Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 2 | Tamu di Pagi Hari

Geni duduk di salah satu kursi taman terbuka hijau yang mengelilingi kolam renang rumahnya. Tangannya menyobek gula rendah kalori dan menuangkan ke dalam cangkir kopi yang sudah disuguhkan oleh si Mbok dan perlahan mengaduknya. Pria beralis tebal itu menyesap isi cangkirnya perlahan-lahan, setelah itu tangannya mengambil ponsel yang ia simpan di saku celana. Dengan lihai tangannya bergulir memeriksa inbox media sosial miliknya yang ramai dengan balasan dan komentar tentang iklan indekos yang ia pasang.

Wow ... banyak juga ya yang minat untuk ngekost.

Sebenarnya di rumahnya terdapaa kamar utama di lantai atas, kamar kedua orang tua dan kamarnya. Terdapat satu kamar tamu yang juga terletak di atas, sementara sisanya ada tiga kamar kosong di lantai bawah serta satu kamar milik Mbok Nah dan Pak Tono.

"Aku nggak nyangka si barbar itu yang jadi penghuni pertama di indekos Embun ini," ujarnya. Geni memutuskan nama tempat indekos miliknya dengan nama EMBUN, bulir-bulir bening yang kerap kali ia lihat di sini setiap pagi. Begitu murni dan menenangkan di pandangan maupun di hatinya. Untuk itu dia namakan indekosnya dengan nama EMBUN.

Geni memutuskan untuk berenang dan membuat suasana dirinya merasa lebih baik. Air dingin dari kolam renang menjadi pilihannya untuk meluapkan rasa jengkel karena gadis ingusan yang baru saja menjadi bagian dari indekos miliknya.

Pria itu membiarkan tubuhnya terapung dalam air dengan posisi tubuh menghadap bawah.

BYUR!

Pria itu sekonyong-konyong membuka mata saat ada sesuatu mendekati tubuhnya. Air kolam yang sebatas dadanya tidak membuatnya tenggelam, kaki jenjangnya justru menapak pada dasar kolam. Sementara di dekatnya seorang gadis sudah bersiap menggiring tubuh besarnya.

"Kamu ngapain?" Pria itu secara refleks mengangkat tubuh gadis yang jauh dari kata semampai, posisi mereka kini seperti seorang pangeran sedang menggendong kurcaci.

Kaki gadis itu terus bergerak sebagai perlawanan terhadap pria yang sudah seenaknya menggendong dirinya seperti kucing tercebur yang sedang coba diselamatkan.

"Turunin aku, Om! Om ngapain sih, main gendong saja! Lepasin ...!"

BYUR!

Tanpa komando tubuh kecil gadis itu kembali menyentuh air kolam renang. Secepat kilat gadis itu berenang hingga wajahnya muncul di permukaan air, dia mencoba mengontrol napasnya yang memburu, dan beberapa kali terbatuk.

Geni sama sekali tidak ambil pusing, dengan cuek dia berenang menuju tangga dan naik ke daratan. Geni berbalik menatap gadis dengan setelan jins yang sedang berjuang mencapai dirinya.

Kayak anak anjing, lucu. Pria itu terkekeh sambil lalu, dia lalu buru-buru membungkam mulutnya.

Sejak kapan gadis barbar itu lucu? Geni menggeleng cepat sambil bergidik geli.

"Om keterlaluan!" pekik gadis itu saat sudah sampai atas, kini dirinya sudah berada tepat di hadapan Geni.

Pria itu mengangkat sebelah alis tebalnya. "Keterlaluan?"

"Iya, On keterlaluan!" ulang gadis itu dengan kedua tangan yang terkepal erat di samping tubuhnya.

Geni melipat kedua tangannya di depan dada. "Coba kamu jelaskan sikapku yang mana yang menurutmu keterlaluan, hm?"

Gadis yang menjadi lawan bicaranya mendengkus keras. Rasanya pegal karena harus terus menengadah melihat Geni yang entah kenapa terlihat begitu menjulang di matanya. "Aku tuh tadi langsung berlari dan tanpa pikir panjang nyemplung ke kolam saat melihat Om terapung di kolam, aku pikir Om mati di sana tadi!"

Tawa Geni pecah saat mendengar penjelasan dari gadis itu.

"Mana dari kalimat aku yang lucu, Om? Kenapa Om ketawa?" sungut gadis itu dengan kedua mata yang menyipit menatap Geni.

Pria itu menghentikan tawanya, dia lalu berkata, "Pertama, kalau kamu mau berbuat baik, coba pikir-pikir lagi, dengan tubuh kamu yang cebol itu masa iya mampu menopang tubuhku?" Kedua manik cokelatnya menatap lurus pada pasang mata biji kopi milik gadis itu. Dari sana, jelas Geni dapat melihat ada kobaran api membara yang siap melahapnya hidup-hidup karena kesal. Tapi siapa peduli? Geni jelas tidak peduli.

"Kedua, coba kamu pikir lagi, siapa yang sudah keterlaluan, aku yang sedang berenang di kolamku, atau kamu yang sudah berbohong dengan bilang kalau kamu sedang mengandung anakku?"

Skakmat. Kalimat Geni berhasil membuat lawan bicaranya terdiam. Di sisi lain Geni puas saat melihat reaksi gadis itu, tapi di sisi lain entah kenapa sesuatu di dadanya merasa buruk saat gadis itu tiba-tiba meneteskan air mata seraya berkata, "Apa yang sudah Om katakan itu jahat, Om," ucapnya lalu berlari meninggalkan Geni.

Pria itu mematung, beberapa kali otaknya ngebul saat mencoba menelaah hal apa yang sudah menyinggung perasaan Cherry tadi. Dia yakin kalau semua hal yang ia katakan itu tepat.

Geni mengacak rambutnya yang basah. "Ah sudahlah, biarkan saja!" Pria itu beranjak ke arah kamarnya yang berada di lantai atas.

Setelah mandi, Geni meminta kepada Mbok Nah untuk dibuatkan secangkir wedang jahe.

"Ah, maaf, Mbok," ralatnya saat teringat Cherry.

"Iya, Den." Mbok Nah menyahuti.

"Boleh minta satu lagi wedang jahenya, Mbok?"

"Boleh, Den, boleh ... Aden mau tambah?"

"Oh, anu ... wedangnya nanti tolong Mbok antarkan saja ke kamar Cherry ya, Mbok," ucapnya canggung. Dia menggaruk pelipisnya yang tidak gatal.

Senyum si Mbok merekah. "Baik, Den," jawabannya sebelum undur diri.

Geni duduk di atas tempat tidurnya sambil membaca formulir data diri beserta fotokopi KTP milik Cherry sebagai salah satu penyewa kamar di rumahnya.

"Anak bontot ya, pantas saja," celetuk Geni saat membaca identitas tersebut.

Geni mengambil laptopnya lalu mencoba mencari tahu hal apa yang bisa membuat seorang gadis merajuk. Dengan melihat pada hasil pencarian, membacanya dengan hati-hati. Tidak sampai lima menit pria itu menepuk jidatnya.

Perempuan tidak suka jika disinggung secara fisik.

"Pantas saja dia marah padaku!"

Anda: [Ki, kalau aku buat cewek nangis, aku harus apa?]

Kina: [Ya minta maaf lah, tolol ni bocah gini saja pakai acara tanya!]

Anda: [Anjir, Ki, mulutmu itu kapan sopannya sih?]

Kinara: [Kapan-kapan, Geni ... saat negara api menyerang 😎]

Kinara: [Aku ikut senang, adikku yang satu ini sudah bahas cewek, ahay!]

Kinara: [Kamu utang cerita sama aku dan Jane, ok?]

Geni tersenyum, dia merasa geli sendiri membaca pesan Kinara. Tangannya bergerak mencapai berkas milik Cherry yang dia simpan tidak jauh dari jangkauannya. Dia memasukkan nomor telepon yang tertera pada formulir itu, lalu segera mengirim pesan.

Anda: [Cherr, ini aku, Geni.]

Tidak lama pesannya mendapatkan balasan.

Cherry: [Iya. Kenapa? Om mau usir aku dari rumah ini karena aku belum transfer uang sewa kamarnya?]

"APA?" Geni tidak habis pikir dengan sikap Cherry yang tidak bisa ditebak dan begitu ceplas-ceplos.

"Duh, nih bocah!"

Cherry: [Aku nggak mau. Titik, Om.]

Cherry: [Jangan paksa aku untuk keluar dari rumah ini, aku nggak mau 😟]

Anda: [Aku nggak bilang mau usir kamu, padahal.]

Anda: [Terima kasih loh, kamu sudah kasih aku ide yang cemerlang, Cherr!]

Cherry: [Nggak. Bukan gitu, Om! Please ... kalau aku nggak diterima di sini, aku harus ke mana?]

Anda: [Kamu bisa pulang ke rumah orang tua kamu, Cherry. Kamu kan masih punya orang tua, punya kakak juga. Yang ada mereka pasti khawatir kalau kamu ngekost.]

Cherry: [Aku nggak akan bisa mandiri kalau aku terus-terusan ada di rumah, Om .... Please ....]

Geni mengembuskan napas perlahan-lahan, sebelum kembali membalas pesan dari gadis itu.

Cherry: [Om! Terima kasih wedang jahenya, enak 😘]

Anda: [Bukan aku yang buat.]

Anda: [Aku cuma mau bilang ke kamu, maaf.]

Geni mengakhiri chattingnya dengan Cherry. Dia lalu kembali melirik pada layar laptopnya yang masih menyala, kembali pada rutinitasnya sebagai seorang desain grafis, dia diminta untuk membuat konten promosi beberapa penerbit indi yang sedang gencar melakukan promosi lapak penerbitan mereka kepada para penulis-penulis yang ingin karyanya dibukukan lewat jalur kerjasama maupun berbayar.

"Selesai!" Geni bersorak untuk hasil kerja kerasnya seharian penuh, kedua tangannya terangkat ke udara, selanjutnya pria itu menggerakkan tubuhnya melakukan gerakan peregangan otot.

Geni memutar tubuhnya untuk berjalan menuju tempat tidur yang empuk dan nyaman dan siap membawanya melupakan betapa hari-harinya membosankan nyaris sebagai jomlo abadi abad ini. Kembali mengingat betapa sepi hidupnya, tampang cakep paripurna yang terlihat pada pantulan cermin membuat dirinya mendengkus gusar.

"Tampang keren nyatanya nggak menjamin kamu dapet jodoh." Bibirnya mengerucut sekecut hatinya yang sepi.

"Di umur menjelang 30 harusnya aku sudah nikah nggak sih?" tanyanya bermonolog.

"Ah, bodo amat deh!" sambungnya. Geni lalu menjatuhkan tubuhnya ke atas tempat tidur, rasa kantuk mulai kembali merayap pada kedua netranya yang perlahan-lahan terpejam.

Geni terbangun saat tiba-tiba pintu kamarnya digedor dengan membabi-buta.

"Astaganaga! Apa lagi sih?" Serta-merta tubuh jangkungnya sudah pada posisi terduduk di atas tempat tidur dengan kedua mata yang terbelalak.

"Om! Om bangun, Om!" Suara melengking seorang gadis berhasil membuat Geni melangkah dengan gontai menuju pintu yang masih digedor tanpa ampun oleh orang dari balik pintu.

BRAK!

Dengan tenaga yang full di pagi hari, dengan muka bantal Geni membuka pintu kamarnya.

"Kali ini apa?"

Bukan kalimat jawaban yang diberikan oleh tamu di pagi harinya, melainkan tubuh seorang gadis yang langsung hinggap begitu saja sambil kedua tangan melingkar di lehernya.

"Aaaaaaaaaaa!" Gadis itu berteriak histeris tepat di telinga Geni.

"Kamu benar-benar sudah gila ya? Turun dari tubuhku sekarang juga!" Geni berusaha melepaskan tubuh gadis itu, sayangnya dia seolah menggembok tubuhnya pada Geni dengan begitu kuat hingga tidak mudah dilepaskan.

"Cherry, aku bilang lepas!"

"Nggak mau, Om! Cherry takut!"

"Sinting! Lepasin!" Geni masih berusaha untuk melepaskan Cherry dari tubuhnya.

"Kamu takut apa sih, Cherr?"

"A--ada kecoak di dalam baju aku, Om!" pekik Cherry panik, dia terpaksa turun seraya mencoba melonggarkan kaos bagian belakangnya, secara alami tubuhnya bergidik ngeri saat kembali merasakan gerakan dari kecoak menjijikkan di punggungnya. Detik itu Cherry kembali berteriak.

"Stop! Bisa nggak kamu diam dulu? Berisik ini masih sangat pagi kan?"

Gadis itu menunduk sambil menahan tangisnya yang sebentar lagi pecah. Dia terperanjat saat serangga berbau tidak sedap yang tidak sengaja ia temui di dalam koper berisi baju-baju kotor miliknya yang belum sempat ia laundry saat di tempat indekos lamanya, dan berakhir merayap masuk ke dalam kaos ukuran besar yang menjadi pakaian tidurnya semalam. Cherry yang sangat tidak suka kecoak auto ngibrit dibuatnya saat serangga cokelat itu berada di dalam kaosnya, lalu detik berikutnya gadis itu berteriak histeris.

Kedua matanya melihat serangga itu keluar dan berada tidak jauh dari kaki telanjangnya. Sebelum serangga berwarna cokelat kehitaman itu kembali berulah dan merentangkan sayap kecilnya, tanpa sadar Cherry menginjak hingga si kecoak mati dengan cairan menjijikan tepat di telapak kakinya. Gadis itu pingsan di depan kamar Geni.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro