BAB 1 | Tamu di Malam Hari
"Kalau menurut aku nih, mending rumah orang tua kamu itu dijadiin duit nggak sih? Lumayan tau!" Kinara menyelesaikan suapan terakhirnya. Wanita yang sebentar lagi akan menikah itu entah sejak kapan terlihat semakin bulat, baik pipi maupun tubuhnya, dia bahkan bisa dikatakan sudah betul-betul kehilangan tubuh idealnya.
"Menurut kamu gimana, Jane?" tanya Kinara sambil memberikan sabun pada bekas piring yang tadi ia gunakan saat menyantap sarapannya.
Jane terlihat mengangguk mantap, sebelum dia kembali menghilang dari kamera video yang terhubung dengan Geni dan Kinara.
"Si Jane ngilang lagi, deh!" cicit Kinara saat lagi-lagi sambungan video call mereka hanya tersisa dia dan Geni. Pria tampan yang menjadi lawan bicaranya itu hanya menimpali dengan tawa garing yang kentara.
"Hei, mau sampai kapan kamu patah hati? Ayo move on, dia sudah jadi istri orang, nggak baik loh." Sekali lagi Kinara berucap, entah sudah seberapa sering dirinya melihat air wajah Geni yang berubah masam, apalagi kalau topik pembicaraan sudah mengarah kepada si pengantin baru.
"Kamu sudah dapat kerja?" tanya Geni mengubah topik pembicaraan mereka.
Kinara mengangguk mantap, sebuah senyum terukir di wajah bulatnya. "Sudah dong! Aku sekarang jadi guru TK!" sahut Kinara dengan mata yang berbinar-binar.
"Wih sejak kapan sih seorang Kinara jadi guru? Emang bisa kamu ngajar, Ki? Mana anak TK pula, tuh?"
"Eits! Jangan menghina ya Anda! Aku tuh gini-gini lulusan PG PAUD, kalian aja yang nggak pernah mau percaya sama ijazah aku, kan?"
Tawa Geni pecah, itu yang selalu Kinara ingin lihat dari pria yang sudah ia anggap sebagai adiknya itu. "Kamu itu cakep tau, apalagi kalau ketawa, beuh keluar deh tuh aura cakepnya!" puji Kinara, dia benar-benar tulus mengatakannya, sebagai lawan jenis dari Geni, Kinara jelas memuji wajah pria itu, belum lagi perawakannya yang tidak bisa dipandang sebelah mata.
"Terima kasih loh, Ki. Aku kan memang sudah cakep dari lahir."
"Dih ... mulai deh narsisnya!"
Sekali lagi derai tawa mereka bagi bersama. Ngalor-ngidul mereka bercita panjang kali lebar, seperti hari-hari biasanya setiap kali mereka bertemu langsung maupun lewat video call seperti ini pasti obrolan mereka semulus jalan tol, apapun jadi bahasan nyaris tidak ada habisnya.
"Eh, by the way aku sudah nonton loh film Pocong itu loh ... Kasian banget kan si Mumun ninggal gara-gara pinjol. Ampun banget ya yang namanya pinjaman online itu berasa surga di awal pas dapet duit tapi neraka di akhir pas ditagih suruh bayar, mana ada yang sampai taruhannya nyawa pula!" cerocos Kinara menceritakan film horor yang belum lama ini dia tonton.
Geni hanya manggut-manggut saja menimpali lawan bicaranya yang dia sendiri bahkan bingung kenapa tiba-tiba bahas tentang film horor dan pinjol.
Ampun banget si Kinara! Geni tertawa geli sendiri melihat sosok Kinara yang cerita tanpa titik koma dengan ekspresi gemasnya.
"Nah, jadi, Geni ... kalau kamu butuh uang buat mengembangkan kafe kamu, menurut aku ya mending buka indekos! Dan kalau masih perlu jangan sampai ke pinjol, masih ada aku, ada Jane. Tapi pinjemnya juga kira-kira ya, jangan rampok!" Di akhir kalimatnya Kinara memamerkan deretan giginya, sekali lagi mereka berbagi tawa.
"Eh kenapa nih, aku ketinggalan apa? Kok kalian dari tadi ketawa terus, sih? Apa yang lucu?" Jane tiba-tiba nimbrung di dalam video calling mereka.
Kemunculan Jane yang tiba-tiba membuat Kinara dan Geni kehilangan kata-kata mereka. Geni bahkan terbatuk-batuk saat melihat penampilan Jane dengan rambut awut-awutan, belum lagi bekas merah di leher jenjangnya.
"Anjir! Lu abis berbuat ya barusan?" celetuk Kinara, serta-merta wajah Jane merah padam.
"I--iya ... Jadi ... jadi ta--tadi Aster narik aku dan kami ...."
"Anjir, sudah jangan dibahas di sini atuh Jane gelo!" sergah Kinara cepat-cepat sebelum si paling polos di antara mereka keceplosan, sementara ada Geni dan dirinya yang masih belum menikah.
Dasar si Jane oon! Mana masih pagi, ngomongin hal-hal yang sangat diinginkan pula! Edun dasar, sudah nikah tapi masih saja polos. Heran! Kinara berucap dalam diam, seraya menggeleng ke kiri dan kanan.
"Nggak apa-apa, maklum pengantin baru," celetuk Geni asal bicara.
"Kalau begitu, terima kasih karena kalian sudah mau meluangkan waktu buat aku. Salam buat Pak Dokter, Ki ... salam juga buat suami kamu, Jane." Panggilan video call dimatikan oleh Geni.
Mungkin, saran Kinara ada benarnya juga. Aku butuh suasana baru, biar nggak mellow terus.
Geni, pria berusia 29 tahun ini baru saja memutuskan untuk menyulap kediaman peninggalan orang tuanya sebagai tempat indekos. Geni berharap saat para penghuni indekos miliknya nanti berdatangan, rumah besar yang biasanya selalu sepi itu akan ramai. Selain itu, dia memang sedang membutuhkan uang tambahan untuk bisa membuka kafe miliknya yang sudah beberapa bulan belum juga di buka karena alasan biaya.
Pria itu sudah tidak lagi bekerja di kantor penerbitan milik suami Jane sebagai seorang desain grafis. Dia memilih sebagai pegawai lepas di sebuah penerbit indi yang memang sedang membutuhkan jasanya. Selebihnya dia pengangguran dengan banyak harta peninggalan mendiang orang tuanya.
Pria bertubuh jangkung itu mulai menjelajah isi rumah besar lengkap dengan taman terbuka hijau dan juga kolam renang, rumah bernuansa serba putih berlantai dua dengan banyak tanaman hias itu terlihat begitu mewah. Geni selesai memotret isi rumahnya, dia lalu membuka laptop dan mulai membuat iklan untuk menyewakan kamar-kamar di rumahnya lewat media sosial.
Setelah itu dirinya kembali sibuk dengan pekerjaannya di depan laptop hingga berjam-jam, dia bahkan sampai lupa waktu saat sudah jam makan siang. Untungnya di rumah jadi si Mbok mengingatkan dan membawakan hidangan santap siangnya. Geni masih berkutat dengan pekerjaannya di depan laptop bahkan setelah selesai santap siang.
Geni merasakan pegal di punggung bahkan matanya mulai berair kelelahan, dia melirik sebentar pada jam yang melingkar di pergelangan tangan kanannya yang menunjukkan pukul 17.00 WIB. Pria itu merebahkan tubuhnya di atas sofa panjang yang bahkan tidak mampu menopang kaki jenjangnya, tapi pria itu terlihat begitu nyaman di sana dengan kedua netranya yang terpejam. Entah sejak kapan pria itu sudah beralih ke alam mimpi.
Sampai-sampai dia tidak tahu kalau halaman media sosial miliknya sudah banyak diserbu oleh calon penyewa kamar lewat kolom komentar maupun inbox.
"Den, bangun, Den ...." Suara lembut seorang wanita terdengar berbarengan dengan tubuh Geni yang diguncang beberapa kali.
Suara wanita itu berhasil membuat Geni membuka matanya. "Iya, Mbok Nah, ada apa?"
"A-anu, Den ... mohon maaf si Mbok sudah lancang mengganggu tidurnya, Den." Mbok Nah tergagap.
Pria yang dipanggil Aden itu memosisikan dirinya, duduk sambil mengusap matanya. "Nggak apa-apa, Mbok. Ada apa?" Geni mengulang pertanyaannya.
Mbok Nah mengangguk pelan sebelum kembali melanjutkan kalimatnya, "Di--di luar a--ada se--seorang gadis ya--yang ngamuk-ngamuk ka-katanya minta Den Geni ber--bertanggung jawab," gagap Mbok Na, air wajah penuh keriput itu terlihat takut-takut menatap wajah tampan sang majikan sebelum akhirnya menunduk.
"Hah? Gimana, Mbok?"
"Ma--mari Den, ikut dengan si Mbok ke depan," timpal Mbok Nah sambil berjalan menuju arah pintu gerbang.
"Den Geni, syukurlah Aden sudah bangun!" Suara Pak Tarno, satpam rumahnya yang menyambut kedatangan pria itu.
"Ah, ini dia orangnya!" Tiba-tiba saja seorang gadis berpakaian serba kurang, maksudnya atasan mengenakan tank top hitam dibalut jaket berbahan jins sobek-sobek di lengan dan beberapa di bagian badannya, begitu juga dengan celana berbahan senada berwarna navy yang juga dengan model sobek-sobek di lutut dan paha.
"Dia om-om yang menipu saya dan bilang akan bertanggung jawab atas bayi di perut saya!" Jari telunjuk gadis itu mengarah tepat di wajah Geni.
Sekonyong-konyong mata beriris cokelat pria itu membulat sempurna. Bukan karena ucapan si gadis yang melantur, tapi dia kesal karena disebut om-om.
"Heh! Kamu pikir aku setua itu sampai kamu sebut om-om?" Geni dengan nada satu oktaf lebih tinggi dari nada biasanya.
Suara Geni yang menggelegar membuat gadis yang menjadi lawan bicaranya beringsut mundur. "Om kok galak? Padahal ... padahal pas ena-ena sama Cherry, Om mintanya baik-baik--" Kalimat gadis itu diakhiri dengan tangis yang menjadi-jadi.
Geni merasa seolah dikuliti hidup-hidup saat kedua pegawai di rumahnya menatapnya dengan tatapan mata tidak percaya, si Mbok Nah bahkan menghampiri gadis bernama Cherry itu lalu mendekapnya erat sambil berkata, "cup, cup Cah Ayu ...."
Sementara Pak Tono menghampiri dirinya sambil memberikan ceramah tentang perbuatan dosa yang bahkan tidak pernah dia lakukan, kenal dengan gadis itu pun sama sekali tidak.
Geni meraup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Dia mendengkus, lalu berjalan menghampiri gadis yang sedang menangis sesenggukan di dalam pelukan Mbok Nah.
Belum lagi beberapa orang yang sedang membeli nasi goreng keliling terlihat mencuri pandang dan mencuri dengar, tentang hal yang mungkin saja besok menjadi gosip paling hot di komplek perumahan itu.
"Masuk dulu, yuk! Nggak enak kalau bicara di luar," ucap Geni, lalu meminta Pak Tono mengunci pintu gerbang rumahnya.
"Den Geni, sebaiknya jangan berbuat kasar kepada si Nduk, mengingat dia sedang mengandung calon anaknya Aden ...."
Mendengar kalimat si Mbok, berhasil membuat emosi pria itu kembali tersulut. Geni mengepalkan tangannya hingga memutih, sementara garis lengkung susah payah ia ciptakan di wajahnya yang tampan paripurna.
"Ikut aku ke dalam!" gusarnya sambil mengulurkan tangan menggapai pergelangan tangan Cherry.
"Sa--sakit!" pekik gadis itu saat tubuh pria yang lebih besar darinya menarik paksa hingga tubuhnya bergerak maju dan mau tidak mau ritme langkahnya mengikuti empunya rumah.
"Tentu saja nggak begitu, Mbok .... Mbok harus percaya sama Geni," ujarnya tanpa mengendurkan genggamannya.
"Nggak apa-apa kok, Mbok," ucap gadis itu berdusta, dia masih bisa menahan rasa sakit di pergelangan tangannya.
"Den, si Mbok ke dapur dulu ya, menyiapkan makanan dan minuman untuk Cah ayu." Mbok Nah undur diri saat mereka tiba di ruang tamu.
"Tidak usah repot-repot, Mbok ...." Cherry merasa tidak enak dengan kebaikan hati si Mbok.
Mbok Nah tersenyum, tangan penuh keriputnya menyentuh lembut pergelangan tangan Cherry yang merah. "Pasti sakit kan? Tunggu sebentar, Mbok akan bawakan makanan, minuman dan salep untuk tanganmu yang merah ini, Nduk ...."
Sekali lagi gadis itu merasa tidak enak hati atas perlakuan lembut dari Mbok Nah. Namun dia hanya bisa tersenyum tipis sambil mengangguk. "Terima kasih ya, Mbok," ucapnya.
"Padahal tidak usah repot-repot, Mbok. Lagipula dia juga tidak akan lama-lama di sini," celetuk Geni dengan tatapan super tajam dengan raut tidak bersahabat yang kentara di wajahnya. Gadis itu menunduk.
"Cah ayu, jangan takut. Den Geni ini baik, kok," ujar Mbok Nah sebelum benar-benar menghilang ke arah dapur.
"Jadi, kamu itu siapa? Mau apa? Kalau mau nipu, saran dariku, lebih baik tidak usah. Karena aku kaya dan aku bisa tuntut kamu atas dasar pencemaran nama baik, mau?"
Ealah, buset!
"Nggak gitu, kok, Om."
Geni lagi-lagi mendengkus, dia jengkel karena gadis itu terus-terusan memanggilnya dengan sebutan Om.
"Oke, pertama-tama, Om jangan marah dulu sama aku ya ...." Cherry berusaha untuk bisa diterima oleh empunya rumah.
"Sebelumnya, perkenalkan nama aku Cherry Ilse Narendra, 18 tahun, mahasiswa baru jurusan ilmu komunikasi." Cherry masih sibuk memperkenalkan dirinya, sementara Geni sibuk menahan emosinya yang meluap-luap.
"Aku tuh ke sini karena melihat iklan yang ada di media sosial. Aku mau nyewa kamar di rumah ini, gituloh, Om," akunya dengan perasaan tidak bersalah.
"Oalah ... jadi si Nduk ini bukan korban satu malamnya si Aden toh? Alhamdulillah ...." Suara Mbok Nah penuh rasa syukur terdengar dari arah pintu.
"Kamu sudah gila ya? Sudah nggak waras?" hardik Geni saat mendengar pengakuan Cherry yang diluar nalarnya.
"Aku waras kok, Om. 1000% waras, Om bisa periksa sendiri." Cherry meraih tangan kanan Geni dan menyimpannya tepat di keningnya.
Dalam satu kali gerakan, tangan Geni menjauh dari kening gadis itu. "Orang gila nggak bisa dideteksi hanya dengan suhu tubuh!" celetuknya kesal bukan main.
"Kalau kamu mau sewa kamar, lebih baik kamu ke RSJ saja. Di sana kamu bukan hanya dapat kamar tapi juga perawatan, ngerti?"
"Ih ... Om apaan sih, aku tuh nggak gila! Aku harus apa coba biar Om percaya sama aku?"
"Mana ada sih orang gila yang ngaku?" cibir Geni dengan kedua tangan terlipat di dada.
"Yey si Om nih, aku tuh nggak gila Om ... om nya aja yang norak!" cicit Cherry, dia lalu menambahkan penjelasannya sebelum Geni mulai berkata-kata.
"Om tau ngga sih, kalau Om itu lagi aku prank?"
"APA KATAMU?" Urat-urat di pelipis Geni menonjol, tangan kirinya sudah terkepal sempurna dan siap melayangkan hantamannya yang sukses membuat Cherry teriak histeris. Gadis itu berlari ke arah Mbok Nah dan bersembunyi di balik tubuh Mbok Nah, tubuhnya yang kecil dan tidak terlalu tinggi itu sukses membuat dirinya seolah hilang dari pandangan Geni.
"Sini kamu! Aku mau kasih tau kamu pelajaran yang ngga ada di ospek kampus, sini!" geram Geni.
Melihat situasi yang sepertinya akan kembali memanas, Mbok Nah mengambil alih dengan meminta keduanya untuk saling tenang dan berbicara dari hati ke hati, tidak dengan otot.
"Menurut si Mbok, lebih baik Aden terima saja, lagi pula memang tujuan pemasangan iklan itu agar ada penyewa kamar-kamar di sini toh?"
"Tapi, Mbok, dia sudah berkata yang bukan-bukan dengan mengarang indah kalau ada bayi dalam perutnya," keluh Geni, dia ingin si Mbok memihak kepadanya, dan mengusir gadis itu dari rumahnya.
Mbok Nah tersenyum, dia mengelus lembut tangan majikannya, seorang bayi tampan polos yang dulu ia timang-timang masih menggunakan bedong bayi, sekarang sudah dewasa. Tapi kelakuan manjanya masih terlihat di mata si Mbok.
"Aden ... menurut Mbok, cah ayu ini terima saja sebagai penyewa kamar. Lagi pula sekarang ini sudah malam, nggak baik anak gadis malam-malam berkeliaran di luar, kan?" tanya si Mbok dengan penuh pengertian.
Geni mengangguk sebagai jawaban. Pria itu tidak bisa berlaku kurang ajar atau berkata kasar kepada si Mbok yang sudah merawat dirinya sejak kecil.
"Please ...." Giliran Cherry yang memasang tampang penuh harap sambil beberapa kali mengerjapkan mata dengan bulu matanya yang lentik.
"Alasan kamu ngeprank aku itu nggak lucu, bocah!" Dengan dua jari membentuk huruf V pria itu mengarahkan ke arah Cherry lalu kedua matanya bergantian.
"Hiii seram amat sih, Om!" gerutu gadis imut bermulut mercon.
"Den ... Laki-laki itu nggak boleh ringan tangan ke perempuan, ingatkan apa kata Nyonya besar?" Mbok Nah mengingatkan tuan mudanya.
Geni paling tidak bisa menolak jika sudah diminta tolong, apalagi oleh si Mbok. Akhirnya pria itu hanya dapat mengangguk sebagai jawaban.
"Yeeeeey! Terima kasih, Om!" pekik gadis itu girang, dia bahkan tanpa ragu berjinjit dan mendaratkan kecupan singkat di pipi Geni. Dia lalu mengecup pipi si Mbok, sambil mengalungkan tangannya pada tubuh si Mbok sebagai rasa senangnya yang membuncah.
"Terima kasih, Mbok!" serunya.
"Mari, cah ayu, si Mbok akan antar ke kamar."
"Sabar Geni, sabar ....!" Geni mengurut dadanya perlahan sembari mengatur deru napasnya yang memburu.
"Untung cewek!" tandasnya sambil berlalu dari ruang tamu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro