Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 7 : Reuni

Orang yang berani, mengatakan ia marah karena tidak puas dan kecewa, bahkan atas dirinya sendiri. Namun, seorang pengecut menyalahkan orang lain saat ia marah atas kegagalan yang ia sadari sebagai kesalahannya sendiri.

💮💮💮

Maudy terpekur memandangi undangan di tangannya. Benda berwarna biru muda itu tergeletak begitu saja di atas nakas samping tempat tidur. Ia ingat Rahman hanya sempat membacanya sejenak sebelum meninggalkan undangan itu di sana.

Sebuah undangan reuni SMA Rahman. Tertera dengan jelas waktu serta tempat diadakannya acara tersebut. Sore ini. Tiba-tiba saja perasaan Maudy tergelitik oleh rasa penasaran. Maukah Rahman mendengarkannya untuk tak datang?

Sebenarnya tidak ada yang istimewa dengan acara reuni. Menurut Maudy, itu hanya kegiatan kumpul-kumpul berkedok silaturahmi yang seringkali justru menimbulkan lebih banyak masalah. Cinta lama bersemi kembali seringnya, seperti yang terjadi padanya beberapa tahun silam.

Memori Maudy menuju sebuah hari berlangsungnya reuni SMA-nya. Tepat dua tahun setelah ia tersandung aib dan keluarganya terpuruk. Butuh keberanian besar bagi Maudy ketika memutuskan untuk datang. Hampir semua teman-temannya sudah mengetahui skandal yang menimpa Maudy, itu adalah rahasia umum. Datang ke sana sama saja dengan menyetor muka untuk mendapat cibiran dan caci maki. Namun, Maudy telah berubah. Ia bukan lagi gadis kaya manja dan sombong yang hobinya mematahkan hati para pemuda dengan penolakan. Tidak ada lagi yang bisa dibanggakannya, tetapi keputusan untuk hijrah memberi Maudy tujuan lain.

Maudy ingin membuka lembaran baru dalam hidupnya. Melupakan fakta jika pernah menyakiti hati banyak orang. Bahwa ia pernah digelandang warga dengan pemuda yang tadinya ia pikir mencintainya. Ia hanya memenuhi memorinya dengan harapan untuk kehidupan yang lebih baik, sekalipun sederhana. Kedatangannya ke acara itu adalah sebuah langkah, meski ia tahu kenyataan mungkin tak sesimpel itu.

Cibiran demi cibiran sontak terdengar begitu Maudy menampakkan diri di hadapan teman-temannya kala itu. Ingatan yang sangat jelas. Bahkan, seseorang yang pernah dianggapnya sahabat justru tak mau mendekatinya untuk sekadar menyapa. Maudy sendirian dan dihujani tatapan kasihan atau meremehkan. Bisik-bisik mencemooh, ketakutan akan Maudy menggoda dan mengambil milik mereka juga jelas terdengar. Maudy benar-benar telah dianggap sebagai perempuan paling hina di sana. Namun yang paling melukai hatinya adalah sebuah kalimat tak terduga dari salah satu teman laki-lakinya. Seseorang yang dulu pernah berstatus kekasih, meski hanya seumur jagung.

"Dy, kamu punya nomorku, kan? Telepon aku, ya? Aku tahu tempat yang bagus buat malam yang hebat."

Hanya tersirat, tetapi Maudy tak perlu bertanya lebih jauh untuk mengetahui makna kalimat tersebut. Bahkan hijab yang ia kenakan pun tak mampu meredam pandangan negatif seseorang atas apa yang sudah terjadi padanya. Mereka hanya melihatnya lewat kesalahan yang pernah Maudy perbuat. Tidak ada yang menatap mata Maudy dan menemukan penyesalan yang begitu dalam di sana. Dan, tanpa perlu berpikir panjang, langkahnya berderap meninggalkan reuni tersebut.

Reuni itu hanya acara bodoh. Begitulah yang Maudy yakini. Keyakinan itu membuatnya tak rela sang suami menghadiri acara tersebut. Tempat, waktu dan orang-orang yang akan Rahman temui memang berbeda, tetapi keburukan yang akan ia temui di sana jelas tak jauh beda. Apalagi sekarang dengan status Rahman sebagai suami Maudy.

"Mas Rahman mau datang ke reuni?" Tiba-tiba saja keberanian itu muncul tepat saat Rahman memasuki kamar. Ia baru saja mandi dan bersiap untuk berganti pakaian. Rahman sengaja meminta pulang lebih awal pada sang ibu untuk menghadiri reuni tersebut.

"Ya," jawab Rahman tak acuh. Langkahnya mengarah pada lemari pakaian, membukanya dan memilih isinya.

"Sebaiknya Mas nggak datang," Keberanian kedua ikut muncul, untuk pertama kalinya melarang Rahman melakukan sesuatu.

Respon pertama Rahman adalah menoleh dengan cepat dan menatap Maudy heran.

"Kenapa?"

"Mas nggak akan nyaman di sana," Maudy berusaha merangkai jawaban yang tepat, tetapi berakhir dengan kalimat yang tidak meyakinkan.

Rahman mengernyit. Tatapan herannya seolah bertambah tebal.

"Kamu pernah ke tempat itu?"

"Bukan itu maksudku. Suasananya, orang-orangnya. Aku yakin Mas nggak akan nyaman."

"Mereka itu teman-teman SMA-ku. Aku kenal hampir semuanya. Kami mungkin lama nggak ketemu, tapi ucapanmu itu nggak masuk akal." Rahman menjawab sembari mengambil sebuah kemeja flanel polos berwarna biru.

Maudy terdiam sejenak. Hubungannya dengan Rahman mungkin tak sedekat seharusnya, tetapi mereka tetaplah suami istri. Maudy merasa wajib menjaga sang suami dari hal-hal buruk, sayangnya memang tak ada celah yang bagus dalam hubungan mereka untuk membicarakan hal tersebut.

"Aku pernah ke reuni. Yang aku dapati cuma kecurigaan-kecurigaan tak berdasar dan peluang-peluang berbuat kesalahan."

Maudy tidak tahu kenapa kalimatnya justru terdengar semakin rumit. Namun, ia tidak peduli selama Rahman bisa memahaminya.

"Contohnya?" Rahman bertanya sembari mengganti kaus yang ia pakai dengan kemeja tadi. Tak ada kecanggungan meski ia dan Maudy bukanlah sepenuhnya suami istri seperti orang kebanyakan. Hubungan mereka lebih seperti ketidakpedulian, apalagi terhadap hal-hal kecil semacam ganti baju di hadapan pasangan. Meski untuk soal itu masih ada pengecualian dari Maudy.

"Laki-laki beristri yang mencari-cari alasan untuk menghubungi mantannya di sekolah. Perempuan bersuami yang merasa sahabatnya lebih cantik dan takut pasangannya akan direbut," terang Maudy. Berharap penjelasannya cukup.

Rahman tak segera merespon. Ia menatap Maudy sejenak sebelum akhirnya melontarkan sebuah kalimat tanya. "Kamu mau ikut?"

Spontan Maudy menggeleng. Rahman memang tak mengajaknya ke acara itu, tetapi Maudy justru bersyukur. Akan lebih buruk untuk Rahman jika ia ikut serta datang ke acara reuni itu. Maudy tidak bodoh, apalagi kekanakan sampai harus mempermasalahkannya.

"Mas, bukan itu maksudku," jawab Maudy, "aku cuma nggak mau Mas Rahman merasa nggak nyaman di sana."

Kali ini Rahman balas menatapnya dengan jengkel. Sesuatu yang baru Maudy lihat di mata sang suami, yang ia yakini lebih karena selama ini Rahman menahan diri untuk melakukannya.

"Aku nggak tahu darimana asal kekhawatiran kamu itu. Aku udah janjian sama teman-temanku untuk datang." Nada suara Rahman menyiratkan kejengkelan yang sama dengan tatapannya. Maudy pun kembali menyadari hal itu, tetapi memilih mengabaikannya. "Aku nggak punya mantan pacar dan aku juga nggak merasa perlu khawatir sahabatku akan merebut istri yang bahkan nggak kuajak datang. Apa itu cukup jelas buatmu?"

Maudy tak ingin berdebat lagi. Ia lebih suka Rahman yang tak banyak bicara, tetapi selalu menghargai ucapannya. Rahman yang kini berdiri di hadapannya adalah sosok laki-laki yang punya alasan kuat untuk dibenci. Sayangnya, Maudy tidak ingin membenci suaminya.

"Iya, Mas. Maaf."

Kejengkelan itu sudah bercokol di sana, di diri Rahman sejak beberapa hari yang lalu. Maudy tak mengetahui sebabnya dan lebih ingin menemukan solusinya. Menghindari perdebatan adalah salah satu cara yang ia yakini.

Rahman tak menggubris. Ia melenggang pergi setelah bercermin sejenak dan meyakini penampilannya telah rapi. Meninggalkan Maudy yang hanya bisa membatinkan doa agar sang suami dijauhkan dari keburukan.

***

Membosankan. Itulah kata yang tepat untuk acara reuni SMA Rahman. Bayangannya tentang temu kangen dengan sahabat lama dan obrolan yang mengasyikkan tidak ada sama sekali. Teman-temannya memang datang sesuai janji, tetapi ketika telah berkumpul mereka justru sibuk mengunggulkan diri masing-masing. Musik, makanan dan hiasan yang ada di tempat tersebut bukannya menjadi pengalih dari hal-hal semacam itu. Bagi Rahman, semuanya justru saling melengkapi kejenuhan yang ada.

Rahman tidak menyukai topik itu. Pekerjaan mapan dan benda-benda mahal yang telah dimiliki bukan bahasan yang ingin Rahman dengar. Bukan karena ia kini hanya pegawai di sebuah katering keluarga dengan gaji tak seberapa, tetapi perbandingan upah dan posisi dalam pekerjaan menurutnya bukanlah topik yang tepat dalam sebuah acara yang melibatkan kata 'kangen'.

Sayangnya, puncak dari ketidaknyamanan acara tersebut ternyata belum dimulai. Rahman sudah hampir memejamkan mata mendengar kesombongan teman-temannya ketika muncul seorang perempuan menuju kelompok mereka.

Rahman ingat perempuan itu. Salah satu primadona sekolah. Objek rebutan para laki-laki di sekeliling Rahman sekarang. Bagaimana tidak? Kulit putih, tubuh semampai dan tentunya wajah cantik. Namun, bagi Rahman yang kini ingat nama perempuan itu, Ratu, hanyalah gadis biasa yang tak perlu diperebutkan. Orang lain biasanya akan mempertanyakan pandangannya akan hal itu, tetapi Rahman sendiri bahkan heran dengan dirinya. Ia mengiakan kecantikan Ratu, tetapi tak pernah lebih dari itu. Tidak ada percikan asmara yang muncul meski ia memandangi wajah rupawan itu cukup lama. Hanya fakta kalau tak ada banyak perubahan pada kecantikan perempuan itu.

"Rahman, lama nggak ketemu. Apa kabar?" Sebuah basa basi yang umum. Ratu masih tinggal di kota yang sama. Bahkan, kerabat perempuan itu ada yang menjadi tetangga Rahman. Rasanya ada yang aneh dengan pertanyaan tentang kabar tersebut.

"Baik," jawab Rahman singkat. Lebih sebagai formalitas belaka.

"Pengantin baru, nih," goda Ratu yang sukses menghentikan obrolan saling pamer kesuksesan teman-teman Rahman. "Gimana rasanya, Man, dapat istri perawan rasa janda?"

Mendadak Rahman ingat alasannya tidak pernah tertarik pada Ratu. Wajah boleh rupawan, tetapi kata-kata yang meluncur dari bibirnya seringkali hanya ucapan tidak bermutu.

Pertanyaan itu sontak menjadi lebih menarik dibanding gaji tiga digit yang tadi menjadi topik utama. Teman-teman Rahman kesemuanya merantau dan hanya tahu ia telah menikah. Tak ada yang tahu masa lalu istrinya. Namun, ia memang tak memiliki kewajiban untuk menceritakan hal itu sekalipun kini Ratu sudah mengungkapnya.

"Wah, gila kamu, Man. Aku pikir kamu itu yang paling alim. Ternyata eh ternyata," celetuk Yudi, teman Rahman yang berkepala plontos, sembari tersenyum jail. Namun, Ratu segera mengoreksi sebelum komentar lain muncul.

"Rahman memang alim, kok. Saking alimnya sampai nggak tahu mana perawan mana janda." Ratu berbicara sambil tergelak, disusul tawa teman-teman Rahman yang kini tampak seperti sekumpulan bebek di matanya.

Rahman teringat ucapan Maudy saat mencegahnya berangkat tadi. Bukan soal laki-laki beristri yang kepincut mantannya di sekolah atau perempuan yang takut sahabatnya ternyata pelakor. Kekhawatiran Maudy lebih tentang dirinya sendiri. Sesuatu yang seharusnya Rahman sadari sejak awal. Sesuatu yang menyadarkannya jika reuni hanya sebuah wadah untuk saling mempermalukan. Sebuah acara berisi cemoohan menyakitkan yang dibalut kata 'nostalgia'.

Tawa-tawa mengejek dan mengasihani itu masih terdengar. Memenuhi kepala Rahman dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak tahu harus ditujukannya kepada siapa. Kenapa Ratu tiba-tiba muncul dan mengungkap tentang Maudy? Kenapa dia tidak bisa membela diri dan hanya diam seperti orang bodoh? Kenapa ia mau menikahi Maudy?

Namun, ada satu pertanyaan yang Rahman tahu kepada siapa harus tertuju. Kepada Tuhan. Ia telah menjadi anak baik-baik, tetapi kenapa Tuhan justru memilihkan Maudy sebagai pasangan hidupnya?

Seharusnya pertanyaan itu bisa menjadi alasan Rahman mengeluh pada Tuhan, tetapi ia lalu menyadari jika ia sendiri yang memutuskan untuk menerima pernikahannya dengan Maudy. Itu berarti bukan Tuhan yang patut disalahkan, tetapi dirinya sendiri.

Fakta itu membuat Rahman semakin gusar. Kejengkelan pada Maudy terasa bertambah meski mereka tak sedang berhadapan. Sikap kekanakan mendadak mencuat dalam benak Rahman. Tak ada yang lebih patut disalahkan selain Maudy, dan meluapkan kekesalan padanya bukan pilihan yang buruk.

Rahman meraih ponselnya, menekan sebuah nomor dengan tidak sabar, tetapi hanya mendapati suara operator mengumandangkan kalimat 'nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif. Cobalah hubungi sesaat lagi.' Ia mencoba lagi dan lagi, tetapi masih mendapat hasil yang sama. Bukan suara Maudy, hanya suara operator telepon yang berulang.

Rahman menggenggam ponselnya erat sembari menahan emosi. Masa bodoh dengan celotehan Ratu serta teman-temannya. Rahman hanya tahu satu hal. Maudy tidak lagi membuatnya jengkel. Maudy sudah membuatnya marah.

***

Jangan lupa tinggalkan jejak, ya, Guys. Dan, selamat membaca.

Suki

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro