STUDYING
Pelajaran telah berlangsung dua puluh menit yang lalu, cowok dengan style two block haircut itu tampak serius menulis sesuatu dalam buku yang kini terbuka lebar di hadapannya. Dengan lihai ia menuliskan kata demi kata yang terlontar dari mulut sang guru. Bu Dahlia–wanita dengan rok meksi selutut itu tengah mendikte seluruh siswa XI-IPS 3 tentang materi sosiologi dengan sub bab stratifikasi sosial.
Dengan dua alat pendengaran yang Galen punya, dirinya mencoba konsen sambil memahami segala perkataan yang berhasil keluar dari mulut Bu Dahlia.
"Stratifikasi sosial merupakan salah satu fenomena sosial yang tidak bisa dihindari di masyarakat. Dengan kata lain, dalam sebuah masyarakat, stratifikasi sosial akan selalu terjadi, baik kamu sadari maupun tidak," ujar Bu Dahlia memulai untuk menjelaskan.
"Menurut Soerjono Soekanto, ada 3 sifat dari stratifikasi sosial. Ada yang bisa menjawab kali ini?" tanya Bu Dahlia selanjutnya, pandangannya mulai menelusuri di setiap murid yang terduduk pada bangkunya masing-masing.
Satu tangan Elenea sebelah kanan terangkat ke atas, dengan tatapan fokus ia memandang bu Dahlia yang kini juga sedang menatapnya.
Setelah itu bu Dahlia segera mempersilahkannya untuk menjawab pertanyaan tersebut.
"Pertama stratifikasi tertutup, ke dua stratifikasi terbuka, dan yang ke tiga stratifikasi campuran."
Dua acungan jempol untuk Elenea dari bu Dahlia, wanita yang kini selaku guru sosiologi itu tampak memamerkan deretan giginya yang sangat rapi. Ia sangat menghargai keluwesan muridnya itu dalam menjawab terlebih Elenea seorang peraih beasiswa, jadi tidak salah lagi sekolah telah memilihnya.
"Ada yang mau kasih contoh konkretnya?"
Lantas tangan milik Galen terangkat pelan, dalam benaknya sebenarnya ia ragu untuk menjawab pertanyaan dari bu Dahlia. Namun, ia berusaha untuk melawan itu semua. Ini demi mendapatkan perhatian Elenea, dengan cepat ia meraih buku tebal yang berjudul sosiologi itu. Membuka cepat lembaran demi lembaran sampai menemukan bab yang menjadi tujuannya.
Galen mulai membaca tulisan di sana dengan cepat, menelusuri kalimat per kalimat demi mendapatkan sebuah jawaban yang ia cari.
Setelah melihat raut wajah bu Dahlia yang kian jengah menatapnya kini dirinya mengulangi aksinya untuk mengangkat tangan. Ia tersenyum kikuk saat wanita paruh baya itu menggelengkan kepalanya pelan. Galen pun tahu itu tanda bahwa dirinya kelamaan untuk menjawab sebuah pertanyaan yang mungkin terlihat mudah di mata seorang guru.
Gak papa yang penting usaha dulu kan?
"Sistem kasta," tebak Galen. Setelah itu terbesit dalam otaknya tentang kata 'kasta' itu, ia tampak mengetahui sesuatu atau mungkin sudah paham sebelumnya, tetapi dirinya tidak mengetahui jika kasta adalah bagian dari stratifikasi itu sendiri.
"Sistem Kasta termasuk dalam stratifikasi tertutup, hal ini bisa dilihat dari masyarakat di Bali. Ada empat kasta disana, yaitu kasta Brahmana, Kshatriya, Waisya, dan Sudra," lanjut Galen.
Tentu hal ini membuat siapapun menatap intens terlebih ia menjelaskan secara gamblang dan tidak tampak gerogi. Selanjutnya langkah kaki bu Dahlia langsung berjalan menapaki ubin berwarna putih itu sebelum kemudian berhenti sekitar satu meter dari bangku Galen.
Galen pun melanjutkan kalimat selanjutnya yang belum sempat di utarakannya. "Kenapa sistem kasta ini dikatakan tertutup? Karena sistem kasta ini diperoleh dari garis keturunan atau kelahiran (asribed status). Masyarakat dengan lapisan kelas bawah hampir tidak mungkin bisa “naik kelas” menjadi kelas atas.
Contohnya seperti yang terjadi pada lapisan atas sebuah kasta brahmana. Bagi siapapun yang tidak mentaati maka dia dianggap keluar dari kasta tersebut, dan konsekuensinya akan dikeluarkan dari silsilah keluarga yang telah dibangun sejak lahir itu."
Sontak semua memberikan applause kepada Galen, kecuali satu cewek yang kini tengah menatapnya datar.
"Terimakasih Galen sudah memberi contoh konkret dari sistem stratifikasi tertutup, jawaban kamu bagus. Ibu akan memberi nilai tambahan untuk kamu dan juga Elenea. Nah, sekarang tugas kalian selanjutnya adalah membuat contoh konkret dari stratifikasi terbuka dan juga campuran." Bu Dahlia melihat jam yang kini menempel di pergelangan tangannya, tak terasa sudah empat puluh lima menit pelajaran telah berlangsung.
"Dimulai dari sekarang, tugas itu dikumpulkan saat bel pergantian jam berbunyi. Setiap anak wajib mengumpulkan, termasuk Elenea dan juga Galen. Ibu ada tugas piket absen hari ini, jadi silahkan kerjakan tugas kalian dengan baik. Ibu permisi dulu."
Suara ketukan fantofel milik Bu Dahlia itu mulai menggema hingga sudut ruangan bahkan terdengar jelas di telinga para murid kelas XI-IPS 3 karena suasana ruangan itu yang tampak sepi dan damai. Tidak ada obrolan di antara mereka, juga tidak ada suara yang bising karena sorak para murid di sana. Semuanya tampak tenang dan fokus mengerjakan tugas seperti yang Bu Dahlia minta.
Mode serius di mulai. Benar-benar tidak ada percakapan kecil di sana. Tentu ini membuat Galen sedikit terheran, di tempat seperti ini masih ada sosok Daniel yang berandal itu. Bahkan jika melihat di sekeliling ruangan itu tidak ada yang tampak contek-menyontek, semuanya mengerjakan dengan kemampuannya sendiri.
Dan kini dirinya lagi-lagi terfokus pada satu cewek yang duduk di hadapannya itu. Dengan badan yang sedikit bungkuk, tangan kanannya yang mulai bergerak ke kanan dan ke kiri serta earphone yang tak lupa terpasang di area telinganya itu. Elenea, cewek itu telah merebut pandangannya berulangkali.
Galen lantas menggelengkan kepalanya cepat, ia kembali fokus pada tugas yang telah diberikan itu. Dirinya mulai mengutak-atik pikiranmya, mencerna apapun yang telah ia dapat dari signal kata stratifikasi yang berarti tingkatan itu.
Tangan kanannya segera meraih alat tulis dalam tas, selanjutnya menuliskan beberapa kata dalam pikirannya yang telah berhasil ia dapatkan. Setelah beberapa menit dua soal itu dapat terjawab dengan mudah. Galen telah mengerjakannya dengan masing-masing lima contoh konkret di setiap soal.
"El," panggil Galen seraya menepuk bahu Elenea yang sama sekali tak bergerak.
"El, lo udah selesai?" tanya Galen kembali.
Masih tidak ada jawaban, tetapi kini ia mendapati Elenea yang telah membalikkan badannya sehingga berhadapan dengan dirinya.
"Udah."
"Main tebak-tebakan, yuk?"
"Hemmm .... "
Galen langsung tersenyum lebar, ia berusaha memperbaiki posisinya yang sebetulnya sudah tegap.
"Lo tau nggak kalau sebenarnya di kehidupan gue ada stratifikasi."
Elenea tersenyum meremehkan. "Tau lah, lo gak denger tadi Bu Dahlia bicara apa? Berlaku di seluruh lapisan masyarakat baik itu disadari atau tidak."
Lantas Galen langsung menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ini sangat memalukan, niatnya mau romantisan dan kini jadi jenaka yang tidak ada unsur humor di dalamnya. Melainkan hanya sebuah seni untuk mempermalukan diri sendiri. Entah mendapatkan hidayah dari mana kini Galen mendapatkan topik ide yang menarik, menarik untuk di ucapkan.
Kena juga kan lo, batin Elenea.
"Maksud gue bukan gitu."
"Gimana?"
"Maksud gue stratifikasi antara gue dan lo."
Elenea mengangkat satu alisnya.
"Lo tetep jadi nomer satu di hati gue. Gak ada yang bisa gantiin."
"Guenya yang ogah." Elenea langsung membalikkan badannya, kembali terfokus pada tugas yang sebenarnya telah selesai beberapa menit yang lalu.
Galen menghembuskan nafasnya panjang. Namun, tanpa diduga ada seorang cewek yang sedang mengajaknya bicara.
"Gal, sorry mau nanya?" tanya seorang cewek dengan rambut sepundak itu yang kini posisinya tepat di belakang bangku Galen.
"Apa?" jawab Galen ramah.
Galen memang tipe orang yang ramah kepada siapapun, hanya saja terkadang dirinya terkesan irit bicara kepada orang yang belum di kenalnya terkecuali Elenea. Galen telah tertarik pada cewek anti sosial itu sejak pertama kali bertemu.
"Nanti mau nggak ke kantin bareng?"
Galen terdiam sejenak, menatap punggung Elenea yang tegap itu. Berharap cewek yang duduk di hadapannya itu segera menoleh, tetapi ternyata tidak. Elenea benar-benar tidak peduli bahkan setelah ia mendengar suara ajakan cewek itu untuk Galen dengan jelas.
"Boleh," jawab Galen asal.
Lantas kemudian banyak cewek yang berbisik dengannya, entah itu berada di posisi samping kiri atau kanan bahkan ada juga yang menghampirinya dengan mengendap-ngendap agar tidak ketahuan oleh guru yang sedang berkeliaran di luar kelas itu.
Galen semakin bingung dibuatnya, jumlah siswi sekitar sepuluh lebih itu bersahut-sahutan untuk mengajaknya untuk sekedar pergi ke kantin, ke perpustakaan bahkan ada yang mengajaknya makan malam atau dating.
It's Crazy, really unbelievable.
Hal ini tentu membuat Elenea bising, apalagi dirinya yang sebelumnya merasakan aman damai dalam kelas. Namun, kini sejak ke datangan murid baru itu membuat kelas menjadi gaduh. Benar ini adalah pertama kalinya, dan Elenea berharap ini juga terakhir kalinya. Lantas dirinya langsung menggebrak meja kayu itu seraya berdiri, tepat saat itu Bu Dahlia berada diambang pintu.
"Saya sudah selesai, Bu." Elenea langsung membawa buku bersampul coklat itu hingga ke meja guru. Setelah itu ia langsung meminta izin pada bu Dahlia untuk pergi ke toilet.
Galen yang mengetahui itu langsung bangkit dari berdirinya. Membalikkan tubuhnya hingga kini ia menatap sosok cewek yang mengajaknya pergi ke kantin tadi.
"Maaf, ya, mungkin lain kali ke kita bisa ke kantin bareng," ucap Galen sambil tersenyum tipis. Sejujurnya itu ia tujukan pada semua cewek yang tadi telah menawarkan waktunya untuk Galen.
Tangannya segera menyambar buku tugasnya itu kemudian mengumpulkannya ke depan meja guru. Lantas dirinya juga meminta izin untuk ke toilet. Ya, memang ini bukan sebuah kebetulan, tetapi akal-akalan Galen untuk bisa menyusul Elenea.
"Ya, silahkan."
Langkah kakinya langsung beranjak dari sana, menapaki deretan ubin yang terpasang apik di sepanjang koridor. Benar dirinya kini membuntuti Elenea dari jauh, tetapi pandangannya kini teralih pada sosok laki-laki bertubuh jangkung yang memakai jas formal.
Tidak asing baginya. Galen melihat sosok itu yang kini membelakanginya, dengan pantofel casual pria berwarna hitam pekat itu menambah ke eleganan sosok lelaki itu. Galen melihat dengan jelas jika seorang lelaki itu sedang berada di ambang pintu ruang BK, dan sepertinya menunggu seseorang yang akan segera hadir.
Namun, Galen segera sadar akan maksudnya keluar kelas detik ini. Ia segera menatap lurus ke depan, mendapati cewek yang kini tengah berjalan lurus. Lantas Galen segera mempercepat langkahnya hingga pada akhirnya berlari kecil demi bisa mensejajarkan langkahnya dengan cewek bernamtage Elenea itu.
Galen mengetahui sebenarnya niat Elenea bukan sekedar untuk ke toilet melainkan ingin menenangkan diri karena ruang kelas cukup gaduh tadi. Itu juga karenanya, jika Galen tidak menerima ajakan salah seorang cewek itu mungkin siswi lainnya juga tidak ikut andil untuk menawarkan diri untuknya.
"Lo marah?" tanya Galen yang kini telah berhasil berjalan santai di samping cewek berambut terurai itu.
"Untuk apa?"
"Mungkin lo marah karena tadi--"
Elenea memotong perkataan Galen seenaknya, kini ia memperhentikan langkahnya dan menatap datar cowok dengan tinggi lumayan jauh di atasnya itu.
"Tadi lo terlalu berisik. Seharusnya lo bisa mengendalikan dayang-dayang lo itu."
"Dayang?" Galen menautkan alisnya.
"Kalau bukan dayang apa namanya, yang rela menawarkan waktunya hanya untuk cowok yang gak penting seperti lo. Buang-buang waktu," ucap Elenea menggebu-gebu, entah apa yang kini membuatnya emosi hingga tak terhanan seperti sekarang. Hanya karena ia tidak suka kebisingan atau memang ada sesuatu yang mengganjal di hatinya.
"Lo cemburu?" tebak Galen yang kini telah berada di atas rasa kepercayaan dirinya.
"Setelah kehadiran lo, hidup gue jadi banyak terganggu." Elenea berusaha mengalihkan topik. Menatap tajam Galen yang kini masih nyengir tanpa rasa bersalah.
"Hidup lo atau hati lo yang terganggu."
Bisa terdengar atau tidak yang pasti kini jantung Elenea seperti berhenti sejenak, ucapan kata yang terlontar dari mulut Galen bagaikan bom yang telah menghantam dasar bumi sehingga menimbulkan suara gemuruh yang rancu.
Persis seperti hati Elenea sekarang, kini ia hanya berusaha menetralkan rasa berdebarnya serta raut wajahnya yang menunjukkan semburat merah itu.
'Kring ... Kring ... '
Dua bel berbunyi menandakan jam pertama telah usai. Kini kesempatan Elenea untuk kabur dari hadapan Galen. Elenea langsung membalikkan badannya, kemudian berjalan cepat seraya menunduk agar tidak melihat raut Galen yang telah mengusik batinnya itu.
Lantas Galen menghembuskan nafasnya panjang, kemudian berjalan santai menuju pada kelasnya. Tak sadar dua kancing bajunya itu terlepas, segera kepalanya langsung menunduk menata kedua tangannya agar menautkan kembali kancing hingga ke lubang baju itu.
Langkah kakinya tetap berjalan lurus, hingga pada akhirnya ia berhasil menabrakkan diri pada bahu seorang cowok yang dikiranya tidak masuk hari ini.
"Lo, bukannya ada di--"
"Apa? Jangan suka menilai orang dari yang terlihat saja. Itu foto satu tahun yang lalu."
Galen memutar bola matanya malas, jujur ia tidak ingin juga penjelasan dari kakak kelasnya itu. Cukup muak melihat wajahnya hari ini, amat sangat menjengkelkan.
"Jangan dekati Elenea setelah ini!" perintah Daniel yang kini telah mencengkram bahu Galen kuat.
"Lo gak berhak melarang gue," ucap Galen yang tak kalah tegas.
"Gue hampir saja mendapatkannya, tetapi karena kejadian itu--"
Perkataan Daniel harus terpotong karena ada sosok lelaki yang kini telah menepuk bahunya pelan.
"Ikut bapak ke kantor," ucap seorang lelaki yang diketahui bahwa itu adalah pak Subroto–guru BK yang menjadi partner Daniel sejati. Tepatnya partner dalam kontroversi, ya.
Lantas Galen masih dalam diamnya, mencoba menebak kalimat yang selanjutnya akan diucapkan Daniel itu. Namun, kini cowok dengan baju seragam yang keluar sebelah itu menjulurkan lidahnya tanpa beban.
***
To Be Continue
Ekspresi Galen setelah bertemu Daniel.
Elenea mode Kalem
Jangan lupa vote dan comment karena itu sangat membantu
Thanks for Reading
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro