BAB 1 - Ibu dan Kekhawatirannya
Shanum selalu merasa ada yang ganjil setiap kali meninggalkan rumah saat fajar baru saja menyentuh bumi. Matahari yang masih malu-malu, langit yang belum sepenuhnya cerah, selalu membuatnya merasa seolah berada di antara dua dunia. Dunia yang masih gelap, penuh kekhawatiran dan harapan yang dipendam. Dan dunia yang terang, di mana dia bisa berbicara lantang, mengungkapkan pendapatnya, dan menjadi siapa pun yang dia inginkan.
Pagi itu, seperti biasanya, dia melaju cepat mengendarai motor menuju kampus. Begitu sampai parkiran, kampus tampak tidak terlalu ramai, mungkin karena sebagian sudah masuk kelas. Suara sepatu yang beradu dengan aspal menjadi irama semangat yang mengiringi langkahnya. Di matanya, kampus adalah ruang yang menantang. Sebuah medan perang di mana dia harus selalu siap menghadapi segala anggapan sempit tentang peran perempuan di masyarakat. Di sana, di tengah ribuan mahasiswa, dia merasa seperti satu-satunya orang yang berani berbicara tentang kesetaraan. Dia percaya, diskusi tentang gender, hak perempuan, dan suara perempuan harus terus didengungkan. Tidak peduli seberapa keras dunia menekan atau berusaha menutupnya. Shanum tidak sedang berbicara tentang feminisme, tapi lebih dari itu. Sebagaimana Islam mengajarkan manusia untuk saling memahami dan menghormati kodratnya.
Namun, seiring dengan langkah kaki menuju ruang siaran, bayangan rumah yang ditinggalkan semakin mengganggu pikirannya. Rumah yang di dalamnya, ibunya—Sekar—selalu memperingatkan Shanum untuk menjaga diri. "Apa yang orang lain pikirkan itu penting," begitu kata ibunya, hampir setiap hari, dengan nada yang tidak bisa dia abaikan. Bukan tanpa alasan. Ibu dan ayahnya sangat khawatir dengan kehidupan kampus Shanum yang semakin banyak menghabiskan waktu bersama teman-teman aktivis dan diskusi-diskusi yang dianggap tidak wajar bagi perempuan seusianya.
Sekar selalu menekankan pentingnya menjaga kehormatan, menjaga diri dari dunia luar yang menurutnya bisa membahayakan seorang perempuan. Dunia yang dipandangnya sebagai tempat penuh ancaman bagi perempuan muda yang terbuka dan vokal.
"Shanum, kamu perempuan. Ada banyak cara untuk menjadi kuat tanpa harus menjadi seperti laki-laki," pesan ibunya suatu malam. Shanum ingat betul, saat itu Sekar berbicara dengan suara pelan namun penuh penekanan, seolah dunia akan runtuh jika ia tidak mengubah jalan hidupnya.
"Kalau kuat yang Ibu maksud adalah lantang bersuara, perempuannya juga berhak, Ibu. Shanum rasa Ibu salah paham sama tindakan yang Shanum ambil."
"Shanum, kamu nggak tau seberapa besar ancaman di luar sana untuk perempuan seperti kamu."
Shanum menggelengkan kepala, menepis segala pikiran yang mencoba menguasai hatinya. Dia tahu betul bahwa dalam hatinya, dia adalah perempuan yang ingin lebih dari sekadar mematuhi peraturan dunia yang sempit. Dia ingin menjadi bagian dari perubahan, bukan hanya penonton dalam cerita yang ditulis oleh orang lain.
Hari ini, seperti biasa, dia akan menyampaikan pendapat di radio kampus. Radio yang menjadi saluran suaranya untuk menyuarakan apa yang dia yakini. Mungkin dia masih muda, mungkin suaranya belum cukup kuat, tetapi dia yakin suara itu penting. Karena di balik setiap kata yang dia ucapkan, ada perempuan-perempuan lain yang juga ingin berbicara, tetapi terhalang oleh rasa takut dan kecemasan. Beruntunglah jurusannya menyediakan studio radio yang dibina langsung oleh Pak Galang—dosen Broadcasting.
Langkahnya semakin cepat menuju ruang siaran, ruang yang terasa seperti panggung besar di dunia kecilnya. Ketika pintu ruang siaran itu terbuka, semua kekhawatiran yang datang sejak pagi seolah hilang. Shanum tahu, di balik mikrofon itu, dia bisa menjadi siapa saja yang dia inginkan—seorang jurnalis, seorang pejuang, juga seorang wanita yang tidak takut untuk bersuara.
"Shanum!"
Langkah Shanum terhenti di depan pintu, pandangannya kini tertuju pada seseorang yang tengah berjalan cepat ke arahnya.
"Eh, Pak David, ada apa?" Shanum menunduk sopan di hadapan Pak David, dosen mata kuliah Psikologi Komunikasi Islam di jurusannya.
"Buku yang mau kamu pinjam sudah saya bawa, nanti ambil saja di ruangan saya."
Ah, Shanum baru ingat. Kemarin usai jam kuliah dia memang sempat bertemu dengan Pak David untuk meminjam buku yang dia lihat di postingan sosial media milik dosennya tersebut. Pak David, selain menjadi dosen, beliau juga seorang penulis.
"Wah, terima kasih ya, Pak, sudah repot-repot mau bawain bukunya."
"Sama-sama. Tapi, yang saya minta kemarin, bisa, kan?" tanya Pak David diiringi senyum penuh arti.
Shanum sedikit ragu, tapi akhirnya memilih untuk mengangguk sebagai balasan terima kasih karena Pak David sudah meminjamkan buku secara cuma-cuma untuknya.
Mengingat bahwa Xabiru sudah menunggunya di ruang siaran, Shanum bergegas pamit meninggalkan Pak David, membuka pintu lebar-lebar.
"Kak, sorry, lama, ya ...?"
Xabiru yang sibuk dengan ponselnya pun menoleh. "Hai, Shan. Santai aja, masih ada banyak waktu untuk diskusiin materi yang bakal kita angkat hari ini."
Mereka pun mulai breafing untuk persiapan siaran.
"Oke, kita mulai, ya?"
(Opening Jingle)
Shanum menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan.
"Assalamualaikum. Selamat pagi, sahabat Inspiners di mana pun kalian berada! Seperti biasa, setiap hari Rabu, saya Shanum, akan mengisi pagi kalian dengan Bincang Puan. Tentunya, kali ini saya bawa tamu spesial untuk kalian."
"Hai, aku Xabiru, yang menyapa kalian dengan penuh cinta dari frekuensi terbaik, Inspiradio 90 FM, tentunya bersama announcer terbaik kita, yaitu Kak Shanum."
"Teman-teman pasti tau kan beberapa hari lagi akan ada hari spesial? Yaps, betul sekali. Minggu nanti, tepatnya tanggal 22 Desember adalah perayaan Hari Ibu."
Shanum kembali mengingat masa kecilnya, saat Sekar—ibunya, rela tubuhnya basah kuyup kehujanan di atas motor sementara Shanum yang saat itu baru berusia tujuh tahun duduk di belakangnya sambil merekatkan mantel hujan yang kalau tidak dipegang erat-erat topinya akan tertarik ke belakang karena angin kencang. Shanum rindu masa kecil itu.
"Sebagai seorang perempuan, saya merasa Hari Ibu adalah pengingat betapa besar cinta dan perjuangan seorang ibu. Saya sering berpikir, apakah kita sudah cukup menghargai ibu kita yang selalu menjadi tempat kita kembali, tanpa meminta apa-apa sebagai balasan? Kalau menurut Kak Xabiru gimana?"
"Kalau menurut saya sebagai laki-laki tentunya, momen Hari Ibu ini menjadimomen refleksi untuk saya dan mungkin seluruh laki-laki di dunia ini bahwasannya ibu bukan hanya sosok yang melahirkan kita, tapi juga mentor,sahabat, dan sumber kekuatan yang tidak tergantikan."
Shanum mengambil alih program, "Nah, di programspesial kali ini, kita akan mengupas makna Hari Ibu lebih dalam, termasukpentingnya peran ibu dalam membangun peradaban manusia."
"Perlu teman-teman sadari bahwa Hari Ibu memiliki makna yang lebih mendalam karena berkaitan dengan pengakuan terhadap peran fundamental ibu dalam membentuk masyarakat dan peradaban. Seorang ibu tidak hanya berperan sebagai pengasuh atau pemberi kasih sayang, tetapi juga sebagai pendidik pertama bagi anak-anaknya. Melalui kasih sayang dan keteguhan hatinya, ibu memberikan pondasi emosional dan moral yang kuat bagi tumbuh kembang anak."
Xabiru menambahkan, "Nah selain itu, Kak Shanum, makna Hari Ibu juga mencakup pengakuan atas pengorbanan yang sering kali tidak terlihat. Ibu seringkali menghadapi tantangan fisik, mental, dan emosional dalam merawat dan mendidik anak-anak, banyak di antaranya yang dilakukan dengan penuh ketulusan tanpa mengharapkan imbalan. Dalam banyak budaya, ibu merupakan simbol ketahanan, pengorbanan, dan kasih tak bersyarat."
"Dan kalau kita gali lebih dalam, Hari Ibu juga memberi kesadaran akan pentingnya pemberdayaan perempuan. Menghargai peran ibu berarti mengakui kontribusi perempuan dalam keluarga, masyarakat, dan dunia secara keseluruhan. Ini adalah kesempatan untuk menghormati hak-hak ibu, baik yang sudah berkeluarga maupun yang belum, serta memastikan mereka mendapatkan dukungan, penghargaan, dan kesempatan yang setara dalam berbagai aspek kehidupan," tambah Shanum.
Xabiru, dengan suaranya yang lugas, kembali menambahkan, "Dengan demikian, Hari Ibu bukan hanya tentang memberi ucapan atau hadiah, tetapi juga tentang refleksi lebih dalam mengenai peran ibu dalam kehidupan kita dan dalam masyarakat secara umum. Hargailah ibu selagi beliau masih ada. Ucapkan terima kasih, berikan pelukan, atau sekadar waktu untuk mendengarkan cerita beliau. Karena sering kali, hal kecil seperti itu sangat berarti bagi seorang ibu."
Siaran terus berlangsung, hingga tak terasa sudah dua jam mereka saling menyuaran pendapat lewat mikrofon masing-masing.
"Dan dari saya, seorang perempuan yang juga terinspirasi oleh sosok ibu, mari kita jadikan Hari Ibu ini sebagai momentum untuk lebih menghargai dan mencintai ibu kita, tidak hanya hari ini, tetapi setiap hari."
(Closing Jingle)
"Saya, Shanum."
"Dan saya, Xabiru."
"Kami pamit undur diri. Sampai jumpa di program berikutnya. See you ...."
Xabiru tampak begitu puas dengan siaran mereka kali ini. Apalagi, Shanum memberinya banyak ilmu seputar siaran radio. Kini, keduanya berjalan beriringan, hingga langkah mereka berhenti di persimpangan untuk berpisah menuju aktivitas selanjutnya.
"Terima kasih banget ya, Shan. Yang tadi itu seru banget, aku nggak ekspek kalau ternyata di balik sosok Shanum yang kelihatannya pendiam, ternyata menyimpan suara yang lantang. Jangan kapok undang aku, ya?"
Shanum tersenyum tipis menanggapi ucapan Xabiru. "Kayaknya aku deh yang seharusnya berterima kasih sama Kakak. Karena obrolan di radio tadi cukup banyak ngasih aku ilmu baru. udah gitu obrolannya ngalir, sampe nggak kerasa udah dua jam."
Xabiru mengangguk setuju. "Mungkin lain waktu kita bakal lebih sering ketemu di forum komunitas. Aku harap kita bisa berdiskusi lebih banyak. So, aku duluan, ya? Udah ada janji sama anak-anak di kantin."
"Oke, see you."
***
Shanum pulang saat matahari mulai meredup dan langit berubah warna. Begitu sampai di depan pintu rumah, dia merasa ada sesuatu yang berat menahan langkahnya. Rumah yang seharusnya menjadi tempat pulang, kini terasa seperti sangkar yang mengurungnya. Ibunya sudah menunggu di teras, ekspresinya tidak berubah dari biasanya: penuh kecemasan.
"Assalamualaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Shanum menyalami punggung tangan Sekar, lalu meneruskan langkahnya ke dalam rumah. Sekar mengikutinya dari belakang.
"Ada apa, Bu?" tanya Shanum, meskipun dia sudah bisa menebak apa yang akan terjadi.
Sekar menatapnya dengan tatapan yang campur aduk—cinta, khawatir, dan ketegasan yang terkadang terasa seperti tekanan. "Shanum, kamu tahu kan apa yang orang-orang bicarakan tentang kamu? Mereka mengatakan kamu itu perempuan yang nggak wajar. Kamu harusnya lebih berhati-hati dengan langkahmu."
"Memang mereka ngomong apa lagi?"
"Shanum, Ibu minta kamu berpakaian syar'i supaya kamu juga menjaga batasan. Tapi yang orang-orang lihat, kamu seperti melewati batasan. Kamu perempuan, seharusnya lebih sering di rumah."
Shanum menghela napas, mencoba menenangkan dirinya. "Batasan yang seperti apa, Bu? Selama ini Shanum berusaha menjaga batasan Shanum dengan laki-laki. Shanum juga nggak pacaran. Shanum belajar menutup aurat dan berusaha nurut apa kata Ibu."
"Perempuan harus lemah lembut, Shanum. Jangan bertindak melebihi laki-laki."
Jujur saja, Shanum sudah sangat lelah setelah seharian beraktivitas. dia sungguh ingin segera mandi, salat, lalu memanjakan diri di atas kasur.
"Bu-"
"Jangan sampai orang-orang melihat kamu dengan cara yang salah, Shanum."
Ada jeda sebentar sebelum Sekar kembali melanjutkan, "Kalau tau kamu bakal semakin nggak terkontrol begini, dari awal Ibu nggak akan izinin kamu ikut komunitas itu."
Kata-kata itu terasa begitu berat, begitu penuh beban. Shanum menatap ibunya, matanya yang biasanya penuh dengan kasih sayang kini terlihat lelah, seperti orang yang sudah terlalu lama memikul beban hidup. Ia ingin berbicara lebih banyak, tetapi bibirnya terkunci. Dia tahu, ibu dan ayahnya hanya ingin yang terbaik untuknya. Namun mereka tidak mengerti, dunia yang mereka ingin lindungi darinya adalah dunia yang sudah lama dia jalani. Dan Shanum tidak bisa mundur sekarang.
"Aku tahu, Bu," kata Shanum akhirnya, sambil menghela napas panjang. "Tapi Shanum nggak bisa berhenti. Shanum akan terus melangkah, karena ini jalan yang Shanum pilih. Shanum pengin dunia tahu bahwa kita—perempuan—juga punya hak untuk berbicara, untuk menentukan pilihan kita sendiri."
Sekar terdiam, matanya berkaca-kaca. Da ingin mengatakan sesuatu, tetapi kata-kata itu terhenti di tenggorokannya. Dia tahu, mungkin sekarang bukan waktu yang tepat untuk menangis. Dia hanya bisa berharap, suatu saat, Shanum akan mengerti betapa besar kekhawatiran yang dia rasakan.
Shanum masuk ke kamarnya, menutup pintu dengan pelan. Dia melemparkan dirinya ke atas kasur, matanya menatap langit-langit kamar yang sepi. Marah, itu yang dia rasakan. Ketika mengingat kejadian itu, rasanya hatinya masih bergejolak, tetapi dia tahu satu hal—perjuangannya baru saja dimulai. Tidak peduli apapun yang orang lain katakan, dia akan terus berbicara. Karena dalam diamnya, dunia tetap akan berjalan. Dan jika dia tidak mengubahnya, siapa lagi?
______________________________________________
Haiiiiii
Maaf banget up-nya malam-malam gini
Anyway, semoga kalian suka ya sama bab 1 nya. Hm, agak takut aja sebenernya buat angkat cerita kayak gini. Overall, gapapa deh ya. Semoga cerita ini bisa jadi motivasi buat kita semua, khususnya kaum hawa.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro