Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 16

Untuk yang kesekian, Galuh enggan untuk membuka matanya. Galuh tak  mau melihat Kamila menangis, walau dirinya juga menangis dalam diam.

Galuh sudah bangun, Galuh mendengar semuanya, tapi ia menolak melihat semua orang yang sedang ada di dalam kamarnya.

Bukan karena kondisinya yang kurang baik. Hanya saja, melihat Kamila meneteskan air mata adalah kelemahan terbesarnya. Bahkan, ketika alerginya kembali menyerang. Kamila tak segan memarahi Ibnu dan Fariz, tapi detik kemudian Kamila sadar, apa yang Galuh alami bukan karena orang lain.

Kini, anak itu membiarkan malam menjalani tugasnya. Walau ia tahu, sejak ia terbangun,  Ibnu yang berada di sebelahnya tak berhenti mengusap kepalanya.

"Luh, lo tahu nggak sih. Lo itu kayak magnet, tapi juga kayak listrik. Nyentuh dikit udah tersengat, ya nggak jauh beda sama Bunda dan Fariz gitu." gumam Ibnu.

Sebenarnya Galuh ingin sekali membuka matanya, tapi rasa malas tiba-tiba muncul, dan memilih untuk mendengarkan celoteh tak berguna Ibnu.  Galuh yakin, kedua temannya sudah berakhir dalam dunia mimpi mereka.  Sedang Kamila menurut apa yang Ibnu minta. Wanita itu tak bisa menolaknya, terlebih saat kedatangan Fariz  sekitar pukul 12 malam.

Kamila hanya tak sanggup melihat Galuh sakit,  tapi keadaan selalu memaksanya untuk tetap bersabar samapai waktu juga yang menjawabnya. 

Sebelum Kamila benar-benar pergi ke kamarnya, Kamila sempat mengobrol perihal ke pergian Fariz yang tanpa pamit.  Cukup mengejutkan untuk Kamila dengar. Apalagi Fariz sangat dekat dengan Restu.

Begitu tahu Restu masuk rumah sakit karena asmanya kambuh, Fariz tak sempat meminta izin. Ia pergi begitu saja, bahkan  beberapa waktu setelah Regi pergi.

"Bunda nggak suka kamu pergi kayak tadi, tanpa izin." tegur Kamila.

"Maaf Bun, aku buru-buru. Lain kali nggak diulangin, kok." balas Fariz.

"Seburu-burunya orang, tetap harus minta izin, setidaknya ngabarin Bunda, untuk apa punya ponsel, kalau kamu malah buat Bunda khawatir."

"Bun.... Fariz yang salah, Fariz minta maaf. Tadi Fariz buru-buru, karena mau lihat keadaan Restu, itu aja kok." 

Setelahnya Fariz hanya memeluk Kamila, ia tahu kalau dirinya memang salah. Benar apa yang Kamila katakan. Harusnya setelah sampai di rumah sakit, Fariz langsung menghubungi Kamila, untung saja Kamila bukan tipe wanita yang suka marah-marah.

Kamila terlampau cinta pada ketiga putranya meski ketigany terkadang membuat dirinya gemas sendiri. Sesekali Kamila marah pada mereka, namun itu tidak bertahan lama, setelahnya akan kembali damai.

Hanya sebatas itu, tak ada lagi yang Kamila ingin tahu dari Fariz. Bahkan Fariz sendiri pun menutup pembicaraan mereka setelah mendapat maaf dari sang Bunda.

Langkah Fariz terhenti saat ia melintas depan kamar Galuh.  Usai berbicara dengan Kamila, Fariz pamit untuk pergi ke kamarnya lebih dulu. Namun, belum sampai kamar saja, Fariz kembali dibuat pusing oleh Ibnu yang tengah asik mengganggu adiknya.

Awalnya Fariz hanya diam, karena pergerakan Ibnu yang biasa saja menurut Fariz. Namun, berikutnya Fariz kembali terkejut saat Ibnu tiba-tiba terlonjak usai menyentuh kening adiknya.

Suara panik yang begitu samar terdengar oleh Fariz. Fariz masih memperhatikannya dari balik pintu kamar. Sebelum akhirnya suara Ibnu benar-benar membuatnya jengah. 

"Galuh, please buka mata lo, astaga ini kalau Bunda tahu, besok acara lo mau sekolah gagal lagi. Bangun Luh, minum obat dulu." gumam Ibnu. Fariz melirik sedikit ke dalam kamar Galuh. Di sana ada Irgi dan Reka yang juga ikut terjaga. 

"Kenapa ?" tanya Fariz tiba-tiba.

Lelaki itu sudah melangkah masuk setelah melihat apa yang terjadi. Sedangkan Ibnu tak menyahut hanya decih kesal karena adiknya tak mau membuka mata.

"Galuh demam, dari habis makan malam tadi dia belum siuman." balas Irgi. Reka menganggukinya. Ia tahu, keadaan sahabatnya tak sama seperti mereka. Tubuh rentan Galuh mudah terserang penyakit ringan.

Fariz tidak lupa, kalau Galuh masih dalam keadaan lemah, karena tubuhnya  masih harus butuh banyak istirahat. Walau pada kenyataannya anak itu akan menolak berbaring sedikit lebih lama dengan alasan bosan.

"Jam 2 :45 pagi. Kalian masih terjaga? Why?"

"Lo pikir aja pake otak lo,  Lo balik tengah malam, sementara Bunda nunggu lo pulang. Lo manusia bulan, sih? Se-nggaknya lo kabarin gue, atau telepon  rumah, kan nyala. Lagian kita nggak nunggak bayar listrik kalau lo telepon juga." gerutu Ibnu. Cowok itu memang sudah sangat kesal sejak tadi pada Fariz.

Tapi cowok itu hanya bisa memendam ketika ada Kamila. Ia tak akan membuat Kamila semakin khawatir, maka Ibnu memutuskan untuk meminta Kamila pergi beristirahat selagi dirinya yang menunggu Fariz pulang.

"Berisik! Bukan urusan lo."

"Walaupun lo nggak suka sama gue, tapi lo nggak perlu limpahin semua kekesalan lo ke Galuh, atau Bunda. Gue nggak suka, lo bukan anak SD yang di suruh terjun bebas ke danau tanpa tahu bahaya, gue harap lo nggal sebodoh dia, yang lo tolong dan akhirnya lo nyesel."

"Udah Bang,  udah. Urusan kalian lupain dulu aja,  ini bukan waktunya kalian ribut apalagi di depan Galuh, adik kalian.  Udahlah, lo juga Banga Fariz. Harusnya lo kabarin kalau lo mau pergi dan pulang larut. Tapi sekarang bukan waktunya ribut. Mending lo bantuin dari pada cuma jadi patung di sana." sahut Irgi.

Sebenarnya Irgi tak ingin ikut camlur, hanya saja ia terlalu lelah melihat Fariz dan Ibnu berdebat hampir setiap hari. Seolah memiliki dinding cukup tebal, Irgi selalu salut dengan Galuh.  Anak itu tak pernah mengeluh walau ia kesal. Biarpun begitu, Irgi akan selalu bertanya. Galuh memang sedikit  sulit untuk membuka suara, apalagi menengenai kedua Kakaknya. Ia tak ingin orang lain melihat Galuh sebagai anak manja. Sejak dulu, ketika mereka masih duduk di bangku SMP.

Kini, Galuh yang sama tak pernah membuat Irgi lupa, kalau dirinya semakin menyayangi Galuh seperti adiknya sendiri.

Ada candu yang membuat Fariz tak bisa lupa dengan wajah Restu yang begitu pucat. Mengingat bagaimana cowok itu bernapas dengan alat bantu membuat Fariz semakin merindukan adiknya yang juga baru keluar dari rumah sakit.

Sesekali Restu menanyakan keadaan Galuh. Fariz hanya menjawab seadanya, bukan berarti malas. Namun, Fariz cukup sadar diri, sikapnya pada Galuh waku itu telah membuat Restu memusuhinya selama sepekan.

"Lo harusnya nggak perlu ke sini buat jenguk gue, Riz." kata Restu.

"Ya, setidaknya gue nggak durhaka jadi temen lo." sahut Fariz.

"Bilang aja lo mau bales dendam sama gue, kan? Ngaku lo?!"

"Nggak."

"Bohong banget, seorang Fariz yang rela buang waktunya cuma  mau bilang biar nggak durhaka. Cih! Basi Riz, lo nggak bisa bohong sama gue. Kita temenan udah berapa lama, gue tanya? Cukup lama. Gue tahu sifat lo, bahkan dari mulai si mata bulet netes ke bumi. Gue tahu,  lo pasti resah mikirin dia, kan?"

"Jangan sotoy! Bahkan ketika Galuh lahir pun, kita belum kenal."

Restu terkekeh. Ia tahu siapa Fariz kalau sudah membahas mengenai Galuh. Ingatannya pasti akan kembali berputar kemudian menjawabnya dengan lantang.  Dan terbukti, sebenarnya Fariz sedang merindukan Galuh, namin pikirannya  terbagi dengan Restu.

"Diem berarti bener. Udah sana pulang,  udah malem juga, gue baik-baik aja, bentar lagi juga pulang."

"Ok."

Restu hanya tersenyum, sebelum kembali membuat Fariz menghentikan langkahnya saat sudah berada di depan pintu kamar rawat Restu.

"Fighting! Gue followers setia lo, Riz." ucap Restu dengan kekeh manis yang selalu membuat Fariz kesal sendiri.

"Bego." gumam Fariz, kemudian ia pun kembali melanjutkan langkahnya pergi dari sana.

Kini, seolah waktu kembali membawa penat yang begitu sesak di dada Fariz. Lagi-lagi Fariz kembali mendapat pesan singkat yang mengatakan kalau keluarganya dalam bahaya,

Walau ingin sekali menemui orang yang menerornya,  tapi Fariz tak ingin kembali dalam ruang hitam yang dulu sempat memabwanya pada cidera cukup serius.  Meski pada akhirnya, Fariz berhasil pulih.  Namun, kali ini Fariz tak ingin mengambil resiko besar, karena jaminan terbesarnya keselamatan adik-adiknya. 

Seperti angin, bahkan ketika keluar dari kamar Galuh, Fariz hanya mendengus berkali-kali karena ucapan Ibnu.

Sampai detik kembali mengingatkannya pada kejadian di danau. Ibnu benar, Fariz memang menyesal, tapi rasa tanggung jawabnya tak bisa Fariz hindari.

"Bocah tolol."

"Bang, Fariz?"

Fariz menoleh, ia terkejut ketika melihat Galuh sudah berdiri di belakangnya.  Lelaki itu menatap Galuh sebelum tangannya menyentuh kening si pemik dengan sempurna.

"Lo kenapa di sini? Ibnu mana?" sahut Fariz.

"Mau sama Abang." jawab Galuh. Fariz menggeleng cepat,  kemudian merangkul adiknya dengan lembut.

"Nggak ada. Lo balik ke kamar lo.  Gue anter, masih jam segini, udaranya dingin, Luh." celoteh Fariz.

Galuh menepis tangan Fariz tanpa permisi. Anak itu jenuh, bahkan  sebelum ia pergi ke kamar Fariz, Ibnu sendiri sudah melarangnya, namun untuk mencegah Galuh adalah hal yang rumit, ucapannya adalah mutlak. Apapun harus terpenuhi. 

"Nggak, Bang Nu bilang boleh kok,  kenapa ? Lo nggak suka? Yaudah kalau gitu, besok lo nggak perlu ke kamar gue, jangan deket-deket."

Baru beberapa menit berdiri di sebelah Fariz, anak itu sudah kembali terhuyung karena pusing yang tiba-tiba menyerangnya. 

Galuh tak tahu, sejak kapan ia mulai sering pusing dan mimisan. Yang Galuh tahu, dirinya hanya kelelahan. Semua orang juga tahu itu.  Maka Galuh tak perlu khawatir, kan?  Tapi semua yang Galuh anggap biasa saja, juatru berbeda dengan Fariz yang menatapnya cemas.

"Duduk  situ, gue buat teh anget." putus Fariz. Galuh menggeleng, kemudian menahan lengan Kakaknya dengan cepat.

Kali ini Fariz hanya bisa menyerah, ia tak lagi bisa menolak karena ia tahu, Galuh juga sama kerasa kepalnya dengan Ibnu.

Waktu memang tak bisa dipastikan. Detik sudah berganti menjadi terik. Semalaman Fariz tidak bisa tidur karena harus mendengar rintih adiknya berkali-kali.

Galuh benar-benar menginap di kamar Fariz. Cukup mengesankan untuk di dengar. Karena pada dasarnya Fariz memang sedang merindukan adiknya. Meski sedikit kesal, aetidaknya ia tahu Galuh memeluknya dengan hangat dari balik selimut tebal miliknya.

"Abang?  Lo udah bangun belum? Di suruh Bunda turun, kita sarapan bareng." Itu Ibnu. Suara khasnya selalu membuat Fariz geleng kepala.

Sebenarnya ia tak masalah dengan  keadaan yang kini sudah menjadi rutinitas ketika Galuh di rumah. Keributan dan jerit pekik juga amarah yang akhirnya berujung damai sudah biasa Fariz lewati, meski sesekali ia juga butuh ruang damai untuk dirinya sendiri. 

Kini, dirinya tak lagi perlu khawatir kalau semisal dirinya tak ada, ia masih bisa menitipkan Galuh pada Ibnu. Bahkan, jika waktu bisa memberi kehidupan kedua, ia hanya ingin berdamai. Kali ini, Fariz hanya tahu kalau semesta sedang membicarakan kontrak yang kapan saja bisa memanggil adiknya.

"Om Surya, kan teman Papa. Masa nggak bisa pastiin."

"Maaf Fariz, kamu sendiri yang datang menemui Om waktu itu. Apa yang Om katakan, itulah keadaannya. Kamu tak perlu cemas, setidaknya dukung adik kamu, jangan buat dia lelah."

Rasanya seperti  ombak dayu, semula di atas kemudian dengan cepat berpindah lagi. Suara dokter Surya  tadi malam membuatnya tak bisa memejam walau sebentar. 

Fariz hanya ingin adik kecilnya selalu baik-baik saja bagaimana pun caranya. Walau dirinya akan mendapat luka yang lebih dalam.







G A L U H 2

Hallo, ada yang kangen? Okey sip. Ini sedikit kisah manja seorang Galuh. Kalau belum tahu siapa Galuh. Kalian bisa mampir ke seri satu dengan judul yang sama. GALUH.

Dan, jika kalian menemukan aksara yang bisa dipetik, kalian bisa tag aku di IG nisa_jihad.  Terima kasih 😊




Publish, 25 Desember 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro