BAB 5 - Ruang Untuk Tumbuh
Shanum merasa bahwa minggu-minggu terakhir ini menjadi titik balik dalam hidupnya. Kehadirannya di "Puan Berkarya" memberi banyak peluang untuk bertumbuh, baik secara pribadi maupun intelektual. Komunitas ini bukan hanya tempat bagi para perempuan untuk berkumpul dan berbagi pengalaman, tetapi juga menjadi ruang di mana pemikiran kritis tentang isu-isu sosial dihadirkan dengan penuh semangat. Salah satu pertemuan yang paling dinantikan adalah diskusi mengenai kesetaraan gender dalam perspektif Islam—topik yang tidak hanya relevan, tetapi juga menyentuh jantung perjuangan mereka.
Hari itu, sekret "Puan Berkarya" terasa lebih ramai dari biasanya. Ada sekitar dua puluh anggota yang hadir, sebagian besar adalah perempuan muda dari berbagai latar belakang, termasuk beberapa yang masih kuliah di universitas, sementara yang lainnya adalah ibu rumah tangga dan aktivis yang telah berpengalaman. Mereka semua berkumpul untuk mendiskusikan tema yang tidak hanya kompleks, tetapi juga seringkali dipandang tabu di kalangan masyarakat konservatif.
Shanum duduk di salah satu sudut ruangan, membuka catatannya. Beberapa anggota mulai berdiskusi dengan penuh semangat. Ada yang berpendapat bahwa peran perempuan dalam Islam seharusnya setara dengan laki-laki, sementara yang lainnya merasa bahwa Islam justru menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah. Shanum merasa semakin tertarik untuk mengikuti jalannya diskusi itu.
Dina, sang pendiri "Puan Berkarya", membuka pembicaraan. "Tema hari ini adalah bagaimana kesetaraan gender dipahami dalam perspektif Islam. Banyak orang yang menganggap bahwa Islam mengutamakan laki-laki dalam segala hal. Namun, apa itu benar? Atau justru ada perspektif yang lebih luas tentang peran perempuan dalam agama ini?"
Shanum mengangkat tangan, ingin ikut serta. Dina mengangguk, mempersilakan.
"Ada banyak interpretasi tentang kesetaraan gender dalam Islam. Di satu sisi, kita tahu bahwa dalam Al-Qur'an, ada banyak ayat yang mengakui kedudukan perempuan, seperti dalam Surah At-Tawbah yang menyebutkan bahwa laki-laki dan perempuan yang beriman mendapat pahala yang sama. Namun, dalam praktiknya, banyak budaya yang mencampuradukkan antara agama dan adat, yang membuat perempuan sering kali diabaikan hak-haknya," Shanum memulai dengan hati-hati.
Beberapa peserta mengangguk, setuju dengan pendapatnya. Dina melanjutkan, "Memang, banyak budaya yang mendominasi pandangan kita tentang perempuan dan laki-laki. Padahal, jika kita mengkaji lebih dalam, Islam seharusnya tidak menempatkan satu jenis kelamin lebih tinggi dari yang lainnya."
Pembicaraan pun mengalir lancar, dengan setiap anggota memberikan pendapat dan berbagi pengalaman pribadi. Namun, saat itulah suara Xabiru tiba-tiba ikut serta dalam diskusi.
Di kampus, Xabiru adalah kakak tingkat satu jurusan dengan Shanum. Dia cukup dikenal memiliki pemikiran tajam, mengangkat tangannya dan berkata, "Ada satu hal yang perlu kita pahami, meskipun Islam memberikan hak yang setara untuk perempuan dan laki-laki, peran biologis dan sosial kedua jenis kelamin tetap dibedakan. Namun, itu bukan berarti perempuan lebih rendah atau lebih tinggi, hanya berbeda."
Shanum menatap Xabiru dengan cermat. "Maaf, mungkin Kakak bisa menjelaskan lebih dalam mengenai 'peran biologis dan sosial dibedakan'? Karena enggak semua orang bisa paham dengan mudah apa yang Kakak sampaikan baru aja."
Xabiru tersenyum tipis. "Maksudku begini, dalam Islam, ada pembagian tugas yang jelas. Misalnya, dalam hal kewajiban ekonomi, laki-laki lebih bertanggung jawab dalam mencari nafkah untuk keluarga. Tapi, itu bukan berarti perempuan tidak memiliki hak untuk bekerja atau berkarier. Jadi, jika kita berbicara tentang kesetaraan gender, kita perlu memisahkan antara hak dan tugas."
Shanum merasakan bahwa diskusi ini mengarah ke pemahaman yang lebih mendalam. Di samping Shanum, Alika, ikut masuk ke dalam diskusi. "Tapi, apa benar bahwa tanggung jawab laki-laki itu mutlak, dan perempuan hanya bisa memilih jika mereka ingin bekerja atau tidak? Bukankah itu menempatkan perempuan pada posisi yang terbatas dalam konteks ekonomi?"
Xabiru terdiam sejenak, mempertimbangkan argumennya. "Menurutku, yang perlu kita pahami adalah bahwa Al-Qur'an memberi ruang yang sangat luas bagi perempuan untuk mandiri, berpendidikan, dan bekerja. Namun, ini lebih soal bagaimana masyarakat kita menginterpretasikan ayat-ayat tersebut. Jika perempuan ingin berkarier dan mencari nafkah, itu sepenuhnya hak mereka. Islam tidak pernah membatasi itu."
Shanum mengangguk, mencerna apa yang dikatakan Xabiru. "Jadi, kesetaraan gender dalam Islam bukan hanya tentang perempuan yang mendapat hak yang sama dengan laki-laki, tetapi juga soal kebebasan mereka untuk memilih peran sesuai dengan kemauan dan kemampuan mereka?"
"Persis," jawab Xabiru, seraya menatapnya dengan mata penuh apresiasi.
Namun, Shanum merasa ada lebih banyak lagi yang ingin dia gali. "Tapi, bagaimana dengan kesetaraan dalam hal kepemimpinan? Ada banyak ayat yang sering digunakan untuk menunjukkan bahwa kepemimpinan itu lebih dikhususkan untuk laki-laki, seperti dalam ayat yang menyebutkan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan. Bagaimana kita menafsirkannya?"
Xabiru tampak serius. "Itu memang sering menjadi topik yang kontroversial. Tapi, kita harus memahami bahwa dalam konteks sosial pada masa itu, kepemimpinan adalah tanggung jawab besar yang lebih banyak diberikan kepada laki-laki. Namun, ini bukan berarti perempuan tidak bisa menjadi pemimpin. Banyak perempuan dalam sejarah Islam yang menjadi pemimpin, seperti Ratu Shajar al-Durr atau bahkan Aisyah R.A, yang memainkan peran penting dalam sejarah politik dan sosial di masa itu."
Shanum merasa tercerahkan. Diskusi ini tidak hanya mengubah cara pandangnya terhadap kesetaraan gender, tetapi juga membuka matanya pada potensi besar yang ada dalam agama dan budaya yang sering dianggap konservatif. Ia merasa semakin yakin bahwa peran perempuan dalam Islam tidak bisa diukur hanya dengan satu standar atau interpretasi sempit.
Namun, diskusi itu belum berakhir. Dina melanjutkan pembicaraan dengan lebih mendalam, mengajak semua orang untuk berpikir lebih jauh tentang bagaimana cara kita sebagai individu dan masyarakat dapat membantu menciptakan perubahan positif dalam perspektif gender.
"Sebagai bagian dari komunitas ini, kita harus bisa menunjukkan bahwa perempuan bukan hanya dipandang sebagai objek atau pihak yang harus selalu dilindungi, tetapi sebagai individu yang setara, yang memiliki hak untuk memilih, berkarier, dan menjadi pemimpin di bidangnya masing-masing. Bagaimana pendapat kalian tentang hal ini?"
Shanum merasa semakin terinspirasi. Ia tahu bahwa perjuangan ini bukan hanya tentang berbicara, tetapi juga tentang bertindak. Komunitas "Puan Berkarya" memberinya kekuatan untuk tidak hanya mempertanyakan keadaan, tetapi juga untuk mengubahnya. Malam itu, diskusi yang berlangsung penuh semangat mengakhiri pertemuan mereka dengan pemahaman baru—bahwa kesetaraan gender dalam Islam bukan hanya masalah teori atau debat, tetapi sebuah kenyataan yang bisa diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.
Ketika pertemuan berakhir, Shanum dan Xabiru berjalan bersama keluar dari gedung. Mereka berbicara lebih lanjut, mengurai pemahaman masing-masing tentang apa yang baru saja dibahas.
"Aku seneng kita bisa berdiskusi kayak tadi," kata Xabiru, merasa ringan dengan pembicaraan yang telah terjadi dalam forum diskusi.
Shanum tersenyum, "Aku juga. Bener kata temen-temen, cara berpikir Kakak tajam banget. Pantas aja banyak pengagumnya."
Xabiru tertawa menanggapi perkataan Shanum. "Berarti kamu termasuk pengagumku?" Satu alis Xabiru terangkat, tersenyum miring saat mendapati pipi Shanum merona.
"Ih, siapa bilang?!" Shanum segera berpaling, berjalan cepat mendahului Xabiru. Jantungnya berdegup kencang. Oh Tuhan, jangan sampai Shanum terkena tipu daya senyum Xbiru yang memabukkan.
"Awas jatuh!" teriak Xabiru diiringi tawa renyah.
Saat langkah mereka melambat, Xabiru membuka pembicaraan lagi. "Eh, ngomong-ngomong, aku dengar Fakultas Dakwah bakal ngadain acara bedah buku dua minggu lagi. Kamu ikut terlibat, ya?"
Shanum menoleh, sedikit terkejut. "Iya, Kak. Aku sama Pak David jadi narasumbernya. Kok Kak Xabiru tahu?"
"Ya, aku kan suka cari tahu soal acara-acara kampus. Lagipula, menarik juga sih kalau kamu yang jadi pembicara," jawab Xabiru santai.
Shanum tersenyum kecil, lalu menjelaskan. "Iya, jadi acaranya bakal membedah dua buku: buku non-fiksi karya Pak David dan novelku. Temanya tentang perempuan teladan dalam Islam. Pak David bakal bahas dari sisi sejarah dan peran perempuan dalam dakwah, sementara aku lebih ke pendekatan fiksi untuk menginspirasi pembaca."
Xabiru mengangguk, matanya berbinar. "Keren banget. Tema itu relevan banget buat zaman sekarang. Udah siap materinya?"
"Sebagian besar sih udah. Tapi masih banyak yang perlu aku poles. Aku juga agak gugup, soalnya ini pertama kalinya aku jadi narasumber di acara sebesar ini," Shanum mengaku jujur.
Xabiru tersenyum, memberikan semangat. "Nggak usah gugup. Aku yakin kamu bakal bawainnya dengan baik. Kalau kamu butuh partner buat diskusi atau simulasi, kabarin aja aku."
Shanum tersenyum, merasa lebih percaya diri. "Makasih, Kak. Kalau aku butuh, aku pasti hubungi."
"Jangan cuma kalau butuh aja, dong," goda Xabiru sambil tersenyum miring, membuat Shanum tertawa kecil.
"Hisss," Shanum menggelengkan kepala, tapi hatinya terasa lebih ringan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro