Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

PAIN

Tidak ada yang pernah tau bagaimana kelanjutan kisah setiap manusia, tetapi satu hal yang pasti lambat laun setiap insan akan dihadapkan oleh suatu kebetulan, kebenaran, dan berakhir menjadi kesimpulan. Hari demi hari telah dilewati Galen menjadi anak angkat dari Alby dan Zelyn, tetapi siapa sangka detik ini juga hasil tes DNA menyatakan bahwa darah yang mengalir menjadi denyut nadinya itu adalah dari Alby--keluarga konglomerat yang memungutnya waktu lalu.

Tak tahu-menahu soal itu, tiba-tiba Alby memberi kabar tentang tes DNA itu, tiba-tiba hasilnya keluar sampai menggemparkan hatinya. Galen sontak mengatupkan mulutnya rapat-rapat, tidak tau harus berekspresi bagaimana? Juga tak tau harus berkomentar seperti apa.

Bukan marah, tetapi sedikit bimbang atas ke tiba-tibaan ini. Lantas dirinya menatap datar ke arah papanya.

"Galen, kamu anak papa, sayang," ucap Alby dengan nada bergetar, serta cairan bening di pelupuknya yang mulai turun setetes demi setetes.

Berbeda dengan aksi Zelyn yang dua kali lipat lebih mengejutkan bagi Galen. Wanita dengan penampilan modis--tas tertenteng di tangan kirinya--memeluk tubuh Galen yang mati kutu itu. Zelyn menumpahkan emosionanya, rasa rindunya, rasa sayangnya kepada Galen--cowok yang tangannya masih terpasang infus dengan posisi duduk tegap di atas brankar. Ia menitikkan cairan bening itu setetes demi setetes hingga perlahan tubuhnya di dorong oleh sang empu.

"Ma." Galen berucap dengan pelan, suara itu terasa sangat berat juga sedikit serak bahkan dirinya degub jantungnya kini tak terkendali.

"Iya, sayang. Ini Mama," ucap Zelyn tanpa menyeka air matanya yang masih mengalir di area pipinya.

Lantas Alby segera membuka kedua tangannya lebar, mendekap sosok istri-anaknya dengan lekat. Tidak biasa seorang lelaki meneteskan air mata, kini lihatlah seorang ayah yang sedang menangis bahagia karena bertemu dengan malaikat kecilnya. Malaikat kecil yang kini telah beranjak remaja.

"Papa janji sayang, Papa akan menghukum keluarga yang berani memisahkan kamu dengan Papa dan Mama." Alby mengelus puncak kepala Zelyn dengan lembut, menyederkan kepala sang istri di bahunya. Ia tahu betapa merindunya seorang ibu dengan sang anak itu, betapa sakitnya seorang ibu tanpa kehadiran malaikatnya selama bertahun-tahun, betapa leganya hati itu telah menemukan sosok yang cintainya selama ini.

"Papa sudah tau siapa pelaku penculikan itu?" tanya Galen tiba-tiba, sebenarnya ia tidak terlalu memikirkan akan hal itu yang terpenting sekarang rumahnya telah kembali. Papa dan Mama--kedua orang tuanya telah kembali.

Alby menganggukkan kepalanya ringan, tanpa ekspresi ia menatap ke arah lain. Terlihat sorot matanya itu yang memendam dendam kepada pelaku penculikan itu, tak tau mengapa Zelyn dan juga Galen juga merasakan hawa yang sedang dirasakan sosok lelaki berharang tegas.

Suara decitan pintu itu terdengar, sosok lelaki lengkap dengan topi coboy yang bercorak hitam putih--seperti warna sapi--terpasang apik di kepalanya.

Daniel hadir dengan senyuman sumringah. "Ingat, gue, kan?"ucapnya sambil berkaca-kaca.

Tidak ada yang di ucapkan lagi. Galen memegangi kepalanya yang terlihat sangat kaku itu, sesekali ia meringis merasakan sayatan tipis di bagian kepala.

"Kenapa, sayang?" ucap Zelyn khawatir, tanpa mengurangi rasa pedihnya--cairan bening itu masih terasa di kedua pipinya walaupun sangat tipis.

Galen tetap terdiam, tidak menjawab. Ia masih merasakan sakit itu, bahkan terasa semakin pening. Sekelebat ia mengingat; sesuatu yang bangkit kembali dari memori otaknya.

"Gal, jangan ambil ice crem Ara! Kembalikan!" Gadis kecil itu mengentak-hentakkan kakinya kuat. Farah, biasanya dipanggil Ara. Galen yang membuat panggilan itu.

"Gak mau, gak mau. Apa yang sudah ditangan aku gak akan jadi milik kamu." Galen berucap sambil menjulurkan lidahnya, langkah kakinya mundur seraya jingkrak-jingkrak. Tentu hal ini membuat Farah semakin kesal.

"Galen, itu punya aku." Farah bersidekap, memayunkan bibirnya hingga sekian senti.

Lelaki kecil yang sedang menjilat ice crem vanilla itu tampak menikmatinya, sesekali ia mengulurkannya kemudian menariknya kembali kemudian mengangkatnya tinggi-tinggi. Sontak Farah melonjak-melonjak untuk meraih ice cream miliknya, karena postur tubuhnya yang kalah tinggi dengan Galen.

"Galen! BALIKIN! Galen! BALIKIN!" Farah berteriak tanpa henti.

Sampai akhirnya gadis kecil itu lelah, ia menunduk memegangi lututnya yang terasa kencang itu. Tak lama kemudian ia mendongak, merubah posisinya menjadi berdiri tegap.

Bagai sambaran kilat, satu kecupan mendarat di pipi kanannya. Galenlah pelakunya, tanpa rasa bersalah ia cengar-cengir sendiri.

"Sayang, Ara. Nih ice cream kamu aku balikin." Galen mengulurkan ice cream contong yang hanya tinggal setengah itu.

Farah tentu semakin kesal, ia juga tidak suka sikap Galen yang tiba-tiba mencium pipinya, padahal kata papanya ia tidak boleh berciuman dengan siapapun laki-laki termasuk Yuda, Bimo dan Daniel.

"Galen, jahat. Ara mau ngambek dulu." Gadis itu membalikkan badannya--membelakangi Galen--kemudian menghentakan kakinya di sepanjang jalannya.

"Ara, Galen bercanda. Ini ice cream kamu!" teriak Galen, ia masih dalam posisinya--berdiri tegak seraya menggigit pelan ice cream itu. Dasar! laki-laki tidak bisa dipercaya ucapannya.

Farah telah jauh berjarak dari Galen, ia segera menghentikan langkahnya. Menangkap dengan manik matanya  dua cowok yang sedang bermain robot itu.

"Farah," Yuda dan Bimo berucap serentak. Farah semakin memanyunkan bibirnya.

"Kenapa?" Yuda lah paling peka, ia segera mengelus lembut rambut beraroma vanilla milik Farah. Sedangkan Bimo asyik main perang-perangan menggunakan robot milik Yuda yang dilempar begitu saja.

"Galen, dia ambil ice cream aku lalu ...  nyium aku. Huuuaaaaa ...." Farah berteriak sekencangnya hingga membuat Bimo membungkam mulutnya secara tiba-tiba menggunakan robot mungil miliknya.

"Diam!" sentak Bimo.

Tak lama kemudian Farah meloloskan tendangan maut di bagian vital milik Bimo.

Tak sempat berkeluh kesah, Bimo dan Yuda langsung di tarik Farah di balik semak-semak--Galen sedang berlari kecil menuju ke arahnya--segera ia mengintruksi Yuda dan Bimo untuk menunduk.

"Aawww ...." Bimo mulai meringis ke sakitan, setelah mulutnya terbungkam rapat-rapat.

"Rasain! Jangan macam-macam sama Ara. Nanti bisa lebih parah lagi," ancam Farah sambil mendelik ke arah Bimo.

Galen celingak-celinguk ke kanan-kiri, mencari keberadaan para sahabatnya itu. Daniel? dimana juga si mister coboy itu, karena di manapun berada ia yang tak jauh dari topi coboynya. Entah mengapa Galen bisa kehilangan jejak para sahabatnya itu, terlebih menit lalu ia melihat Farah bersama Yuda dan Bimo berdiri di tempatnya sekarang.

Galen menggaruk rambut bagian belakang dengan mengarah ke atas. Selanjutnya, satu tepukan tangan mendarat di bahunya. Ia segera menoleh ke arah samping, mendongak ke atas untuk menatap sosok yang telah mengejutkan dirinya itu.

"Paman?" Galen menyipitkan matanya, mengingat inci demi inci raut wajah yang belum keriput itu. Ia mulai mengingat, paman itu adalah salah satu karyawan di kantor papanya. Galen pernah melihat paman itu membersihkan sepanjang lorong di kantor, terkadang juga menyiapkan secangkir kopi untuk yang lainnya.

Hanya saja kini Galen sedikit bingung, dahinya mengernyit. Sosok di sampingnya itu tak lagi memakai seragam serba biru seperti biasanya, melainkan terlihat seperti sosok misterius dengan setelan hitam dari ujung atas hingga bawah--lengkap sepatu boot hitam dan topeng kain yang tergulung di atas dahi.

Galen tidak takut, karena ia mengenalnya. Papanya juga pernah bilang jika ia tidak perlu takut dan curiga kepada karyawan yang berkerja, semuanya baik. Ia segera menghilangkan firasat buruk di benaknya, kemudian menatap datar lelaki bersetelan serba hitam di sampingnya.

"Ada yang bisa saya bantu?" lanjut Galen.

"Tentu, anak baik. Kamu mau bantu paman, sayang?" Sosok lelaki itu mulai membungkukkan tubuhnya, mensejajarkan tingginya dengan Galen. Tak lupa ia menoel hidung bangir milik Galen agar terkesan manis.

Tanpa penolakan Galen langsung mengangguk gembira. Kata papanya menolong seseorang adalah sebuah kebaikan. Dan kebaikan itu akan berbalik lagi padanya. Galen mengingat itu, semua perkataan papanya selalu diturutinya.

"Ikut, Paman, ya?"

Galen mengangguk cepat, menaruh telapak tangannya di atas tangan berukuran dewasa itu yang tengah menengadah.

Galen berjalan dengan gembira, meloncatkan kakinya bergantian dengan bersenandung kecil.

Kemudian lelaki bersetelan serba hitam itu menyeringai.

Berbeda halnya dengan Daniel kini, dengan membawa teropong ia mengintai sosok sahabatnya yang berjongkok dibalik semak, sesekali menggaruk pantatnya yang mulai terusik dengan rumput liar yang tumbuh di bawahnya.

"Kalian ngapain?" Daniel mulai menghampiri, lantas ketiga sahabatnya itu langsung menoleh ke arahnya.

"Halo, mister coboy!" Bimo memberikan hormat, memang diantara tiga cowok yang ada Bimo lah yang paling kocak.

"Galen mana?" tanya Daniel tanpa aba-aba.

Yuda dan Bimo menganggkat bahunya acuh, sedangkan Farah menunjuk ke depan dengan pandang yang berbeda.

Nihil! Daniel tidak melihat apapun di sana. Menggunakan teropongnya juga sama, dengan cepat ia langsung meloncati semak itu seperti seorang hero, ia berdiri di posisi yang telah di tunjuk Farah.

Daniel memutar teropongnya ke kanan-kiri, ke belakang, ke depan. Ia hafal betul sosok Galen temannya. Galen berjalan dengan sosok lelaki bersetelan serba hitam.

Daniel curiga. Seperti film yang pernah ditonton sebelumnya, sosok bersetelan hitam berarti sedang melaksanakan misi. Lalu misi dengan anak kecil? Apalagi kalau bukan?

Langkah kecilnya itu langsung berlari secepat mungkin, tak lupa ia berteriak sekuat tenaga untuk membuat Galen menoleh ke arahnya.

"GALEN! GALEN! GALEN! ITU PENJAHAT, JANGAN PERCAYA! GALEN!"

Benar, usahanya tidak sia-sia. Dengan tenaga kesit yang ia punya, Daniel mampu membuat sang pemilik nama itu menoleh ke arahny--jaraknya tidak jauh dari jangkauannya sekarang.

"Tidak! Sini bantu aku," jawab Galen santai, tidak berteriak, tetapi bisa di dengar.

Daniel menggelengkan kepalanya, apalagi saat ia mengetahui perubahan raut wajah sosok lelaki di samping Galen itu.

"TIDAK, KAMU MAU DI CULIK!" teriak Daniel lagi.

Entah bagaimana tebakan Daniel itu bisa benar, sosok lelaki di sampingnya itu langsung membopong tubuh yang sesuai porsi anak umur enam tahun itu. Galen merasakan gimana terombang-ambing badannya yang di angkat di atas bahu. Ia memberontak sekuat tenaga, meronta agar cengkraman tangan itu kian mengendor. Namun, Galen salah. Ia semakin merasakan cengkraman itu.

Galen menatap empat kurcaci yang tak lain sahabatnya itu berlari mengejarnya, Daniel paling depan juga paling gesit--walaupun jaraknya yang tidak memungkinkan melawan jangkah kaki orang dewasa.

Ia dibawa ke dalam hutan, kilat menyambar hingga membuat matanya tak berfokus. Hatinya bergemuruh kala petir menggelegar hingga dasar bumi. Terpaan angin membuat tubuhnya terombang-ambing, ia takut, ia ingin pergi dari tempat ini. Selanjutnya rintik hujan mulai turun, mengguyur sekujur bumi tanpa ampun. Semula butiran kecil kini menjadi besar, cairan bening itu benar-benar menghantam tubuh mungilnya tanpa ampun.

Tanpa tau arah ia lekas berlari asal, hingga ke tepi jurang. Tidak tau hasrat dari mana jika meloncat ke jurang maka ia akan selamat, kaki yang masih sekian senti itu mulai meluncur turun ke jurang.

"Aaaaaaa ...." Galen berteriak sekencangnya, memegang kepalanya yang hampir pecah itu. Tak lama kemudian, suntikan yang tidak tau dari mana telah membungkam mulutnya.

Galen tertidur pulas.

"Jadi gimana, Dok? Apa yang telah terjadi dengan Galen anak saya, Dok?" tanya Zelyn cepat, raut wajahnya itu tidak bisa terkontrol lagi. Jari-jemarinya itu meremas bagian tangan miliknya yang lain.

Alby yang mengetahui itu lekas mendekap tubuh istrinya itu.
"Tenang, sayang. Galen pasti baik-baik saja."

Sang dokter itu merapatkan kakinya, menghela nafasnya panjang sebelum menyampaikan sesuatu kepada sosok suami-istri itu.

"Setelah saya cek, kondisi yang dialami oleh anak bapak dan ibu ini seperti Dejavu. Apabila otak salah  merespons kejadian yang sedang berlangsung. Seharusnya, apa yang dilihatnya sekarang disimpan di memori jangka pendek. Tapi, otak langsung membawanya ke ingatan jangka panjang. Saat kejadian tersebut berulang, kamu merasa hal itu terjadi di masa lampau."

"Apakah pernah sebelumnya mengalami kecelakaan?" tanya sang dokter.

Alby segera membawa sang dokter itu untuk berbincang ke lain tempat. Di sudut ruangan Alby menghentikan langkahnya begitupun dengan sang dokter. Sosok ayah itu menjelaskan bagaimana kejadian yang sebenarnya, mulai dari saat kasus penculikan itu sampai anaknya hilang hingga bertahun-tahun, dan kini di temukan dengan keadaan masih hidup. Karena pertemuan yang tak terduga itu dan berujung pada tes DNA. Sang dokter segera mengangguk paham, kemudian mengucap permisi untuk segera keluar dari ruangan kelas VIP itu.

Daniel yang mengetahui itu segera menghampiri Alby, menepuk bahu milik sahabat papanya itu--meninggalkan Zelyn yang masih setia mengelus punggung tangan anaknya itu.

"Om, yang sabar. Di sini ada Yuda, Bimo, Farah dan ...."

Daniel menangkap sosok cewek dengan gaya fenimin itu berdiri di ambang pintu, sorot matanya yang tampak masih kosong. Elenea terdiam, terpaku saat melihat kejadian yang membuat batinnya terhenyak. Elenea mengetahui seberapa Galen berteriak kesakitan, dirinya berdiri lemas, merasakan hawa panas-dingin di sekujur tubuhnya.

"Maaf, kan gue, Gal," batinnya.

Alby tidak bereaksi sekalipun saat melihat Elenea, ia juga tidak menuntut bagaimanapun kepada salah satu anggota keluarga yang telah membuatnya hancur. Alby melangkahkan kakinya, yang kemudian di susul oleh Daniel.

"Ikut saya," ucap Alby saat tepat di samping Elenea.

Elenea masih nyaman akan posisinya, ia memperhatikan dua punggung tegap itu berjalan menjauh darinya.

"Sana, lo. Budek ya?" Farah menenggor bahu Elenea saat ia ingin masuk ke dalam ruangan ber-AC itu.

Bimo dan Yuda lantas menyusul Farah, tak lupa ia tersenyum tipis ke arah Elenea sebagai rasa tidak enak karena sahabatnya itu bersikap kasar.

"Sana, gih. Om Alby pasti nungguin, lo tenang aja semua pasti akan baik-baik saja." Bimo menepuk pundak milik Elenea pelan.

Lantas cewek yang diperlakukan begitu segera mengangguk. Langkah kakinya berjalan mengikuti jejak Alby dan Daniel yang tampak jauh darinya. Daniel--cowok itu tampak tertinggal, karena kondisinya yang masih belum stabil. Namun, lukanya bisa dikatakan ringan daripada Galen. Beruntung saja saat kejadian ia langsung melompat dari sepeda motornya yang pada akhirnya berguling hingga ke dasar jurang.

Elenea terus berjalan, meski fokusnya tidak ada sama sekali. Sesekali ia hampir menabrak pasien yang tengah di dorong oleh kursi roda, tidak jarang juga ia mendapat komentar agar lebih fokus menatap ke depan.

Seketika langkahnya terhenti di sebuah tempat yang luas, tampak seperti kantin sekolah. Tidak heran lagi memang penghuni rumah sakit ini prabayar semua, dalam artian semua serba uang hingga pakaian yang di kenakan bernilai jutaan. Hingga ia menatap dirinya sendiri, meraba kuncir yang ia kenakan, baju yang mungkin tidak ada mereknya, rok tartan selutut yang ia beli di toko online bulan lalu dan alas kaki yang berharga dua puluh ribuan. Miris, batinnya.

Detik selanjutnya ia langsung beranjak, menuju bangku pojok kiri yang telah menampakkan sosok Alby dan Daniel yang juga menatapnya.

Elenea menghela nafas panjang, kemudian ia mendudukkan tubuhnya di kursi yang berstyle italy itu.

"Maaf, kalau boleh tau ada maksud apa Pak Alby membawa saya ke sini?" tanya Elenea sambil tersenyum kikuk.

"Saya ralat itu atas kemauan kamu sendiri," jawab Alby dengan ekspresi datar.

Entah mengapa sosok Alby yang kini duduk di hadapannya tidak seasik dulu saat pertama kali ia bertemu. Mungkin itu semua karena permasalahan yang belakangan ini mempermainkannya? Fauzy Damian, ayah kandungnya yang membuat setuja rasa sakit keluarga Alby Wijayakusuma.

"Iya," jawab Elenea untuk mengurangi rasa canggungnya.

"Menurut kamu hukuman yang pantas saya berikan kepada anak dari Fauzy Damian, apa?"

Bagai deru ombak yang berhantam batinnya tiba-tiba. Kerongkongan miliknya seketika kering, untuk meneguk ludah pun sangatlah susah. Elenea seperti mati kutu, tetapi sampai kapan ia diam? Sungguh itu semakin memalukan.

"Jika hukuman diberatkan pada pelaku, mungkin hukum tidak akan berlaku lagi," ucap Elenea seadanya.

Daniel? Terkesima mendengar jawaban Elenea. Takjub dan kagum jadi satu.

"Kamu mau masalah ini saya bawa ke rana hukum?"

"Jika itu melegakan hati, Pak Alby."

Alby menyeringai. "Mungkin memang ada sedikit dendam di hati saya, tetapi membuat kamu menyesal di penjara itu hukuman ringan."

Elenea lantas mengangkat salah satu alisnya. "Bagaimana maksud, Pak Alby?"

"Saya akan mencabut beasiswa full kamu di SMA Andorra, dan juga saya pastikan kamu tidak akan mendapat beasiswa di sekolah yang di anggota kepengurusan sekolah ada nama saya."

Elenea langsung mendelik, menghirup dalam-dalam udara panas yang merasuk lewat hidungnya. Kemudian menghembuskannya setelah Alby beranjak berdiri.

Bagaimana ia bisa tenang sekarang, rumor beredar jika Alby Wijayakusuma memiliki beberapa saham yang beredar di penjuru ibukota. Juga dengan sifat kedermawanannya ia rela menjadi penyumbang dana bagi setiap sekolah menengah yang ada.

Bibir Elenea tampak bergetar hebat, tidak tau lagi bagaimana cara menghentikannya. Cairan bening itu seketika lolos dari pelupuknya. Benar ia sudah tak tahan, tanpa suara ia menutup raut wajahnya rapat-rapat menggunakan kedua tangannya.

"Tidak hanya itu."

Elenea mendongak ke atas, menatap Alby yang masih datar.

"Nanti atau besok kamu akan mengetahui."

***
To Be Continue

Jangan lupa vote dan comment karena itu sangat membantu

Thanks for Reading












Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro