Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

NEW PEOPLE

Entah keinginan dari mana datangnya seorang Daniel yang kini telah berleha-leha di atas kasur empuk di ruangan bernuansa monokrom itu. Sang empu yang memiliki barang empuk itu hanya bisa berdecak pinggang, mengamati setiap gerak-gerik cowok yang sedang berguling-guling di atas benda empuknya. Lantas tidak ada yang ia bisa perbuat selain menerima, toh nasi sudah menjadi bubur. Dirinya juga tidak bisa mengusir cowok yang kini telah bertelanjang baju itu.

Tanpa mengurangi rasa hormatnya kepada tamu, Galen berjalan menuju kasurnya dengan santai. Meletakkan pantatnya dengan benar di atas kasur empuknya, menatap cowok yang kini juga tengah memperhatikan aktivitasnya. Kakinya terangkat sebelah, melepaskan alas kaki yang telah terpasang apik di sana. Begitupun selanjutnya, hingga kini Galen melonggarkan sebuah kain panjang yang melingkar di lehernya itu.

"Lo ngapain di sini? Main nylonong aja tanpa izin," gerutu Galen sambil melepas satu persatu atribut sekolah yang terpasang apik di tubuhnya.

Daniel langsung berubah posisinya, tangannya mengambil sebuah benda pipih yang tak jauh dari jangkauannya. Kemudian memperlihatkan room chatnya yang terakhir kali dengan Galen.

Galen lantas menghela nafasnya kasar, langkah kakinya berjalan menuju keranjang kotor berisi pakaian yang telah dikenakannya beberapa hari ini. Cowok itu segera memasangkan kaos oblong warna favoritnya 'hitam' serta mondobel kolor ijonya dengan celana tartan pendek untuk menambah kesan modisnya.

"Gue belum jawab kalau lo tau," jawab Galen singkat. Dirinya segera mendudukkan diri kembali pada kasur, tepat di sebelah Daniel.

"Yang penting sudah izin tuan rumah. Om Alby dan Tante Zelyn telah mengizinkan gue untuk tinggal di sini. Seminggu."

Seperti badai angin yang tiba-tiba menerjang, Galen terpenjarat hingga membelalakkan matanya lebar. Dirinya sangat tidak mengerti bagaimana cowok brandalan seperti Daniel belakangan ini berhasil mengelabuinya. Terlebih saat ia berbicara akan pergi selama tiga hari? Kini dirinya harus tinggal serumah bahkan satu kamar. Sungguh sial nasib dirinya kali ini.

"Seminggu? Mau ngapain lo lama-lama di sini?" tanya Galen tak terima. Wajar saja dirinya sangat merasa terganggu akan kehadiran cowok berambut acakan itu, belum juga satu jam ia telah membuatnya kesal.

Bagaimana tidak? Seperti sekarang cowok dengan tinggi semampai itu merogoh sekotak rokok dalam saku celananya, kemudian mematikkan sebuah korek di penghujung gilingan tembakau itu. Sedetik kemudian kepulan asap menyembul ke bagian ruangan, membinasakan sisa-sisa oksigen yang terdapat di sana.

"Lo kalau ngerokok gak tau tempat," cerca Galen sambil mengipasi bagian hidungnya yang berjibun asap.

"Memang di mana tempat merokok yang benar?"

Lantas Galen langsung terhenyak, ia memikirkan jawaban yang tepat untuk menjawab pertanyaan Daniel. Namun, otaknya itu seakan buntu, tidak ada satu kalimat yang pas untuk ia lontarkan. Memang jika difikir kembali di manakah tempat yang tepat untuk merokok? Siapa yang bisa menjawabnya? Dirasa memang merokok bukanlah hal yang benar, melainkan para lelaki selalu membuat pembenaran tentang khasiat merokok. Seperti bisa menghilangkan stres. Entah itu benar atau tidak, yang telah diketahui rumor itu sudah menyebar di mana-mana.

"Gak bisa jawab, kan, lo?" lanjut Daniel dengan senyuman meremehkan. Satu sembulan asap itu lagi-lagi mengenai wajah Galen.

"Tapi secara gak langsung lo njagak gue jadi perokok pasif. Dan lo tau resikonya lebih berat yang mana, kan?"

"Sering menghirup asap rokok secara pasif dapat meningkatkan risiko seseorang untuk terserang kanker paru-paru sebanyak 25 persen," tebak Daniel.

Kedua matanya langsung mendelik setelah mendengar ucapan itu, seakan-akan tak percaya jika itu semua terlontar dari mulut Daniel.

"Gue akui memang bandel tetapi bukan bodoh. Lo lupa gue anak IPA?"

Galen menghembuskan nafasnya panjang, mengerti akan apa yang di ucapkan Daniel kali ini. Memang harus diakui jika kakak kelasnya itu bukanlah orang yang bego pada umumnya. Kemudian, sorot matanya terus mengawasi seseorang yang sedang menyedot asap rokok itu dengan lamban, seolah-olah menikmati setiap hembusan nafas yang merasuk.

Semenit kemudian atensinya mulai beralih ketika dering ponselnya mulai bergetar, Galen langsung menyahut benda pipih miliknya itu dari atas nakas. Terpampang sebuah nama yang kini mampu membangunkan senyumnya kembali, bahkan belum saja ia membuka pesannya. Hanya notifikasi yang masuk kalau mau tau.

Sementara Daniel yang mengetahui perubahan raut wajah Galen langsung ikut nimbrung di dekatnya, merapatkan tubuhnya hingga berjarak cukup dekat dengan Galen. Sorot matanya yang masih bening itu mampu membaca sebuah nama yang tak tau itu sebutan untuk siapa.

Beloved♥️

Udah nyampek rumah?

"Siapa?" Suara berat itu mampu mengubah pandangan Galen.

"Kalau gue jawab lo juga gak bakal percaya."

Namun, setelah di terawang kembali ada yang aneh dengan lagak Galen. Belakangan ini yang hanya dekat dengannya adalah Elenea, pikir Daniel. Ia mencoba menggunakan ahli terawangnya untuk menebak siapakah sebenarnya seseorang dibalik kata 'beloved' itu.

Tanpa memperhatikan perasaan dan raut wajah Daniel, cowok yang kini tengah menebar senyumnya itu kembali fokus pada layar ponselnya. Berkutik pada keyboard digital, kedua tangannya dengan lincah mengetikkan beberapa kata di sana.

Sudah

Ciee yang mulai khawatir

Jangan geer, lo

Ngaku aja gak papa kali, El

Kan udah resmi jadi pacar

Setelah itu tidak ada yang perlu ditunggu lagi, dua centang di pojok pesan telah di warnai biru itu tanda sang pemilik sudah melihatnya. Dan apakah perlu lagi menunggu? Ketika kini terakhir dilihatnya telah berubah menjadi satu menit yang lalu. Galen menghela nafas panjang, merutuki nasibnya yang malang.

El? pikir Daniel. Satu kata mengarah dengan satu nama terlintas di dalam pikirannya. Ia tidak tahu-menahu tentang apa yang sudah terjalin antara Elenea dan Galen, tetapi yang pasti kini ia mengetahui hubungan antar keduanya. Mereka sepasang kekasih, lalu bagaimana bisa?

"Itu Elenea, kan?"

Galen langsung mengangguk singkat. Meletakkan kembali ponselnya di atas nakas sebelum kemudian kaos hitam miliknya di tarik oleh sebuah tangan berotot milik Daniel.

"Apa maksud, lo?" tanya Galen yang nafasnya sudah memburu itu. Jarak wajahnya dengan Daniel cukuplah dekat, hanya beberapa senti sehingga keduanya bisa merasakan deru nafas masing-masing yang kian memburu.

"Gue udah bilang jangan coba-coba mendekati Elena lagi. Dan sekarang, lo udah melampaui batas. Lo harus menerima hukumannya."

Satu tonjokan keras mendarat di sudut bibir Galen. "Ini baru pembukaan," ucap Daniel dengan tatapan yang nyalang itu.

Kedua tangan Galen mengepal seketika, membiarkan tubuhnya yang terdorong hingga menatap meja kayu di belakangnya. Ini membuat punggungnya sedikit merasa nyeri. Detik kemudian tubuhnya itu tertarik kembali, mendapati tatapan tajam milik Daniel yang kian mendekat. Tubuhnya semakin tak terkendali, sang brandalan sekolah itu menghajarnya tanpa ampun. Satu pukulan mendarat di perutnya, detik selanjutnya darah mengucur tipis di pelipisnya.

Tidak berhenti di situ, Galen kini di dorong hingga terkapar di atas lantai setelah pukulan bertubi-tubi ia dapatkan. Lagi-lagi dirinya tak mau membalas pelukan itu, melainkan dirinya pasrah dengan aksi kakak kelasnya itu. Bukan masalah tidak mampu, tetapi Galen tak mau membuat masalah semakin runyam. Toh, nanti Daniel akan berhenti dengan sendirinya setelah puas seperti kejadian di rooftop waktu lalu.

Kini posisinya yang terlentang, mengahadap langit-langit kamar yang terlihat luas itu.

"Ka-lau be-lum pu-as, a-yo hajar lagi," ucap Galen dengan tersengal-sengal.

"Mau mati lo di sini?" Masih dengan amarah Daniel membantingkan tubuhnya pelan, turut terlentang di samping Galen.

Galen menolehkan kepalanya ke samping dan benar saja cowok incaran Pak Subroto itu menatapnya remeh. Kedua sorot mata itu menatapnya tajam, sepertinya ia masih tak terima akan apa yang terjalin antara dirinya dengan Elenea.
Dadanya tampak kembang-kempis, ditambah nafasnya terasa sangat berat itu menandakan Daniel masih dalam amarah.

Detik kemudian suara decitan pintu terdengar jelas di telinga keduanya, sontak Galen dan Daniel langsung menatap ke arah sumber suara.

"Papa, Mama," ucap Galen sambil berusaha bangkit.

Zelyn yang mengetahui itu langsung berlari kecil menghampiri Galen. Memperhatikan setiap inci raut anaknya yang tidak terlihat baik-baik saja. Lantas dirinya langsung menatap tajam Daniel, firasatnya tidak akan pernah salah jika cowok yang diterima baik di rumahnya kini justru membuat anaknya terkapar lemah.

Sontak Galen langsung menggelengkan kepalanya. Menatap lekat mamanya, seolah-olah memenangkan jiwa membuncah mamanya yang mungkin tak terkendali saat ini. Tak terasa cairan bening menetes di area pipi yang tembem itu, bahkan untuk usia yang hampir setengah abad itu tidak menampakkan kerutan di sana. Seakan-akan Zelyn menolak tua.

Berbeda dengan Alby yang kini justru mendekati Daniel, menepuk-nepuk keras bahu cowok itu dengan keras. Meski demikian seorang Daniel tidak sedikitpun terusik akan sikap Alby yang main fisik dengannya. Toh, itu wajar terjadi sebagai tanda mengakrabkan diri.

"Galen payah, mau aja jadi samsak hidup. Padahal tadinya mau ajak sparring," ucap Daniel dengan tatapan liciknya itu.

Lantas Galen memutar bola matanya malas, tetapi langkah yang diambil Daniel telah tepat. Sepertinya sosok Daniel telah katam soal mengelabuhi seseorang, kini yang perlu ia lakukan adalah melanjutkan jalanannya otak kakak kelasnya itu. Di sisi lain ia juga tak mau mamanya itu semakin khawatir padanya, so gak harus ragu untuk berakting kali ini.

"Galen hanya ngalah saja tadi. Toh, kenapa harus saling tonjok sama teman sendiri. Ya, kan?" Galen mengangkat satu alisnya, mengkode agar Daniel juga mengerti akan maksutnya.

"Gue ralat lo adik kelas gue, bukan teman."

"Lalu jika ada seseorang menginap di rumah orang lain, jika bukan teman apa namanya?" ucap Galen tak mau kalah.

"Mungkin sebagai anak sahabat?"

Galen langsung menaikkan salah satu alisnya, menerka-nerka tentang kebenaran apa yang akan terungkap selanjutnya. Namun, sebuah tepukan tangan Alby mendarat di bahunya.

"Papanya Daniel adalah sahabat Papa. So, kalau bisa kalian juga jadi sahabat, ya?" Tangan milik Alby langsung merangkul pundak sang istri, seakan mengintrupsi agar pujaan hatinya itu melebarkan senyumnya.

Namun, tetaplah tidak bisa seperti itu. Bahkan diri Zelyn masih belum menerima jika melihat raut Galen babak belur seperti itu. Alhasil dirinya tersenyum samar, lebih tepatnya memaksakan lengkungan di bibirnya itu.

"Ogah!" jawab Galen dan Daniel serentak.

Detik selanjutnya jam berdentang keras mengalihkan perhatian mereka semua.

"Yaudah, kalian santai di sini dulu. Kami tinggal ke bawah," ucap Alby dengan tangan kirinya masuk dalam sakunya.

"Tapi luka Gal--?" Satu kecupan mendarat di bibir Zelyn, mampu membungkam mulut itu rapat-rapat. Tentu Alby lah pelakunya.

Lantas Galen dan Daniel yang tak sengaja melihat adegan dewasa itu langsung membuka. Sedikit di antaranya yang menggerutu lirih karena ulah dua orang dewasa itu.

"Buset Om Alby, gak tau tempat," gumam Daniel.

"Astaghfirullah, mata gue," lirih Galen.

Detik kemudian keduanya telah menghilang dari pandangan dua remaja itu. Galen dan Daniel segera bernafas lega.

"Gue tebak pasti akan ada adegan plus-plus selanjutnya," ucap Daniel seraya menutup akses kamar itu. Lebih tepatnya Daniel membanting pintu kamar dengan keras sehingga suara bising itu tercipta seketika.

Daniel berjalan santai, menenteng sebuah tas ransel berukuran sedang yang tergeletak lantai pojok kasur. Merogoh lima botol minuman alkohol di dalamnya. Tanpa ada rasa bersalah dan juga izin dari Galen, tangannya itu enteng menata perkakas haram itu di atas nakas.

Galen yang mengetahui itu hanya bisa mendelik. "Lo mau apain kamar gue, hah?"

"Lo bonyok, gue party coy," jawab Daniel persis seperti kebanyakan sound yang fyp di tiktok.

"Gila, lo," timpal Galen. Dirinya langsung masuk ke dalam kamar mandi, bergelut dengan air mengingat sebentar lagi adzan maghrib akan berkumandang.

Menit demi menit telah berlalu, tak terkira jika sekarang telah pukul 00.00 dan masih saja dua pasang mata itu terlihat tetap segar. Bahkan kini Galen masih cengar-cengir sendiri sambil menikmati layar ponselnya, meninggalkan Daniel yang frustasi dengan seteguk demi seteguk minuman itu masuk dalam kerongkongannya.

***
Hari telah berganti. Namun, pagi ini terasa berbeda bagi Galen. Bangun tidur melihat wajah Daniel dan kini di jok belakang motornya terdapat cowok tanpa name tage di seragamnya yang menangkring di atasnya. Di sepanjang jalanan menuju sekolah, dirinya hanya bisa menghela nafas panjang sampai kini sistem pernafasannya benar-benar tidak stabil. Udara panas lewat hidungnya itu sangat terasa apalagi saat banyak pasang mata yang menatapnya aneh karena boncengan dengan preman sekolah itu.

Tak sedikit dari mereka yang membisikkan sesuatu tentangnya.

"Apakah anak baru itu juga akan jadi the next Daniel?" Persis seperti apa yang di ucapkan Pak Subroto waktu yang lalu.

"Maybe tak jarang dari mereka anak dari seseorang yang berpengaruh di sekolah punya circle tersendiri."

Galen mengangkat salah satu alisnya, menatap dua cewek yang masih menangkring di atas sepeda Scoopy-nya. Keduanya tampak berbisik, padahal seharusnya ia segera turun karena antrean parkir di belakangnya masih panjang. Mengingat juga jam pelajaran akan berbunyi lima menit lagi.

"Jadi takut." Cewek itu berdegik ngeri.

Daniel langsung menepuk bahu Galen keras. "Gak semua ucapannya benar, dan juga gak semuanya juga salah."

"Apa maksud, lo?"

Daniel mengangkat bahunya acuh.

"Gajelas," timpal Galen. Satu langkah kakinya mulai beranjak dari sana. Detik kemudian mendapati tas ranselnya yang tertarik ke belakang, entah apa yang membuatnya demikian. Namun, dengan segera Galen membalikkan tubuhnya.

Dirinya benar-benar tidak bisa mempercayainya. Tiga orang berbaris di sana dengan formasi di sisi kanan-kiri laki-laki lalu bagian tengah ada seorang cewek dengan rambut sebahu, di gerai lurus menjuntai, dilengkapi juga jepit hitam di sisi kanannya.

"Bimo, Yuda, Farah," kata Galen dengan ekspresi kaget itu.

Bagaimana tidak? Ketiganya benar-benar berubah, dari segi penampilan dan juga style yang tak kucel lagi. Sesekali ia memperhatikan penampilan dirinya sendiri dari atas sampai bawah, sama persis seperti mereka. Perubahan yang sangat signifikan. Lalu apakah mereka juga telah memiliki orang tua angkat? Secepat itu? Dalam waktu yang bersamaan? Tak mungkin! Itu cuma suatu yang mustahil, tetapi kini?

Galen menggaruk tengkuknya kasar.

"Mereka yang jadi perbincangan banyak siswa-siswi itu. Mereka murid baru di sini," jelas Daniel seraya menepuk pundak Galen.

Lantas penjelasan dari Daniel tidak cukup menjawab semua pertanyaan di benaknya. Galen mengerutkan keningnya bingung.

"Hai, lo anak dari Pak Haidar, kan? Salam kenal gue Farah, btw kita udah bertemu kemaren, kan?" Farah menjulurkan tangannya ringan. Namun, dengan mentah-mentah Daniel mengabaikannya. Cowo itu lebih memilih mengeluarkan permen karet dari sakunya, kemudian mengunyahnya.

Pak Haidar? pikir Galen. Dia adalah kepala sekolah SMA Andorra, gumamnya selanjutnya. Sahabat Papa?

Ah, memang benar semua ini bukan suatu kebetulan. Hanya saja dirinya yang kurang memahami keadaan sekitar. Dirinya kemudian menatap Daniel yang tampak acuh padanya. Sepertinya setelah ini Daniel juga harus menjelaskan semuanya kepada Galen.

"Kita pamit dulu ke kelas, nanti ketemu di kantin, ya?" Bimo si rambut kribo yang kini jadi klimis itu berucap sambil menepuk bahu Galen.

Sedangkan Yuda dan Farah hanya tersenyum mengembang ke arahnya. Sepertinya setelah ini akan banyak pertanyaan yang akan timbul di benaknya. Ia harus mengulik jawaban itu nanti, saat jam istirahat datang.

Kini Galen mendapati tangan Daniel yang terpaut pada pundaknya. "Yuk, gue anterin ke depan kelas. Sekalian lihat bidadari gue."

Lantas Galen langsung menatap sinis cowok dengan seragam keluar sebelah itu, serta almamaternya yang tersampir di pundaknya. Benar-benar berantakan dan acakan.

"She is mine. Ngerti gak lo," ketus Galen.

Kini Daniel hanya bisa tersenyum getir. "Gue kalah start."

"Bukannya lo udah berdiri di start itu sejak lama?"

Daniel terdiam, terhenyak setelah mendengar sepotong kalimat pertanyaan yang keluar dari mulut Galen.

***
To Be Continue

Jangan lupa vote dan comment karena itu sangat membantu

Thanks for Reading

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro