Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 4 : Hari Pernikahan

Pernikahan, dengan ataupun tanpa cinta tetaplah sebuah ikatan. Bukan keadaan, tetapi kita yang memilih untuk membuatnya kencang, renggang atau bahkan putus.

💮💮💮

Rahman memandang pantulan sosoknya di cermin kamar. Jas hitam yang menutupi kemeja putih itu mengingatkannya pada acara wisuda kala SMA, tetapi kali ini dengan situasi yang berbeda. Ia juga tidak merasa dirinya tampak istimewa dalam busana tersebut.

Hari ini adalah hari pernikahan Rahman dan Maudy. Setelah sempat enggan memenuhi syarat dari Maudy, Rahman akhirnya memantapkan diri untuk terus maju. Bukan semata karena wasiat, tetapi juga karena ia tidak ingin mendapat cap lelaki egois, tidak mandiri dan tidak bertanggung-jawab.

"Mas, penghulunya sudah datang, tuh," lapor Salma yang kini berdiri di ambang pintu kamar Rahman. Gadis itu senyum-senyum sendiri melihat kakak sepupunya mematung di depan cermin. "Cie, yang mau jadi manten."

Rahman melotot menanggapi candaan Salma. Sepupunya itu tidak tahu kalau jantung Rahman sedari tadi berdebar lebih kencang dari biasanya.  Sekali pun tidak ada perasaan yang biasanya mendasari dua orang untuk menikah, tetap saja ada perasaan gugup ketika harus mengucap ijab kabul. Akad yang dilakukan sederhana, dihadiri hanya kerabat dekat dan tanpa resepsi sama sekali tidak membuat kegugupannya berkurang. Bagaimana kalau ucapannya belepotan? Atau justru salah? Dia tidak mau mempermalukan diri sendiri. Menjadi bahan tertawaan di hari pernikahannya sendiri sama sekali bukan hal yang Rahman impikan.

"Cerewet," hardik Rahman. Salma masih tersenyum, kemudian melengos pergi tanpa peduli kejengkelan sang sepupu.

Rahman menoleh ke jam dinding yang menunjukkan pukul tujuh. Memang sudah waktunya. Ia meraih peci hitam di atas nakas samping ranjang, memakainya lalu bergegas keluar. Melupakan kekesalannya pada Salma dengan segera.

Ruang tamu rumah Nurul Aini hari ini diubah menjadi tempat akad. Di tengah ruangan yang kini hanya beralaskan karpet terdapat sebuah meja kecil. Di belakang meja tersebut duduk seorang pria baruh baya berwajah tenang. Penghulu yang akan menikahkan Rahman dan Maudy, yang di kampungnya biasa disebut mudin.

Rahman sempat celingukan mengamati sejenak wajah-wajah yang ikut hadir di sana. Tak banyak, hanya keluarga dekat yang bisa dihitung jari. Namun, hampir semuanya adalah kerabat Rahman. Dari pihak Maudy hanya ada Safitri yang berada agak jauh karena berada di kursi roda sementara yang lain duduk lesehan.

Salma dan Salwa yang sudah duduk manis di samping Nurul Aini tampak saling berbisik seraya melihat Rahman. Setelah itu keduanya tertawa kecil, membuat Rahman merasa si kembar itu tengah membicarakannya.

Dari semua yang hadir, Rahman sama sekali tak melihat keberadaan sang mempelai wanita. Namun, siapa peduli? Maudy memang cantik, dan biasanya perempuan akan terlihat lebih cantik di hari pernikahannya. Rahman tidak mau terpesona dan pada akhirnya seperti laki-laki lain yang hanya terjerat penampilan luar.

"Silakan, Mas Rahman." Sembari tersenyum penghulu mempersilahkan Rahman duduk di depannya. Detak jantung Rahman semakin cepat seiring langkahnya mendekat. Sungguh, jika menikah dengan perempuan yang tidak ia cintai saja rasanya segugup ini, bagaimana jika calon istri Rahman memang orang yang ia kasihi?

Tak lama setelah Rahman duduk, Maudy akhirnya muncul. Gadis itu mengenakan kerudung dan kebaya putih sederhana. Begitu sederhananya hingga tak tampak hiasan apa pun selain motif parang pada kain jariknya.

Rahman bisa merasakan tatapan kagum dari semua yang hadir di sana. Jelas semua tatapan itu bukan untuknya, tetapi ditujukan pada Maudy. Rahman bergeming, mengabaikan semua itu dan tetap fokus menghadap penghulu yang sudah siap menanti.

"Baik, bisa kita mulai sekarang, ya," tanya penghulu segera setelah Maudy duduk di samping Rahman.

Rahman mengangguk lalu mengulurkan tangan kanannya untuk berjabatan dengan penghulu yang mulai mengucapkan kalimat-kalimat sakral dalam bahasa Arab. Setelah itu, Rahman menjawab dalam bahasa yang sama. Begitu lancar, tanpa pengulangan sama sekali.

"Alhamdulillah," seru Nurul Aini begitu kata 'sah' melengkapi prosesi akad Rahman dan Maudy. Desahan napas lega dan beragam ucapan syukur mulai terdengar memenuhi ruangan. Namun, kedua mempelai justru sama-sama diam. Rahman tak tahu dengan Maudy, tetapi ia tahu pasti dengan isi pikirannya.

Akhirnya Rahman berganti status. Ia telah menikah dan akan menjalani hidupnya dengan Maudy, seseorang yang tidak ingin ia cintai.

***

Tidak ada yang istimewa. Meski belum pernah memasuki kamar Maudy sebelumnya, Rahman tak perlu menebak jika tak ada perubahan apa pun pada ruangan teramat sederhana itu. Sebuah dipan berukuran sedang dengan kasur berlapis seprai motif geometris, sebuah lemari kayu setinggi Maudy dan sebuah meja kecil yang di atasnya terdapat vas kecil berisi bunga plastik. Hanya benda-benda itu yang ada di sana. Hampir tak ada perabotan, perintilan-perintilan kecil atau  deretan make up. Alasnya pun hanya tikar pandan tipis yang sekaligus dijadikan tempat salat.

Maudy sudah berada di sana ketika Rahman masuk. Gadis itu duduk di tepi dipan, diam seolah menunggu sang suami yang mengambil keputusan untuk langkah mereka selanjutnya.

Akad memang berlangsung tadi pagi, setelahnya ada acara ramah tamah bersama kerabat yang meski sederhana ternyata memakan waktu cukup lama. Sore hari acara benar-benar baru selesai. Namun, baik Rahman maupun Maudy bersikeras untuk tetap ikut sibuk bersama yang lain. Alhasil, mereka baru bisa istirahat ketika malam tiba, sama seperti yang lainnya.

Kali ini Maudy mengenakan daster batik lengan panjang dan kerudung dengan warna senada. Bahkan dengan pakaian sesederhana itu pun, dia masih terlihat cantik. Namun, pikiran Rahman sama sekali tidak tertuju ke sana. Ia bahkan sama sekali tak menoleh ke arah sang istri.

Seharusnya Rahman merasa canggung mengingat itu adalah malam pertama mereka. Akan tetapi, tidak ada perasaan semacam itu. Setelah mengajak sang istri salat isya berjamaah, ia pun mengutarakan niatnya alih-alih salat sunah sebelum menunaikan tugasnya sebagai suami.

Rahman sungguh orang yang tak tahu bersyukur. Ia mendapat istri yang cantik dan menurut keluarganya juga perempuan yang baik. Namun, ia justru berharap bisa melompati malam ini untuk menuju hari berikutnya sehingga tak perlu ada malam pertama antara dirinya dan Maudy.

Rahman menatap sang istri lekat yang dibalas tatapan serupa. Tindakan Maudy itu cukup mengejutkan Rahman yang berpikir perubahan Maudy hanya  mencakup caranya menatap seseorang. Seharusnya momen itu cukup untuk menjadi pemandu bagi keduanya, tetapi bayangan yang Rahman benci itu segera muncul. Bayangan tentang tangan lain yang pernah menyentuh istrinya.

Hati Rahman kalut. Pikirannya memantapkan diri dengan keputusan tetap menikahi Maudy. Demi orangtuanya, ibu Maudy dan juga konsekuensi atas keberanian mendadak yang Rahman miliki untuk melamar Maudy. Ia sadar akan hal itu, bahwa Maudy mungkin memang sudah berubah. Bahwa gadis itu saat ini bisa jadi telah menjelma menjadi sosok bidadari surga bagi pasangannya yang beruntung.

Rahman sepenuhnya sadar akan hal itu. Sayangnya, bayangan masa lalu Maudy pun tak kalah gencar mengusik hatinya. Dia menginginkan gadis yang bisa menjaga kesuciannya, bukan gadis yang begitu mudah membiarkan seorang laki-laki asing menyentuhnya. Maudy mungkin bukan lagi gadis kaya sombong seperti yang pernah ia kenal dulu, tetapi kenyataan bahwa sebelum menikah pun gadis itu sudah tak suci benar-benar sulit enyah dari benak Rahman.

Semua pemikiran itu berkecamuk di kepala Rahman. Dia tak bisa terus menahannya dan membiarkan sakit kepala atau bahkan sakit hati menyerang. Maka, dengan napas panjang ia akhirnya berujar.

"Maudy," Rahman memanggil dengan nada pelan, "maaf, tapi aku mau tidur sendiri."

Ekspresi Maudy sama sekali tak terbaca, membuat Rahman tak mengerti apakah ia sudah melukai hati istrinya atau tidak. Namun, percuma berpura-pura atau mengarang alasan. Jika tetap memaksakan diri, Rahman maupun Maudy hanya akan menemukan kesulitan.

"Tidak ada kamar lain, Mas. Kalau tidur di kursi, nanti Ibu pasti bertanya," jawab Maudy. Ia lalu bangkit dan menuju lemari. Diambilnya sebuah selimut dari dalam sana kemudian diberikan pada Rahman.

"Jadi aku harus tidur di mana? Di bawah?" Rahman menerima benda tersebut, tetapi masih tak tahu maksud Maudy.

"Kita tidak perlu melewati malam ini seperti yang diinginkan orang-orang. Mas bisa tidur seranjang denganku tanpa perlu melakukan apa pun. Buatlah batas kalau memang diperlukan."

Rahman terbengong-bengong sejenak. Reaksi Maudy di luar dugaannya. Istrinya itu tetap tampak tenang dan justru membuat Rahman yang merasa tak enak sendiri.

"Aku cuma sedang ingin tidur sendiri." Rahman tiba-tiba saja merasa perlu mengarang alasan. "Tidak bermaksud apa-apa."

Maudy tersenyum tipis, teramat tipis malah hingga hampir tak kentara. Ia lalu kembali ke dipan dan menata bantal, guling serta selimut seperti yang baru saja diucapkannya.

"Mas Rahman pasti capek. Segeralah tidur," pesan Maudy. Dia tak tampak tersinggung karena tindakan Rahman. Maudy justru segera menempati sisi kiri dipannya, menyisakan ruang yang cukup besar untuk Rahman di sisi kanan.

"Maudy, aku ...." Rahman masih kebingungan memulai obrolan sebelum menempati kasur.

"Aku ngerti, kok, Mas. Jangan khawatir." Lagi-lagi Maudy menjawab dengan tenang.

Tak banyak waktu untuk pertimbangan membuat Rahman menuruti sang istri. Maudy benar, ibunya bisa heran atau bahkan marah jika menemukan menantunya justru tidur di kursi saat malam pertama, bukannya di kamar pengantin.

Rahman mengikuti tindakan Maudy yang telah lebih dulu berangkat tidur. Istrinya itu membelakangi Rahman dan guling yang menjadi pembatas tempat tidur mereka.

Butuh beberapa menit bagi Rahman untuk bisa memejamkan mata dengan nyenyak. Namun, itu pun karena satu kesimpulan kembali tercipta di benaknya.

Maudy sebenarnya juga tak menginginkan pernikahan mereka.

***
H

uhu, maaf ya kemarin nggak update. Ketiduran. Hari ini aja hampir lupa lagi gara-gara hectic ikut persiapan pawai agustusan. Kalian ada yang lagi sibuk dengan hal yang sama nggak?

Di bab ini, status Rahman udah berubah, nih. Pengantin baru enaknya digodain ya. Hehehe.

Oke, semoga masih betah bersama cerita Rahman dan Maudy ya. Terima kasih. Oh, ya, moga besok nggak lupa lagi untuk publish. Biar kalian nggak nungguin lama-lama untuk kelanjutan ceritanya.

Salam Baca 😉
Suki

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro