Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

THE GUEST

Bel pulang telah berbunyi nyaring hingga penjuru sekolah. Para murid yang ada di sana pun lekas merapikan alat tulis yang sedari tadi berserakan di atas meja, mereka lekas berdoa kemudian melenggang pergi dari tempat masing-masing.

Seperti saat ini tampak cowok dengan tinggi semampai itu sibuk dengan tas ranselnya, merogoh sebuah kaos berwarna hitam dari dalam sana. Ia lalu menepuk pelan bahu cewek yang sampai kini masih terduduk pada kursi kebangsaannya itu.

"El, jadi, kan?" tanya Galen yang kini sedang melepas almamaternya dengan corak polos berwarna maroon.

Elenea yang menyadari itu langsung menolehkan kepalanya ke belakang, menatap seorang Galen dengan tatapannya yang datar. Bahkan sepertinya ia lupa akan perjanjiannya dengan Galen beberapa waktu yang lalu.

"Lo gak lupa, kan?" tebak Galen. Tas ranselnya itu telah menggelantung apik di punggungnya.

"Apa, ya?" ucap Elenea sambil tersenyum menggoda.

Elenea mengetuk-ngetukkan jari telunjuk pada keningnya. Manik matanya menatap wajah Galen dengan ekspresi kurang ingat. Cowok di hadapannya itu tampak pasrah pada keadaan, sampai hembusan nafas panjangnya terdengar jelas di area pendengarannya.

"Tenang, gue gak lupa."

Kedua bola mata Galen tampak berbinar, mengingat hari ini adalah kesempatannya untuk lebih dekat dengan Elenea. Terlebih ia akan mengenalkan seorang cewek idamannya itu kepada kedua orang tuanya.

Tak lupa Galen menunggu cewek dengan seragam yang masih rapi itu membereskan peralatan tulisnya yang masih tergeletak di atas meja. Memasukkan beberapa buku dengan tebal yang berbeda ke dalam tas ranselnya berwarna navy.

"Lo gak bawa motor, kan?"

Elenea menggelengkan kepalanya pelan. Tampak jemarinya masih mengangkut beberapa barang yang masih ada di atas meja.

"Gue bisa naik angkot. Lo--"

"Gak. Lo lebih baik bareng gue aja."

Galen menebarkan senyumannya, berharap Elenea akan menuruti ucapannya kali ini tanpa penolakan. Namun, hal ini tidak semudah itu bahkan tidak bisa dikatakan akan berjalan mulus. Elenea dengan raut wajahnya yang terlihat datar itu tidak mengatakan satu patah kata pun.

"Tapi gue hanya pakai motor tua vespa. Lo gak keberatan, kan?"

Elenea tetap terdiam sebelum kini tersenyum samar bahkan hampir tidak terlihat. "Gue gak masalah naik motor apa aja. Masih syukur punya motor, kan?"

Galen mengangkat jempolnya. "Jadi gimana? Mau gak bareng gue aja."

"Dalam suatu ajakan bisa ditolak, kan? Sorry lebih baik gue naik angkot saja. Permisi."

Elenea langsung melangkahkan kakinya ke depan. Melewati batas pintu kelas serta terus memandang ke depan, merasakan hawa sejuk karena semilir angin menerpa di siang bolong ini. Menatap sekeliling yang terlihat sepi, hanya beberapa guru yang melintasi koridor penghubung ruang kantornya itu.

Ia masih tidak menghiraukan Galen yang tengah berjalan di belakangnya. Yang ia mau kali ini ada menjaga jarak dengan cowok dengan bekas luka di sudut bibirnya itu.

"El, tunggu," teriak Galen

"Kalau lo gak keberatan, bisa berhenti sebentar."

Seketika langkah Elenea langsung terhenti. Suara tapak kaki yang bergerak ke arahnya itu semakin terdengar. Galen melangkahkan kakinya sedikit lebih cepat dari sebelumnya, menghampiri Elenea hingga kini berada di sampingnya.

"Apa?"

"Lo yakin gak mau bareng gue aja?"

Elenea menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.

"Buang-buang waktu, nanti lo bisa pulang kemalaman. Apalagi jam segini lagi macet-macetnya jalanan," jelas Galen sehingga membuat cewek di sampingnya itu termenung.

Memang benar apa yang diucapkan Galen itu, ia sangat hafal seluk-beluk jalanan menuju rumahnya. Setiap hari ia harus rela menggunakan keahliannya untuk menyempil di setiap jalan yang terapit oleh beberapa kendaraan bermuatan di sana.

"Gue gak mau lo kepanasan dalam angkot."

"Alay, lo. Kenapa emangnya?"

"Ya, sayang aja, kan. Spek bidadari kayak lo naiknya angkot berasap."

"Lalu apa bedanya dengan vespa tua lo yang menyembulkan asap dengan suara bising yang luar biasa itu," balas Elenea dengan penuh penekanan di setiap katanya.

Galen terhenyak, ia terdiam tak berkutik. Apa yang dikatakan Elenea memanglah benar, tidak ada yang salah sama sekali. Ya, memang motor vespa tuanya itu memiliki suara bising yang luar biasa, serta kepulan asap layaknya pelaksanaan fogging.

"Ya juga sih, tapi bedanya kalau lo naik vespa, kan di bonceng sama cowok ganteng kayak gue."

"Idihh ... Pede banget loh."

"Loh pede memang harus. Kayak cinta gue ke lo."

Elenea berdecak pelan. "Gak ada hubungan tau."

"Yasudah gimana? Lo mau, kan? Hemat ongkos juga kalau bareng gue. Kurang apa coba."

Tanpa basa-basi lebih lama lagi, kini Elenea melangkahkan kakinya terlebih dulu ke depan. Tentu cowok yang tadi berada disampingnya itu juga menyeimbangkan langkahnya agar bisa berjalan sejajar dengannya.

"Branding lo bagus juga. Kenapa gak jadi tukang ojek aja?" Elenea menautkan salah satu alisnya.

"Gak ah, nanti banyak dikenal orang."

"Lah emang kenapa?"

"Ya takutnya banyak yang suka."

Elenea memutar bola matanya malas. Bersedekap sambil berjalan membuat dirinya sedikit nyaman. Ia pun tidak menghiraukan kalimat terakhir yang diucapkan oleh cowok yang kini menggila untuk mengejarnya itu.

"Karena yang boleh suka sama gue cuma lo."

Lantas Elenea langsung tersandung dengan kakinya sendiri, hingga membuatnya hampir tersungkur ke lantai. Untung saja ia bisa menjaga keseimbangannya tentu itu juga atas bantuan tangan kanan Galen yang kini sebagai tumpuan tangan kirinya.

"Sorry .... "

Galen menggelengkan kepalanya pelan serta tersenyum mengembang di kedua sudut bibirnya.

"Gak masalah, lain kali hati-hati," ucap Galen dengen kekehan kecil di akhirnya.

Setelah itu tidak ada percakapan lagi di antaranya. Keduanya saling berjalan beriringan hingga menuju sebuah tempat luas yang kini hanya menyisakan beberapa motor di sana, termasuk motor tua milik Galen. Cowok dengan kancing baju terbuka setengah itu berjalan santai menuju kendaraan besinya, kedua tangannya masih berkutik untuk melepaskan kancing baju yang tersisa dua lagi itu.

"Sorry ya, gue buka seragam. Kalau lo gak berkenan bisa tutup mata."

Elenea langsung menoyor kepala Galen tanpa beban. "Memang gak ada tempat lain untuk ganti baju. Aurat lo kelihatan nanti."

"Lo takut nafsu lihat roti sobek gue?"
Galen menaik turunkan alisnya itu.

"Ngapain? Kalau memang gue lihat gue tendang aja sekalian. Seberapa kuat sih daya tahan tubuh lo," maki Elenea. Kedua tangannya ia gunakan untuk menutupi matanya sejak dua detik yang lalu, dan menang benar cowok di sampingnya itu memperlihatkan dada bidangnya serta bagian perutnya yang sixpack itu.

Kedua sorot mata Galen mengitari sekeliling, melacak adakah seseorang yang melintas di sana? Ataukah keadaan itu memang tidak memungkinkan Galen untuk ganti pakaian di sana? Setelah mengetahui aman-aman saja, ia langsung melepas atasan seragam itu dengan cepat, menyimpan gumpalan kain itu kembali dalam tas ranselnya. Kemudian ia segera menyusupkan bagian t-shirtnya warna hitam itu melalui bagian kepalanya hingga kini terpasang apik pada postur tubuhnya yang proporsional.

"Yuk, udah selesai." Tangan Galen langsung menyahut pergelangan tangan Elenea dengan halus.

Elenea merasakan sentuhan itu dengan halus, berbeda dengan cowok sebelumnya yang memperlakukannya dengan kasar. Ya, tentu itu adalah Daniel–cowok yang selalu mengejar Elenea, tetapi dengan cara yang kasar.

Cowok yang kini berjalan dengan menggandeng tangannya itu sangat hangat dalam memperlakukannya. Tidak bisa dibohongi lagi jika kini Elenea mulai terlena dengan sikap Galen yang teramat baik dengannya, terlebih ia yang selalu sabar dan mengerti akan sikapnya yang terlalu kasar dan terkesan bar-bar itu.

Galen segera meraih helm bogo yang telah ia persiapkan di jok belakang motor, kemudian mengulurkan sebuah benda itu kepada Elenea yang kini berdiri di sampingnya.

"Nih, pakai sendiri. Gue gak mau lo anggep modus terus-menerus. Ya walaupun sebenarnya ingin." Galen terkekeh pelan.

"Dasar!"

Galen tak menanggapi itu dengan serius. Ia kembali pada rutinitas sebelum menstater motornya. Galen memiringkan motor tua miliknya itu demi menghidupkan karburator dengan segera.

Benar, segera beberapa menit kemudian kendaraan besi itu telah menyembulkan asap yang tak terkira, ditambah juga suara bising yang dihasilkan sangat nyaring terdengar hingga membuat siapapun yang mendengarnya menutup telinganya dalam-dalam.

"Yuk, Naik!" titah Galen. Elenea pun segera menurutinya.

Tanpa lama lagi Galen langsung melajukan motornya itu dengan kecepatan sedang, mengingat ada satu nyawa lagi yang kini sedang dibawanya terlebih dia adalah cewek yang telah membuatnya jatuh hati belakangan ini.

"Mau kemana dulu?"

"May'S Florist, lo tau kan?"

Galen mencoba mencerna apa yang terdengar tadi, dua kata yang tidak asing baginya. Hingga koneksi otaknya langsung menyambar pada sebuah ingatan bucket bunga. Ya, itu tempat ia memesan bucket bunga waktu yang lalu.

"Gak perlu repot bawa bucket bunga."

Elenea tertawa renyah setelahnya. "Maaf, gue gak ada banyak uang untuk beli bucket bunga. Pemilik May'S Florist itu adalah penolong bagi gue."

"Penolong?"

"Ya, nanti lo juga tau apa maksud gue. Nanti lo tunggu diseberang jalan aja, biar gue pamit sebentar."

Galen tidak berani membantah, membiarkan apa yang kini terjadi sesuai alurnya. Ia tidak perlu juga memaksa Elenea menceritakan semua kehidupannya sekarang juga, menjelaskan tentang asal-usulnya hari ini juga. Semua butuh waktu, termasuk penantiannya untuk menjadi kekasih Elenea. Lantas Galen hanya menganggukkan kepalanya ringan, menyetujui semua pengucapan Elenea tanpa protes.

Setelah menunggu beberapa menit di seberang jalan May'S Florist, kini Galen mendapati seorang cewek dengan jaket jeans bewarna hitam yang dipadukan dengan kaos oblong serta celana jeans dengan warna yang sama–tampak ia sedang kuwalahan melintasi jalanan yang ramai itu, penuh kendaraan yang berlalu lalang di sana.

Galen yang mengetahui itu tidak bisa membantu banyak, ia hanya menunggu cewek dengan rambut dicepol ke atas itu benar-benar selamat dari kendaraan-kendaraan yang melaju bergantian di atas aspal itu.

Ia mulai menancapkan gasnya kembali setelah memastikan sosok Elenea telah duduk manis di jok belakang motornya. Galen membawa motor vespanya dengan kecepatan yang sedang, merasakan hawa panas karena teriknya matahari yang begitu menyengat bumi. Tak terasa dua puluh menit telah berlalu, kini dirinya telah sampai di garasi rumahnya.

Kedua mata Elenea terbuka lebar-lebar saat memandang sekeliling rumah itu yang terbentang sangat luas. Ada taman di sebelah kiri, dilengkapi banyak tanaman tropis hingga bunga yang bermekaran cantik di sana. Serta tampak juga di sebelah kanan terdapat air mancur dengan ukuran sedang yang sengaja di bangun sebagai pelengkap keindahan rumah berstyle klasik modern itu.

"Yuk masuk!"

Elenea menganggukkan kepalanya, tetapi sorot matanya yang masih memandang takjub bangunan yang belum pernah ia lihat sebelumnya, lebih tepatnya hanya bisa terlihat di series TV.

Tak lupa Galen untuk mengucapkan salam di ambang pintu masuk. Namun, kemudian handle itu terbuka dengan sendirinya dengan mendapati dua orang pelayan di kanan dan kirinya. Galen lantas membungkukan diri sebagai tanda hormatnya, hal ini tentu juga di ikuti oleh Elenea.

"Assalamualaikum, Ma," teriak Galen yang kini telah berdiri di ruang tamu.

"Waalaikumsalam, sa--"

Zelyn berjalan dari arah dapur, kalimatnya menjadi terhenti ketika melihat sosok cewek yang belum pernah dilihat sebelumnya, ia tampak cantik dan sangat manis.

"Assalamualaikum, Tante." Elenea langsung mencium punggung tangan Zelyn yang terasa halus itu.

"Waalaikumsalam, Sayang. Nama kamu siapa?" jawab Zelyn dengan mengusap puncak kepala Elenea dengan lembut.

"Elenea, Tante."

Zelyn lantas melirik ke arah Galen, menyiratkan suatu pertanyaan dalam tatapannya itu. Galen segera mengangguk untuk menjawab.

"Papa belum pulang, Ma?"

"Belum, ayo Galen ajak El ke ruang makan. Mama udah masak spesial buat kamu dan juga El."

Zelyn melangkahkan kakinya kembali menuju tempat berkutiknya sepanjang hari itu–dapur tempat yang selalu dikunjunginya tanpa absen di tiap harinya. Tempat melepas keluh, kesah dan tentunya membuat moodnya kian membaik. Katakanlah itu produktif untuk seorang ibu rumah tangga seperti Zelyn itu.

"Yuk, El." Entah apa yang kali ini membuat tangan Galen menjadi ringan meraih pergelangan tangan Elenea sembarangan.

Ia membawa cewek dengan polesan make up tipis itu hingga menuju ruang makan. Hingga pada akhirnya ia menyadari jika tangannya itu kini teralih menggenggam erat tangan Elenea.

"Maaf ... Lo risih ya?"

Elenea menggelengkan kepalanya pelan. "Gak papa, gue hanya gak mau buat keributan di sini."

Lantas Galen langsung melepaskan genggaman itu dengan hati-hati. "Lain kali gue gak akan lakuin."

"Udah dua kali, loh. Yakin gak bakal ulangin lagi?"

Keduanya saling bercengkrama satu sama lain, tanpa memperhatikan sebenarnya beberapa pasang mata yang tengah melihatnya. Tentu itu adalah para karyawan yang bekerja untuk Alby Wijayakusuma dengan keluarga.

Setibanya di ruang makan, Galen menangkap sosok punggung yang kini terduduk membelakangi dari posisinya sekarang. Postur tubuhnya yang hampir sama dengan dirinya, hingga bentuk kepalanya yang tidak asing dilihatnya. Model rambut yang tertata dengan pomed, tidak salah lagi itu adalah Daniel Giovani.

Lantas Galen langsung menghampirinya. Menyisakan banyak pertanyaan di benaknya.

"Ngapain lo di sini?"

***
To Be Continue

Penampakan roti sobek Galen, jangan pada oleng ya?

Cantik banget, kan?




Jangan lupa vote dan comment karena itu sangat membantu

Thanks for Reading

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro