gemas sendiri untuk membuka selimut berwarna putih itu.

"Bangun buruan." ucapnya. Galuh belum menyahut.  Anak itu enggan untuk bergerak karena sesuatu yang menahannya untuk tidak bergerak lebih banyak.

"Nanti, sebentar."

"Bangun!"

"Ah! Lo lembut dikit bisa, kan? Sakit."

"Sorry, pipi lo kenapa begini? Semalam nggak ada. Astaga bentar gue ambil tisu dulu. Lo mikirin apa sih, kalau Bunda lihat dia pasti panik." 

"Ya tergantung, kalau lo bilang,  Bunda pasti panik. Udah buruan, laper gue."

Galuh tak menyahut, anak itu diam saat Fariz membersihkan jejak merah yang mulai mengering dibaaah hidungnya. Wajah pucat Galuh saat ini menjadi objek paling mencolok bagi Fariz.  Belum lagi dengan memar yang cukup pekat di bagian pipi kirinya.

"Sorry, Bang. Selimutnya  jadi bernoda." ucap Galuh pelan. Fariz tidak mangatakan apapun. Ia tetap fokus, tak lama ia pun merasakan baju yang dikenakannya di genggam erat oleh Galuh. Fariz menunduk sedikit, setelahnya barulah Fariz  menatap adiknya dengan serius.

"Perihal noda masih bisa dibersihin. Apakabar sama pikiran lo yang kadang buat Bunda dan semua orang resah setiap hari? Mau lo apa? Mati muda? Bikin orang rumah depresi?  Jangan gini caranya,  usaha lo buat gue biar nggak marah sama Ibnu itu salah, lo mau buat gue bersikap semestinya, tapi lo malah buat diri sendiri celaka. Lo kira gue suka? Nggak! Cukup sekali, gue lihat lo kayak kemarin, pergi nggak pamit,  tahu-tahu masuk rumah sakit. Inget, lo adek gue. Nggak ada namanya anak angkat apalagi anak haram. Nggak ada! Cuci muka lo, kita turun ke bawah buat sarapan bareng."

Galuh tidak mengerjap sama sekali. Anak itu diam saat Fariz berbicara panjang. Ia baru melihat Fariz yang kesal tapi masih dalam keadaan tenang.  Menyeramkan sebenarnya, tapi bagaimana pun Galuh tidak suka di marahi meski untuk mengingatkan. Bukan durhaka, hanya saja sikap dingin Fariz terkadang membuatnya kesal.

Pergerakan Fariz tertahan ketika Galuh menarik bajunya lagi.  Fariz hanya menoleh, kemudian melepaskan paksa tangan Galuh dari bajunya.

"Buruan. Gue nggak suka anak lelet." 

"Kejam."

Sebatas itu, setelahnya semua berlalu seperti biasa. Keributan yang Ibnu timbulkan sejak tadi di dapur bersama Kamila, belum lagi  suara bising mesin mobil yang Fariz nyalakan.  Semua tampak biasa saja, sama seperti hari-hari sebelumnya.  Yang berbeda di sana hanya tak ada Regi. Pria tiga orang anak itu belum kembali dari Surabaya, itulah mengapa Regi tak ada.

"Nu, kamu udah panggil Galuh?" tanya Kamila tiba-tiba.

Ibnu mengangguk, setelah menaruh  mangkuk sayur di atas meja makan.  Ibnu hanya menatap sekilas pada Fariz ketika kakaknya melintas melewati meja makan.

Selamat pagi, Bun." sapa Galuh. Usai menuruni anak tangga lalu melangkah cepat mendekati Bundanya.

"Pagi, gimana udah mendingan?"

"Udah tenang Bun, aman."

"Aman, aman. Semalam ngambek minta tidur di kamar Bang Fariz." Sahut Ibnu.

"Bohong tuh, Bun." cerca Galuh. Anak itu sudah duduk manis di kursi yang kebetulan bersebrangan dengan kursi yang Ibnu dan Fariz dudukki.

Fariz hanya menatap kedua adiknya  dan membiarkan keduanya saling berceloteh. Tak ada yang aneh sebelumnya, tak ada hal yang bisa dicurigai selain menatao wajah Galuh yang cukup menyentil hati dan penglihatan Fariz.

"Hari ini aku sekolah, udah lama nggak sekolah meresahkan jiwa dan raga, Bun. Boleh, kan?" ucap Galuh. Kamila tersenyum lalu mengusap lembut lengan putranya.

"Bunda nggak larang kamu mau sekolah, tapi gimana? Kamu sendiri udah merasa lebih baik atau belum? Bunda nggak mau kamu kecapean itu, aja."

Belum sempat Galuh menjawab anak itu kembali merasa kalau ada sesuatu yang kembali mengalir bebas melewati hidungnya. Jerit Kamila yang terkejut melihat  darah menetes di atas meja makan membuat Ibnu dan Fariz berhenti sejenak lalu menatap Galuh yang sudah mendongak di kursinya.

"Bunda bilang nurut, apa susahnya sih, Nak. Kalau kayak gini Bundanya yang cemas." ucap Kamila. Galuh terkekeh. Membuat Ibnu berdecak kesal padanya.

"Bunda khawatir lo malah nyengir,  anak siapa sih lo."

Mendengar Ibnu bersuara, Fariz dengan cepat meliriknya dengan tajam. Ibnu tahu kalau Fariz seperti harimau, kejam dan menyeramkan. Bahkan dalam situasi seperti ini saja, Fariz masih sama, dingin dan tak tersentuh.

"Bunda ngomong gini, aku yang pusing dengernya. Ah, iya, Bang. Bang Iwan dan yang lainnya pada ke mana ?" ucap Galuh.

"Mereka udah pulang dari subuh. Lo masih tidur. Lagian lo nurut apa kata Bunda, istirahat dulu sampai keadaan lo bener-bener pulih baru deh masuk sekolah. Lagian lo nggak akan di tendang dari sekolah juga. Iya, kan Bun?"  balas Ibnu.

"Nanti biar Fariz yang langsung ke sekolah.  Ibnu juga, nggak ada alasan bolos karena adik lagi, ya? Awas kalau Bunda dengar kamu alasan izin pulang duluan lagi." kata Kamila.

"Nggak asik banget,  masa di rumah sih, Bun. Ah, males." gerutu Galuh. Anak itu pun bangkit usai dibersihkan darahnya oleh Kamila. 

Kamila tahu kalau  Galuh tipe manusia yang mudab bosan,  maka detik berikutnya Fariz yang bertindak. Lelaki itu menahan lengan adiknya sampai si pemilik memekik kesal meminta dilepaskan.

"Nurut." katanya. Galuh berbalik,  menatap Fariz yang sejak bangun tidur pun memang masih kesal.

"Ada syaratnya. Beliin cokelat yang banyak  sama susu kotak. Jangan rasa vanila, pokoknya yang cokelat  kalau perlu pabrik cokelatnya di borong. Minggir!" ucap Galuh sambil menarik kembali lengannya dari genggam Fariz kemudian berlari kecil menaiki anak tangga menuju kamarnya.

Fariz hanya mendengus, ia tak bisa menolak permintaan Galuh kalau sudah ngambek.  Bagi Fariz meski usia Galuh sudah menginjak 16 tahun, anak itu tetaplah si kecil di keluarganya. Si bungsu yang tak mau mengalah. Terlebih kehadirannya membawa suasana rumah terasa hidup. Dengan pertengkaran kecil, yang sejak dulu tak bisa Fariz lakukan. Walau pada kenyataannya Fariz memang kurang suka keributan. Fariz lebih suka berdiam diri dalam ketenangan, tapi ia tak bisa membohongi dirinya kalau ramai saat ini adalah favoritnya.

Berulang kali Fariz mengatakan keramaian yang terjadi di antara Ibnu dan Galuh adalah sebuah anugerah yang menjadi salah satu hal yang paling di sukainya.

"Lo mau anterin gue ke sekolah, kan?" tanya Ibnu hati-hati. Fariz menoleh cepat, ia sempat melamun ketika Galuh mulai meninggalkan meja makan dan sarapannya.

"Tunggu di mobil."

"Okay,  meluncur. Bun Ibnu berangkat duluan,  Bunda di rumah baik-baik, ya."  ucap Ibnu, setelah menyalimi Bundanya. 

Kamila rasa ucapan Ibnu beberapa waktu lalu benar.  Hadirnya Galuh seperti sebuah keajaiban. Kamila bisa melihat bagaimana Fariz  yang mulai membuka suara pada Ibnu meski tak banyak.  Walau sikap dinginnya pada Ibnu masih belum melunak.  Tapi Kamila selalu yakin pada putranya, kalau suatu saat nanti mereka akan hidup rukun. Sama seperti yang Galuh selalu ucapkan sebelum tidur, ketika Kamila menemaninya.

"Kamu ngambek nih sama Bunda, ceritanya?"

Galuh menggeleng,  setelah Ibnu dan Fariz pergi. Kamila mulai membereskan beberapa piring kotor kemudian membersihkan beberapa ruangan sebelum ia menemui Galuh yang ada di kamarnya.

Wanita itu sudah rapi, siap untuk pergi menghadiri undangan dari temannya.  Namun sebelum itu, Kamila berusaha membujuk Galuh untuk sarapan lebih dulu. Meski sedikit kesal, Galuh tetap menerima suapan yang Kamila berikan.  Bahkan sampai suapan terakhir saja, Galuh tak peduli, karena fokusnya pada animasi yang sedang menyala di layar kaca.  Sesekali Kamila menoleh, kemudian tersenyum sambil memberikan segelas air putih juga beberapa obat milik Galuh.

"Maafin Bunda, kalau Bunda biarin kamu sekolah tapi keadaan kamu belum fit,  gimana Bunda mau percaya ? Bunda nggak larang kamu, tapi Bunda mau kamu sembuh dulu, baru bisa pergi ke mana pun yang kamu mau termasuk ke sekolah." ucap Kamila, setelah smeuanya usai. Kamila mengusap wajah  Galuh pelan.

Kamila sudah melihatnya saat di meja makan, tapi Kamila tidak mau menanyakannya, karena ia tahu Galuh tidak suka di tanya tentang memar yang tiba-tiba muncul. Beberapa waktu lalu, hal yang sama juga terjadi, kejadiannya sama persis seperti tadi. 

Mendengar Kamila mengatakan maaf, Galuh segera menoleh lalu menatap Bundanya dengan sendu.

"Bunda nggak perlu minta maaf, bukan Bunda yang salah, aku-nya aja yang nggak mau nurut. Maafin aku Bun."

"Semua orang berhak mengatakan maaf walau mereka tak sepenuhnya salah. Bunda tahu kamu udah kangen sekolah, tapi kamu juga harus pikirin keadaan kamu sendiri. Bunda percaya sama kamu. Kamu itu kuat, jadi sesekali nurut sama orang tua, termasuk Abang nggak ada salahnya, kan?" ucap Kamila.

Hanya Galuh yang mampu membuat Kamila luluh dengan sendirinya. Meski terkadang Ibnu juga bisa melakukan hal yang sama. Namun, Galuh punya tempat tersendiri untuk Kamila. 

Sampai detik ini, Kamila hanya khawatir tentang satu hal dari putra bungsunya. Kehilangan untuk waktu yang lama.  Surya selalu mengingatkannya apa saja yang harus di perhatikan termasuk aktivitas Galuh.  Biar begitu, Kamila tak bisa sepenuhnya melarang,  atau membatasi. Terlebih putra bungsunya pasti selalu memiliki alsan agar bisa ikut kakak-kakaknya pergi ke mana pun, contohnya  bermain futsal setiap minggu di lapangan kompleks.

"Makasih Bun," ucap Galuh. Kamila  mengangguk, kemudian bergegas  untuk segera pergi setelah memastikan putranya merasa jauh lebih baik.

"Bunda mau ke acara syukuran temen Bunda,  kamu tunggu Bang Fariz pulang, ya, kalau ada apa-apa telepon Bunda atau Abang."

Galuh mengangguk, senyum yang  Galuh perlihatkan begitu sejuk, meski wajah pucatnya  akan selalu terlihat di sana.  Galuh hanya ingin semua orang mengenalnya  dengan baik, bukan merindukannya karena luka. Atau, setiap kali melihat Galuh semua orang akan berkata hal yang sama. Senjanya telah berpindah pada si pecinta, kemudian mereka akan tertawa bersama.

Seperti rumput liar yang dicabut berkali-kali pasti akan tetap tumbuh, begitu juga dengan Galuh, sakit baginya adalah teman. Jika dia mengeluh, apakah dia akan sembuh? Jawabnya, tetap syukuri, meski selalu menyakiti hati semua orang tersayangnya.





G A L U H 2

Nah, segini dulu. Ada yang kangen?   Wah,  nggak kerasa sebentar lagi akan menghadapi tahun  baru. Adakah yang ingin kalian sampaikan untuk Galuh dan yang lainnya?

Bisa banget komentar di bawah, 🤭 seperti kata pepatah, tak kenal maka tak sayang. 🤭

Adakah yang sama seperti Galuh, maniak sama cokelat? 

NOTE : part ini pernah kutulis di Seri satu, buat kalian yang masih ingat  si Bungsu yang malak abangnya,  di sini aku ceritain sedikit.

Dan buat kalian yang menemukan  quotes di cerita ini, bisa banget  tag aku di IG nisa_jihad pasti aku bakes.

Terima kasih  sudah berkunjung 🤗🤗

Salam manis Mr. Choco 🍫🍫










Publish, 28 Desember 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro