Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 12.

Ice cream ini bentuknya sama, tapi rasanya beda. Sama seperti  Tuhan menciptakan dunia dan isinya. Tapi, tetap saja di dalamnya banyak hal yang berbeda. Terutama, hati dan pikiran seseorang.

⌛⌛

Harusnya Faris tidak memenuhi perintah yang mencuak di kepalanya. Perkataan Fatur benar-benar telahbnguras emosinya, bahkan dia telah berbuat curang dengan membawa kedua temannya yang kurang edukasi.

Harusnya Fariz mendengarkan kata Restu sebelum ia pergi. Harusnya  Ibnu tidak bersamanya, bila akhirnya Ibnu ikut terluka. Sialnya, Ibnu keras kepala, dia memaksa dengan alasan tidak rasional.

Rasanya ingin mengumpat pada adiknya yang terkadang ceroboh, tapi Fariz tidaj mungkin melakukannya. Dia terlalu lemah jika melihat adik-adiknya terluka dan sakit. 

"Gue bilang lo diem aja sama Restu, batu banget! Kalau begini, gue juga yang repot." gerutu Fariz sejak beberapa jam setelah pertemuan mereka yang paling Fariz benci.

"Salah emang kalau gue bantu Abang sendiri? Luka kayak gini doang mah, gampil, nanti juga sembuh, lagian temen lo aja tuh yang main keroyokan, payah banget." sahut Ibnu.

"Luka kayak gini, lo bilang?" ulang Fariz sambil menekan sudut luka yang ada di sikut adiknya cukup keras. Si pemilik hanya mengaduh kesakitan, sudah jelas kalau Fariz tak suka mendengarnya, tapi selalu Ibnu ulang berkali-kali.

"Kejam, ini luka woi!"

"Gue peduli?"

"Harus."

"Res, gantiin nih," ucap Fariz kemudian meninggalkan Ibnu sendiri di sofa.

Restu akan menjadi penonton aetia kalau Fariz dan Ibnu berdebat. Keduanya tak ada yang mau mengalah, untung hanya berdua, mungkin jika Gqluh siuman, anak itu akan menimpali perkataan Fariz atau memang malah mrnyudutkan Ibnu.

Restu tak pernah keberatan berada di antara ketiga manusia yang jarang akur namun saling mengkhawatirkan satu sama lain. Tapi, terkadang dia juga kesal sendiri dengan keputusan Fariz yang terlalu tergesah.

Fariz tidak yakin dengan ucapn Fatur yang terlihat tidak serius. Matanya berkata berkata tentang hal lain yang dia sembunyikan, apalagi ketika melihat Ibnu bersamanya. Jika saja Ibnu tidak  asal bicara pasti keadaannya sudah berbalik, Fatur-lah yang terluka.

Kali ini Fariz hanya perlu melepas semua bebannya sebentar dengan memandang wajah Galuh, rasanya sejuk. Walau pucat masih memghias wajahnya. Kelopak matanya yang sedikit menghitam membuat Fariz tak tega kalau Galuh sudah berawai kesakitan.

"Ban-g..."

Cepat-cepat Ibnu mendekati brankar adiknya, diusapnya rambut hitam Galuh perlahan. Tidak jauh berbeda dengan Ibnu, Fariz yang duduk kemudian ikut berdiri sambil memegangi jemari adiknya.

"Ada apa?" tanya keduanya, mata yang semula terpejam, perlahan mulai terbuka, mencari bias cahaya. Berkali-kali Galuh mengerjap, sampai fokusnya kembali dan menemukan kedua kakaknya ada di kedua sisinya dan Restu juga ada di sana.

"Bunda mana?"

"Bunda di rumah, paling nanti agak  sore ke sini, ada yang sakit? Mau makan? Minum? Gue panggil dokter dulu, ya?"

Rasa lega keduanya, membuat Ibnu  sangat antusias, kakinya sudah akan melangkah dengan cepat Galuh menahan tangannya.  Fariz hanya diam, dia tak ingin banyak bertanya apa pun. Untuk sesaat rasa cemasnya menghilang, tapi terganti dengan rasa takut yang cukup menyesakkan rongga dadanya.

"Di sini aja, sebelah gue."

"Iya, tenang, gue, Bang Fariz sama Bang Res ada di sini, buat lo, mau sesautu?"

Galuh hanya diam, Ibnu tahu, itu caranya untuk menolak. Rasanya benar-benar sakit melihat Galuh berbaring tak berdaya. Bahkan, setelah bertemu Fatur pun, Ibnu terus menggerutu, menyalahkan Fariz yang egois. Mrnyalahkan Fariz yang selalu acuh padanya.

Fariz hanya diam, bukan tak mendengar, tapi ucapan Ibnu selalu berhasil mengusik ketengannya. Mengusik segala ketenangan yang Fariz suka menjadi membosankan.

"Gara-gara lo, harusnya tadi kita nggak perlu ke sana, buang-buang waktu."

"Lo yang maksa, resiko. Bukan salah gue kalau lo terluka."

"Egois lo, kapan lo mau anggap gue Garuda? Lo bisa akrab sama Galuh, kenapa sama gue nggak?"

"Karena lo masalahnya."

Tak ada lagi yang menyahut, hanya embus napas kesal yang masing-masing tampakkan di sana. 

Suasana ruangan itu cukup hening, Galuh yang sudah siuman beberapa waktu lalu kini tengah asik bermain game di ponsel milik Ibnu. Sementara Fariz dan Restu memilih keluar mencari makanan untuk mereka.  Fariz telah menceritakan semuanya pada Restu, sampai Restu tertawa pun Fariz hanya diam. Tak bicara lagi setelahnya.

Restu sudah paham, bukan Fariz yang akan banyak bicara walau sebenarnya ucapan Ibnu terkadang ada benarnya, lucu sekali bila Fariz mengeluh karena ucapan Ibnu yang kurang reparasi itu.

"Lo lagian, udah tahu adik modelan Ibnu itu banyak akalnya, lo sahutin omongan dia, ya makin panjang urusannya. Tapi, gue rasa Ibnu bener Riz, harusnya lo nggak perlu setuju. Mereka cuma mau hancurin lo dengan cari kelemahan lo. Buktinya lo bisa kena pukul dia, karena temannya nyerang Ibnu, kan? Riz, pikirin lagi, nasib Galuh sama Ibnu nantinya bakal dalam bahaya," ucap Restu. Fariz berhenti lalu menoleh ke arah sahabatnya.

"Lo ngomong apa barusan?"

"Asal lo tahu, gue kena pukul, bukan karena Ibnu. Dia mati juga gue nggak peduli."

Restu gemas sendiri kalau Fariz mulai berkata yang paling menyeramkan untuk didengar. Dengan rasa tak bersalah Fariz kembali melanjutkan langkahnya.

Meski jarak restoran cepat saji tak jauh dari rumah sakit, Fariz akan menggerutu karena ulah Restu yang berjalan lamban.  Padahal Restu sudah sangat yakin dengan langkahnya yang yang cukup menguras tenaga, mengejar langkah Fariz yang cepat.

"Riz, tunggu!

Fariz tak peduli, dia terus melangkah tak peduli sekencang apa Restu meneriaki namanya. Bahkan sampai langkah itu terhenti di depan sebuah restoran yang di tujunya. Mata Fariz menangkap dua orang sosok yang salah satunya sangat ia kenal.

"Kiel? Mau apa dia di sini?" gumam Fariz.

"Cepet banget sih, capek gue lari-lari. Lo pake turbo, ya, Riz?" gerutu Restu. Restu tak tahu apa yang dipikirkan oleh Fariz, tanpa menunggu persetujuannya, Restu mrmilih melangkah lebih dulu, namun detik berikutnya Fariz menahan pergerakan Restu.

"Nggak jadi pesan di sini, pergi."

Restu tampak bingung dengan sikap Fariz, arah pandangnya ia bawa seperti Fariz yang masih menatap hal yang sama. Begitu pun dengan Restu, ia mengikuti arah pandang Fariz. Restu tak kalah terkejutnya dengan Fariz, dia melihat Kiel ada di sana, bersama seorang lelaki yang usianya sama dengan Regi, ayah Fariz.

"Nggak Riz, jangan. Kita ke sini mau beli makan, bukan mau cari masalah, udah ayo sebelum bencana Ibnu akan ngamuk gara-gara lo telat. Apalagi adek lo si Galuh," ucap Restu.

Apa yang Restu katakan benar, dia tidak seharusnya egois, hanya karena melihat Kiel dan membiarkan perjalanannya sia-sia.

"Bosen, mau pulang ketemu Bunda," rengek Galuh berulang kali. Sementara Ibnu duduk di sebelah Galuh, sambil mengupas buah pir yang di bawakan oleh Restu.

"Bang, ngomong dong, masa diem aja, puasa lo?" gumam Galuh. Ibnu terkekeh, lalu memberikan potongan pir yang sudah dikupasnya pada Galuh. 

Dengan senang hati Galuh menerimanya, sesekali Ibnu menoleh, lalu mengusap wajah adiknya, walau ditepis berkali-kali.

"Gue udah bilang berapa kali sih, Bunda bentar lagi juga datang, kalau lo balik sekarang, emang badan lo udah mendingan? Udahlah nurut dikit apa susahnya, sih?"

"Kapan? Katanya sore, ini udah sore, mau bilang malem? Ah! Kelamaan, Bang! Mau pulang...pulang...pulang!"

Panjang napas yang Ibnu embus membuat jengah dirinya kalau Galuh sudah merajuk. Ibnu menoleh, mendekatkan wajahnya pada Galuh dan mengusap sebelah pipi adiknya dengan lembut.

"Adek gue yang katanya ganteng, denger gue, lo di sini karena kondisi lo masih belum stabil, lo mau masuk rumah sakit lagi? Baru keluar udah masuk lagi? Nggak, kan? Nurut apa kata dokter, kata Papa, Bunda, dan Abang lo. Lo nggak sendirian Luh. Yang sakit emang lo doang, yang ngerasain emang lo doang, tapi lo nggak tahu di luar sana, gue, Fariz, Papa, apalagi Bunda...kita semua sakit. Lo boleh kesal, karena keripik pisang lo habis sama gue, tapi lo nggak boleh kesal sama diri lo sendiri." ucap Ibnu. Ia pun memundurkan wajahnya kembali.

Ibnu tahu kata-katanya tak enak untuk Galuh dengar. Tapi Ibnu tak punya pilihan untuk membuat adiknya tidak merengek. Bukan bosan, tapi Ibnu tak ingin dikatakan tidak berguna oleh Fariz.

"Lo boleh marah sama gue, karena suka bohong sama lo. Tapi untuk kali ini lo nurut, ini bukan buat gue. Buat kesehatan lo, oke? Gue nggak janji, tapi kalau lo sembuh, gue beliin dvd animasi terbaru deh."

Baik Ibnu atau Galuh, keduanya tak ada yang tahu kalau dibalik pintu sana, Fariz telah mendengar semuanya. Fariz telah mendengar apa yang Ibnu coba sampaikan. Ia tak tahu kalau rasa sayang Ibnu padanya sangatlah tulus, bahkan Ibnu tak membantah ketika Fariz memarahinya, atau melawan Fariz. Walau sesekali Ibnu pernah melakukannya, karena Ibnu tak suka sikap Fariz yang terlampau dingin dan ketus padanya. Ibnu hanya takut, sikap Fariz akan membuat Galuh terluka nantinya, tidak sekarang. Mungkin suatu saat nanti, ketika semesta kembali memberi pesannya.



G A L U H 2


Nah, segini dulu ya, ada yang kangen?  Cung mana suaranya 🤗

Salam sayang Mr. CHOCO 🍫🍫🍫

Publish, 9 Desember 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro