TENSE
Galen menyipitkan matanya hingga hampir terpejam itu. Topi yang terpaut di kepalanya sama sekali tidak membantunya untuk menghindarkan matanya dari sinar matahari yang menyengat di pagi hari ini. Jika tidak bangun kesiangan mungkin Galen sekarang sudah berada di kelas XI-IPS 3 dan tidak perlu repot-repot hormat pada tiang bendera sendirian.
Setelah menghela nafasnya panjang, ia mencoba menyusuri pandangan ke sekeliling area lapangan yang terbentang luas di sana. Dirinya tidak menemukan satu sosok manusia yang berkeliaran di sekitar, ya memang seharusnya begitu. Jam pelajaran pertama telah dimulai satu jam yang lalu.
Tanpa ada lagi yang dilakukannya, Galen kembali mendongak ke atas menatap bendera sang merah putih berkibar karena terpaan angin yang semilir. Dirinya kini hanya bisa pasrah dan menjalankan hukuman dengan khidmat atas perbuatan yang murni kesalahannya. Pandangan matanya tampak kabur ketika pantulan sinar matahari itu menyengatnya tanpa ampun, ditambah suhu cuaca hari yang diperkirakan naik hingga mencapai 38°C.
Tak terasa peluhnya telah membasahi seluruh area wajahnya hingga merambah ke seluruh bagian tubuhnya. Kalau kata orang Jawa Galen itu 'adus kringet' terlebih almamaternya yang telah basah sehingga mencetak postur punggungnya yang tegap itu. Spontan dirinya langsung membuka satu kancing yang ada, kemudian kedua tangannya melepaskan benda tebal itu dari tubuhnya dan menghempaskannya di pinggir tiang.
"OMG ... demi apa? Ini pemandangan yang sungguh-sungguh indah," ucap lirih seorang cewek berdandanan rada tebal itu, tetapi masih bisa terdengar di telinga Galen.
"Sumpah, seperti prince yang ada di mimpi gue," lanjut cewek yang diketahui temannya itu.
Galen hanya menatapnya datar. Tidak ada niatan untuk sekedar tersenyum sebagai responnya. Menurutnya dua cewek itu sangat berlebihan dalam memujinya, apalagi di saat yang tidak tepat ini. Dirinya sangat tersiksa karena hukuman ini akan berakhir tiga puluh menit lagi, masih lama bukan? Galen memang di uji kesabarannya untuk kesekian kali.
Cowok dengan penuh peluh di wajahnya itu menoleh ke arah samping, menatap sosok cowok yang berdiri di sampingnya itu–Daniel berdiri tegap dengan rasa bangga. Bahkan ketika cowok itu menerima hukuman yang sama seperti dengannya, tetapi terlihat tanpa terbebani sedikit pun. Berbeda dengan Galen yang sedari tadi telah riweh karena terik matahari itu berhasil mengusiknya.
"Jangan lupa follback akun gue," ujarnya dengan datar.
"Apa maksud lo sebenarnya?" tanya Galen cepat. Tentu saja dirinya sangat curiga dengan sikap Daniel yang tiba-tiba me-follow akun instagramnya.
"Gue cuma mau berteman sama lo, salah?"
Lantas mata Galen mendelik di buatnya. What's this, he's crazy batin Galen yang tidak percaya setelah mendengar ucapan kakak kelasnya itu.
"Teman untuk apa?" tanya Galen cepat.
"Teman boxing. Are you ready?" Daniel menutkan salah satu alisnya.
"Gue gak berminat." Galen membuang mukanya, dan kembali fokus pada bendera merah putih yang kini berhenti berkibar. Tidak ada semilir angin di sana hingga membuat hawa Galen semakin panas.
"Apapun jawaban lo, gue anggap lo nerima tawaran gue. See you."
Daniel langsung melangkahkan kakinya pergi, meninggalkan Galen yang masih menerka-nerka apa yang diucapkan kakak kelasnya yang gila itu. Apalagi jika dirinya kini sangat kelelahan sehingga menjadikannya tidak fokus.
"Kalau lo mau lo bisa pergi dari tempat biadab itu, gak seharusnya lo taat pada aturan yang sebenarnya menyiksa," teriak Daniel sambil melambaikan tangannya enteng.
"Daniel, kembali kamu. Kamu selalu saja kabur saat bapak memberi hukuman." Seorang pria paruh baya itu berteriak hingga menampakkan urat dilehernya. Namun, Daniel yang berstatus sebagai burunannya itu justru lari dengan kecepatan yang dimilikinya.
"Bapak kalau mau menghukum saya, bapak kejar dulu dong," teriak Daniel sambil berlari ngawur sampai-sampai menenggor beberapa siswa yang telah berhamburan keluar karena bel istirahat telah berdering nyaring.
"DANIEL .... " teriak pak Subroto–guru BK SMA Andorra itu yang kini telah menunjukkan aksi rukuknya karena tidak tahan lagi untuk menghadapi murid semacam preman pasar itu.
Galen yang melihat itu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya heran. Kedua tangannya langsung menyambar almamaternya yang tergeletak di lapangan itu, kemudian dengan langkah gontai ia langsung menuju loker untuk mengambil seragam cadangannya.
Cukup melelahkan baginya hari ini, Galen menyenderkan punggungnya pada kursi kebangsaannya itu. Melipat kedua tangannya dibelakang kepala sambil merilekskan sejenak otaknya yang hampir mendidih itu. Kedua matanya terpejam rapat hingga suara dingin itu merasuk dalam indera pendengarannya.
"Lo habis di hukum?" tanya Elenea yang kini membalikkan dirinya hingga berhadapan dengan Galen.
"Iya, gue telat soalnya. Sumpah panas banget di lapangan," tutur Galen yang hampir membuat Elenea menoyor kepalanya itu.
"Ya kalau mau adem di mushola. Lagian salah lo sendiri telat kan?" balas Elenea.
"Ya lo bener banget. Emang gue yang salah, gue akuin itu."
Setelah itu tidak ada percakapan diantaranya, Galen menatap Elenea intens. Cowok itu sedang menikmati keindahan mata Elenea yang sedari tadi juga menatapnya. Lantas seorang Elenea menundukkan kepalanya, tidak tahan akan tatapan Galen yang lama kelamaan terasa seperti membidiknya.
"Makasih lo likenya." Galen melengkungkan kedua sudut bibirnya sempurna.
Dengan cepat Elenea membalikkan badannya seperti keadaan semula. Ia tidak mau membahas kesialannya yang telah membuat Galen–cowok yang menyukainya itu semakin tak sadar diri.
"Kantin yuk. Habis itu temenin gue ke perpus cari referensi untuk makalah." Galen membisikkan kalimat itu tepat di samping telinga Elenea sebelah kanan. Sontak itu membuat cewek yang berkepang kuda itu terhenyak.
"Siapa lo merintah gue? Pergi aja sana sendiri."
Galen menghela nafasnya panjang. "Gue gak bermaksud gitu. Gue cuma nawarin dan ngajak itu doang," jawab Galen sebagai pembelaan.
"Gak gitu bahasanya kalau ngomong sama gue."
Lantas Galen langsung bertekuk lutut di samping Elenea. Dan benar itu membuat beberapa orang yang masih tinggal di kelas menatap keduanya heran. Apalagi Elenea yang terkenal anti sosial dan Galen adalah anak baru. Pasti setelahnya akan timbul rumor yang akan buming ke seantero sekolah.
"Yaudah, Elenea yang cantik, kantin yuk? Dan gue butuh bantuan lo, temenin gue ke perpustakaan ya untuk cari referensi buat makalah." Galen melakukannya dengan sempurna, tanpa ada kata yang belibet dan itu diucapkannya sangat manis hingga siapa pun yang melihatnya teriak histeris.
Banyak juga di antara mereka yang ingin bertukar jiwa dengan Elenea. Namun, itu berbanding terbalik dengan Elenea. Cewek yang kini tengah beranjak berdiri itu, sama sekali tidak tertarik dengan sikap manis Galen. Terlebih jika dirinya kini melangkahkan kakinya lebih dulu meninggalkan Galen yang masih diam dalam posisinya.
"Nasib suka dengan cool girl ya gini." Galen langsung bangkit dari posisinya kemudian berjalan menyusul Elenea yang telah jauh dari pandangannya.
Kantin–tempat Galen dan Elenea yang sedang menyuap nasi pecelnya masing-masing dalam mulutnya. Keduanya tidak saling berbicara melainkan tatapan dari keduanya yang sering bertemu.
"Lo mau cari referensi yang kayak gimana? Maksut gue dari buku, majalah, koran, atau makalah itu sendiri?"
Galen menelan terlebih dulu sesuatu yang berada dalam mulutnya kemudian meneguk orange jus yang telah di pesannya.
"Kalau menurut lo gimana?"
"Kok malah balik nanya?"
"Ya, setelah gue scroll di beberapa artikel di blog google pembahasannya itu-itu aja. Misal nih kayak anak broken home itu karena keluarga yang tidak harmonis," ucap Galen yang setelahnya tampak berfikir berat.
"Ya memang itu garis besarnya, kan?"
"Iya sih, tapi kayak gue pengen mengulik itu lebih dalam lagi. Bukan hanya karena keluarga yang tidak harmonis, tetapi psikis dari seorang anak dan juga kedua orang tuanya juga. Karena kalau menurut gue nih, kayak orang tua gak akan melakukan itu kalau juga gak ada alasannya."
Elenea menggangguk-anggukkan kepalanya paham. "Encer juga otak lo, padahal gue denger-denger lo putus sekolah kan?"
"Ya, begitulah. Kadang gue gak bisa berfikir kalau hidup gue akan berlanjut seperti ini. Bahkan gue pernah mengira besok gue gak akan hidup lagi di dunia ini."
Elenea menghembuskan nafasnya berat, kedua sorot matanya menangkap sinyal kesedihan yang sedang dirasakan temannya itu.
"Lo gak sendiri kok, banyak yang hidup seperti kita, seperti Daniel juga."
Kita? Daniel? Galen tidak mengerti apa yang diucapkan Elenea sekarang. Ia hanya bisa diam, sambil mencoba menyimpulkan semuanya dengan benar.
Seketika bel masuk berbunyi, para murid harus segera kembali ke kelasnya masing-masing terlebih jam pelajaran ke tiga alam segera dimulai.
"Nanti, jam istirahat ke dua langsung ke perpustakaan!" titah Elenea yang kini berjalan lebih dulu, sedangkan Galen buru-buru meneguk orange jus yang tinggal setengah itu.
Kaki jenjang milik Galen melangkah cepat menuju kelas hingga di tengah perjalanan ia menabrak seorang cowok dengan mata yang memerah itu.
"Lo mabuk di sekolah ini?" tanya Galen sambil menepuk-nepuk pipi Daniel. Ia sangat tau betul gimana ciri-ciri orang yang telah meneguk minuman alkohol itu. Lantas dirinya langsung menyeret Daniel ke kamar mandi dan mengguyurnya sampai kakak kelasnya itu tersadar.
"Lo kalau mau nakal ada batasannya dong, sekolah lo buat mabuk."
Daniel tersenyum remeh, dengan samar ia mendengarkan Galen yang kini tengah mengguyurnya dengan air tanpa ampun. Tak lupa juga Galen menutup kamar mandi itu agar tidak ada seorangpun yang curiga dengan keduanya.
"Lo kenapa bawa gue ke sini, hah?"
Kini kedua tangan Galen puas menampar keras-keras pipi Daniel itu. "Nah, kan gue tampar keras aja gak terasa. Dasar blo'on lo," timpal Galen.
"Lo di sini dulu aja. Lo tidur sekalian. Gue mau ke kelas dulu. Nanti pulang sekolah gue ke sini lagi." Galen langsung mendudukkan cowok beraroma alkohol itu di sembarang tempat.
Langkah kaki Galen beranjak keluar, mengunci pintu kamar mandi itu rapat dan membiarkan Daniel sendirian di dalamnya. Sorot matanya menyusuri sekeliling hingga ia menemukan selembar kertas 'toilet rusak', dengan cepat tangannya menyahut selembar kertas itu kemudian memasangkannya tepat di depan pintu kamar mandi Daniel berada.
Galen segera kembali ke kelasnya, mungkin pelajaran sudah dimulai sejak lima menit yang lalu maka dengan cepat ia berlari di sepanjang koridor yang lumayan jauh dari jaraknya sekarang. Setibanya di ambang pintu kelas XI-IPS 3, ia tak lupa mengucapkan salam kemudian memberi alasan dirinya terlambat masuk kelas.
"Maaf, Pak. Tadi saya ke kamar mandi dulu untuk BAB." Galen menundukkan kepalanya kemudian berjalan sedikit membungkuk hingga sampai di tempat duduknya.
"Ya, silahkan," balas pria paruh baya itu yang tak lain pengajar yang kini berada di kelas XI-IPS 3.
Kini dirinya bisa bernafas lega, kedua tangannya cekatan untuk mengambil buku beserta alat tulis yang dibutuhkannya sekarang.
"Lo bohong, kan? tanya Elenea yang kini tengah menatapnya.
"Demi kebaikan," jawab Galen seadanya.
Elenea memutar bola matanya malas setelah mendengar jawaban yang sering kali di wajarkan oleh beberapa orang. Jika berbohong demi kebaikan, maka akan terus terjadi kebohongan yang dianggap baik seterusnya.
"Gue nemuin Daniel mabuk, jadi gue kurung dia di toilet." Galen membisikkan sebuah kalimat kepada Elenea, sontak cewek berkepang itu langsung melototkan matanya.
"Lalu?"
Galen mengangkat bahunya acuh. Tak lama kemudian ia melihat sosok cowok yang basah kuyup itu berjalan gontai melewati kelasnya.
"Daniel," lirih Galen dan Elenea bersamaan. Keduanya saling menatap satu sama lain menyiratkan sebuah pesan di sana.
Lantas Galen langsung menepuk keningnya. "Lupa gue kunci pintunya."
Setelah lima menit hati Galen tak tenang, benar saja namanya itu dipanggil oleh suara berat melaui speaker di sekolah yang tersambung di seluruh kelas yang ada di SMA Andorra.
Galen menundukkan kepalanya dalam-dalam, ia benar-benar tidak berani menatap mata tajam pak Subroto yang sedari tadi telah menatapnya.
"Saya benar-benar kecewa sama kamu, Galen. Kenapa kamu gak langsung lapor ke ruangan, Bapak? Sok mau jadi pahlawan kesiangan bagi anak brandal ini?" bentak pak Subroto dengan suara yang menggema dalam ruangan itu.
Seketika pintu berdecit pelan, tampak seorang lelaki yang kini sedang berjalan ke arahnya–Pak Haidar
selaku kepala Sekolah.
"Pak Subroto tidak seharusnya anda memarahi Galen seperti itu, dia tidak salah."
"Lalu siapa yang patut disalahkan atas kejadian ini. Bapak selaku kepala sekolah?" Lantas Pak Subroto langsung menerima tatapan tajam dari sosok yang di hormati oleh semua murid bahkan para wali murid SMA Andorra itu.
"Kalau kita selalu memanjakan sikap dari anak penyumbang yayasan terbanyak di sekolah ini maka akan ada the next Daniel yang selanjutnya."
"Seperti saat ini, Galen yang berusaha menutupi kesalahan Daniel," lanjut pak Subroto.
"Tutup mulut anda rapat-rapat, Pak. Tidak sepatutnya bapak berbicara seperti itu di depan kedua anak yang malang ini."
"Satu peringatan untuk bapak, selanjutnya saya tidak mau terdengar lagi. Selesaikan tugas bapak dengan baik, saya permisi."
Daniel menepuk pundak Galen pelan seraya ia memamerkan deretan giginya yang rapi itu. "Lo denger sesuatu, kan?"
Galen lantas menggaruk kepalanya ringan, ia benar-benar tidak mengerti bagaimana cara kerja sekolah ini. Apalagi tentang anak penyumbang yayasan? Apa yang dimaksud itu?
"Gue harus tanya pada papa," gumam Galen.
***
To Be Continue
Ketika Galen pusing memikirkan kejadian hari ini.
Bonus foto Elenea yang berada di Galeri Galen part 2
Jangan lupa vote dan comment karena itu sangat membantu
Thanks for Reading
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro