Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

KEPUTUSAN

Elenea memandangi pesona jalanan kota di kala senja, gradasi warna orange yang elok tampak serasi jika disandingkan dengan transisi siang menuju malam itu. Tenang, damai, yang dirasakan Elenea, duduk di bangku paling belakang tanpa penumpang yang lain. Hanya saja isi kepalanya itu tampak berisik. Minggu depan, Elenea harus melepas statusnya menjadi siswa. Satu minggu waktu Elenea untuk mengurusi surat pindahan, Pak Alby hanya memberi waktu singkat untuknya.

Helaan napas demi helaan napas terdengar pekat, sampai bus kota yang telah di tekan pedal remnya itu tidak mampu menyadarkan lamunannya.

"Mbak," ucap seorang lelaki dengan sapu tangan yang tersampir di pundaknya. Ia menepuk pelan bahu Elenea, tetapi sang empu terlihat terkejut.

"Apa?" jawab Elenea sedikit meninggi.

"Maaf, mbak. May'S Florist, tempat pemberhentian terakhir. Bus akan diparkirkan kembali di tempatnya." Lelaki itu menjelaskan kepada Elenea yang kini telah beranjak berdiri.

"Oh, baik, Pak. Saya minta maaf, permisi." Elenea segera mengatupkan kedua tangannya, kemudian melangkahkan kakinya satu persatu tangga mini milik bus itu.

Elenea berdiri di atas trotoar, menunggu bus itu benar-benar melaju. Tangannya berayun-ayun untuk memberi isyarat kepada pengendara agar mengurangi kecepatannya sesaat. Dengan langkah kaki tergopoh-gopoh akhirnya Elenea berhasil menyebrangi jalanan kotak yang tampak ramai itu.

Matanya membelalak, menatap tulisan 'closed' yang tercantol apik di pintu masuk yang terbuat dari frameless. Keningnya tampak mengerut menandakan setuja pertanyaan dalam otaknya, dengan langkah gontai ia mendorong pintu itu yang tampak berat, padahal tidak.

Di ruangan dengan nuansa putih, penuh dengan bunga juga aroma semerbak wangi itu menyisakan seorang wanita berjilbab yang sedang memijat pelipisnya.

"Bu Maya," panggil Elenea. Sorot matanya memandangi sekitar, tampak kardus ukuran besar berserakan di sana. Tentu ini menimbulkan berbagai pertanyaan di benaknya.

Lantas pemilik nama yang dipanggil itu segera menegapkan badannya, mengusap wajahnya kemudian memasang senyumannya seolah-olah terlihat baik-baik saja. Elenea tahu bahasa demikian, tanda seseorang tidak baik-baik saja. Sontak tangan milik Elenea itu langsung mendekap lembut sosok wanita yang menjadi alasan untuk tetap semangat selama ini.

"Kenapa ini, sayang. Bu Maya sedang tidak sedih."

Tubuh Elenea terdorong pelan oleh kedua tangan milik Bu Maya.

"Gak! Bu Maya bohong, kan? Ini belum waktunya May'S Florist tutup? Apakah ada masalah?"

Bu Maya tetap kekeh pada pendiriannya, justru dirinya semakin mengembangkan senyumnya yang tampak sangat manis itu.

"Gak papa, cuma mau renovasi aja. Dan rencana mau pindah lapak ke luar kota?"

Elenea terpenjarat, kabar itu datang tanpa permisi, silih berganti. Bagai semilir angin yang tiba-tiba berhembus kencang, ia terombang-ambing pada kenyataan. Masalah apalagi, Tuhan? Elenea capek, batinnya sambil mengelus dada yang terasa sesak itu. Belum juga masalah satu selesai, kini masalah datang lagi. Bagaimana jika Elenea tidak mempunyai siapa-siapa lagi di dunia ini. Perlahan waktu merenggut semuanya.

"Kenapa begitu, Bu?"

Bu Maya mengangkat bahunya, kemudian memasukkan satu-persatu peralatan untuk perakitan bucket bunga.

"Bu, ini gak ada hubungannya dengan Elenea, kan?"

Wanita dengan jilbab menjuntai hingga dada itu tidak mengindahkan pertanyaan Elenea, ia tetap fokus pada kegiatannya itu.

"Bu Maya, jawab Elenea!" lanjut Elenea dengan suara meninggi. Seperti dugaan Elenea sebelumnya, sekelebat ia mengingat peringatan yang diberikan oleh Alby.

"Bu Maya ini ada hubungannya dengan Pak Alby, kan?" tanya Elenea kembali, padahal sebelumnya belum terjawab dengan jelas.

Namun, sepertinya Bu Maya enggan menjawab pertanyaan darinya. Bahkan hanya untuk menoleh ke arahnya saja tidak, entah tidak mau atau memang tidak sudi? Benak Elenea semakin terguncang. Ia benar-benar tidak berharap terlahir di dunia jika, dialah yang menjadi alasan susah seseorang. Ibu, Ayah mereka telah pergi dan kini Bu Maya harus merelakan usahanya yang telah berkembang pesat itu.

Lantas Elenea semakin geram, segera ia mengangkat bahu Bu Maya agar menghadapnya--meski terkesan tidak sopan--Elenea ingin segera tau jawabannya.

"Bu Maya, jawab! Tolong, Elenea capek." Suara Elenea yang semula meninggi itu kian ruluh, ia menghempaskan tubuhnya di kursi kosong di belakangnya. Benar dirinya sangat capek secara fisik juga batin.

"Maaf, Elenea selalu menyusahkan Bu Maya."

Sosok wanita berpakaian gamis syar'i itu segera luluh, tangan kanannya menarik kursi kosong di sampingnya-- mengubah posisinya itu hingga di samping Elenea.

"Tempat ini hanya hak sewa bagi Ibu. Kini sang pemilik lahan telah mengakhiri kontrak sewa lahan itu."

"Sepihak? Kenapa tiba-tiba? Apakah Bu Maya melakukan kesalahan?" Elenea mengeluarkan pertanyaan itu secara cepat.

"Bukan karena perjanjian. Ibu yakin yang ibu lakukan bukan sebuah kesalahan."

Elenea berusaha mengelola motorik otaknya yang berjalan melambat itu. Dengan sisa-sisa tenaga, ia mencoba menelaah beberapa kemungkinan yang terjadi.

"Apakah karena Elenea? Kenapa Bu Maya selalu berkorban untuk Elenea?"

Tangan yang mulai keriput itu segera meraih puncak kepala Elenea, menggosok-gosok lembut rambut yang lebat nan hitam itu.

"Ibu sayang Elenea."

"Elenea juga."

Keduanya saling berpelukan erat, sama-sama merasakan kehangatan yang tak terduga. Elenea, yang telah kehilangan sosok ayah-ibu sedangkan Bu Maya yang tidak kunjung mendapat malaikat kecil.

"Apa ini karena perintah, Pak Alby?" ucap Elenea yang terkesan berbisik itu.

Sontak Bu Maya langsung mendorong pelan tubuh Elenea.

"Jika iya apakah kamu marah?"

Elenea menggelengkan kepalanya.

"Tidak! Tetapi tetap saja ini tidak setimpal dengan Elenea, kenapa harus Bu Maya yang kena imbasnya?"

"Lalu Bu Maya akan pindah ke mana?"

Lantas Bu Maya tidak menjawab pertanyaan pertama dari Elenea.

"Bandung mungkin," jawab Bu Maya seadanya.

Perjanjiannya dengan Alby Wijayakusuma hanya untuk keduanya bukan untuk di umbar. Siang itu, tanpa sepengetahuan Elenea ia datang ke kantor polisi untuk menemui Alby--Galenlah yang mengirim pesan untuknya sebelum kejadian naas yang menimpanya.

Di ruang SPKT, dengan bantuan pihak ketiga--polisi--ia bermusyawarah agar masalah di selesaikan dengan kekeluargaan, mengingat juga pelaku telah meninggal dunia. Bu Maya mengajukan studi banding agar hukuman untuk Elenea di ganti. Pada akhirnya ia benar-benar melakukan mediasi dengan Alby. Bu Maya berjanji akan membawa Elenea pergi dari kehidupan mereka, berjarak dari kota yang kini ditempatinya.

Ya, semua pencabutan beasiswa Elenea, penggusuran lapak May'S Florist itu adalah rencana. Planning agar Elenea tidak terlalu membenci keluarga Alby, juga agar Alby lebih bisa menyembuhkan luka yang masih basah itu. Bu Maya tau Alby bukan orang jahat nan kejam, tetapi membuat Elenea hidup di samping orang-orang konglomerat seperti Alby sangatlah berbahaya. Semua bisa dilakukan dengan uang, termasuk menggelapkan mata.

Bu Maya mengerjap berkali-kali, kemudian kembali fokus pada Elenea yang kini menunduk.

"Kamu ada masalah?"

"Beasiswa Elenea di cabut, Bu Maya akan pergi setelah ini. Elenea tinggal di mana? Elenea sama siapa di sini? Di kota metropolitan ini, sendirian? Elenea akan jadi gelandangan?" ucap Elenea emosional, cairan bening di pelupuk matanya itu tidak lagi terbendung.

Naluri seorang perempuan sangatlah lembut bahkan selalu tepat, Bu Maya langsung memeluk kembali Elenea. Menepuk-nepuk punggung milik Elenea hingga cewek yang masih terbalut seragam itu mulai terlelap, tetapi rasa kantuknya itu sirna ketika decitan pintu itu terdengar.

"Pak Alby, Kak Daniel?" gumamnya dalam hati.

"Elenea yang tenang, ibu akan menyerahkan sertifikat perjanjian sewa lahan." Bu Maya lekas mengambil mam coklat yang tergeletak di atas meja.

Langkah kaki Bu Maya berjalan ke depan, menyambut seorang lelaki dengan setelan jas itu dengan senyuman merekah.

"Assalamualaikum, Pak. Mari duduk dulu," ucap Bu Maya dengan sopan.

"Waalaikumsalam, terimakasih sebelumnya. Tetapi di sini hanya untuk mengambil berkas itu, dan ...."

Alby tampak menghentikan ucapannya, melangkahkan kakinya menuju samping Elenea.

"Untuk kamu, rumah kamu akan bebas dari police line mulai besok. Jika kamu membutuhkan uang atau modal bisa kamu tukarkan dengan uang."

"Tidak! Biar saja rumah itu tetap berdiri kokoh seperti itu. Jika memang saya harus pergi dari kota ini, biarkan rumah itu tetap utuh seperti sebelumnya," jawab Elenea dengan tegas.

"Terserah jika itu memang mau kamu, saya tidak lagi berhubungan dengan rumah itu lagi."

Elenea tahu, ia tidak akan bisa hidup di rumah yang hampir roboh itu, meski begitu Elenea masih menyebutnya rumah yang kokoh. Elenea tidak bisa hidup di kota ini tanpa Bu Maya, jalan satu-satunya ia harus mengikuti jejak Bu Maya. Siapa tau di kota barunya ia bisa mendapatkan beasiswa di sana.

"Apa Om tidak berlebihan?" tanya Daniel tiba-tiba, setelah menatap Elenea dengan rasa ibah.

"Di mana letak berlebihan jika berhubungan dengan keluarga?" Layaknya skak mat, lawan tidak mampu berkutik lagi.

Setelah mengucapkan salam, Alby langsung melenggang pergi. Kaki jenjangnya itu berjalan cepat ke luar dari lapak May'S Florist, lebih tepatnya bekas lapak jasa bucket bunga itu.

Daniel tidak menghiraukan kelakuan sahabat papanya itu, ia memilih menghampiri Elenea yang masih terdiam.

"El, apa kabar? Jangan lupa perbanyak sabar, Daniel di sini sedang tidak jualan roti bakar."

"Apaan sih lo, Kak. Candaan lo garing," timpal Elenea.

"Gue gak bercanda emang benar, kan, gue gak sedang jualan roti bakar? Apa ada yang salah?" Daniel menaik turunkan alisnya bergantian.

"Terserah lo, Kak."

"Ok." Daniel membentuk huruf O dengan jari jempol juga telunjuk.

Cowok dengan langkah kaki sedikit pincang dan juga raut wajah yang sayatan-sayatan tipis itu berjalan mundur.

"Sampai ketemu di sekolah, besok!"

Daniel melambaikan tangannya ke atas. Seperti tidak ada masalah, ia bersikap seolah-olah semua baik-baik saja walaupun keadaan sangat jauh dari kata demikian.

Kini ruangan itu menyisakan sosok wanita yang telah merapikan perlahan bahan, alat juga perlengkapan untuk proses pembuatan bucket bunga.

Keduanya tampak saling bantu, menyingkirkan kardus-kardus ke tepi tembok setelah benda ruang itu telah terisi penuh.

***
Tepat pukul enam pagi, pagi buta Elenea memilih menunggu jam bel masuk di mulai dengan aktivitas membaca buku di perpustakaan.

Tak lupa juga ia mengembalikan tumpukan buku yang telah dibawanya setelah berhari-hari itu, mengingat juga waktu di sekolah Andorra itu tidak berlangsung lama. Waktu istirahat nanti, surat pindahan harus segera di urus.

Di sepanjang koridor, ia mendengar nama Galen di sebut-sebut. Lantas itu membuatnya semakin bimbang, Elenea hampir lupa jika sosok nama yang di sebut itu adalah pacarnya. Lalu bagaimana ia akan menghadapi Galen nanti? Bagaimana cara berpamitan yang baik dengan Galen? Haruskah ia harus putus atau break?

Elenea mengacak rambutnya kasar. Entah dari mana datangnya? Bagaimana sosok yang hampir tidak dilihatnya selama dua hari itu kini muncul di hadapannya. Galen, gumamnya. Ya, benar itu Galen, ia berdiri di ambang pintu perpustakaan. Tak tau bagaimana ia mengetahui jika dirinya akan ke ruangan penuh rak itu? Atau hanya kebetulan?

Untuk berbalik arah pun di rasa percuma. Toh nanti Galen juga akan duduk di belakang bangkunya. Dengan fokus mata ke depan, ia menghela napas dulu sebelum melangkah.

"Ayo, El. Kamu pasti bisa," ucapnya sambil menunduk, satu tangannya itu mengusap dadanya perlahan.

Elenea mendongak, kembali menatap fokus ke objek yang masih sama--Galen.

Seketika langkahnya terhenti saat mengetahui satu lengan milik seorang cewek terpaut juga di lengan miliknya. Farah, dari dalam perpustakaan itu langsung keluar dengan menggandeng lengan Galen yang sebenarnya ingin terlepas dari cekalannya.

Jujur Galen merasa tak enak, apalagi saat ia menatap Elenea yang berjalan tanpa ekspresi saat melewati dirinya.

"El, tunggu." Teriakan itu tidak di perhatikan oleh Elenea. Apakah ia cemburu? Tentu, batin Galen.

Namun, seribu sayang ia tidak bisa mengejar Elenea. Pertama kakinya yang masih terasa nyeri, kedua, tangan Farah yang tidak kunjung lepas, ketiga dilarang membuat keributan di perpustakaan.

Langkah kakinya itu kembali menurut dengan Farah, bahkan di sepanjang koridor semuanya heran saat melihat dirinya berjalan mesra dengan Farah. Tepatnya itu pendapat dari siswa-siswi lain, bukan berasal dari benaknya. Farah hanya sebatas sahabat tidak lebih.

Setelah mengantar Farah menuju ruang kelasnya, Galen berjalan pelan kembali ke perpustakaan. Otak juga jiwanya masih tertinggal di sana, meski hanya kurang dua menit lagi, sosok dengan luka sayatan di raut wajah juga bagian perutnya itu tidak henti-hentinya terlihat kuat, padahal dirinya meringis kesakitan dalam batinnya.

Ya, tentu Galen memaksa masuk sekolah hanya demi melihat wajah sang kekasih. Seperti kini ia sedang menunggu di ambang pintu perpustakaan. Benar, tidak lama kemudian sosok cewek yang ia cari keluar dari ruangan penuh buku itu.

Elenea terus berjalan lurus ke depan, tanpa memperhatikan Galen yang kesusahan mengejarnya.

"El, tunggu." Elenea menghentikan langkahnya sejenak.

Mungkin ini saat yang tepat, mungkin keputusan yang telah dipikirkan matang-matang itu harus di ungkapkan hari ini.

Elenea menghembuskan nafasnya panjang. "Gal, gue mau kita putus."

Tiba-tiba Elenea menyerang Galen dengan pernyataan menyakitkan itu.

"Kenapa? Gue ada salah sama kamu?" tanya Galen dengan cepat.

Elenea menggelengkan kepalanya. "Gak. Intinya kita putus dari sekarang!"

"Pliss, El. Beri alasan yang jelas."

"Apa kata putus itu tidak mampu memberikan arti ketidakcocokan antara kamu dan aku," jelas Elenea dengan emosional yang mulai datang.

Tidak tega, ia tidak tega melihat raut wajah Galen yang seketika berubah menjadi muram itu. Bekas sayatan di mukanya membuat dirinya semakin ibah, dan tidak ingin meninggalkannya. Namun, semua itu telah di atur oleh keadaan. Mau tidak mau Elenea harus tetap melakukan suatu hal menyakitkan itu.

"Kamu jangan egois, El. Di sini ada aku yang sayang kamu." Galen perlahan meraih punggung tangan Elenea, kemudian mengelusnya pelan.

Elenea menggelengkan kepalanya seraya membungkam mulutnya dengan tangan kirinya.

"Jawab, El. Apa salah aku? Pliss jangan putus."

"Keputusan aku sudah bulat, Gal. Semoga kamu bisa nerima, banyak yang lebih tulus sayang sama kamu."

Galen menggelengkan kepalanya.

"Jangan gila, El."

"Aku tanya apa salah aku, El?"

Elenea masih terdiam, menatap kearah lain sehingga tidak sempat menatap raut wajah Galen yang semakin berantakan itu.

"El, jawab!"

"El, aku tau kamu dengar, kan?"

Kedua tangannya menyikangkan anak rambut di area telinga Elenea, memastikan tidak ada earphone atau benda apapun yang menghalangi area pendengarannya itu. Manik keduanya bertemu, saling melekat pada pandangan yang tidak bisa lepas karena keduanya seolah-olah mengunci sorot matanya masing-masing.

"El, jawab!"

Elenea terdiam.

"EL JAWAB!" sentak Galen yang membuat dirinya menjadi pusat perhatian. Tidak peduli, ia kembali fokus pada sosok kekasihnya, ralat  mantan kekasihnya.

"Karena aku anak seorang penjahat. Aku anak dari Fauzy Damian, pelaku atas penculikan anak yang korbannya adalah kamu sendiri." Elenea segera menunduk.

Galen? Ia memundurkan langkahnya, seolah-olah tidak mempercayai semua ini. Gadis itu terlalu polos untuk di katakan sebagai anak penjahat atau apapun itu.

"Aku harap setelah ini perasaan cinta itu menjadi benci, see you next time, sampai waktu yang tidak bisa ditentukan," lanjut Elenea.

Namun, sosok cowok yang berada di sampingnya itu masih yang berkutik. Diam sejenak sembari memegang kepalanya yang sedikit pening itu, entah bagaimana respon Galen yang sebenarnya?


***

Putus atau terus?

Break atau putus?

Kalian pilih yang mana?

To Be Continue

Jangan lupa vote dan comment karena itu sangat membantu

Thanks for Reading

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro