Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 2 - Perempuan dan Literasi


Aroma matcha latte hangat menusuk indra penciuman Shanum dalam keheningan panjang menanti hujan reda. Usai berterimakasih pada pramusaji, gadis itu kembali menoleh ke arah jendela. Oh, Tuhan, Shanum tidak mampu menolak rayu kepulan uap yang berasal dari secangkir minuman yang memiliki rasa sedikit pahit di lidah tersebut. Meski matcha memiliki kandungan kafein yang lebih tinggi dibandingkan green tea, Shanum rasa itu tidak jadi masalah jika dikonsumsi secara tidak berlebihan. Shanum kira, pikirannya jadi lebih rileks usai menyeruput matcha.

Seharusnya, hari ini dia ada janji dengan teman kampusnya untuk membahas rencana talkshow di radio kampus. Sayang sekali, rencana itu gagal sebab orang yang akan menjadi narasumbernya punya kepentingan yang tidak bisa ditinggalkan. Alhasil, Shanum harus putar otak untuk mencari narasumber lain yang bisa diajak collab.

Tiba-tiba, ponsel Shanum bergetar. Bola matanya berbinar usai membaca sederet pesan dari orang yang sudah dia nanti-nantikan sejak seminggu yang lalu. Rasanya mirip seperti pasangan LDR baru mendapat kabar dari kekasih.

Kak Moza

Selamat siang, Shanum. Ini udah Kakak sunting. Silakan direvisi, ya. Maaf banget baru bisa kirim hari ini. Kemarin sempat ada kendala.

Shanum buru-buru membalas pesan dari editor Duta Media, tempatnya menerbitkan buku. Ini adalah buku ketiga yang dia terbitkan. Pembelinya tidak begitu banyak, tapi cukuplah untuk menambah uang jajan.

Oke, Kak Moza. Terima kasih udah bantuin sunting naskahku yang super berantakan.

Tidak. Ini belum selesai, prosesnya masih panjang. Setelah revisi nanti, Shanum masih harus berdiskusi dengan penerbit terkait menentukan proofreading, layout, dan sampul. Juga, tak lupa mengenai ISBN. Baru setelah itu novel dicetak untuk diperjualbelikan melalui sistem pre-order di awal.

Menulis menjadi salah satu bidang yang digeluti oleh Shanum sejak dua tahun terakhir. Awalnya, menulis hanya sebuah hobi yang Shanum manfaatkan untuk mengisi waktu luang. Namun seiring berjalannya waktu, pemikiran itu berubah. Dia ingin menjadikan literasi sebagai bentuk pengutaraan pendapat, berbagi ilmu, dan mengedukasi remaja-remaja sekolah agar mau berpikir maju. Awalnya, Shanum hanya menulis artikel di blog, sebelum akhirnya memutuskan untuk menulis novel fiksi maupun non-fiksi dengan remaja sebagai sasaran pembaca.

Semakin ke sini, gadis itu merasa bahwa perempuan dan literasi bisa menjadi salah satu acuan untuk memerdekakan hak perempuan. Seperti yang menjadi impiannya, Shanum ingin orang-orang menilai dirinya bukan dari rupa, melainkan dari karyanya.

"Shanum?"

Nyaris saja Shanum terjungkal dari kursi kalau saja Xabiru tidak menahannya. Ya Tuhan, betapa malunya tadi kalau gadis itu benar-benar terjungkal. Sakitnya tidak seberapa, malunya sampai ke ubun-ubun.

"Kak Biru, ish!"

"Astaga, maaf, maaf. Kamu sih ngelamun," seru lelaki jangkung yang saat ini sudah duduk di seberangnya tanpa permisi.

Shanum mendelik. Bisa-bisanya Xabiru menyalahkan dirinya. Padahal, jelas-jelas lelaki itu yang membuatnya terkejut hingga hampir terjatuh.

Bola mata Shanum berkilau memelototi Xabiru. "Sumpah, ini enggak lucu kalau sampai aku jatuh," gerutu gadis itu sambil memperbaiki posisi duduknya.

Xabiru tergelak. "Maaf, maaf. Niatku kan nyapa, bukan ngagetin."

Shanum menanggapi ucapan kakak tingkatnya tersebut dengan berdeham kecil. Dia kembali menyeruput matcha pesanannya hingga tersisa separuh gelas.

"Hujan-hujanan?" tanya Shanum sambil meneliti kemeja hitam Xabiru yang tampak basah hingga sedikit mencetak dada bidangnya.

Xabiru mengangguk lesu. Tangannya bergerak mengacak-acak rambut pirangnya yang basah akibat kehujanan. Lelaki dengan wajah blasteran Malaysia-Indonesia itu mirip sekali dengan perpaduan antara Bryan Domani dan Teuku Ryan.

"Kamu sendiri ngapain di sini sendirian? Udah dari tadi?"

"Niatnya mau ketemu sama Kak Syakira. Tapi enggak jadi." Shanum diam sejenak. Sebuah ide melintas di kepalanya, "Kak Xabiru mau bantuin aku, nggak? Kakak kan relasinya banyak ini, bantu aku cari narasumber untuk talkshow di radio kampus dong. Bingung mau minta tolong siapa lagi."

Xabiru mengetuk-ngetuk meja sambil sesekali mengerutkan kening. Dia sedang mengingat-ingat siapa yang bisa dia minta pertolongan. "Nanti deh ya aku cariin. Belum kepikiran yang cocok."

"Oke deh, terima kasih, ya.Omong-omong, besok pagi ke sekret, ya? Bersih-bersih sekalian ada yang mau dibahas."

"Iya. Tapi mungkin bakal telat datangnya. Aku ada kelas pagi sama siang."

"Iya, gampang."

Shanum kembali meneguk matchanya sambil memejamkan mata. Menikmati sensasi creamy, sedikit pahit, dan manis secara bersamaan. Lidahnya menjadi saksi bisu betapa nikmatnya meminum secangkir matcha hangat di udara yang cukup membuat bulu kuduk meremang karena dingin. Xabiru sendiri baru saja memesan kopi hitam. Baginya tidak ada yang lebih nikmat daripada itu. Ya, setiap orang memang punya selera yang beda, kan?

***

Keesokan harinya, Shanum datang ke sekret setelah selesai kuliah. Beruntung hari ini hanya ada dua mata kuliah dan bisa selesai siang. Jadi, begitu selesai Shanum bisa langsung ke sekret tanpa harus memikirkan kuliah sore yang cukup menguras tenaga dan pikiran.

"38, 39, 40, 41, 42-"

"Shanum, bisa ikut aku sebentar?"

Spontan, Shanum menoleh ke arah pintu saat seseorang memanggilnya.

"Ke mana, Kak?" tanya Shanum yang saat itu tengah sibuk menghitung gulungan-gulungan kertas kecil yang memenuhi mejanya. Xabiru bersandar di pintu sambil mengamati pergerakan Shanum.

Laki-laki itu langsung menarik ujung baju Shanum dan membawanya ke teras sekret. Beberapa orang masih belum selesai bersih-bersih di halaman. Dari kejauhan, Shanum bisa melihat Sonia dan Jo yang sedang menanam bunga. Bunga anggrek, sesuai dengan permintaan Xabiru kemarin.

"Semalam, Bu Tutik telpon, minta acaranya diundur jadi bulan depan. Soalnya ada sedikit masalah dari pihak sana. Menurutmu gimana?"

Shanum mengeryitkan kening. Masalah apa lagi ini? Persiapan tinggal sedikit lagi. Semua yang terlibat juga sudah siap. Baik dari pemateri maupun panitia. "Masalah apa kalau boleh tau?"

"Biasalah. Ada pihak yang merasa kegiatan ini enggak begitu penting. Kita dianggap masih bau kencur untuk memimpin kegiatan itu."

Shanum menaikkan sebelah alisnya, lalu tertawa kecil. Hal seperti itu sudah biasa terjadi. Kalau sudah begitu, Shanumlah yang akan turun tangan bersama Dina untuk membuat mereka mengerti. "Ya udah, nanti biar aku sama Kak Dina aja yang jelaskan sama mereka."

"Oke, tolong handle, ya." Tepat setelah Xabiru mengatakan itu, ponselnya berdering. Buru-buru dia angkat setelah melihat nama "Mama" tertera di layar ponsel.

Jadi, seminggu yang lalu mereka rapat internal. Mendiskusikan tentang program kerja bulanan. Pada agenda kali ini, mereka memutuskan untuk sosialisasi di Desa Kembang, yang letaknya tidak jauh dari kontrakan Jo. Kegiatan tersebut diisi dengan materi dan sosialisasi, dilanjut dengan menganalisis apa yang menjadi tujuan serta halangan dalam mengembangkan kegiatan sekolah masyarakat yang ada di Desa Kembang. Barulah setelah itu dicari solusinya bersama-sama.

Shanum kembali ke tempatnya, sebuah ruangan yang menyimpan data-data penting komunitas Puan Berkarya. Xabiru mengikutinya dari belakang, sambil menerima telepon. Raut wajah Shanum tiba-tiba berubah. Dia menggerutu sambil membereskan gulungan-gulungan kertas kecil yang dihitungnya tadi. "Aduh, udah berapa tadi, ya, hitungnya?"

Xabiru tak mampu menahan tawa usai mendengar gerutuan Shanum. Setelah panggilan telepon berakhir, Xabiru cepat-cepat memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. Lalu, membantu Shanum untuk kembali menghitung.

"Sini, sini, aku bantu."

Seharian itu, Xabiru, Sonia, Jo, Elkan, Alika, dan Fatia menghabiskan waktu di sekret dengan bersih-bersih, merapikan data-data juga arsip laporan kegiatan komunitas Puan Berkarya selama satu tahun terakhir.

Meski komunitas ini belum lama dibentuk serta anggotanya yang masih sedikit, tidak menyurutkan semangat mereka untuk bergerak. Itu sebab mereka semua dipertemukan oleh misi, tekad, dan tujuan yang sama, yaitu menyadarkan masyarakat tentang pentingnya eksistensi dan peran perempuan dalam segala bidang, serta mengembalikan hak perempuan yang selama ini masih dirasa abu-abu.

Kini, jarum jam telah menunjukkan pukul tujuh malam, dan semua orang bersiap-siap untuk pulang. Hari yang cukup penat karena mereka harus menyiapkan segala perlengkapan yang dibutuhkan untuk acara tiga hari lagi. Shanum keluar dari toilet usai membenahi hijabnya yang cukup licin, sehingga membuat rambutnya sering keluar. Huh, itu karena dia buru-buru sampai lupa memakai ciput.

Kening Shanum berkerut ketika gendang telinganya menangkap suara tangisan dari pojok ruangan menuju ruang tengah. Gadis itu ragu untuk melangkah ke asal suara. Ditambah, lampu toilet tampak remang-remang karena belum diperbaiki. Shanum menggeleng cepat, ah lagi pula tidak mungkin ada hantu di sekret. Dengan sisa keberanian yang dia punya, Shanum mengayunkan kakinya ke sana.

"Ya ampun, Kak Sonia! Sumpah, ya, nggak lucu. Nangis di pojokan bikin orang takut aja," sungut Shanum sambil berkacak pinggang di depan pelaku.

Sonia menyeka air matanya, lalu berdiri sambil tersenyum menampilkan deretan giginya yang rapi. "Maaf. Aku tuh habis lihat ini lho. Fiks sih, kamu harus lihat ini."

Shanum memutar bola matanya malas. Lantas, melihat ke arah ponsel yang menjadi alasan Sonia menangis. Sebuah pamflet berita terhangat hari itu lagi-lagi menambah duka perempuan di seluruh dunia.

Terkuak. Ketua UKM Seni Kampus Lavender sebagai pelaku kekerasan seksual pada dua anggotanya.

"Kurang ajar banget, kan, Shanum? Sumpah ya, aku jadi takut. Hampir setiap hari dapat berita kayak gini. Dunia makin tua, manusianya makin enggak waras." Terlihat sekali wajah Sonia memerah menahan emosi dan sedih secara bersamaan.

Shanum maju dan mengusap pelan bahu Sonia. Dia sama terlukanya seperti Sonia. Tentu saja, itu karena mereka sama-sama perempuan. Kaum mereka sedang disakiti secara fisik dan mental.

"It's okay. Jangan sedih. Isu ini yang menjadi salah satu alasan kita ada di komunitas ini. Jadi, jangan sampai kita jadi lemah. Justru kita harus makin semangat. Oke?"

Sonia mengangguk, lalu mengatur napas agar rasa sakit hatinya berangsur mereda. "Aku baliknya nebeng kamu, ya?"

"Tumben. Biasanya bareng Jo?"

"Lagi males aja. Pengen makan mie ayam di belakang kampus. Nanti mampir dulu, ya?"

"Siap."

Kangen aku nggak, nih? Hehe

I'm sorry to late post, ya. Semoga kalian masih pada setia nungguin update dari cerita ini.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro