SCHOKOLADE
Galen menghembuskan nafasnya panjang setelah melihat mamanya masuk ruang ICU. Langkah kakinya tidak bisa berhenti saking cemasnya, sebuah tepukan di pundaknya itu membuat dirinya terhenyak. Alby sedang menatapnya datar sambil mengarahkan dirinya untuk lebih rileks dan duduk di sembarang kursi yang ada di sana.
"Tenang dulu, mama kamu sedang ditangani. Papa mau urus administrasi terlebih dulu." Alby pun mengelus rambut Galen halus, kemudian melangkahkan kakinya di bagian administrasi.
Namun, rasa paniknya tidak kunjung reda. Galen memijat pelipisnya sambil menghentakkan kaki kirinya tanpa henti. Tidak tau kenapa rasanya ia sangat takut jika terjadi sesuatu dengan mamanya itu.
Karena tak sanggup lagi mehanan, Galen lantas berdiri melihat dari kejauhan mamanya yang sedang ditangani oleh tenaga medis di sana.
Kurang lebih sepuluh menit, Alby kembali di samping Galen.
Tidak ada percakapan di antara keduanya, hanya saja tatapan di antara Alby dan Galen sama menunjukkan perasaan sedih. Cukup lama menanti, setelah dua jam kemudian panggilan di tujukan atas nama keluarga bu Zelyn.
"Untuk keluarga Bu Zelyn atas nama suami, yaitu Pak Alby Wijayakusuma bisa pindah ke ruang rawat inap Arafah nomor dua." Sesi humas memberitahukan lewat media speaker yang cukup jelas terdengar di area tersebut.
Lantas Alby dan Galen segera masuk ke dalam ruang ICU kemudian mengikuti petugas yang mendorong Paramount Bed–dimana Zelyn sedang terbaring lemas di sana. Sesampainya di ruangan, Alby langsung menelpon orang bawahannya untuk mempersiapkan segala keperluan yang dibutuhkan Zelyn selama rawat inap berjalan.
Galen segera mendekat di samping mamanya. Ia melihat mamanya dengan semburat kesedihan, bagaimana tidak, Zelyn terbaring lemah dengan wajah yang pucat.
"Mama sudah siuman? Ada yang sakit? Atau mama mau makan biar Galen suapin?" Cowok dengan rambut yang sudah acakan itu langsung memberondong banyak pertanyaan untuk mamanya yang kini telah mengerjap berkali-kali. Sontak Zelyn pun tersenyum tipis.
Alby yang mengetahui itu langsung berdiri di samping Zelyn seraya menggenggam tangan istrinya yang kebas dan dingin. Namun, rasanya sedikit lega setelah pujaan hatinya itu membuka matanya walaupun masih sayu. Ia senang melihat Zelyn siuman dan juga tersenyum kembali.
Suara decitan pintu terdengar jelas, seorang lelaki berseragam serba putih dengan stetoskop yang menggelantung di lehernya itu berjalan menuju Paramount Bed tempat Zelyn terbaring. Pertama yang dilakukannya adalah mengecek denyut nadi, kemudian beralih memeriksa kedua mata–menjinjit kelopak mata bergantian dan yang terakhir adalah mengecek suhu menggunakan termometer yang digenggamnya sedari tadi.
Dokter bernamtage Eko Juniarto itu memberi arahan kepada Alby untuk mengikutinya. Melangkah tidak jauh dari tempatnya yang sebelumnya.
"Kondisi Bu Zelyn aman, hanya saja psikisnya yang agak terganggu ya. Melihat dari kedua sorot matanya Bu Zelyn seperti mengalami pasca trauma. Apakah bapak sebagai suaminya bisa menjelaskan kejadian sebelumnya?"
Lambaian tangan di tujukan kepada Galen. Alby, selaku suami dari Zelyn itu memanggil Galen terlebih dahulu sebelum menjelaskan kejadian sebenarnya.
"Ini anak angkat saya namanya Galen. Sebelumnya saya mau memberitahu tentang kejadian sepuluh tahun yang lalu yang membuat istri saya stres berkepanjangan. Kami kehilangan malaikat kecil kami karena kasus penculikan anak."
"Lalu?"
"Hari ini kamu Galen, belum pamit mama, kan? sebelum kamu pergi?
Ia berusaha menghubungi kamu Galen, tetapi tidak ada jawaban."
Alby kemudian mengalihkan atensinya menatap kembali sang dokter. "Mungkin itu yang membuat istri saya trauma dengan kejadian yang sudah lalu. Bisa jadi ia khawatir akan itu, mengira Galen akan menghilang seperti Alen yang tak pernah kembali sepuluh tahun yang lalu."
Alby berusaha menahan tangisnya. Kedua tangannya memijat-mijat pelipisnya sambil menatap senduh ke arah Zelyn. Dokter itu hanya mengangguk dan tampak membuat catatan penting di sebuah buku mini yang sedang dipegangnya.
Bagaikan deru ombak yang menghantam karang di tepi pantai. Itulah yang sedang Galen rasakan kali ini, ia merasa jika semua ini terjadi karena ulahnya. Karena dirinya yang tidak izin terlebih dahulu saat ingin keluar rumah. Lantas dirinya meneteskan air matanya walaupun tidak ada suara isakan yang terdengar di sana.
Maaf itulah kata yang terbesit berkali-kali dalam benaknya.
"Seperti yang bapak tadi katakan, dalam memori otaknya menangkap sebuah signal yang mengarah pada kejadian di masa lalu, yang mungkin itu membuat dirinya mengalami kilas balik. Terlebih pada objek yang sama, yaitu seorang anak."
"Reaksi emosionalnya membuka kembali rasa cemas sehingga dapat meningkatkan reaktivitas terhadap rangsangan, kegelisahan, atau suasana hati yang tertekan. Maka dari itu tekanan darah menurun secara tiba-tiba sehingga aliran darah dan suplai oksigen ke otak berkurang sehingga Bu Zelyn mengalami gejala bernama pingsan itu."
"Lalu bagaimana solusinya, Dok?"
"Yang pasti jangan biarkan istri bapak stres mendalam dan jangan pernah ciptakan sebuah kejadian yang nantinya membawanya dalam kilas balik di masa lalunya. Seperti sekarang ini, mas Galen jangan mengulangi hal yang sama kemudian. Banyak-banyak menghabiskan waktu bersama agar kondisi psikis Bu Zelyn kian membaik." Setelah menjelaskan panjang lebar sang dokter segera permisi pergi untuk mengecek keadaan pasien yang lainnya.
Setelah kepergian dokter, Galen mendekatkan diri di samping Alby seraya mencium punggung tangan papanya itu. "Maafkan Galen. Galen tidak bermaksud untuk membuat kalian cemas apalagi membuat mama sampai masuk rumah sakit kaya gini."
Alby tersenyum tipis seraya mengelus puncak kepala milik anaknya itu. Ia tidak mempermasalahkan apa yang sudah terjadi, hanya saja dirinya perlu memberi petuah kepada sang anak itu. "Yang terjadi ya sudah, toh gak bisa di ulang kan? Yang harus kamu lakukan adalah memperbaiki sikap kamu."
"Lebih sering bicara sama mama ya? Jangan buat mama stres apalagi menghilang tanpa kabar." Galen menganggukkan kepalanya tanda menerima semua nasihat dari sang papa.
Galen pun segera berjalan mendekati Zelyn, mamanya itu sedang tertidur pulas. Tampak dari raut wajahnya yang sangat capek, entah bagaimana makna capek yang sebenarnya. Yang Galen tahu ia adalah sosok mama yang merindukan kehadiran anaknya kembali.
Waktu berlalu begitu cepat, perasaan Galen baru saja meletakkan kepalanya di sebuah kursi ruangan Arafah itu dan kini matahari telah terbit. Ia harus segera pulang ke rumah untuk bersiap-siap ke sekolah.
Sesampainya di rumah ia langsung menyiapkan segala kebutuhannya dibantu dengan art di rumahnya.
Tak lupa ia melakukan panggilan video call kepada Alby yang jaraknya jauh darinya. Ia melihat mamanya yang lebih bugar dari sebelumnya, ia mengucapkan kalimat yang indah hingga membuat sang mama tersenyum kembali. Galen juga menunjukkan bahwa ia sarapan pagi sendirian di meja makan. Lalu, Galen melontarkan sebuah kalimat agar mamanya itu segera sembuh dan pulang.
"Galen pamit pergi ke sekolah dulu, nanti sepulang sekolah Galen pasti datang ke rumah sakit. Assalamualaikum," ucap Galen sebelum mematikan panggilan itu.
Langkah kakinya berjalan menuju halaman yang terbantang luas di bagian depan rumah. Tanpa lama lagi ia mendekati vespa tuanya untuk diajak melaju hingga sampai di halaman sekolah.
Setiba di sekolah Galen langsung memasuki ruangan kelas XI-IPS 3, langkah kakinya berjalan tergesa-gesa karena waktu belajar dimulai dua menit lagi. Jujur jika kali ini dirinya agak kesiangan pergi ke sekolah, tetapi itu tidak masalah karena jam pertama belum juga dimulai.
Rasa peningnya menjalar setelah dihantam pelajaran Geografi di jam pertama. Mengenal istilah seperti biosfer, klimatik, edafik, fisiografi, biotik dan sejenisnya itu sangatlah membantu proses pemecahan dalam otaknya. Ya, meskipun artinya sangat simple dan mudah dipahami, tetapi bahasa yang digunakan itu sangat belibet dan hampir mirip semua. Dan hal ini yang membuat Galen semakin jengkel.
Namun, berbeda dengan cewek yang duduk di depannya itu. Elenea tampak enjoy saat guru menjelaskan dan ia juga sangat cekatan menulis istilah yang penting itu dalam bukunya. Entah kapasitas otak mereka yang berbeda atau koneksi dari otak Galen yang terlalu kecil.
Untuk itu setelah jam pertama selesai Galen langsung menepuk bahu Elenea pelan hingga sang empu menoleh ke belakang.
"Boleh pinjam catatannya?"
Elenea menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. Kemudian dirinya kembali pada posisi duduknya menghadap ke depan, selang beberapa detik cewek dengan rambut terurai itu memberikan sebuah buku kepada Galen.
Galen tersenyum merekah lalu melontarkan sebuah pertanyaan lagi untuk cewek di depannya itu. "Lo nanti ke perpustakaan nggak?"
"Iya, ada apa? Mau ikut?" tanya Elenea meremehkan. Karena yang ia tahu cowok itu tidak akan menjawabnya dengan kata 'iya'.
Namun, kali ini berbeda. Jawaban Galen berlawanan dengan dugaan Elenea. Cowok beraroma vanila itu sontak membuat Elenea mendelik setelah mendengar jawaban darinya.
"Mau, gue mau cari referensi buat makalah."
Elenea hanya membulatkan mulutnya menyerupai huruf O sebagai jawaban. Tidak keberatan baginya untuk menyetujui pernyataan dari Galen. Selama niat cowok itu tidak menganggu hidupnya. Gak masalah!
Setelah bel istirahat berbunyi, Galen langsung mengikuti jejak Elenea hingga menuju sebuah ruangan yang penuh buku itu. Di sepanjang koridor yang telah mereka lewati banyak pasang mata yang tertuju pada keduanya. Entah apa yang menarik, yang jelas banyak di antara mereka yang berbisik-bisik tentang Galen dan Elenea, padahal yang mereka tau jika keduanya berjalan tidak sejajar. Galen berjalan agak jauh di belakang Elenea.
"El, lo sadar gak banyak yang menatap kita?" tanya Galen yang berusaha menyejajarkan langkah kakinya di samping Elenea.
Tidak ada jawaban dari Elenea. Ia hanya fokus berjalan ke depan, melangkahkan kakinya lebih cepat tentu Galen pun berusaha menyeimbanginya.
"El, kok diem?"
"El, lo risih ya?"
"El, lo marah ya?"
"El, sorry."
"El ...."
Elenea memberhentikan langkahnya tiba-tiba, padahal belum sampai tepat di depan perpustakaan. Sontak Galen hampir menabrak punggung milik Elenea, untung saja ia dapat menyeimbangkan tubuhnya yang proporsional itu. Mulut Galen seketika mengunci, menatap sorot mata Elenea yang tajam tertuju ke padanya.
"El? El, Apa lagi? Hah!"
"Stop tanya-tanya lagi!!"
"Makanya itu gue selalu pasang earphone di telinga. Dan ...."
"Gue gak mau berurusan sama orang yang lebih banyak. Ribet!" Elenea langsung kembali melangkahkan kakinya dua kali lebih cepat dari sebelumnya, dan meninggalkan Galen yang termenung dalam pikirannya.
Galen berbalik arah. Ia melangkahkan kakinya ke arah kiri–jalan menuju kantin sekolah. Ia tidak lagi mengikuti jejak Elenea, toh dia bisa ke sana sendiri nanti.
Namun, tidak disangka sebenarnya Elenea sedari tadi mengawasi gerak gerik Galen. Cewek dengan earphone yang terpasang di kedua telinganya itu menoleh ke arah belakang, memastikan bahwa cowok bernama Galen itu masih termenung dalam diamnya. Ternyata salah, sosok cowok yang diharapkannya itu sudah melenggang pergi dari tempatnya.
Elenea berhenti sejenak. Ia memasang senyum smirknya. "Ujungnya gak betah juga kan temenan sama gue. Dasar cowok munafik!"
Elenea kembali melanjutkan jalanannya hingga menuju di sebuah ruangan yang penuh dengan rak buku di sana. Ia berjalan mengitari beberapa sekat hingga dirinya terhenti di sebuah rak buku yang tertempel selembar kertas bertuliskan 'Novel Fiksi Sejarah' di sana. Ia memilih sebuah novel karya Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Bumi Manusia.
Ia memulai membuka lembar demi lembar buku dengan tebal yang fantastis itu, di lengkapi hard cover yang menambah ke eleganan buku tersebut. Namun, aktivitasnya harus berhenti ketika dua buah coklat terulur untuknya.
"Coklat buat lo." Galen mengulurkan tangannya yang telah menggenggam coklat itu.
Elenea mendongak ke atas menatap wajah Galen yang rupawan, manik matanya seolah-olah tidak mau hengkang menatap sepasang mata berwana hazel itu. Hingga hembusan udara terasa semilir di area penglihatannya, Elenea mengerjap kemudian sadar akan lamunannya.
"Gue gak suka coklat," jawab cepat Elenea sebelum membuang muka untuk menahan rasa malunya. Ya, malu karena secara langsung ia telah terpesona oleh ketampanan Galen untuk pertama kalinya.
Galen tersenyum tipis melihat salah tingkah yang dibuat cewek berambut sebahu itu, lucu dan semakin manis ketika semburat merah itu muncul di wajah Elenea.
"Kenapa? Semua perempuan menginginkan itu sebagai hadiah dari pacarnya?" Galen mengangkat bahunya seraya menengadahkan kedua tangannya ke samping.
"Gue tidak termasuk dalam kriteria perempuan yang lo maksud itu. Gue gak suka manis kalau emang gak lagi pengen."
"Dan satu hal lagi." Elenea menghembuskan nafasnya kasar. "gue bukan pacar lo!"
"Mau jadi pacar gue?" tanya Galen spontan. Lantas hal ini membuat Elenea gelapan sendiri, jujur jika ini kali pertama ada cowok yang mendekatinya selama ia tinggal di SMA Andorra.
"Apaan sih gak jelas!!" balas Elenea. Ia kembali tertunduk fokus pada bacaan. Namun, tidak bisa dipungkiri jika dalam otaknya itu tidak bisa mencerna tulisan dari sekian lembar yang telah ia balik. Dengan refleks Elenea menepuk-nepuk kepalanya ringan.
Hal ini membuat Galen semakin gemas sendiri. Ia berusaha mengalihkan pandangan sosok cewek di depannya itu, kedua tangannya menarik paksa buku yang sedang tertumpu pada paha Elenea.
"Mau nggak?" Galen menarik turunkan alisnya untuk menggoda sosok cewek dengan rambut sebahu itu.
"Gue gak suka becandaan lo."
"Gue gak becandaa. Suer!" Galen mengangkat tangan kanannya hingga menyerupai bentuk V.
Tanpa ba bi bu Elenea langsung bangkit dari berdirinya kemudian melangkahkan kakinya cepat menuju ke pintu keluar. Galen yang masih terdiam di dalam ruangan itu langsung mengikutinya.
Tiga langkah Galen berjalan di area luar perpustakaan untuk menyusul Elenea, satu hantaman mengenai sudut matanya.
"Lo .... " Galen mendongak, mencari siapa yang akan bertanggung jawab atas semua ini.
Ia melihat seorang cowok yang menyeret paksa tangan Elenea, sontak membuat Galen berlari untuk mengejarnya.
Lalu siapa sebenarnya yang melakukan itu kepada Galen?
***
To Be Continue
Kalau kalian jadi Elenea mau gak jadi pacar Galen?
Galen said : Lo sentuh Elenea, lo berurusan sama gue.
Cantik kan? Beri love dong!
Jangan lupa vote dan comment karena itu sangat membantu.
Thanks for Reading
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro