Chapter 1
Jakarta, 12 Desember 2004. Tepat enam belas tahun yang lalu, seorang anak laki-laki yang menggemaskan dan lucu telah lahir ke dunia. Anugerah teristimewa di keluarga baru Regi Wijaya. Bukan hanya kesenangan yang diterima oleh keluarga Regi, bahkan hadirnya buah hati ketiga mereka, telah memberikan satu warna baru yang jarang sekali dilihat oleh pasangan muda yang sudah di anugerahi tiga jagoan.
Mata bulat dengan bibir mungil, selalu menjadi satu-satunya objek yang bisa membuat siapa pun akan luluh padanya. Anak yang selalu menjadi senja setiap orang, namun ketika sabitnya hilang, anak itu telah tumbang.
Usianya memang muda, tapi nasibnya tidak semuda yang dibayangkan. Hanya harapan sedeherhana yang selalu di tuangkan di dalam doa.
"Bunda kalau sedih itu nggak cantik, Bun. Senyum dong."
Rayu hangat yang bisa membuat orang-orang sekitarnya akan terkekeh, termasuk Bundanya. Anak itu sangat suka menggoda Kamila, terlebih Kamila adalah wanita satu-satunya di rumah dengan empat orang pengawal yang gagah.
Kamila selalu tersenyum kalau anak bungsunya sudah merayu, seperti Regi dengan seribu jurusnya. Regi akan mengatakan Kamila sangat cantik kalau tersenyum, apalagi jika sudah memakai celemek dan berdiri di dapur dengan rambut di cepol.
Kali ini jurus itu sudah menurun pada anak bungsunya. Anak yang memiliki seribu cara untuk mendamaikan suasana yang memanas.
"Ke kamar Bang Fariz bilang ditunggu Bunda di bawah sekarang." titah Kamila, anak itu mengangguk patuh, sebelum ia melesat, matanya tertuju pada satu loyang kue cokelat yang ada di sebelah Bundanya.
"Buat aku, kan?" tanyanya. Kamila tertawa, lalu mengusap wajah anak itu dengan gemas.
"Kalau kayak gini aja kamu semangat nanyanya, disuruh Bunda panggil Abang malah nunda-nunda." celoteh Kamila. Anak itu terkekeh, jika sudah mendengar Kamila berbicara rasanya ingin mencium Bundanya berkali-kali lalu memeluk wanita kesayangannya dengan erat.
Belum cukup sampai di sana, belum juga memanggil Fariz, suara Ibnu lebih dulu menggema dan berteriak memaki Fariz berulang kali. Cowok itu terlihat kesal dan marah ketika Fariz terus mendiaminya, membiarkan semua yang diucapkannya hanya sia-sia saja.
"Lo manusia bukan, sih?! Jawab! Lo, 'kan yang rusakin motor gue?"
"Ada apalagi sih, kalian ribut terus, sekali aja tenang dikit, bisa?"
Suara Regi lebih dulu menjadi penengah di antara mereka, namun, siapa sangka, heningnya hanya sesaat sebelum Ibnu kembali memaki Fariz.
Fariz, akan menjadi Fariz yang dingin dengan mode kutub yang maksimal. Dia tidak akan pernah tersentuh oleh hangatnya ucapan Ibnu. Dia akan tetap bungkam walau Ibnu meminta dengan lembut. Bagi Fariz, Ibnu hanya pengganggu masa mudanya, mengganggu setiap kali dirinya sedang ingin sendirian. Setiap kali dirinya hendak pergi dan tak ingin ditebengi tumpangan.
"Dia duluan Pa, dia duluan! Aku nanya baik-baik dia diem aja, disahut aja enggak apalagi mau ngomong. Tinggal bilang doang juga, susah banget, ya?"
Fariz tidak peduli apa yang Ibnu katakan, dirinya hanya ingin damai bukan keributan. Bahkan ketika melihat adik bungsunya saja, tatapnya sama sekali tidak menghangat.
⏳
Saat itu ketika mereka masih belia, dan ketika masih duduk di bangku sekolah menengah, Ibnu dan Fariz tidak pernah sama sekali berbicara satu sama lain, bahkan rumah yang begitu besar saja terasa hening tak bernyawa.
Regi dan Kamila sempat berpikir, apakah kedua putranya memiliki dendam yang cukup dalam, sampai keduanya memilih untuk saling diam?
Walau Kamila tahu Ibnu begitu cerewet dan ceria, tapi tetap saja, Kamila tidak pernah tega jika melihat Ibnu dijauhi oleh Fariz. Bahkan Kakaknya selalu mengabaikan setiap kali Ibnu berceloteh. Di dekati saja Fariz tak suka apalagi harus tidur satu kamar.
Sejak dulu Fariz selalu membentangkan jarak juga membuat dinding besar di antara mereka. Fariz tidak suka keramaian, dia selalu menutup akses bagi orang-orang yang menganggunya, termasuk Ibnu.
Ini hanya masalah waktu saja, kan?
Pikir Kamila ketika tahu situasi hati kedua putranya tidak baik. Sampai akhirnya sosok si bungsu menjadi arah baru untuk memecah hening itu dengan tawa. Tawa yang menjadi pengisi di setiap penat semua orang. Tawa yang setiap kali menjadi kesukaan yang selalu ingin didengar terus-menerus.
Tepat saat senja muncul sosok itu hadir, bersamaan dengan suara pertama Fariz yang mengatakan kalau dirinya tak suka ramai, untuk yang kesekian kalinya.
"Kamu diem aja, kenapa sih Riz?" Regi menepuk bahu putra sulungnya lalu mengusap punggunnya begitu sayang.
Fariz hanya diam, tak berniat untuk menjawab apalagi harus menoleh, dirinya hanya perlu waktu untuk membuka akses yang sengaja ia kunci untuk orang-orang sekitarnya.
"Riz, Papa tahu kamu ngga suka punya adik. Tapi coba lihat adik-adik kamu sekarang sudah besar, jangan kayak gini. Kasihan mereka kalau kakaknya bersikap dingin, siapa yang akan melindungi mereka nanti?"
"Pa!"
"Riz, sekali saja... turunkan ego kamu dan rubah sikap dingin kamu buat Ibnu, dia adik kamu, dari kecil kamu boleh gak suka sama dia, kali ini berbeda Riz, kamu bukan hanya punya Ibnu, tapi juga Galuh. Adik kecil kamu yang kelak akan membuat kalian menolak untuk kehilangan dirinya."
"Maksud Papa?"
"Seseorang tidak pernah tahu takdir mereka, jadi tolong jangan perlihatkan ketidak sukaan kamu ke Ibnu, berikan pelajaran yang baik sebagai seorang panutan. Papa percaya sama kamu."
Fariz bungkam. Ucapan Regi membuat dirinya benar-benar terdiam culup lama. Bahkan ketika Regi pergi, Fariz tidak bisa menahan langkah Regi dari sana.
Perjalanan mereka bahkan baru akan dimulai, tapi sudah terasa berat untuk dipikul. Mendengar suara tangis Galuh saja Fariz tak suka, lalu apa jadinya jika Ibnu dan Galuh bersama dalam ruang lingkup seorang Fariz yang sama sekali tidak suka berisik?
⏳
Waktu terasa begitu lambat untuk hari yang sangat panjang. Kali ini Fariz tidak akan pulang cepat, dia sudah berjanji pada dirinya tak akan pernah membuka akses pada siapa pun. Tapi... kali ini dia benar-benar muak dengan rengek Galuh yang begitu menyebalkan, sejak pulang kuliah anak itu terus saja menempel bagai perangko.
Bersyukurnya Ibnu tidak ada di sana, jika ada sudah pasti cowok itu akan ikut menempel sama seperti Galuh. Sejak kelahiran Galuh 16 tahun lalu, dunia Fariz terasa bising mendengar teriak Ibnu, melihat wajah polos Galuh dan pertengkaran mereka setiap hari.
Sejak kecil Fariz tak pernah mau memiliki adik, dia selalu kesal jika kedua orang tuanya membahas tentang anak kedua atau ketiga dan seterusnya. Fariz selalu kesal lalu berakhir ngambek pada Regi dan Kamila.
"Ndak mau, Nda! Aku Ndak mau punya dedek." pekik Fariz kecil saat itu. Ketika usianya sekitar dua atau tiga tahun kurang lebih.
"Fariz anak Bunda, kalau kamu punya adik nanti ada temennya, dong," ucap Kamila. Wanita itu berjongkok mensejajarkan tubuhnya lalu mengusap pipi putranya yang sudah dibanjiri air mata.
"Ndak mau, Nda! Aku ndak suka."
Siapa sangka penolakan sederhana itu berdampak besar. Fariz kecil yang selalu menolak keberadaan anggota baru di rumahnya menjadikan dirinya bungkam sampai mereka beranjak remaja.
Kepingan memori dulu selalu tersimpan rapat di ingatan Kamila, wanita itu selalu memberikan pengertian pada Fariz, walau begitu Fariz tetap pada pendiriannya. Hingga suatu ketika, Ibnu yang masih baru belajar berenang di kerjai oleh teman-teman sekolahnya. Ibnu di dorong begitu kasar hingga anak itu terjatuh ke danau yang cukup dalam.
Fariz ada di sana, Fariz melihat semuanya, namun otaknya tak sejalan dengan apa yang dirasakannya.
Di sisi lain Fariz ingin Ibnu tiada, tapi di sisi yang satunya Fariz tak suka melihat Ibnu menderita. Otaknya tak lagi bekerja seperti biasa, kerja jantungnya kini berpacu lebih cepat, ketika dia tak lagi melihat Ibnu di sana.
Langkahnya ia bawa lebar-lebar lalu melompat ke dalam danau. Membiarkan anak-anak yang telah mendorong adiknya berkomentar bebas karena tak suka. Tak perlu waktu lama, Ibnu dan Fariz sudah kembali permukaan, ada tatap kebencian di mata Fariz ketika melihat anak yang baru saja mendorong Ibnu beberapa waktu lalu.
"Kalian punya otak nggak? Kalau dia mati gimana? Pikir!"
"Cih, tumben banget belain dia, biasanya juga cuek."
"Nu bangun, shit!"
Cukup lama setelah perdebatan tidak oenting menurut Fariz. Kini dirinya hampir kehabisan akal, bahkan sudah berulang kali Faeiz menekan dada Ibnu agar air yang terminum bisa segera keluar, namun Ibnu masih belum mau membuka matanya.
"Bangun!"
"Bang--"
Ada napas lega ketika Ibnu telah sadar, anak itu terbatuk-batuk membuat Fariz tak tega melihatnya.
"Naik!" titah Fariz, dia sudah membungkuk di dekat Ibnu, membuat Ibnu kebingungan. Ada jeda cukup lama, sampai Fariz harus mendesah lebih keras agar Ibnu tahu, kalau Fariz tak suka menunggu.
. . .
Detik seolah membawanya kembali pada masa di mana Ibnu dan Galuh kembali bertengkar. Sebenarnya Fariz tak suka berada diantara dua manusia berisik yang selalu menimbulkan masalah. Lihat saja selai cokelat dan kacang sudah bertebaran di atas meja makan.
"Bang Ibnu! Seragam gue kotor. Lo mah." umpat Galuh. Ketika anak itu hendak mengolesi selai favoritnya di atas roti yang memang sudah disiapkan sebelum mereka semua bangun.
"Gak peduli, wiee! Lo lagian mulai duluan, coba kalau ngaku duluan, 'kan gue nggak su'uzon sama Bang Fariz." celetuk Ibnu. Galuh mendecih dia tak suka jika sudah dijadikan tersangka.
Lagipula motor yang Ibnu maksud hanya motor koleksi, Galuh tidak sengaja menyenggolnya ketika dia berada di kamar Kakaknya saat itu. Dan saat ini mereka berdua hanya di beri tatapan tajam oleh Fariz. Bukan karena berisik, melainkan keduanya sedang membicarakan korban kesalah pahaman yang terjadi.
"KAN UDAH MINTA MAAF BARUSAN, NGGAK USAH NYOLOT DONG!"
Jika boleh jujur melihat Galuh, sama seperti melihat Ibnu jika sudah kesal dan tak terima dituduh. Begitu sederhana, namun takdir akan membawa mereka bersama tawa dan bising yang setiap kali menjadi sebuah rindu.
"Luh, gue kira lo udah mati beneran. Ini seriusan lo, kan?"
"Ibnu! Lo pikir Galuh udah mati?"
"Nggak gitu maksudnya, gue cuma lagi mikir kemarin gue mimpi apaan."
Detik berganti menjadi hening. Ada resah dan khawatir setiap kali Ibnu membahas hal yang tak masuk akal. Dia hanya perlu waktu bukan sekadar lelucon seperti permainan ular tangga.
. . . .
Hallo! Ada yang kangen mereka ?
Nih aku bawain mereka lagi yuhuuuu mana suaranya ? 💃💃💃
Ini bukan squel, tapi sejarah mereka ada di sini. Siap untuk menyelami mereka lagi ? Yuk ramein dengan vote dan komentar yang banyak ya 😚😚
Kenapa ?
Karena aku ingin lebih semangat menghibur kalian, supaya nggak kelewat berita updatenya, nyalain notifnya ya, terus masukin book ini ke library kalian, thank you 😚😚🍫
Aku mau ajak kaliam mengenal mereka sebelum saat itu datang. Jadi selamat menyelam kembali bersama mereka. 😊
G A L U H 2
2 November 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro