Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

DALAM MASALAH

Bimo mengacak rambut Galen asal, mengulurkan tangannya itu untuk mengganggu temannya yang sedang asyik termenung sedari tadi. Bahkan tidak ada sepatah kata pun yang diucapkan Galen sejak kedatangannya. Entah apa yang mengusik pikirannya, namun yang jelas itu membuat Bimo–cowok berambut kribo itu kesal sendiri.

Begitupun dengan Yuda dan Farah yang asyik melontar tatapan yang penuh makna, terdapat banyak pertanyaan di sana. Bimo mengangkat bahunya acuh. Bahkan setelah aksinya membuat rambut acak berantakan, temannya itu tak kunjung merespon.

"Woy, lo kenapa sih?" Yuda menyenggol lengan Galen kasar. Matanya mendelik menatap temannya itu yang hanya menatap dirinya datar.

Galen memang tidak merespon apapun, ia menengadahkan kepalanya sambil mengangkat salah satu alisnya. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya.

"Kalau lo kesini cuma diam doang, mending balik aja ke rumah baru lo yang sekarang! Gedeg gue jadinya. Mana Galen yang gak pernah bersedih itu?" Bimo bangkit dari duduknya, berjalan ke sembarang arah karena frustasi akan sikap Galen.

Di warung kopi yang biasa menjadi tempat nongkrongnya itu mereka berada, di sudut paling pojok ruangan yang tampak kumuh Galen termenung sendiri. Menyelonjorkan kedua kakinya sambil melipat kedua tangannya ke dada, nyaman bukan?Warung yang dilengkapi dengan fitur WiFi itu banyak dikunjungi banyak pembeli seperti sekarang banyak dari anak jalanan yang sedang meneduhkan dirinya.

"Gue pusing. Butuh ketenangan, Bim. Bisa nggak gak usah tanya-tanya dulu."

"Pusing apaan lo sekarang? Mentang-mentang udah ada keluarga baru ya lo jadi gak merespon kita," sindir Farah sambil mengibaskan telapak tangannya untuk mengurangi suhu panas yang sedang melandanya.

Galen menghembuskan nafasnya kasar, kemudian menatap ke arah Farah datar. Tidak bisa dipungkiri jika dirinya sebenarnya capek hati dan juga pikiran namun kenapa teman-temannya itu mengusik batinnya.

"Gue abis berantem di sekolah, dan dihukum untuk membuat makalah lima puluh halaman dalam waktu satu minggu. Gilak!"

Spontan Bimo dan Yuda menumbangkan badanya pada punggung Galen di posisi duduknya itu. Lantas itu membuat Galen kuwalan menahan bobot yang lebih dari seratus kilo dalam badannya.

Farah mengetahui itu hanya tersenyum puas. Setelah aksi mabok Galen malam itu, ia bersama Bimo dan Yuda belum bertemu lagi setelahnya. Dan kini Galen datang dengan wajah senduhnya yang tak tau alasan sebenarnya apa. Jujur Farah senang melihat kelakuan absurd ketiga temannya itu sekarang.

Galen menjerit kesakitan sambil menepuk-nepuk bagian tubuh Yuda dan Bimo asal, karena posisinya sekarang yang tidak menguntungkan. Wajahnya yang menghadap ke bawah karena badannya itu melengkung menghadap ke lantai.

"Sakit woy, jangan ngadi-ngadi lo berdua. Mau bikin teman lo ini mati sia-sia?" teriak Galen sebisanya. Nafasnya mulai tersenggal karena ruang udara yang susah didapatkan, posisinya yang sekarang membuat dirinya pengap.

Kemudian Bimo dan Yuda menghentikan aktivitasnya dan merebahkan tubuhnya di sembarang tempat. Galen yang merasa tidak ada beban lagi di punggungnya, segera ia bernafas lega sembari merenggangkan tangannya ke kanan dan ke kiri.

" Jadi apa hubungan habis berantem sama lo bengong? Lo kalah?"tanya Yuda sembarang.

"Suruh orang buat ngerjain makalah lo aja, sekarang kan jadi OKB lo," usul Bimo.

Galen menautkan alisnya tanda tidak mengerti. "OKB apaan?"

"Orang Kaya Baru." Bimo tertawa lepas tanpa memperhatikan perasaan Galen yang sebenarnya.

Galen menatapnya datar, tidak mau mengambil emosi yang terlalu mendalam. Wajar saja jika Bimo berkata demikian memang itu kenyataannya. Namun, pikirannya tidaklah seperti itu, tidak ada niatan menggunakan uang Alby untuk sembarang kepentingan. Karena yang Galen nilai papanya itu orang yang disiplin dan bertanggung jawab.

"Bukan itu yang jadi masalahnya."

"Lalu apa? Makanya cerita dong, lo banyak berubah sejak tinggal di rumah mewah. Lo masih anggap kita teman nggak sih?" ucap Farah dengan intonasi tinggi.

Galen terdiam sejenak. "Gue jadi punya beban pikiran sekarang, dulu waktu gue bareng kalian yang gue pikirkan cuma gimana besok makan udah gitu. Nah sekarang gue harus memikirkan soal sekolah, keluarga,  Daniel, Elenea. Banyak yang gue pikirin, yang jelas kalau dijabarkan gak bakal selesai dan mungkin akan terus berlanjut."

"Lalu?" Bimo mencoba menerawang. Ia berusaha mencerna pengucapan Galen yang keluar.

Galen mengangkat bahunya acuh, mencoba berfikir dengan sisa quota di dalam otaknya. "Gue mencoba nikmatin aja kehidupan baru gue, toh gue udah mulai nyaman."

"Sama Elenea?"

Satu kata yang terdengar di dalam indera pendengarannya hingga merasuk pada getaran jiwanya itu. Entah bagaimana Yuda bisa mengucapkan satu kata itu tanpa permisi, yang perlu diketahui nama itu telah membuat Galen gelapan sendiri.

"Kenapa?" tanya Galen.

"Dia pacar lo?"

"Nggak secepat itu, yang pasti dia jadi inceran gue saat ini. Tadi pagi gue sempat nyinggung perasaannya, gue bingung gimana minta maafnya. Dia tipe cewek yang cuek."

"Oh jadi si cewek itu yang bikin Lo bengong? Kalau mau jawab jangan muter-muter dulu. Tinggal jawab pusing gegara cewek aja udah, beres. Gak usah muter, mutet kayak baling-baling," cerocos Yuda tak kalah dengan mak-mak komplek.

Galen tersenyum tipis kemudian melihat ke arah Farah yang terdiam di sebelahnya. "Lo ngapain diam? Kalau gue mau deketin Elenea lo restuin gak?"

"Kenapa nanya gue, teman lo kan gak cuma gue."

"Ya kan lo yang cewek sendiri. Lagian cuma nanya sensi amat. PMS?"

"Cemburu ya?" Yuda menyenggol lengan Farah sambil menaikkan alisnya berulang kali.

"Apaan sih lo, gue biasa aja. Terserah lo mau sama siapa, emang gue bisa melarang?"

"Ya, nggak lah!" jawab Galen cepat.

Sontak Farah mendengus kesal dan pergi menyambar kentrung di sampingnya. Ia berjalan lurus menerobos sembarang orang yang tengah duduk di sepanjang warkop itu. Cewek dengan memakai topi hitam itu menyelonong dengan memetik ringan kentrungnya.

"Biasa aja, terserah," ucap Yuda menye-menye menirukan ucapan Farah yang lalu, cara mengekspresikannya pun sama.  Kemudian Yuda menepuk bahu Bimo sebagai isyarat agar segera menyusul Farah yang telah hilang dari penglihatannya.

Bimo beranjak berdiri, selanjutnya ia melangkahkan kakinya bersama dengan Yuda ke depan. Tak lupa keduanya melambaikan tangannya ke arah Galen yang kini juga telah beranjak berdiri.

"Sampai jumpa lagi bro, semangat dengan kehidupan lo yang baru," teriak Bimo yang jaraknya lumayan jauh dari Galen.

Lantas Galen langsung menuju ke motor vespanya, menancapkan stopkontak kemudian memiringkan kendaraan besi itu ke kanan agar bensin turun ke karburator dan masuk ruang bakar. Kepulan asap keluar memenuhi udara setelah Galen mestater vespa tuanya itu.

Meskipun hanya Vespa tua, kendaraan itu bisa digunakan Galen ke manapun misalnya sekarang ia akan ke rumah peristirahatan terakhir kakeknya. Setibanya di sana Galen mengucapkan salam di pintu masuknya, kemudian mencari batu nisan atas nama Woyo.

Langkah Galen terhenti, ia mulai menundukkan kepalanya dan duduk menghadap ke samping kanan makam kakeknya. Ia melafalkan beberapa ayat Al-Qur'an yang ia hafal dan tidak lupa juga untuk mendoakan serta memohonkan ampun kakeknya kepada sang pencipta. Tangan kanannya terangkat mengelus batu nisan berwarna putih itu kemudian menciumnya cukup lama hingga tidak sadar di pelupuk matanya telah penuh cairan bening.

"Galen udah dapat mama dan papa sekarang, Kek. Kakek yang tenang di sana ya. Doa Galen tidak akan berhenti untuk kakek. Makasih juga untuk motor vespanya, akan Galen rawat dan jaga sebisa mungkin."

Galen tersenyum tipis kemudian beranjak berdiri dan berjalan sambil mengedarkan pandangannya ke area pemakaman itu. Sontak tatapannya tertuju pada seorang cewek yang terbalut selendang hitam di kepalanya yang kini sedang menebarkan bunga di dua tempat makam yang berjejer itu.

"Yang sakit ternyata gak hanya gue," batin Galen. Ia berusaha bersimpati untuk ikut serta mendoakan. Namun, tidak disangka ternyata itu cewek yang Galen kenal.

"Lo ...."

"Boleh gue ikut mendoakan?" Galen menautkan salah satu alisnya. Spontan Elenea menganggukan kepalanya.

Mereka berdoa khidmat untuk kedua makam yang sepertinya adalah kedua orang tua Elenea. Selang beberapa menit Elenea bermonolog seperti yang ia lakukan di makam kakeknya. Elenea merapalkan harapan dan doa kepada sang pencipta agar kedua orang tuanya ditempatkan di surga-Nya.

Galen dan Elenea segera bangkit dari duduknya kemudian berjalan berjauhan tanpa sepatah kata pun yang keluar dari keduanya. Setelah menginjakkan kaki di area luar makam, Galen berusaha mendekati cewek dengan selendang hitam yang masih terselempang di kepalanya.

"Itu makam kedua orang tua lo?"

Elenea mengangguk sebagai jawaban.  Ia menghormati Galen yang sedang mengajaknya berbicara lantas dirinya memperhentikan langkah dan menatap datar cowok berkaos oblong hitam itu.

"Sepuluh tahun yang lalu?" Prediksi Galen saat tadi sempat melihat nisan dengan bertuliskan tahun dan tanggal kematian di kedua makam yang berjejer itu.

"Iya," jawab Elenea seadanya.

"Ayah meninggal setelah dua hari ibu pergi."

Galen menganggukkan kepalanya ringan, jujur dalam lubuk hatinya dirinya merasakan sakit yang sama. Turut kehilangan atas sosok yang berpengaruh dalam kehidupan seorang anak, terlebih mereka adalah orang tua yang paling dicintai.

"Sorry gue gak bermaksud lancang, tetapi kalau boleh tau sakit apa?" tanya Galen hati-hati.

"Kanker di rahimnya. Dan ayah di duga terkena serangan jantung."

"Maaf ya, gue gak bermaksud untuk mengingatkan lo pada masa lalu ...."

"Lalu kalau gak bermaksud kenapa nanya gitu?"

Galen menggigit bibirnya kuat sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

Hal ini membuat Elenea tersenyum tipis, senyuman itu yang belum pernah terlihat oleh Galen.

"Santai aja, gue udah biasa menjawab pertanyaan itu dari banyak orang. Udah biasa karena terbiasa. Jadi gak usah ngerasa bersalah."

Galen mengangguk-anggukkan kepalanya tanda setuju. "Kelam, gelap dalam sejarah yang lo maksud ini?"

Elenea mengangguk-anggukan kepalanya. "Iya."

"Gak ada yang lebih penting dari keluarga kan? Gak ada tujuan hidup lebih penting dari kelulusan sekolah nanti."

"Yang menjadikan lo belajar dan belajar sampai gak mau berinteraksi sama lainnya?"

"Hidup itu berjalan karena tujuan. Dan tujuan gue lulus dengan nilai baik, makanya gue belajar."

"Gak sesimpel itu?"

"Apanya?"

"Hidup."

Elenea mengernyit. "Ya terus?"

"Hidup itu berdampingan maka harus ada interaksi sosial seperti kita sekarang."

"Jadi?"

"Lo jadikan tujuan juga dong. Untuk kedepannya agar bisa berinteraksi sosial. Lo tau kan ilmu sosiologi, tetapi lo gak pandai mempraktikkan nya."

"Sama lo?" tanya Elenea asal.

"Maunya sama gue?" ucap Galen sambil mengangkat salah satu alisnya sontak itu membuat cewek di hadapannya itu salah tingkah.

"Apa maksud lo sih?" Elenea menundukkan kepalanya dalam-dalam, pandangannya itu tidak berani menatap Galen yang masih berdiri di hadapannya.

"Ya sama semua orang, lo harus belajar untuk berinteraksi walaupun hanya tipis. Misal saling sapa sama teman sekelas."

Elenea termenung. "Gue udah nyaman gini. Gue permisi dulu."

Galen tersenyum tipis setelah kepergian Elenea. Dengan kata lain Galen sedang di mabuk asmara. Entah darimana pesonanya, yang Galen tau Elenea mempunyai kepribadian yang berbeda dari yang lain.

Galen melengkungkan sudut bibirnya dengan sempurna, begitu sampai di halaman parkir motor dirinya langsung menghidupkan vespa miliknya. Ada bayangan sosok cewek berselendang hitam yang terus mengusik pikirannya. Nyatanya Elenea yang dikenal cewek yang anti sosial, membuat Galen semakin tertarik untuk lebih mengenalnya.

Satu hal yang pengen gue mau dari lo. Gue mau lo berubah jadi gadis periang, tuturnya dalam batin.

Ia melajukan vespanya dengan kecepatan sedang, menikmati suasana sore yang sejuk tidak seperti biasanya. Senja mulai tampak di ujung barat dengan gradasi warna orange yang indah, hal itu juga yang membuat suasana hati Galen semakin membuncah.

Setibanya di depan pintu gerbang yang menjulang tinggi keluarga Alby Wijayakusuma, arah fokusnya tertuju pada sebuah pemandangan tidak mengenakkan. Raut wajahnya berubah seketika menjadi masam. Matanya terbelalak saat melihat Zelyn–mamanya itu dibopong menuju mobil pribadi keluarganya. Lantas ia segera menghampiri papanya yang tergesa-gesa itu, ia menahan pintu mobil yang hendak tertutup.

Galen hanya menatap raut wajah Zelyn yang pucat dan kini matanya telah terpejam rapat.

"Ponsel kamu mana?"

Galen mencoba berfikir seraya mengecek dalam saku celananya namun nihil hasilnya, kemudian ingatannya Terlintas cepat dalam otak. "Ketinggalan di tas ransel, tasnya ada di kamar. Tadi memang belum sempat pamit mama."

Alby menggelengkan kepalanya kemudian menyuruh Galen duduk di samping kursi sopir. Sedangkan Alby menahan tubuh istrinya yang telah terkapar dalam dekapannya.

"Apakah mama pingsan gara-gara gue? Atau .... " batin Galen seraya menatap ke belakang dengan perasaan cemas.

***

To Be Continue

Ada yang bisa nebak kenapa Zelyn pingsan?

Jangan lupa vote dan comment karena itu sangat membantu.

Thanks for Reading

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro