SISWA TELADAN VS SISWA BADUNG
Di sela-sela makan malam, Galen mengutak-atik ponsel yang berada di sampingnya. Ia menatap layar ponselnya ragu, entah apa yang ingin dilakukannya kali ini. Yang pasti fokusnya pada satu aplikasi gambar kamera dengan warna yang kontras satu sama yang lain. Kedua tangannya menarik ulur sebuah benda pipih itu yang kini sudah tidak ada pada genggamannya.
Kemudian terbesit pada otaknya untuk mematikan saja layar ponselnya agar sinar yang samar itu tidak mengacau pandangan.
"Kamu kenapa? Sedari tadi mama perhatikan kamu beragak-agak membuka ponselmu. Ada masalah di sekolah?" tanya Zelyn dengan rasa curiga.
Ia menatap kembali anaknya itu yang kini terdiam sembari melamun, yang jelas ini membuat khawatir akan terjadi hal apapun di sekolah terlebih setelah suaminya itu pergi ke sekolah tanpa sepengetahuan Galen.
Zelyn menatap Alby-suaminya, penuh tandanya, seakan menyiratkan pertanyaan yang sebelumnya ia pendam sendiri. Tentang apa yang sebenarnya telah terjadi di sekolah setelah kedatangan suaminya itu?
Alby segera beranjak berdiri mendekati anaknya itu, menepuk pundak milik seorang cowok itu dengan halus. Namun, tetap saja Galen terlonjak dibuatnya.
"Ada apa, Pa?"
"Harusnya Papa yang nanya itu ke kamu."
Galen menggelengkan kepalanya pelan. "Memangnya Galen terlihat seperti apa? Linglung?"
Alby mengangkat bahunya acuh, satu tangannya terulur untuk menarik sebuah kursi kayu yang berstyle italy itu. Ia menghela nafasnya panjang sebelum kemudian mengeluarkan kalimat yang akan ditujukan pada Galen-anak angkatnya.
"Kamu lihat tadi Papa di sekolah?"
Lantas Galen langsung mendelik setelah mendengar pengucapan dari sang papa, dan tidak salah lagi atas dugaannya tadi bahwa sosok lelaki dengan style konglomerat itu ternyata papanya. Sontak dirinya langsung mengubah posisinya menjadi berhadapan dengan sang papa, seolah-olah meminta penjelasan di sana.
Zelyn yang mengetahui hal ini langsung beranjak berdiri hingga kini berdiri di samping Galen, mengelus lembut puncak kepala Galen.
Galen merasakan sentuhan itu dirinya segera mendongak ke atas, menatap mamanya dengan senyuman yang mengembang. Ia sangat mencintai wanita itu, wanita yang selalu berada di sampingnya terlebih ia bukanlah anak yang lahir dari rahimnya. Namun, kenapa Zelyn selalu baik kepadanya? Kenapa selalu mencurahkan seluruh kasihnya dengan tulus?
Satu tangan Galen terangkat hingga menyentuh bahu sang mama, mengusap-usap area itu berulang kali hingga kini sang mama mendaratkan sebuah kecupan pada keningnya.
"Galen gak papa, Ma. Hanya saja ada sedikit pikiran. Lebih tepatnya ragu."
Alby segera menggengam tangan Galen erat. "Kalau ada apa-apa cerita sama Papa dan Mama. Anggap saja sebagai teman, kami juga pernah muda. Ya, gak, Ma?"
Alby mengangkat alisnya bergantian seraya menggoda Galen dengan seringai di kedua sudut bibirnya.
"Gak perlu khawatir, ini hanya masalah Daniel dan Elenea nanti Galen bisa urus sendiri."
"Yakin kamu?" Alby menoel dagu Galen manja.
Galen langsung menganggukkan kepalanya. Ia menunjukkan senyuman lebar demi meyakinkan orang tuanya bahwa dirinya sanggup mengatasinya sendiri.
"Mama dan Papa tenang aja. Galen hanya perlu menenangkan diri. Chill." Galen mengangkat salah satu jempolnya.
"Oh, ya Papa belum cerita soal tadi pagi. Ada urusan apa Papa datang ke sekolah, juga setelah itu Daniel di panggil ke ruang BK. Why?"
"Papa sekarang harus merampungkan kerjaan untuk besok. Jadi lain kali ya ceritanya," ucap Alby sambil menepuk-nepuk bahu Galen.
Dirinya kemudian beranjak berdiri mengandeng tangan sang istri mesra di depan cowok yang kini melongo karena melihat adegan mesra kedua orang tuanya. Galen yang mengetahui itu hanya bisa pasrah dan sesekali meraup wajahnya gusar.
Galen kembali menatap ponselnya yang kini telah hitam padam itu, menimang apa yang akan ia perbuat dengan benda pipih di hadapannya. Sekian detik telah di lewati, kini Galen dengan modal nekad langsung menyambar bendah pipi berwarna silver itu, menekan tombol on-of hingga ponsel kembali nyala. Segera ia langsung menggeser home screen hingga matanya kini tertuju pada sebuah aplikasi yang menjadi beban pikirannya sejak tadi.
Jari jempolnya mulai menekan tombol pencarian di bawah sendiri kemudian mengetikkan sebuah username @Daniel.Giovani di sana.
Besok bisa ketemuan di kantin saat jam istirahat?
Satu kalimat pertanyaan entah ajakan yang kini ditujukan pada kakak kelasnya itu, yang pasti kini Galen sedang menimang apakah patut kalimat tersebut ia kirimkan pada seorang preman pasar berkedok pelajar-kakak kelas yang teramat menjengkelkan alias tukang buat onar.
Dengan mata terpejam kini Galen berhasil menekan tombol send yang ada di sana. Galen langsung meletakkan asal ponsel di sampingnya, berharap cowok bernama Daniel itu segera membukanya.
Galen membuang pandangannya ke sembarang arah, yang tentu ia malas menatap cahaya layar ponselnya yang hingga kini belum redup. Ya, memang sengaja di atur demikian (anti ribet-ribet club), bahkan dirinya juga tidak menerapkan kata sandi atau semacam sidik jari dalam pengaturan ponselnya.
Kedua sorot matanya melirik layar ponselnya yang jaraknya cukup jauh dengannya, sedikit demi sedikit ia mendekatkan raut wajahnya sampai kini dirinya benar-benar menatap fokus ponsel dengan gaya full screen itu.
Daniel.Giovanni
Tpying ....
Segera Galen menyambar sebuah benda pipih itu dan kini menggenggamnya erat. Menunggu sesuatu dikirimkan oleh seseorang di seberang ponsel sana.
Lihat besok.
Dua kata yang kini membuat Galen semakin mencengkram ponselnya kuat, langkah kakinya berjalan cepat menapaki tangga yang itu menghubungkan dengan ruangan kamarnya di lantai dua.
Setelah sampai, Galen segera membuka pintu kamarnya lalu menghempaskan tubuhnya pada kasur king sizenya yang empuk itu. Ketebalan yang hampir mencapai empat puluh senti itu mampu melenyapkan sedikit rasa capek pada tubuhnya, terlebih kini ia merasakan penat di kepalanya.
***
Seluruh murid kelas XI-IPS 3 tiba-tiba berbisik satu sama lain terlebih banyak yang menyadari ada seorang cowok yang kini berdiri di ambang pintu. Galen segera mengalihkan pandangannya yang sedari tadi berkutik pada buku tulis di hadapannya itu, sorot matanya menatap ke arah tempat sesuai petunjuk dari seorang cewek yang tengah berbisik di belakangnya.
"Itu di depan pintu ada Kak--" ucap suara cempreng itu harus terpotong karena salah seorang temannya telah menyenggol lengannya.
"Jangan dilanjutkan lagi, nanti dia dengar bisa gawat," bisik seorang cewek yang di ketahui berada di sampingnya.
Daniel Giovanni-seorang antagonis dalam kehidupan Galen. Ia selalu mengusik pikiran Galen entah di mana pun itu, dan sekarang dirinya telah berdiri di ambang pintu dengan membawa aura menakutkan kepada seluruh murid XI-IPS 3. Seluruh isi kelas itu bahkan tidak ada yang berani menatapnya terlebih hanya menunduk dengan segala macam bisikan yang mungkin tidak akan dihiraukan oleh cowok berandal itu.
Terkecuali Galen dan Elenea, dua orang itu berani menatap Daniel yang kini menunjukkan senyum smirknya. Tatapan matanya benar-benar tajam, pantas saja tidak ada yang berani melihatnya. Untuk memanggil namanya saja takut.
Galen segera beranjak berdiri seraya menatap sekililing kelas yang tampak menunduk. Apakah hanya dirinya dan juga Elenea yang berani menatap cowok seperti Daniel itu? Diantara sepuluh laki-laki hanya dirinya yang mampu menatap Daniel dengan kodrat yang sama sebagai laki-laki?
Entalah apa yang perlu ditakutkan oleh seluruh murid kelas itu, tetapi
yang perlu diketahui Daniel hanyalah seorang siswa SMA Andorra yang tidak memiliki attitude yang cukup sehingga bisa dikatakan seorang sebagai pelajar.
Satu tangan Galen langsung mengambil buku yang berada di mejanya, tiba-tiba cowok dengan name tag Rio segera memperingatinya pelan.
"Mau kenapa lo, Gal? Lebih baik duduk sampai nanti Pak Malan datang," ucap Rio tanpa melihat raut wajahnya yang kini sedang menatapnya. Pak Malan-seorang guru mapel yang kini tengah pergi entah kemana setelah memberikan tugas seabrek bagi para muridnya.
"Tenang aja," jawab Galen seadanya.
Dua langkah Galen berjalan kemudian berhenti di samping Elenea yang kini masih menatap Daniel datar. "Gue nitip buku tugas, ya? Nanti bilang gue izin ke toilet."
Tanpa menunggu jawaban, Galen langsung melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti tadi. Dirinya tidak memperdulikan Elenea yang sampai kini belum menjawabnya melainkan hanya memandang bingung buku bersampul coklat yang kini tengah dipegangnya.
"Gak mau, urus aja urusan lo sendiri," teriak Elenea.
Galen memutar badannya 180°C hingga sekarang bisa menangkap raut wajah Elenea yang tampak kesal atas perlakuannya.
"Kalau lo gak mau pasti cewek di sebelah lo mau tuh, ya kan Re," ucap Galen sambil melirik cewek yang ber name tag Rere itu.
Rere lekas menganggukkan kepalanya cepat sehingga membuat hati Galen sedikit terasa lega tidak seperti sebelumnya. Galen pun tersenyum sebagai balasannya. Langkah kakinya kembali berjalan ke depan tanpa ada yang perlu dikhawatirkan lagi.
"Biar gue aja." Singkat, padat dan jelas. Suara yang samar itu masih terdengar di area pendengarannya. Galen tersenyum lebar setelah mengetahui suara itu berhasil keluar dari mulut Elenea, ada sedikit rasa kemenangan di dalam hatinya.
Memang benar kata orang, perlu jeda untuk memperjelas sebuah kalimat, dan ini juga berlaku pada sebuah hubungan. Kini Galen telah membuktikannya. Elenea memberikan feedback ketika dirinya tidak terlalu mengekangnya.
"Ada apa lo ke sini?" tanya Galen.
Daniel langsung menunjukkan sebuah layar ponselnya yang berada pada room chat instagramnya, tentu itu terhubung pada usernamenya.
"Masih sepuluh menit lagi."
Daniel menyunggingkan sudut bibirnya. "Kenapa harus menunggu jika sekarang bisa, lagian guru tua itu gak ada, kan, di sini? Jangan mau terus di kibulin, paling Malan juga ngopi di kantin," jawab Daniel dengan menyebut nama seorang guru tanpa embel-embel pak itu.
Galen mengerutkan keningnya seakan-akan bertanya darimana Daniel mengetahui jadwal guru yang kini sedang mengajarnya hari ini, lantas lirikan Daniel tertuju pada jadwal pelajaran XI-IPS3 yang tertempel di tembok. Serta ada kode guru di sana.
"Lo hafal semua kode guru?"
"Gue memang nakal tapi gak sebodoh yang lo kira."
Daniel langsung melangkahkan kakinya tanpa basa-basi lebih lama lagi, ia memang tipe yang gak mau ribet tapi suka ngribetin banyak orang terutama para guru dan beberapa siswa yang telah menjadi korban selama ini.
Setelah tiba di tempat dengan aroma masakan yang menyengat itu, langkah Daniel terhenti. Indera penglihatannya menelusuri pandang di mana tempat yang cocok untuk dirinya dan juga Galen, meskipun sebenarnya ia tidak takut untuk duduk di sembarang tempat di sana. Namun, ia juga memikirkan nasib Galen jika nanti sampai ketahuan oleh guru piket yang sedang keliling. Hitung-hitung ini juga karena waktu itu Galen sempat mengorbankan dirinya demi Daniel, ya meskipun gagal total dan pada akhirnya tetap berakhir di ruang BK.
"Ikut gue," titah Daniel.
Galen hanya mengangguk, menatap sosok punggung Daniel yang berjalan mengendap demi menghindarkan dari pandangan dari seorang lelaki yang di ketahui itu adalah pak Malan.
"Hai, bro," sapa Daniel yang kini telah bertepuk bahu pada seorang laki-laki dengan peci miring di kepalanya.
"Pak," sapa Galen sambil menunduk, sontak itu membuat Daniel tertawa renyah.
"Lucu juga lo, dasar siswa teladan."
"Justru yang kayak gitu Mas Daniel yang patut di contoh," ucap lelaki itu dengan logat medoknya.
"Ya terserah, buatin saya kopi pahit seperti biasa."
Daniel segera mendudukkan diri di bangku panjang yang telah tersedia di pojok ruangan petak itu, ia menepuk-nepuk bangku di sebelahnya sebagai isyarat untuk Galen agar segera duduk di sampingnya.
"Gak usah basa-basi, cepat jelasin."
Galen muak dengan semua ini, yang ia inginkan adalah penjelasan dari Daniel bukan kini menghabiskan waktu istirahatnya untuk berurusan dengan makhluk badung itu.
Daniel menatapnya remeh, tangannya merogoh satu cepet rokok di dalam sakunya. Kemudian menyalakan dengan korek api yang masih meminjam di kantin itu.
Tak tau malu, pikir Galen.
"Mau?" Daniel mengangkat satu alisnya.
"Gak! Lo gila ngerokok di sekolah."
Lantas Daniel menyembulkan asap itu tepat di muka Galen.
'uhuk ... uhuk ... uhuk .... '
Galen mengibaskan kedua tangannya untuk menghalau asap itu merasuk hingga paru-parunya. Namun, tetap saja sebagian asap itu telah masuk melalui hidungnya. Dan kini dirinya berakhir batuk-batuk hingga tak terkondisikan.
"Lo gila Daniel!!" bentak Galen.
"Kak Daniel, yang sopan dong. Sama guru aja sopan," jawab Daniel dengan maksud menggoda adik kelasnya itu.
Sontak Galen langsung menyahut rokok yang tengah diapit oleh kedua jari cowok dengan seragam yang kini sudah awut-awutan. Dirinya semakin geram ketika Daniel malah mempermainkannya.
"Lo bilang sekarang. Lo hampir dapetin Elenea sampai suatu kejadian itu datang kemudian ...?" tanya Galen dengan penuh penekanan di setiap katanya.
"Kalau mau mancing harus sabar. Dan yang paling penting ada umpannya," jawab Daniel asal sebelum kini menyalakan kembali sebuah batang rokok.
"Ok, terserah lo. Gue tunggu, pesan es teh satu, Pak."
Galen kini hanya bisa pasrah, menunggu seorang cowok yang kini sedang menikmati hidupnya. Menyruput kopi hitam sambil menyembulkan asap yang tak seberapa dari mulutnya.
"Kalau lo mau Elenea, lo harus siap saingan sama gue."
Galen tidak meresponnya, ia tahu jika itu hanya omong kosong dari Daniel. Ia tidak akan terpancing kali ini. Hingga seketika Elenea datang dengan raut wajah datarnya.
"Pak pesan nasi pecel satu sama es teh, dibungkus, ya."
"Nah, ini umpannya datang."
Lantas Galen mendelik setelah mendengar ucapan Daniel yang seloroh itu.
***
To Be Continue
Ketika Galen ingin menghantam mulut klimis Daniel
Jangan lupa vote dan comment karena itu sangat membantu
Thanks for Reading
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro