Chapter 13
Katanya muda itu berumur panjang. Kenyataannya, usia tak ada yang tahu kapam akan usai.
Garuda Ibnu Haikal
⌛⌛
Malam tiba dengan deru angin yang berembus cukup lembut menerpa wajah. Kedatangan Kamila sangat di nanti oleh Si bungsu. Sesampainya di rumah sakit pukul tujuh malam, mata itu tak henti menatap sang bunda dengan riang. Mulai bercerita setelah seharian bersama Fariz, Ibnu dan Restu.
Malam ini, Irgi ikut bersama Regi. Anak lelaki itu sudah rindu dengan gurau yang Galuh selalu berikan padanya. Bahkan sebelum MOS berakhir, Irgi terus menghubungi Galuh. Namun, tak ada balasan, sesekali ia menelpon Fariz atau Ibnu. Jawaban keduanya tetap sama, Galuh di rumah sakit, tapi Irgi dilarang mengunjunginya kecuali acara sekolah sudah benar-benar usai.
Fariz tahu siapa Irgi, dia teman yang cukup dekat dengan adiknya. Bahkan Fariz juga tak segan untuk mengajak Irgi pergi bersama. Hanya saja Irgi yang akan menolak lebih dulu, tapi Irgi tak akan bisa menolak jika Galuh yang memintanya.
Irgi selalu mengatakan pada Ibnu, kalau perintah Galuh adalah mutlak. Tidak bisa dibantah atau ditolak. Dia juga ingat ketika diam-diam sepulang sekolah sempat mampir ke warnet. Lalu diam-diam mampir di warung kepiting dipinggir jalan, dan masih banyak lagi. Tapi, akhirnya Irgi akan mendapat masalah setelahnya.
Seolah waktu mengingatkan pada masa putih biru, saat itu. Di sana mereka benar-benar menikmati kepiting kuah kuning yang memang top andalan di warung tersebut. Bukan karena Irgi tak tahu, tapi Galuh yang memaksa. Padahal sebelumnya Irgi telah memperingati sahabatnya kalau Galuh tidak akan sanggup memakannya. Selain Galuh memiliki alergi, anak itu juga tak bisa menahan rasa pedas yang tercipta dikuah itu.
Siapa sangka, keras kepala Fariz menurun pada adik bungsunya yang terlalu membandel. Baru memakan beberapa suap, Galuh sudah mulai menggaruk lengannya. Wajahnya mulai memerah begitu juga dengan kedua tangannya. Untung saja Irgi selalu menyiapkan hodie di dalam tas ranselnya.
Cepat-cepat Irgi membantu Galuh mencucikan tangannya, setelah itu barulah Irgi memakaikan hodie kebesaran miliknya pada Galuh.
"Gue udah bilang tadi, bandel sih. Kalau gini Bunda lo bisa ngamuk-ngamuk ke gue." Celoteh Irgi. Galuh tak menyahutnya, ia sudah tak tahan dengan rasa gatal ditubuhnya.
Berkali-kali ia meringis perih. Tapi Irgi selalu memiliki ide tak terduga. Irgi hanya bisa mengusapnya sampai rasa gatal itu mulai berkurang. Sebelumnya Irgi telah menghubungi Ibnu, memberitahu keberadaan mereka.
Cukup lama Irgi menunggu, bahkan Irgi pikir Ibnu datang sendiri. Di sana ada Fariz, Restu dan Genta. Rasanya ingin melarikan diri, Irgi lebih takut berhadapan dengan Fariz kalau sudah mengenai Galuh.
"Dia kenapa?" tanya Ibnu, cepat-cepat ia mendekat pada Galuh untuk melihat wajah adiknya dari balik penutup kepala hodie yang dikenakannya.
Kejut yang Ibnu tampak membuat Irgi tak bisa berkata-kata. Sementara Fariz, lelaki itu hanya berdiri diam dengan menatap tajam pada adiknya.
"Pulang!"
"Riz, nyantai. Kasian adek lo." bisik Restu. Fariz tak peduli, apa yang dilihatnya adalah sesuatu yang paling Fariz tak suka. Baru saja akan melangkah, tubuh Galuh lebih dulu terhuyung kebelakang, pandangnya yang buram membuat Irgi memekik. Bersyukur Ibnu menahannya agar tidak terjungkang ke belakang. Ibnu pun meminta Irgi untuk membawakan tas adiknya. Sementara Ibnu yang menggendong Galuh dibalik punggung tegap miliknya.
Cukup lama ia berdiri berhadapan dengan Fariz. Rasa kesalnya mulai mencuak di sana. Emosinya tak lagi bisa Ibnu tahan.
"Lo Kakak gue bukan? Jangan kayak patung! Bantuin adek lo, dasar es batu!"
Siapa yang tidak kesal? Padahal di sana ada Fariz berdiri seperti patung yang tak berguna, mungkin Ibnu akan menghardiknya lebih kasar. Walau begitu, tetap saja, apa yang Ibnu katakan akan menjadi embus angin yang hanya sekadar lewat.
"Dia begitu, karena ulahnya. Resiko kalau alerginya kambuh. Bukan urusan gue!"
"Setidaknya, hati lo masih berfungsi buat anterin kita balik. Udah ah! Capek ngomong sama kutub selatan, buang-buang kalori, ayo Gi. Lagian taksi juga banyak," ucap Ibnu. Kesal setengah mati, itulah yang kini Ibnu coba abai.
"Setidaknya gue bukan tukang nggeas kaya lo. " bala Fariz. Baru selangkah kakinya melewati Fariz, Ibnu kembali berlontar memperingati kakaknya untuk tidaj egois dalam keadaan mendesak seperti saat ini.
"Bang Ibnu, kayaknya kita harus ke rumah sakit aja deh. Badan Galuh panas, mimisan tuh," ucap Irgi.
Ibnu menoleh memastikan ucapan Irgi, benar, ada darah yang mengalir di sana, ia pun melepaskan sebelah tangannya untuk menyentuh kening adiknya.
"Pulang aja, Bang. Mau sama Bunda." lirih Galuh. Anak itu bahkan tak kuasa lagi untuk membuka matanya. Terlalu berat dan penat pada kepalanya sangat meresahkan untuk Galuh.
"Iya, iya, kita pulang. Tapi gue mohon, buka mata lo." sahut Ibnu. Cepat-cepat ia melangkah, tak peduli dengan Fariz dan pikirannya yang sangat menyebalkan. Dia hanya ingin segera sampai rumah bertemu dengan Kamila. Ini bukan kali pertama Galuh alergi, sebelumnya pernah, tapi tidak terlalu parah, hanya terdapat bercak merah namun tidak demam.
Ibnu selalu ingat apa yang Kamila katakan padanya, jika ingin pergi mengajak Galuh, jangan pernah memberinya makanan sea food. Ibnu sangat ingat. Namun, ini berbeda. Galuh pergi tanpa seizinnya atau Fariz.
Fariz tidak salah, Fariz berkata sesuai yang dilihatnya. Meski menyakiti perasaan orang lain, tapi tidaklah benar membiarkan adiknya yang lemah tepat di depan matanya. Jelas saja Ibnu kesal, bukannya membantu, Fariz hanya melihatnya tanpa rasa bersalah. Padahal dirinya juga lalai.
Rasanya waktu berlalu begitu cepat, kini Irgi kembali melihat Galuh dengan wajah pucatnya. Galuh memang sakit, tapi ucapannya tidak seperti orang yang sedang sakit. Sejak tadi saja Ibnu menjadi pelampiasan kekesalan Galuh.
"Lo ngepain ke sini? Bukannya pulang, sekolah besok." seru Galuh. Irgi mendekat pada brankar Galuh. Kemudian mengusap lengan Galuh dengan hangat.
"Lo ngusir gue? Berdosa banget gue tinggalin lo lagi kayak gini. Lo nggak tahu aja, kemarin gue kayak jomlo duduk sendirian. Jahat banget lo nggak jawab chat atau telepon gue. Terus lo mau usir gue, gitu? Sungguh sakit hati ini, Luh dengerin gue. Gue ke ke sini emang mau jenguk lo ?" kata Irgi. Galuh mengerutkan keningnya sejenak, lalu menoleh pada Kamila yang duduk di sebelahnya.
"Iyalah! Emang mau ngepain lagi?" balas Galuh cepat.
"Ge-er."
"Mana ada? Eh, ya, di mana-mana kalau orang ke rumah sakit itu, mau jenguk orang sakit. Aku bener, kan Bun?" bantah Galuh.
Kamila terkekeh. Wanita itu mengusap rambut putranya dengan sangat lembut. Kemudian menyentuh pipi putranya lalu berkata, "Irgi ke sini, Bunda yang ajak. Dia udah kangen sama Ananda katanya. Bukan Galuh."
"Bunda! Ananda itu aku, aku itu Ananda. Ah.... nggak asik." gerutu Galuh.
Semua yang ada di ruangan itu ikut tertawa, apalagi Ibnu. Cowok itu sangat puas melinat wajah cemberut adiknya. Apalagi kalau bibirnya yang mengerucut seperti pinguin, menggemaskan!
⌛
Mengenang kisah Galuh adalah hal yang menyenangkan, memberi sesuatu yang sulit untuk dipahami, namun selalu indah untuk didengar.
Mengajaknya adalah mustahil, tapi selalu ingin memberinya bahagia. Melupakannya adalah hal terberat, karena rindu pasti akan selalu datang.
Maka Galuh selalu berpesan pada orang-orang yang dekat dengannya. Tidak ada hal yang abadi untuk sebuah rindu, tidak ada hal yang tak mungkin jika mengenang adalah yang terbaik.
Katanya, berdamai dengan luka adalah cara agar bisa selalu bersama. Menatap langit senja, padahal ia tahu, senja tak akan bertahan lama. Atau mungkin, senja adalah kelabu yang berwarna agar siapapun yang melihatnya tidak merasa kalau sebenarnya dia sedang terluka.
"Kenapa belum tidur, Sayang?"
Kamila memilih untuk tinggal, sementara Fariz pulang bersama Irgi. Jangan tanya Ibnu tentang hal ini. Cowok itu akan menolak jika harus berada jauh dari adiknua. Alasannya karena kasihan pada Bunda, kasihan kalau tidak ada yang membantu. Padahal semua orang tahu, itu hanya akal-akalan Ibnu yang memang tidak mau pulang.
"Bun, Bunda nggak capek, ngurusin aku?"
Pertanyaan yang sama menjelang tidur, hampir setiap hari Kamila mendengarnya. Bagi Kamila sesibuk apa pun dirinya, akan selalu ada untuk menemani Galuh sampai tertidur, sejak kecil Galuh memang tidak suka di tinggal sendiri, itulah sebabnya mengapa Ibnu memilih tidur bersama Galuh.
"Bagi orang tua, anak adalah titipan, sesulit apa pun, selelah apa pun, anak adalah anugerah. Rasa lelah dan keadaan sulit itu akan tetap terbayar dengan melihat senyum anaknya. Bunda sama Papa nggak pernah capek untuk kalian. Karena kalian adalah kekuatan buat Papa sama Bunda. Kenapa?"
"Nggak ada apa-apa Bun, tapi aku yang capek. Aku mau kayak Abang, nggak ngerasain lelah setiap waktu, mau main kayak Irgi, ikut Abang main futsal, ikut Papa joging, dan masih banyak. Aku baru dua hari masuk sebagai sisww baru udah masuk rumah sakit, aku lemah banget sih, Bun..."
Walaupun pelan Galuh mengatakan kegelisahannya sejak tadi, Kamila bisa mendengarnya begitu jelas. Wanita itu segera memeluk putra bungsunya dan mengusap lengannya dengan lembut. Sesekali mencium kening Galuh. Biar begitu, tetap saja Kamila tidak mungkin membiarkan Galuh merasa berbda dari yang lain. Bagi Kamila Galuh seperti cahaya, di saat semua orang menangis karenanya, anak itu justru tersenyum. Meski, sakit yang dirasakannya tak bisa tertahan lagi.
"Bunda di sini, Bang Fariz, Bang Ibnu, Papa, Irgi, Restu, dan yang lainnya, semua ada buat Galuh. Jangan bilang kalau kamu itu lemah, kamu itu kuat, kamu hanya butuh istirahat supaya cepat pulih."
"Iya, Bun, makasih."
Detik baginya adalah jam yang berjalan begitu lambat. Kamila melihat Ibnu yang tertidur pulas di sofa, membuatnya tak tega, sementara Galuh masih belum memejam.
"Yaudah, tidur gih. Jangan dipikirin lagi, Bunda cuma mau kamu sembuh," tambahnya.
Galuh hanya tersenyum, siapa yang akan menyangka kalau pada akhirnya senyum manis itu akan cepat berlalu, bersama luka. Karena saat ini semesta sedang memberinya waktu. Karena sejatinya Galuh hanya tititpan, jika waktunya habis, maka semua harus merelakannya. Bukan-kah begitu perjanjiannya? Atau sebenarnya, manusia melupakan sesuatu dengan pencipta-Nya?
G A L U H 2
Nah, segini dulu, ya 🤗 ada yang kangen ?
Mana suaranya 😀
Aku mau tahu, kalian tim siapa nih?
Galuh Ibnu ?
Fariz Ibnu?
Atau
Galuh Fariz?
B
onus yang sayang mereka mana suaranya ? 😁
Cus, seret namanya kalau gitu 😁
Oh, ya, kalau kalian menemukan quotes yang bisa dipetik dari kisah Galuh, kalian bisa tag aku di IG @nisa_jihad pasti aku bales 😊
Terima kasih
Salam Mr. Choco 🍫🍫
Publish, 10 Desember 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro