BAB 3 - Kegelisahan Itu Datang Lagi
Hari itu terasa berbeda. Tidak ada angin yang berhembus lembut seperti biasanya, hanya terik matahari yang menyengat dan suhu yang terasa lebih panas dari biasanya. Di dalam ruang kuliah yang penuh sesak, Shanum duduk di salah satu bangku tengah dengan raut wajah yang sedikit lebih gelap dari biasanya. Diskusi tentang "Peran Perempuan dalam Dunia Pendidikan" yang sedang berlangsung di kelas seakan tak berpengaruh lagi. Suara dosen yang penuh semangat terasa begitu jauh. Semua yang ada di sekelilingnya serasa mengabur. Di kepalanya, bayangan tentang percakapan terakhir dengan ibunya masih berputar-putar, seperti lagu yang terus diputar tanpa henti.
Shanum tidak bisa mengabaikan kata-kata ibunya begitu saja. Ada rasa bersalah yang tumbuh perlahan-lahan. Ia tahu ibunya menginginkannya untuk lebih berhati-hati, untuk menjaga diri, terutama dengan keberaniannya dalam memperjuangkan hak-hak perempuan. Namun, di sisi lain, ia juga tahu, peran perempuan di masyarakat tidak akan berubah jika mereka terus terkurung dalam tembok-tembok ketakutan dan kehati-hatian. Perempuan harus berani keluar dari bayang-bayang patriarki yang mengekang. Dan Shanum merasa, dialah yang harus memulai langkah itu.
Shanum tersentak dari lamunannya saat sebuah gulungan kertas terlempar ke arahnya. Dia segera menoleh ke belakang, di belakangnya-Gempita, tersenyum lebar menampilkan deretan giginya yang rapi ke arah Shanum.
"Ngelamun mulu." Suara Gempita, teman dekatnya yang selalu duduk di belakangnya. Gempita tampaknya sangat mengantuk mendengarkan Pak Akmal terus berceloteh.
Sementara di sisi lain, ada Alika yang diam terpukau dengan cara Pak Akmal menjelaskan hasil penelitiannya tentang gender. Di kampus, Pak Akmal memang cukup terkenal di kalangan mahasiswa. Kepiawaian beliau dalam public speaking membuatkan dapat berteman dengan siapapun. Pak Akmal adalah seorang dosen yang cukup dihormati di kampus, dikenal sebagai pribadi yang intelektual dan penuh wibawa. Lalu, di kursi paling belakang, ada Sultan, teman sekelas Shanum yang kerap berselisih pendapat dengan Pak Akmal. Setiap mata kuliah berakhir, Pak Akmal memang sering menutupkan dengan obrolan seputar isu-isu yang tengah viral di sosisal media. Sebetulnya, tidak hanya dengan Pak Akmal saja, Shanum pun kerap berdebat dengan Sultan. Namun, meski sering berbeda pendapat tentang cara pendekatan yang harus diambil, Shanum merasa bahwa Sultan dapat memberi wawasan lebih luas lagi untuknya.
"Aku nggak melamun kok," jawab Shanum sambil sedikit tersenyum, meskipun hatinya masih merasa berat. "Cuma, kadang aku ngerasa capek aja. Kita udah ngomongin ini berulang-ulang, tapi apa yang berubah? Apa kita cuma terus berbicara di ruang yang sama dan nggak membuat perubahan nyata?"
Gempita menatapnya, lalu mengangguk paham. "Iya, aku ngerti perasaanmu. Tapi, coba lihat sisi positifnya, aku liat kamu lagi mencoba ngasih pemahaman baru, kamu lagi mencoba membuka mata orang-orang yang mungkin belum pernah mempertimbangkan hal ini. Aku rasa itu penting, Shanum. Perubahan itu butuh waktu. Jangan menyerah karena belum terlihat hasilnya."
Shanum mengangguk pelan, meskipun dalam hati, ia merasa sedikit tidak sabar. Ia ingin perubahan itu datang lebih cepat. Ia ingin dunia yang lebih adil bagi perempuan, dunia yang tidak menganggap keberanian seorang perempuan untuk berbicara itu sebagai hal yang aneh.
Jam kuliah pun berakhir, dan saat itu pula, suasana kampus terasa lebih riuh. Mahasiswa berlarian ke sana kemari, sebagian menuju kantin, sebagian lainnya menuju ruang diskusi, dan ada pula yang hanya duduk santai di taman kampus, mengobrol tentang hal-hal ringan. Shanum mengumpulkan barang-barangnya dengan cepat, berusaha menghindari obrolan yang tidak ingin didengarnya—bukan karena ia tidak peduli, tetapi karena ia tidak ingin terjebak dalam pembicaraan yang membuatnya merasa lebih tertekan.
Namun, langkahnya terhenti ketika ia melihat sekelompok mahasiswa berkumpul di depan papan pengumuman. Mereka tampaknya sedang berbicara dengan antusias tentang sesuatu. Beberapa di antaranya, yang dikenal sebagai teman sekelasnya, memandangnya dengan tatapan yang aneh. Ada yang memandangnya dengan rasa ingin tahu, sementara yang lain tampaknya menghindarinya. Shanum menghela napas, menahan rasa cemas yang mulai tumbuh di dadanya.
Shanum melihat Sultan sedang mempercepat langkahnya, menuju ke arahnya. Ia mendekati Shanum dan mengikuti arah pandangan perempuan itu. "Oh, itu yang kemarin," kata Sultan dengan nada datar. "Berita tentang kamu yang jadi pembicara di forum kemarin sama Pak David, ya?"
Shanum hanya mengangguk, meskipun hatinya semakin tidak nyaman. Beberapa hari terakhir, gosip tentang dirinya mulai beredar di kampus. Beberapa mahasiswa memuji keberaniannya, tetapi lebih banyak lagi yang meragukan tujuannya. Tidak jarang, ia mendengar bisik-bisik yang mengatakan bahwa ia terlalu vokal, terlalu berani, dan bahkan—jauh lebih menyakitkan—ada yang menyebutnya sebagai "perempuan yang mencoba menjadi laki-laki." Kalimat itu menyakitkan, bukan hanya karena merendahkan identitasnya sebagai perempuan, tetapi juga karena menyiratkan bahwa suara perempuan tidak memiliki tempat jika tidak mengikuti norma yang ada.
Sultan menepuk bahunya dengan lembut. "Mereka itu cuma nggak paham. Seharusnya kamu tau itu nggak akan mudah, kan? Aku pikir kamu terlalu buru-buru, Shanum. Lebih hati-hati lagi. Kamu bukan satu-satunya yang berjuang. Ingat, di luar sana ada banyak orang yang percaya pada apa yang kamu lakukan. "
Namun, kata-kata Sultan tidak mengurangi kegelisahan di hati Shanum. Ia tahu ia harus melawan perasaan ini, tetapi kadang-kadang, beban yang ia bawa terasa begitu berat. Menghadapi dunia yang tidak selalu menerima pandangannya, dan terkadang harus berseberangan dengan orang-orang terdekat, membuatnya merasa sendirian.
"Terima kasih sebelumnya. Tapi aku harus pergi."
Meninggalkan Sultan, Shanum berjalan menuju ruang radio kampus, tempat di mana ia merasa lebih bisa menjadi dirinya sendiri. Di sana, ia bisa berbicara tanpa batas, bisa menyuarakan segala hal yang ingin ia katakan tanpa merasa dibatasi oleh pandangan orang lain. Di ruang itu, ia merasa tidak ada yang menilai, hanya ada suara yang melintas di udara dan didengar oleh orang-orang yang memilih untuk mendengarkan.
Setelah memulai siaran, suasana hatinya sedikit lebih tenang. Ia menyadari bahwa, meskipun sulit, ia tidak bisa menyerah. "Selama perempuan masih dibungkam, kita tidak akan pernah tahu seberapa besar kekuatan kita," ucapnya dengan suara mantap di mikrofon. Shanum melanjutkan pembahasannya tentang pentingnya perempuan untuk berbicara dan mengambil peran lebih besar dalam masyarakat.
Namun, setelah siaran selesai, perasaan cemas itu kembali hadir. Ia merasa terisolasi, meskipun banyak yang mengagumi perjuangannya, tetapi banyak juga yang mencibirnya. Sebuah perasaan yang rumit, yang sering membuatnya merasa ragu, tetapi ia berusaha keras untuk mengabaikannya.
Setelah percakapan singkat itu, yang tidak menyisakan makna apa-apa, Shanum merasa seolah dunia kampusnya berubah. Ia merasakan adanya ketegangan yang sulit dijelaskan, sebuah ketidaknyamanan yang mulai menyelimuti dirinya. Sesuatu yang lebih besar, yang mungkin akan datang. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi yang pasti, langkahnya ke depan semakin penuh dengan tanda tanya. Dunia yang ia perjuangkan untuk perubahan, kini mulai menunjukkan wajah lain yang lebih gelap.
Shanum tahu, perjuangannya baru saja dimulai. Tetapi dengan apa yang ia alami sekarang, ia merasa ada lebih banyak yang harus ia hadapi sebelum bisa benar-benar mencapai tujuannya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro