Chaptee 25
Malam itu harusnya Ibnu bisa terlelap dengan damai. Tapi nyatanya, Ibnu sama sekali tidak bisa tidur. Ia terlalu sibuk memikirkan Galuh yang keluar-masuk dari kamar mandi.
Tubuh lemas itu terduduk di depan kloset sebelum akhirnya Ibnu memutuskan untuk menggendongnya sampai ke tempat tidur.
"Lagian lo bandel sih, di suruh sama Bunda makan tepat waktu, biar nggak kayak gini akibatnya. Udah tahu punya magg, udah tahu nggak bisa telat makan, pake acara ngambek segala," tutur Ibnu. Cowok itu sudah duduk di sebelah adiknya usai mengambil obat dan segelas air yang ada di atas nakas dekat dengan Ibnu.
Galuh menoleh ke arah Ibnu yang sudah siap memejamkan matanya. Anak itu memilih untuk bersandar sedikit lebih lama, agar rasa mualnya benar-benar hilamg.
"Bang Nu nggak marah sama gue, kan?" tanya Galuh tiba-tiba. Mendengar lirih suara Galuh, membuat Ibnu kembali mengurungkan niatnya untuk tidur. Cowok itu justru ikut bersandar di sebelah adiknya. Tangan besar Ibnu menarik tubuh Galuh sedikit mendekat, agar ia bisa merangkul adiknya untuk memberi rasa nyaman.
Belum ada lima menit, Galuh mulai memejamkan matanya dengan kepala yang sudah bersandar nyaman di dada bidang Ibnu.
"Dengerin gue. Sekesal apa pun gue, gue tetap Abang lo, orang yang akan selalu ada buat jagain adiknya. Sorry, kalau tadi sore gue udah buat lo kesal. Gue nggak bisa marah sama lo lama-lama, lagian gue bukan marah sama lo, kok. Mungkin ada kata-kata gue yang nggak enak, jangan diambil hati, ya?
Panjang ucapan Ibnu tak berarti apa-apa. Karena dalam peluknya Galuh sudah benar-benar terlelap. Selimut yang hanya menutupi bagian kaki Galuh, susah payah Ibnu menariknya hanya dengan satu tangan, agar adiknya tidak merasa kedinginan.
Lembut perlakuan yang Ibnu perlihatkan, membuat Fariz yang mengintip sejak tadi hanya diam mematung di tempatnya, tepat di depan pintu kamar Galuh.
"Konyol."
Langit memang gelap, tapi di depan sana Fariz melihat cahaya yang bersinar dengan terang. Sudut bibir Fariz terangkat, menangkap manisnya pemandangan yang ia lihat di depan sana. Galuh benar, semua hal yang sudah ada di depan mata, harusnya dijaga, bukan dilupakan atau dibuang seperti sampah.
Sekali lagi, Fariz bersyukur karena Tuhan telah menghadirkan Galuh ditengah-tengah dinginnya sikap Fariz pada Ibnu. Bahkan, langkah kaki Fariz saja terasa lebih ringan jika kedua adiknya sedang berdamai.
Perlahan ingatan Fariz melintas begitu saja, ia ingat dengan seseorang sebelum pertandingannya berakhir kala itu.
"Namanya Ananda, dia anak bungsu Regi, kalau perlu kalian jangan biarin dia lolos."
Kalimat yang tidak sengaja ia dengar saat melintas melewati ruangan ganti. Di sana ada dua orang pria yang mengenakan pakaian serba hitam. Kecurigaan Fariz saat itu hanya sebatas ingin tahu, tapi siapa sangka, beberapa minggu setelahnya. Ia mendapat kabar kalau Ibnu di sekap.
Amarah Fariz memuncak, ketika tahu siapa yang ada di dalam gedung tua. Fariz sengaja mengikuti mobil kijang berwarna hiyam yang masuk melewati sebuah gang kecil. Bahkan itu kali pertamanya ia membolos. Besi berjalan berwarna hitam yang ia kendarai pun ikut berhenti, setelah beberapa pria besar masuk dengan seseorang yang terus meronta di sana.
"Buka penutup kepalanya!"
Perintah itu segera terpenuhi, terlihat jelas wajah Ibnu yang ada di sana. Bahkan raut wajah lelaki yang sempat disebut sebagai Bos itu pun berubah. Tangannya terkepal, terlihat dengan jelas kalau lelaki itu marah pada anak buahnya.
"Ini bukan Galuh! Dia Garuda, kalian gimana sih?!"
"Anak itu berhasil lolos, karena dia."
Lelaki itu membelalakan kedua matanya, kemudian berjongkok di hadapan Ibnu yang sudah bersimpuh di depannya. Tangan kasar itu memegang dagu Ibnu sampai si pemilik menddcih.
"Oh gitu, mau jadi pahlawan lo? Bagus deh, setidaknya kalaupun bukan Galuh, Fariz pasti ke sini, kan?"
"Banyak omong lo! Pengecut! Lepasin gue, urusan lo sama Abang gue, jangan sentuh Galuh!"
"Wah! Padahal adik lo itu nyusahin, lo sendiri yang mengakuinya waktu pertandingan kami selesai. Gimana? Masih mau ngelawan?"
"Itu semua bukan urusan lo!"
Panas tamparan yang Ibnu terima mambuat Fariz geram yang melihat semua dari kejauhan. Tapi, Fariz masih ingin mengetahui apa yang lelaki itu inginkan, sampai dia berani menyakiti adik-adiknya.
"Mau lo apa?"
"Bilang sama Fariz, lakukan pertandingan ulang," ucapnya. Ibnu kesal setengah mati, ia berusaha melepaskan tali yang mengikat kedua tangannya. Matanya masih menatap lelaki di hadapannya dengan tajam.
"Itu urusan kalian, kemenangan waktu itu murni, buat apa lo minta tanding ulang, padahal lo tahu, Abang gue yang menang. Lo licik, Kak! Lo nggak berhak menang, karena lo curang, gue lihat semuanya."
"Bagus kalau lo menyadari semuanya, gue emang mau mencelakai Fariz tapi sayang... dia jauh lebih kuat dari yang gue duga."
Amarah lelaki itu mencuak sampai Fariz yang sudah menyaksikan semuanya pun berteriak menyerukan nama lelaki yang sejak tadi menyakiti Ibnu.
Lelaki itu menoleh, memberikan senyum tipis sebelum kemenangannya berubah kembali menjadi sebuah kekalahan.
"Kalian jaga adiknya, biar Abangnya gue yang urus."
Perintah itu terlaksana, beberapa pria bertubuh besar itu memaksa Ibnu, dalam genggam kuat Ibnu merota pun tak sanggup.
"Pergi dari sini, Bang!"
"Lihat, Adek lo nyuruh pergi tuh, gimana? Mau lanjut?"
"Manusia sampah kayak lo, nggak berhak ada di muka bumi. Licik dan pendendam."
Fariz membuang ludahnya kesembarang, kekesalannya sudah tak terhitung sejak ia melihat Ibnu dibawa paksa. Kini, mereka telah berdiri berhadapan tak ada jarak yang memisahkan dari keduanya.
Perkelahian itu tak bisa terhindari lagi, lelaki itu memukul Fariz lebih dulu. Fariz terkejut, ia pun terhuyung kebelakang.
"Jangan pernah sentuh mereka, karena urusan lo bukan sama mereka!"
Ibnu melihat begitu jelas saat Fariz yang terjatuh ketika lelaki itu memukulinya tanpa ampun. Ibnu ingin pergi, saat ia tahu tali yang mengikatnya sudah mengendur, perlahan ia berjalan mundur, mencari sesuatu untuk membantu Fariz. Tak ada yang ia lihat, kecuali sosok Arvy yang muncul dan memanggilnya untuk bersembunyi.
Fariz melihat itu, melihat Ibnu yang sudah berhasil meloloskan diri, namun ia kembali dikejutkan oleh tingkah Ibnu dibalik sana yang berbincang entah dengan siapa.
"Bangun lo!"
Kejut Fariz saat lelaki itu tiba-tiba menghantam rahangnya dengan sebuah tinjuan keras.
"Rakiello!"
Teriak itu berhasil membawa Fariz menghantam habis orang-orang yang ada di sana, termasuk orang suruhan Kiel yang sudah membawa Ibnu.
Kiel, terkapar pasrah di bawah kaki Fariz, bahkan lelaki itu masih bisa tertawa saat Fariz menarik kerah bajunya untuk berdiri.
"Ini belum seberapa, kita lihat nanti apakah kemampuan lo ini masih bisa diasah di lapangan nanti?"
Fariz muak, ia pun mendorong Kiel, sampai lelaki itu tersungkur sambil memegangu perutnya yang terasa perih karena Fariz memukulnya begitu keras.
Ingatan itu berakhir, tergantikan dengan Galuh yang lagi-lagi datang ke kamarnya. Fariz menoleh, menemukan wajah adik bungsunya yang terlampau pucat pasi yang duduk di atas tempat tidurnya.
Fariz tak lagi bisa tenang jika Galuh sudah memasang wajah memelasnya, ia pun mendekati adiknya dan duduk di sebelahnya. Tangan besar Fariz terulur mengusap kepala Galuh dengan lembut. Anak itu tak menolak, ia hanya menatap Fariz kemudian memeluknya dari samping.
"Jangan marahin Bang Nu, ya, Bang?"
Fariz tak peduli, ia sudah malas jika harus berdebat dengan Galuh. Baginya Galuh terlalu sulit untuk dibujuk meski sudah menjanjikan banyak hal, tetap saja. Galuh itu keras kepala, apa pun yang Galuh katakan adalah mutlak, tidak bisa ditolak atau dibantah.
⌛⌛
Lama waktu berlalu, Galuh maskh belum mau memejamkan matanya. Anak itu dengan manisnya berbaring di sebelah Fariz yang sudah menahan kantuknya sejak dua jam lalu.
Fariz sudah kesal sebenarnya, terlebih besok pagi-pagi sekali ia harus datang lebih awal karena ada presentasi, tapi di samping itu, ada Galuh yang masih belum terlihat terjaga. Anak itu diam untuk beberapa saat, menatap langit-langit kamar Fariz yang beberapa hari lalu merubah warnanya menjadi sedikit terlihat seperti senja.
"Lo kenapa suka banget buat gue susah, sih?"
Tawa kecil itu menjadi pembuka untuk Galuh menjawab pertanyaan Fariz yang sudah tiga kali menggerutu kesal.
"Kalau nggak gitu, Abang nggak mau ngomong sama gue atau Bang Nu, kan nggak seru."
"Pindah kamar sana!"
"Nggak mau, di sini bisa lihat senja, padahal udah malem. Abang tahu nggak?"
"Nggak!
Fariz pun memiringkan tubuhnya, membiarkan Galuh berceloteh sendiri, ia sudah sangat bosan sejak tadi anak itu mengatakan banyak hal yang melantur. Ia tidak tidur, ia hanya kesal, ia juga masih mendengarkan apa yang Galuh ucapakan. Sampai akhirnya ia pun kembali berbalik menghadap Galuh, damai yang ia lihat di sana memberi nyaman yang tak terhingga.
Celoteh itu berganti menjadi tenang dengan napas berarturan yang terlihat saat Galuh tertidur. Hela napas lelah membuat Fariz ikut merasa kalau Galuh sebenarnya sangat lelah, ia pun menarik selimut yang berada di bawah kakinya untuk menyelimuti adiknya.
"Sorry. Tidur yang nyenyak, gue dan Ibnu di sini, buat lo."
Bisik itu selalu membuat tenang, meski akhirnya tak seperti yang dibayangkan. Fariz tahu Galuh itu keras kepala, Fariz tahu kalau semuanya tak selalu damai. Akan ada peristiwa yang nantinya sulit untuk dijelaskan oleh seuntai kata.
Maka, Fariz memutuskan untuk menjalaninya dengan biasa meski di pagi hari ia akan mendapat oekik kesal dari Galuh karen tidak dibangunkan.
Padahal semalam anak itu mulai tidur cukup larut, sampai Fariz saja masih menguap saat sarapan bersama Papa dan Bunda. Fariz sedikit kesal sebenarnya, hanya saja ia tak bisa memarahi Galuh.
"Kamu begadang lagi, Riz?"
"Nggak, Pa."
"Hari ini, Fariz, Ibnu sama Galuh, biar Papa yang antar."
Fariz menoleh, menatap kejut pada sang Papa, merasa tak terima dengan keputusan yang Regi buat. Ia sudah kesal karena semalaman tidurnya tidak nyenyak, ditambah dengan Galuh yang membangunkannya karena haus.
"Tapi Fariz ada kelas jam sembilan, Pa," sahut Fariz. Regi tak lagi menjawab, ia tak peduli dengan alasan apa-apa. Saat ini yang ia tunggu adalah Ibnu yang masih belum terlihat.
Kekesalan Fariz bertambah saat Galuh mengejeknya, sejujurnya ia kurang tidur juga karena ulah Galuh, ingin sekali menelan adiknya itu, hanya saja waktunya tak cukup untuk memaki balik.
"Gue bilang juga apa, status mahasiswa teladan lo bakal dicabut, nanti."
"Nama bagus Garuda, tapi lama."
Seperti yang sudah-sudah, Ibnu akhirnya muncul dengan dasi yang masih mengalung di lehernya, baju yang masih belum ia masukkan kedalam celana, juga tas ransel yang belum diseleting rapat.
Cowok itu menuruni anak tangga dengan terburu-buru membuat beberapa pasang mata menatapnya.
"Maaf lama Bun, nyari dasi nyelip entah di mana, udah telat nih," ucap Ibnu tanpa rasa bersalah. Ia pun menyalimi punggung tangan Bunda, kemudian menyusul Regi dan Galuh, yang sudah lebih dulu berpamitan untuk menunggu di dalam mobil.
Sekesal apa pun Fariz pada Ibnu, tetap saja rasa sayangnya akan terlihat lebih manis kalau terjadi sesuatu pada Ibnu, sama seperti kejadian yang akhirnya Kamila dan Regi tahu, lalu Fariz yang akan menjadi sasaran amarah kedua orang tuanya. Sama halnya Ibnu, yang tak suka melihat Galuh di sakiti, begitu juga sebaliknya. Mereka adalah satu, saling membutuhka meski semesta akan terus mengatakan perpisahan nantinya.
G A L U H 2
Nah, segini dulu ya 😊 ada yang kangen? Salam sayang Mr. Choco 🍫🍫
NOTE : Ada yang inget, bagian, Nu di marahin Fariz karena lama? Nah di sini aku kasih sedikit tentang Nu dan Fariz yang uwunya kadang-kadang. 🤭🤭
Publish, 23 Januari 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro