Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 9 : Perempuan Baik-Baik

Setiap manusia diciptakan berpasang-pasangan, tetapi bukan berarti mereka selalu sepadan, kecuali dalam kebaikan. Namun, satu hal yang pasti, mereka diciptakan untuk saling melengkapi.

💮💮💮

Suara perempuan mengaji menyambut kepulangan Rahman sore itu. Rutinitas yang mulai ia sadari dan sukai. Ada ketenangan tersendiri mendengar lantunan ayat-ayat suci tersebut, sekalipun suara Maudy-lah yang mengucapkannya.

Rahman mengucap salam pelan agar tak mengganggu kegiatan Maudy, walaupun sebenarnya sang istri wajib mendengar agar bisa membalasnya. Ia merebahkan punggung di kursi ruang tamu. Pesanan katering hari ini berasal dari tempat yang cukup jauh. Ia harus berkendara satu jam ke luar kota, dan bertambah lama ketika terjadi kecelakaan yang menghambat lalu lintas hingga beberapa jam. Beruntung pesanan yang dikirim adalah makanan kering, sesuai permintaan pemesan, sehingga ia tidak takut makanannya tidak sesegar saat dikemas ketika tiba di tempat tujuan.

Suara mengaji itu lalu terhenti. Maudy mendengar kedatangan sang suami dan mengakhiri kegiatannya. Tak lama kemudian, terdengar langkah kakinya keluar dari kamar sang ibu -tempat favoritnya untuk mengaji.

"Mas Rahman sudah datang. Maaf, aku baru dengar," ujar Maudy begitu mendapati sang suami duduk di ruang tamu. Ia lalu bergegas menuju dapur dan membuatkan Rahman segelas teh manis hangat.

Sebelum minuman itu selesai dibuat, Rahman beranjak dari tempatnya menuju dapur mengikuti sang istri. Ia kemudian duduk di kursi panjang dan menatap Maudy yang masih sibuk menuang air panas ke gelas.

"Kamu ngadu ke ibu soal hubungan kita?" tanyanya tanpa basa-basi. Namun, sebelumnya ia memastikan sang mertua yang baru pulang dari rumah sakit sedang tidur sehingga tak akan mendengar percakapan mereka.

Gerakan tangan Maudy terhenti. Namun, ia menjawab pertanyaan Rahman tanpa menoleh dan menatap sang lawan bicara.

"Nggak, Mas."

"Terus, darimana ibu tahu? Cuma aku atau kamu yang bisa. Dan, aku jelas nggak ngomong apa pun ke ibu." Rahman merasa lelah selepas terjebak dalam kemacetan cukup lama, tetapi ia tidak merasa perlu menunda untuk menginterogasi sang istri.

Maudy tetap melanjutkan membuat teh. Namun, sembari mengaduk gula yang baru saja ia tuang ke dalamnya, ia merasa sakit meski tidak ada bagian tubuhnya yang terluka. Tak lain karena Rahman dengan jelas menuduhnya melakukan sesuatu yang bukan ulahnya.

"Kenapa Mas nggak tanya langsung sama Ibu?" Maudy menyajikan teh pada Rahman dengan ekspresi tenang, alih-alih marah. Dia sama sekali tidak berniat berdebat apalagi bertengkar dengan suaminya.

"Ibu pasti bela kamu," jawab Rahman. "Selalu begitu."

"Ibu nggak akan asal bela orang, Mas," celetuk Maudy, membuat Rahman yang tadinya masih bersikap tenang seketika tersulut emosi.

"Jadi, maksudnya Ibu bela kamu karena aku yang salah?"

"Bukan begitu, Mas," Maudy berusaha menjelaskan agar emosi sang suami tak berlanjut menjadi amarah, "belum tentu juga aku yang akan Ibu bela."

Rahman mendengkus. Baginya ketenangan Maudy menghadapi sang suami hanyalah sebuah kepura-puraan. Semua hanya demi pandangan orang agar tak menilainya buruk. Karena seberubah apa pun Maudy sekarang, Rahman yakin masih ada sifat sombong dan susah diatur yang dulu dimiliki gadis itu. Semuanya hanya tengah ditutupi dengan kebaikan yang entah nyata atau hanya sandiwara.

Bagi Rahman, seseorang tidak bisa disebut baik hanya karena dia berhijab dan bisa mengaji. Satu-satunya hal yang membuat Rahman merasa ada perubahan dalam diri Maudy hanyalah tanggung jawab gadis itu dalam merawat sang ibu yang sakit.

"Sebenarnya mau kamu apa, sih?" Rahman merendahkan nada suaranya. Mendadak teringat jika ia tidak boleh sampai membangunkan sang ibu mertua. "Pernikahan kita, kamu bisa menolak tapi kamu menerimanya. Dan saat kita sudah menikah, aku semakin tahu ini bukan yang kamu inginkan."

Maudy terdiam, tetapi kemudian tersenyum. Ada kebenaran dalam pernyataan Rahman, tetapi terdapat pula kesalahan. Maudy memang bisa menolak keinginan Lukman Hussein, tetapi pernikahan adalah sesuatu yang memang Maudy inginkan, terlepas dari siapa ia akan menghabiskan hidup.

"Mas, aku rasa kita tidak perlu membahas ini. Aku tidak pernah mengadu apa pun kepada siapa pun," tukas Maudy. Tempatnya berkeluh kesah hanya Allah SWT, sekalipun di mata orang lain dia mungkin tidak dianggap seperti itu. Hijrah adalah perjalanan panjang dan sulit. Maudy memahaminya.

"Kalau begitu Ibu nggak seharusnya tahu," Rahman masih bersikukuh. Namun, Maudy juga tetap bersikap tenang.

"Sebaiknya Mas Rahman minum dulu, setelah itu tanya langsung sama Ibu." Maudy mengangsurkan gelas berisi teh yang sedari tadi belum Rahman sentuh, lalu meninggalkan sang suami yang masih tak habis pikir dengan sikap tenangnya.

***

Menanyakan langsung pada Nurul Aini tentang kecurigaan Rahman pada Maudy bukan hal mudah. Sama saja dengan mencari mati. Bukannya mendapat jawaban, Rahman justru akan dihadiahi lebih banyak pertanyaan. Jika beruntung, Rahman juga bisa memperoleh kuliah agama.

Rahman tidak menginginkan hal itu. Karenanya, ketika salah satu tamu yang datang untuk memesan katering adalah mantan teman kuliahnya dulu, Rahman mengajaknya ngobrol. Mengalihkan pikirannya dari segala hal tentang Maudy.

Teman Rahman itu bernama Joko, salah satu teman yang ia kenal alim dan bisa menjaga pergaulan dengan baik. Joko juga supel, tidak seperti Rahman yang lebih membatasi diri dalam bergaul.

Joko datang bersama istrinya. Seorang perempuan cantik berkerudung putih yang belakangan baru Rahman sadari jati dirinya. Dan, hal tersebut membuatnya terkejut. Setelah saling bertukar kabar, ia pun memberanikan diri bertanya tentang istri Joko.

"Kamu nikah sama Mira?" tanya Rahman pada Joko dengan suara pelan. Perempuan yang dimaksud -istri Joko- tengah berbincang dengan Nurul Aini beberapa meter dari mereka. "Mira yang terkenal itu?"

Joko mengangguk. Tanpa perlu memperjelas kalimatnya, ia tahu maksud dari pertanyaan Rahman. Mira, istrinya dulu memang terkenal di kampus mereka. Sayangnya, bukan dalam artian yang baik. Mira lebih dikenal sebagai gadis hedon yang pergaulannya terlalu bebas.

"Jodoh memang ajaib, ya?" tanya Joko balik sembari memandang sang istri dari kejauhan.

"Ajaib banget. Aku nggak nyangka kalian bakal nikah. Kamu yang alim dan Mira yang ---."

"Dia sudah berubah sebelum menikah sama aku, Man. Aku sendiri dulu juga nggak percaya," potong Joko.

"Aku harap itu bener, Jok. Soalnya kita nggak bisa menjaminnya hanya dari penampilan." Rahman tanpa sadar mengatakan hal yang sejatinya tertuju untuk kehidupannya sendiri. Tentang keraguannya akan Maudy.

Ucapan Rahman yang terkesan menilai buruk Mira bisa saja memancing emosi Joko, tetapi laki-laki itu justru tersenyum dan menjawab dengan tenang.

"Memang. Tapi perubahan sesungguhnya terjadi di dalam diri. Cuma Allah dan si manusia yang bersangkutan yang tahu pasti. Kita, orang lain, lebih suka mengira-ngira yang seringnya justru salah."

Seharusnya pernyataan Joko tersebut menghentikan Rahman dari pikiran sempitnya mengenai orang-orang dengan masa lalu buruk. Namun, selalu ada celah yang membuatnya memiliki alasan untuk tetap berargumen. Kali ini ia menahan diri hanya karena perempuan yang dibicarakan adalah istri temannya.

"Yah, sepertinya Mira memang sudah berubah. Kulihat kamu juga makin bahagia aja." Rahman memilih mengakhiri topik awal. Berpikir jika tidak seharusnya ia menyamakan apa yang ia hadapi dengan kondisi orang lain.

Joko tertawa kecil, lalu menjawab dengan alasan kedatangannya memesan katering. Untuk akikah anak keduanya yang baru lahir. "Jelas bahagia, Man. Anakku udah dua."

Rahman berharap bisa menemukan alasan yang sama untuk bahagia. Akan tetapi, jangankan memiliki anak, ia saja tidak pernah menyentuh Maudy. Perasaannya pada gadis itu juga lebih pantas disebut kejengkelan daripada rasa cinta.

"Aku rasa sedikit banyak perubahan baik Mira juga karena kamu, Jok."

Kali ini Joko menggeleng. Di bibirnya terulas senyum, tertuju pada sang istri yang tengah menoleh ke arahnya. Mereka bertukar pandang sebelum ucapan Nurul Aini kembali mengambil alih perhatian Mira.

"Kamu tahu, kan, Man, prinsip tentang jodoh yang sering kita dengar? Bahwa laki-laki baik-baik untuk perempuan baik-baik dan sebaliknya?" Rahman segera mengangguk mengiakan, sebelum Joko kembali melanjutkan ucapannya. "Tapi menurutku itu tergantung dari mana kita memandang posisi kita. Di hidupku, Mira-lah perempuan baik-baiknya. Aku cuma lelaki biasa yang beruntung karena terus berusaha menjadi baik."

Rahman terdiam. Dia tidak memiliki pandangan yang sama dengan Joko meski mereka sama-sama mengetahui prinsip tersebut. Selama ini, Rahman selalu berpikir Allah tidak menghargai usahanya menjadi baik dengan menjadikan Maudy sebagai istrinya. Maudy yang di mata Rahman tidak sebaik keinginannya. Tidak pernah terlintas di benaknya bahwa jika Maudy bukan perempuan baik-baik maka begitu pulalah dirinya.

Namun, kini fakta itu muncul dengan begitu jelas. Menghantam isi kepala Rahman dengan telak karena setelahnya ia hanya terdiam. Membiarkan kalimat itu terngiang-ngiang dan menghantui.

Rahman juga bukan lelaki baik-baik.

***

Guys, masih sebel nggak, sih, sama Rahman?

Salam Baca 😉
Suki

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro