FIGHTING
Pukul 06.15 di SMA Andorra masih terlihat sepi, tetapi berbeda bagi siswa teladan seperti Elenea yang kini telah siap duduk di kursi kebangsaannya. Sorot mata Galen menemukan sosok yang tertahan pada bangku yang berada di depan bangku miliknya. Lantas langkah kakinya menghampiri Elenea yang sedang tertunduk membaca sebuah buku.
"Hai, El. Apa kabar? Baik kan?" tanya seorang cowok yang sedang menenteng almamaternya itu.
Fokus matanya masih tidak memperlihatkan cowok yang sedang mengajaknya bicara dua detik yang lalu. Cewek dengan dandanan minimalis, menggunakan liptint warna pink bibir itu tampak serius dengan buku yang sedang di pangkunya.
Namun Galen tidak keberatan dengan hal itu. Ia lebih memilih untuk mencari topik lain untuk memancing percakapan dengan Elenea. Kakinya melangkah menuju bangku di sebelah cewek itu dan mendaratkan pantatnya tepat di kursi kosong.
"Lo kenapa selalu baca buku? Apakah gak ada hal lain untuk mengisi waktu luang?"
Matanya mendelik ketika mendapat hantaman di kepalanya. Galen sungguh tidak percaya jika cewek di sampingnya selain cuek juga bar-bar.
"Kalau untuk ngeladenin cowok kaya lo, gue rugi waktu."
Galen lagi-lagi terkesima dengan pengucapan Elenea, degub jantungnya sudah tidak bisa diatasi dengan normal kali ini. Seluruh tubuhnya merasakan sensasi panas dingin ditambah lagi tatapan sang cewek itu yang mampu mengunci penglihatannya.
"Jangan ajak bicara gue kalau memang gak penting," cerca Elenea dengan ketus.
Elenea kemudian bangkit dari duduknya, melangkahkan kakinya menuju luar kelas. Ia sama sekali tidak keberatan untuk meninggalkan Galen seorang diri. Namun, tampak berbeda dengan biasanya. Elenea meninggalkan buku tebalnya di atas bangku dan tidak memakai earphone di kedua telinganya.
Lantas Galen menatapnya datar. Ia tidak terlalu mengerti cara kerja fikiran seorang cewek apalagi untuk ukuran Elenea yang irit bicara, karena memang hanya Elenea yang menarik perhatiannya sejak awal. Cowok berambut klimis itu mengikuti kembali aktivitas cewek bernamtage Elenea itu.
Suasana sekolah kian ramai, banyak siswa-siswi yang mulai berhamburan datang menuju kelasnya masing-masing. Kursi di sepanjang koridor juga telah dipenuhi anggota kelas masing-masing yang sedang merumpi, bermain gitar, sarapan roti atau sekedar mengobrol ringan.
Yang Galen tahu ia nyaman di sekolah ini, meski banyak juga siswi yang mengincarnya namun mereka memiliki batas wajar. Normal dan tidak terlalu anarkis seperti kebanyakan cewek yang ia ketahui sebelumnya.
Para guru juga mulai memasuki ruang kerjanya, tak dipungkiri juga ia bertemu dengan Dania yang menemaninya tour sekolah waktu itu.
Wanita dengan pakaian nyetil layaknya pegawai kantor itu menyapa Galen dengan ramah.
"Pagi, Galen. Baik kan?"
Kedua sudut bibirnya melengkung dengan sempurna namun berbanding balik pada titik fokusnya, mata hazel miliknya itu berusaha menjangkau sosok cewek yang sedari tadi menganggu pikirannya.
"Maaf bu, sepertinya saya harus segera pergi." Langkah kakinya tergesa-gesa mengikuti jejak langkah dengan kecepatan extra itu. Entah bagaimana dia bisa tertinggal jauh dengan Elenea.
Sampai dimana aktivitas Galen terhenti pada sebuah tempat yang luas dengan berjajar bangunan bersekat ukuran per 2x3m. Juga ada banner didepan sebagai label untuk menarik para siswa-siswi yang berada di sana, seperti sekarang Galen mengeja tulisan yang terpampang jelas di sana 'Kantin Mala' menyediakan nasi pecel, nasi goreng, cireng, es teh, es soda.
Pandangannya kembali menyusuri beberapa bagian disana, mencari keberadaan cewek yang diikutinya sejak tadi.
"Yaps, ketemu. Disana!!" seru Galen sendiri.
Langkah kakinya menghampiri sosok Elenea yang kini duduk sendiri di meja kantin nomor tiga dengan nasi goreng dan es teh di hadapannya.
"Lo belum makan?"
"Hmmm ... "
"Eeee ... Lo belum sarapan dirumah? Mama lo sakit? Atau bibi lo lagi gak kerja?" tanya Galen hati-hati.
Lantas cewek di sampingnya itu mengurungkan sendok yang hampir masuk dalam mulutnya. Ia membanting sendok itu dengan kasar.
"Lo bisa nggak gak usah berisik! Jujur gue terganggu." Elenea berusaha memedam amarahnya yang memburu.
"Sorry, tapi gue cuma nanya ... "
"Apa? Sok simpati gitu?" Elenea mengerutkan dahinya.
Galen tersenyum tipis setelah menghembuskan nafasnya panjang. "El, gue cuma mau punya teman disini. Apa salahnya gue bersimpati sama lo?"
"Lo salah tujuan. Dan untuk pertanyaan lo, DISINI gue siswi penerima beasiswa yang lo tau sendiri artinya apa? Dan ibu gue udah lama meninggal. So, stop tanya-tanya itu lagi ke gue." Elenea segera melahap seporsi makanan dan minuman yang telah di pesan. Ia kemudian pergi setelah jam bel masuk berbunyi dan meninggalkan Galen dengan rasa bersalahnya.
Sejak kejadian pagi tadi di kantin, Galen banyak merenung dan berusaha tidak menganggu Elenea seharian ini. Bel pulang sekolah telah berbunyi menandakan siswa-siswi boleh hengkang dari rumah belajarnya itu.
Galen berjalan fokus ke depan tanpa memperhatikan tatapan kagum di sekitarnya. Ia tidak memerdulikan berapa banyak siswa yang memuji ketampanannya ataupun aura kewibawaannya.
Namun tanpa di sangka-sangka sebuah pukulan mendarat di punggungnya hingga membuat dirinya tersungkur di lantai.
"Jangan sok lo disekolah ini. Baru jadi anak angkat keluarga Alby Wijayakusuma aja bangga."
Setelah itu banyak yang berbisik tentangnya. Entah itu sebuah respon atau hinaan untuknya.
"Oh, anak angkat toh."
"Gue kira anak kandungnya yang baru pindah sekolah."
Namun ada juga dari mereka yang mengetahui keadaan sebenarnya. "Gue kira mah keponakannya, soalnya setau gue anak pak Alby tuh ilang sepuluh tahun yang lalu."
"Yang kasus penculikan itu? Oh itu anaknya pak Alby?"
"Gue mah gak tau, soalnya waktu itu masih jadi bocil SD."
Tangan Galen terkepal kuat-kuat, rasanya otaknya telah mendidih hingga menjalar ke rusuk jantungnya. Mimik wajahnya berubah menjadi ganas serta mata tajamnya yang menyorot kepada cowok di depannya seperti mengintimidasi sebuah mangsa.
Jadi masalahnya adalah Daniel, cowok itu telah berani mengusik jiwa harimau yang beberapa hari ini tertidur tenang dalam benak Galen.
' Bug ... '
Satu hantaman berhasil mendarat tepat di kening cowok di hadapannya itu. Aksinya berlanjut memancal bagian perut Daniel hingga terpental agak jauh dari posisi sebelumnya. Tidak berhenti disitu Galen menarik kerah kemeja lusuh milik cowok itu dengan beringas.
"Kenalin gue Galen yang lebih brandal dari lo. Gue anak angkat dari Alby Wijayakusuma dan gue bersyukur atas itu."
Daniel berdecih pelan lantas itu membuat Galen semakin geram padanya.
Cowok di hadapannya itu memang tampak santai, ia memasang wajah bodohnya itu dengan amat natural. Seperti tidak merasakan sakit sama sekali, sosok Daniel itu malah menyunggingkan sudut bibirnya sebagai perlawanan.
Galen menatap Daniel nyalang. "Bokap dan nyokap lo kayak apa sih? Sampai-sampai punya anak gak tau etika kayak lo?"
Keduanya beradu sengit, tatapan di antaranya mengartikan percikan kebencian yang mendalam. Lantas itu membuat kedua tangan Daniel mengepal kuat, seketika Galen tertawa renyah sebagai simbol mempermainkannya.
Ia mengangkat satu tangannya ke atas, tangan kiri yang kosong itu di gunakannya untuk menepuk-nepuk pipi cowok yang sedang dilanda amarah itu. "Marah? Kenapa? Lo sama gue gak banyak bedanya, KURANG KASIH SAYANG!!"
Suara pukulan bertubi-tubi itu terdengar semakin keras, siswa-siswi yang berada di sekitar itu lantas kalang kabut untuk menghindari perkelahian antar cowok yang mempunyai potensi bela diri yang perlu diakui.
Keduanya saling menghajar dan menendang tanpa cela, tanpa ada yang melerainya. Lebih tepatnya takut, apalagi sosok Daniel yang di kenal sebagai the power of winner.
Leganya para guru masih lengkap di sana sehingga ada penengah yang akan meluruskan dan menyelesaikan permasalahan yang terjadi antar Galen dan Daniel.
Tepat. Manik mata Galen menangkap sosok Elenea berdiri disamping pak Subroto selaku guru BK yang terkenal killer, namun berbanding terbalik dari sudut pandang Daniel. Wajar jika pak Subroto menjadi konsultan langganan Daniel hampir setiap hari.
Sosok dua cowok dengan tinggi yang setara itu di karak bagai napi yang telah berbuat pelanggaran berat hingga menuju ruang BK.
"Lo yang nglaporin?" tanya Galen pada cewek yang berdiri di sampingnya.
Galen tidak mendapatkan jawaban apapun, tatapan cewek itu fokus kedepan dan tidak ada tanda-tanda akan menjawab pertanyaan dari Galen. Di posisi kiri pak Subroto terdapat cowok bernamtage Daniel yang semakin menatap Galen tak suka.
"Daniel bukan porsi lawan lo yang tepat. Gue cuma ngingetin, gue pulang duluan." Cewek itu membelokkan langkahnya menuju gerbang sekolah yang arahnya tidak sama dengan ruang BK.
Yang kini bisa Galen lihat adalah punggung Elenea yang semakin menjauh namun langkahnya terus melangkah ke depan sesuai instruksi dari pak Subroto.
Lima belas menit keheningan tercipta di ruangan ber-AC itu, nuansa ruangan putih menunjukkan bahwa ruangan itu bersih, terang dan tampak lebih luas. Ruang yang khusus di rancang minimalis dan hening itu dijadikan sebagai tempat sidang bagi siswa-siswi yang melakukan kesalahan.
Sebuah arcylic bertuliskan Subroto S.Pd. itu terpajang rapi di atas meja kayu berfunitur coklat keemasan itu. Sosok lelaki yang duduk di balik meja itu menatap kedua anak didiknya tajam. Meski terkenal killer selaku guru BK–pak Subroto adalah tipe orang yang tidak banyak bicara, tidak banyak ceramah untuk kedua cowok yang sekarang sedang beradu tatapan maut itu.
Selang beberapa waktu Alby dan Zelyn ditemani oleh Diana telah memasuki sebuah ruangan yang berpenghuni tiga nyawa itu.
Sebelumnya Diana menyiapkan tempat duduk untuk ketua yayasan sekaligus istrinya itu, sedangkan dirinya cukup berdiri disampingnya seraya menatap Galen senduh.
Subroto memberi penghormatan untuk sepasang suami-istri itu. "Selamat siang, selaku guru BK di sekolah ini saya prihatin atas sikap anak bapak dan ibu."
Sontak mata Alby menatap Galen datar, namun sang anak itu menunduk tidak membalas tatapannya. "Jelaskan kronologinya Galen!!" titahnya.
Galen menjelaskan yang sebenarnya secara runtut, sampai dimana Daniel memotong perkataannya itu. "Saya muak berada disini. Lebih baik bapak selesaikan permasalahan yang seharusnya diselesaikan dengan bocah ingusan ini," ucap Daniel seraya menunjuk wajah Galen. Lantas tidak ada yang menahannya untuk pergi.
Galen langsung bangkit dari duduknya, mendorong kursi ke belakang dengan kasar. Ia melangkahkan kakinya maju ke depan untuk mengikuti jejak Daniel.
Akan tetapi, tangan milik Zelyn menahannya. Sosok wanita paruh baya itu menghadirkan tatapan senduh di pelupuk matanya. "Gak perlu sayang, biarkan."
Zelyn menggelengkan kepalanya pelan, sedangkan Galen mengangkat salah satu alisnya.
"Yang penting memar di wajah kamu harus dikompres dulu, dan ini apa?" Zelyn mengongkek wajah Galen ke arah kanan dan kiri secara perlahan hingga aktivitasnya berhenti pada sudut bibir Galen yang hampir robek itu. Galen hanya diam tak berkutik, ia memandangi wajah Zelyn yang tampak khawatir pada dirinya.
Alby segera mendekat ke arah Galen. "Jauhi Daniel sayang! Dia bukan tandinganmu." Alby menepuk-nepuk bahu Galen sebelum ia membisikkan sesuatu di telinga pak Subroto itu.
Kenapa dengan Daniel? Kenapa dua orang mengatakan hal yang sama kepada gue hari ini? batin Galen.
Berbeda dengan Zelyn yang sibuk memandangi lebam dan memar di wajah Galennya itu, sontak air matanya jatuh menggenang di pipi saat menatap sosok Galennya yang babak belur itu. "Sayang, jangan buat mama khawatir lagi. Mama gak mau kamu berantem lagi. Janji." Jari kelingkingnya terjulur dihadapan Galen.
Lekas Galen menautkan jari kelingkingnya sebagai balasan. Namun jujur hingga saat ini ia masih memiliki dendam kesumat dengan Daniel. Lihat aja besok, gue akan selesaikan rasa penasaran gue kali ini, batin Galen.
Belum semenit ia membuat janji Galen sudah mengingkarinya dalam hati.
"Hukum dia sesuai standar di sekolah ini. Termasuk juga Galen, tidak peduli siapa yang salah keduanya telah membuat contoh tidak baik untuk sekolah ini."
Galen tidak berekspresi namun hanya saja ia nampak terkejut dalam benaknya. Are you sure pa? Itulah yang ingin Galen katakan saat ini. Daniel yang memulai dan kini ia kena getahnya juga.
"Buat makalah tentang 'Psikis Anak Broken Home' sebanyak lima puluh halaman dan harus dikumpulkan minggu depan. Untuk referensi bisa baca di perpustakaan atau searching di internet!!" perintah Subroto dengan mimik wajah datarnya.
"Jika telat deadline silahkan tinggal di kelas XI tahun depan," tambahnya.
Alby mengangkat jempol duanya kemudian merangkul pundak Galen santai. "Kamu akan menemukan jawaban tentang Daniel di dalamnya."
***
Hiii!!
Cantiknya Galen mau lewat
Kalau mau adu otot sabi lah!
To Be Continue
Jangan lupa vote dan comment karena itu sangat membantu.
Thanks for Reading
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro