Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 11.

Sebelum Tuhan memintanya kembali, maka aku akan memulainya lebih dulu.

Ananda Haikal Galuh

⌛⌛

Matanya terpejam sepanjang hari, enggan unguk menyapa orang-orang yang sedang menunggunya terbangun.

Bahkan dia selalu berpikir tentang dirinya yang setiap kali merasa sudah tak sanggup. Dalam pikirnya selalu bertanya pada semesta, apakah ketika dirinya pergi, dia akan dikenang? Atau justru, akan terlupakan bagaimana manusia melupakan hujan?

Untuk saat ini Galuh masih memilih tetap memejamkan matanya, daripada harus melihat betapa tersiksanya dia ketika menemukan bundanya menangis.

Sejak kecil, Galuh tak pernah suka melihat bundanya menangis. Dia tidak pernah suka ada air mata yang mengalir melewati pelupuk mata indah, milik bundanya.

"Bunda dari semalam belum istirahat, lho. Aku anterin pulang, ya?" ucap Fariz, Kamila hanya menatapnya, enggan untuk menjawab.

Bahkan Kamila sendiri tak ingin melepaskan genggamnya dari Galuh. Pandangnya ia bawa pada Galuh yang masih memejam, layad monitor yang berbunyi nyaring itu menjadi teman dalam kesunyian.

"Bunda nggak mau pulang, Galuh sama siapa kalau Bunda pulang?" balas Bunda. Fariz memegang kedua bahu Kamila dan sedikit menunduk kemudian berbisik pelan.

"Ada Fariz Bun, Bunda nggak perlu khawatir. Nanti, kalau Galuh udah siuman, Fariz kabarin Bunda, sekarang Fariz anterin Bunda pulang dulu," ucap Fariz.

"Bunda nggak perlu khawatir, Fariz nggak sendiri kok, tadi sama Restu, jadi Fariz bisa anterin Bunda pulang dulu ke rumah. Papa sama Ibnu udah nunggu Bunda." terang Fariz. Sejenak Kamila membuang napasnya berat, kemudian sebelah tangannya mengusap punggung tangan Fariz yang masih berada dibahunya.

"Bunda akan pulang, kalau Restu sudah ke sini," sahut Kamila. Fariz mengangguk. Ia paham, sambil menunggu Restu kembali dari mini market, Fariz duduk di sofa minimalis yang tersedia di ruang rawat adiknya.

"Mm... Bun, semalam...."

"Bunda tahu kamu masih mikirin ucapan Bunda semalam, 'kan?"

Belum selesai Fari, bertanya, Bunda jauh lebih dulu mebaknya dengan tepat. Maka Fariz mengangguk cepat, ia tak tahu harus berkata apa. Yang Fariz tahu pikiran dan hatinya tengah gelisah saat ini.

"Fariz masih ingat apa yang pernah Eyang Kakung bilang, ketika kita liburan waktu itu?"

Fariz diam sejenak, setelahnya Kamila kembali berlontar pada putra sulungnya. Seharusnya Kamila tak membicarakan masa lalunya pada Fariz, tapi wanita itu sudah tak bisa berdiam diri jika ancamannya adalah anak-anaknya. Kamila hanya khawatir dan takut, jika suatu saat nanti, apa yang pernah terjadi di masa lalu, akan kembali terjadi pada anak-anaknya.

"Pasti Eyang pernah cerita tentang rekan bisnis Papa yang berbuat curang, 'kan?" tanya Kamila ragu.

Pandangan wanita itu tak lepas dari wajah pucat pasi, putra bungsunya, Galuh. Fariz langsung mengangguk cepat, bahkan sudah menegakkan tubuhnya ketika pembicaraan mereka mulai pergi ke tahun di mana ketika Fariz masih duduk di bangku SMA dan Galuh masih berstatus anak SMP.

'Aku ingat, Eyang pernah bilang kalau teman Papa sangat licik, bahkan, sebagian saham milik Papa justru dicurangi dengan begitu sempurna. Setelahnya, si penghianat itu melarikan diri bersama ketiga putranya. Aku bener, 'kan, Bun?" sahut Fariz.

Kamila pun mengebuskan napas 0anjang, apa yang dikatakan putranya memang benar. Dan saat ini orang itu kembali dan mengacau di acara mereka. Kamila tidak habis pikir kalau pria itu akan datang setelah sekian lama Kamila melupakan kenangan yang sama sekali tidak ingin dia ingat.

"Jadi, Bunda minta sama kamu, jagain adik-adik kamu. Bunda nggak mau salah satu dari kalian terluka lagi, cukup Ibnu yang buat Bunda hampir kehilangan dia, karena pria itu. "ucap Kamila, cukup pelan, namun Fariz menyipitkan matanya untuk memastikan kalau sebenarnya kecelakaan yang Ibnu alami saat itu adalah sabotase, tapi siapa?

"Bunda bilang, cukup Ibnu? Maksudnya gimana?" tanya Fariz tiba-tiba. Belum juga Kamila menjawab, suara decit pintu terbuka mengalihkan pandang keduanya.

"Hallo, Tan. Maaf ganggu," sapa Restu, Kamila mengguk tak keberatan. Wanita itu pun segera beranjak dari tempatnya usai mengusap lengan dan mencium kening putra bungsunya. Kamila hanya memberi senyum setelahnya menyampaikan pesan pada Restu memintanya menjaga Galuh sebentar.

Restu akan dengan senang hati bila diminta bantuan apalagi tentang Galuh, tidak terkecuali, kadang Fariz juga memintanya untuk menemani Ibnu dikala waktu luangnya. Sebenarnya Fariz bisa saja tanpa meminta bantuan siapa pun, tapi dia lebih memilih menghindari keributan dengan Ibnu dari pada akhirnya harus melihat Galuh yang ngambek padanya.

"Res, jagain bentar, gue anter Bunda," ucap Fariz. Restu hanya memberi jempol sebagai jawaban. Setelahnya Kamila dan Fariz pun pergi meninggalkan ruang rawat Galuh.

Sementara di rumah mereka, Ibnu tengah bergalau ria di dalam kamar adiknya. Bahkan selalu berkata kesal pada Fariz karena pergi tanpa mengajak dirinya.

Walau ada Regi di rumah, pria itu tidak akan mengganggu putranya jika sedang tidak baik perasaannya. Regi cukip memahami setiap karakter dari ketiga putranya, namun di antara mereka, Ibnu memang paling terbuka. Baik dalam hal sekolah atau keresahannya dengan saudara atau teman.

Regi tak pernah membatasi setiap pergaulan putranya, karena Regi tidak ingin memiliki anak-anak yang tidak tahu tentang lingkungan sekitar, hanya saja dibalik itu semua. Regi tidak lupa akan perannya sebagai ayah.

Regi akan tetap bersikap tegas dan keras pada putra-putranya. Bahkan ia tak segan untuk menghukum siapapun yang salah, termasuk pada Galuh. Regi tak akan memberi kesempatan putra bungsunya untuk meminta bantuan pada Kamila, istrinya. Maka, untuk sejenak Regi membiarkan Ibnu sendirian di dalam kamar adiknya.

Padahal, sebelumnya Regi hanya bertanya pada Ibnu tentang ulang tahun Galuh yang sebentar lagi akan datang. Siapa sangka, pertanyaan Regi langsung di sahuti jawaban ketus dari Ibnu.

"Papa nggak tahu apa? Aku itu lagi berduka, ulang tahunnya ditunda aja, berduka nih."

Regi ingin sekali tertawa, ucapannya memang ketus, tapi raut wajahnya selalu menjadi objek orang lain sulit untuk tidak menahan tawa. Apalagi dengan gayanya yang super mendrama.

Sejak kecil Ibnu selalu menjadi pusat perhatian orang-orang karena tingkahnya yang terlalu cerita, apa pun bisa menjadi lucu bila Ibnu mulai buka suara. Namun, tak lupa selain  Ibnu ada juga Galuh, si bungsu yang selalu menjadi lawan duel Ibnu ketika bosan.

Memang sederhana, bertengkar dan bercanda dengan akhir yang menyebalkan. Tapi dengan begitu, rumah akan terasa nyaman dan hangat. Bukankah, setiap manusia menginginkan hal sederhana dari pada sesuatu yang menyusahkan diri? Lalu mengapa beberapa dari mereka, lebih memilih egois untuk dirinya sendiri?

Itulah yang selalu ada dalam pikiran Ibnu jika hatinya sedang bersedih. Ibnu sadar, Ibnu paham dan Ibnu mengerti. Siapa Fariz jika sudah bersama dengannya. Tak ada hangat, tak ada percakapan yang normal dan tak ada basa-ba yang menyejukkan.

Fariz akan dengan bangga menjadi manusia es yang sama, jika bersama Ibnu. Berulang kali Ibnu selalu bertanya pada Farz, apa kesalahannya dan alasannya apa? Fariz selalu menjawabnya dengan lantang dan marah, kalau sebenarnya dirinya tidak pernah suka ada Ibnu di sekitarnya. Ibnu yang selalu berisok dan mengganggu.

Jawaban yang selalu Ibnu dengar dan Ibnu tanam rapat-rapat dikepalanya. Meski Fariz bersikap berbeda padanya, Ibnu tetap tidak bisa membenci Fariz. Cowok itu selalu menyayangi saudaranya, walau pada akhirnya dia akan terluka. Dia akan kembali pada hening yang sama sekali tidak pernah ia duga akan menjadi sesuatu yang besar nantinya.

"Nu! Ngelamun aja," sosok itu kembali bersuara. Padahal sejak tadi Ibnu hanya diam, tapi sosok yang duduk di sebelahnya tak henti bertanya.

"Males sama Bang Fariz. Dia nyebelin, lo tahu gak sih, Vy. Abang gue itu kayak kutub utara yang cairnya lama banget, resek!" gerutu Ibnu. Sementara sosok itu, hanya tertawa, bahlan mereka bisa tertawa bersama padahal sedang tidak ada topik yang menyenangkan.

"Denger Nu, gue dulu juga kayak gitu, di abaikan sama Kakak sendiri." sahut sosok itu. Mendengar percakapannya mulai serius, Ibnu pun segera merubah posisi tempat duduknya dan mendekat pada sosok yang selalu menjadi teman Ibnu selama tiga tahun terakhir.

"Gue pernah ngalamin hal yang sama, dulu ketika gue mau ikut, tapi selalu dilarang, dengan alasan repot. Gue harap lo bisa perbaiki itu semua, Nu. Nggak ada yang nggak mungkin, selagi lo masih punya kesempatan, kenapa nggak?"

"Gue, Arvy Mahendra. Ada di sini, buat lo. " ucap Arvy, sosok yang kini masih duduk bersama dengan Ibnu.

"Gue rasa, gue yang harusnya ngomong kayak gitu, lo tuh yang baikan sama Kakak lo. Kalau gua sih masih mending, Bang Fariz masih ada secuil pedulinya. Nah, lo, apa kabar, Vy?" sahut Ibnu. Tak lama keduanya tertawa bersama, sampai suara Ibnu yang keras itu pun terdengar oleh Regi.

Pria itu tak tahan sendirian dengan suasana rumah yang sepi. Padahal beberapa menit lalu, Kamila menelponnya, memberitahu akan sampai rumah dengan terlambat karena macet. Tak ada yang menyeramkan sebenarnya, hanya saja suara Ibnu yang begitu keras membuat Regi merinding sendiri.

"Nu, keluar dong. Papa kayak jomlo nih, nungguin Bunda pulang." teriak Regi dari balik pintu, tak lama gagang pintu kamar itu mulai memutar. Di sana Regi bisa melihar kepala Ibnu yang menyembul keluar dengan mata melotot tak sukanya.

"Inget umur, Pa. Bunda tadi WA aku, bentar lagi nyampe. Nggak usah ngedrama deh. Nggak lucu beneran deh, boneka chuky lebih lucu dari lawak Papa barusan, bye jangan ganggu." balas Ibnu cepat. Baru saja akan menutup kembali pintu kamar, tangan Regi lebih dulu menahannya. Sampai suara Kamila yang baru saja sampai membuat Ibnu menyingkir lebih dulu, hingga akhirnya Regi tersungkur ke lantai karena ulah Ibnu.

"IBNU!"

"Iya, Pa, hadir di sini. Cie kangen, ya?"

"Jangan mimta uang jajan ke Papa, pokoknya libur sekolah libur jajan. Nggak pake nolak!"

"Ah, gampang... masih ada Bunda,"

"Apanya masih ada Bunda? Bunda sama Papa itu sepaket, jangan ngadi-ngadi. Astaga, anak kok ya nyebelin banget."

"Titisan Papa, kalau nggak nyebelin, bukan titisan lagi nanti, Pa. Yaudah, Nu minta maaf deh," katanya,

Regi menoleh,"Ada maunya ini, ah udah basi, Nu. Pake peluk-peluk segala, minggir, Bunda sama Fariz udah dateng, buruan turun. Nanti Bunda kamu ngamuk, serem bahaya."

Ibnu terkekeh, dalam suasana yang kurang baik saja Regi masih bisa mencairkan suana, tapi itu tak berlangsung lama. Baru saja menuruni anak tangga terakhir, ponselnya kembali berdering. Kali ini bukan pesan singkat seperti sebelumnya, ketika Regi sedang di ruang pribadinya.

"Hallo Regi, apa kabar. Masih ingat saya?"

Nyaring suara itu membuat Regj mengepalkan sebelah tangannya. Tak biasanya Regi akan geram ketika menerima telepon. Fariz dan Kamila yang baru saja datang, langsung di sambut dengan ekspresi wajah Regi yang merah padam.

"Apa mau kamu?" tanya Regi, tak ada sahutan dari aebrang sana. Sampai detik berikutnya seperti guntur yang membawa semua rasa hangat sebelumnya berubah menjfi panas api yang membara.

"Berengsek! Kamu pikir kamu bisa mendapatkan itu semua? Jangan kamu pikir, kamu telah berhasil, dengar ini baik-baik. Kamu tak akan bisa mendapatkan apa yang kamu ingin selagi saya masih hidup."

Tegas Regi yang langsung meutup teleponnya begitu kasar membuat Fariz benar-benar bungkam. Begitu juga Ibnu. Cowok itu berdiri di belakang Regi dengan jarak beberap anak tangga saja.

"Ada apa, Pa?"

Regi menoleh, lalu tersenyum pada Kamila yang sudah berdiri di sisinya. Wanita itu tampak lesu, terlihat dari kantung matanya yang sedikit menghitam.

"Nggak ada apa-apa. Gimana Galuh?"

Regi tersenyum sesekali mengusap wajah istrinya, lalu mencium keningnya. Sementara Kamila hanya membalasnya dengan senyum lesu kemudian bersandar pada dada bidang suaminya.

"Galuh belum mau bangun, Bunda yang salah, Pa. Bunda yang nggak bisa jagain anak kita."

"Bun, di sini nggak ada satu orang pun yang salah, anak kita kuat. Sekarang Bunda istirahat dulu," ucap Regi. Kamila hanya bisa pasrah untuk saat ini. Tak tahu harus melakukan apa, Fariz memilih pamit untuk kembali ke rumah sakit.

Fariz tidak enak meninggalka Galuh terlalu lama pada Restu, baru saja akan melangkah pergi, suara Ibnu lebih dulu menggema memohon pada Regi untum memperbolehkannya ikut dengan Fariz.

Sebenarnya, Fariz malas, namun jika sang ayah mulai berkata, Fariz hanya bisa menurutinya meski rasanya kesal dan benar-benar tak suka dengan Ibnu yang pergj bersamanya.

"Lo yakin mau temuin dia siang ini, Riz?"

Restu yang semula biasa saja, kini mulai geram mendengar bagaimana Fariz menyikapi semua masalahnya dengan terburu-buru. Restu tahu betul siapa Fariz dan bagaimana sifatnya.

Terkada g Fariz akan bertindak sesuai isi hatinya, terkadang Fariz juga memilih dengan akalnya, namun. Restu tak akan pernah lupa jika Fariz akan bertindak lebih keras tanpa menggunakan hati atau pikirannya jika sudah mengenai Adik-adiknya, atau orang terdekatnya sekalipun.

Baginya, melempar pedang bukan sekadar menantang musuh, tapi juga harus berani menerima resiko apa pun yang terjadi.

G A L U H 2

Nah, segini dulu ya, ada yang kangen? Mana suaranya 🤗

Note : Di chapter ini di singgung dikit dari kisah sebelumnya. Kisah di mana Galuh masih di rumah sakit, waktu awal dia masuk sekolah.

Masih ingat kisah Galuh di lapak ' GALUH seri satu' di sini baru akan dimulai.

Terima kasih 🤗🍫

Kalau ada quotes yang bisa dipetik dari kisah ini. Bisa tag aku di instagram @nisa_jihad. Pasti aku bales, see you 🤗

Publish, 5 Desember 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro