Bab 2 : Calon Istri
Banyak rencana indah Tuhan yang hadir berupa banyak kebetulan dalam hidup, agar manusia percaya bahwa dalam kesulitan seberat apa pun, cahaya keajaiban tak pernah redup.
💮💮💮
"Man, jadinya kapan kamu mau ketemu sama Maudy?" Pertanyaan Nurul Aini menghentikan kegiatan Rahman yang tengah menurunkan belanjaan dari mobil.
Beberapa hari yang lalu Rahman memang sempat bertemu dengan Maudy di pasar. Namun, hanya itu. Maudy menolak sewaktu Salma dan Salwa menawarinya pulang bersama. Bagi Rahman, itu justru lebih baik karena ia jadi tak perlu bingung bersikap saat bersama gadis itu.
Rahman jujur masih bingung. Ia sama sekali tidak memiliki kemantapan hati untuk mengenal Maudy lebih jauh, apalagi menikahinya. Baginya, gadis itu tetap gadis kaya sombong dan egois yang dulu pernah mempermalukan dirinya sendiri. Kalaupun saat ini Maudy berhijab, Rahman masih berkeyakinan jika penampilan tidak menjamin perubahan yang sesungguhnya pada diri seseorang.
Beruntung si kembar bukan tipikal orang yang suka bergosip. Mereka tidak menceritakan pertemuan singkat itu pada Nurul Aini. Namun, diceritakan atau tidak, tampaknya sama sekali tidak berpengaruh sebab sampai hari ini pun ibunya itu masih menanyakan hal yang sama.
"Sakkersane ibu mawon pun(terserah ibu saja)," jawab Rahman. Ia tidak bisa mengarang alasan untuk terus-menerus menghindar. Alhasil, ia memilih untuk menyerahkan keputusan pada sang ibu saja.
"Ya sudah, nanti sore kita ke sana," tukas Nurul Aini seraya tersenyum puas. Rahman bisa melihat ibunya itu begitu senang dengan fakta jika Maudy akan menjadi menantunya. Ia yakin, kalaupun masih ada, ayahnya pun akan bersikap sama. Kalau tidak, mana mungkin pria itu sampai mewasiatkan pernikahan mereka.
Rahman lalu membawa masuk beberapa kantong berisi sayuran, bumbu dapur dan daging menuju dapur khusus katering. Ruangan yang besarnya dua kali lipat dari dapur pribadi keluarganya. Di sana, tak hanya berbagai bahan makanan yang tampak bertumpuk dan tiga kompor besar yang menghasilkan berbagai makanan, tetapi juga tiga orang perempuan seusia ibunya yang tengah sibuk memasak. Mereka adalah para pegawai Nurul Aini yang sudah bekerja dari sejak usaha itu berdiri. Para pegawai setia.
"Mas Rahman, kentangnya langsung ditaruh dekat ember saja. Habis ini mau saya kupas," pinta Sarinah, perempuan berdaster batik dan rambutnya digelung kecil yang rumahnya tepat di sebelah rumah Rahman.
Rahman menurut dan meletakkan dua kantung besar berisi kentang ke tempat yang dimaksud. Ditengoknya kedua perempuan yang lain. Mutini, perempuan pendiam yang saat itu tengah sibuk mengiris bawang merah dan Erni, perempuan murah senyum yang begitu cekatan mencincang daging.
Dapur itu sudah penuh kesibukan begitu Rahman berangkat ke pasar tadi. Saat tahu Nurul Aini kembali membuka layanan kateringnya, para pelanggan tak menunggu lama untuk kembali memesan makanan. Terutama langganan tetap seperti kantin salah satu pabrik di dekat tempat tinggalnya.
Rezeki, orang biasa menyebutnya. Walaupun tetap dibutuhkan doa dan usaha untuk mendapatkannya. Nurul Aini mendapat satu bonus dengan memiliki keahlian memasak yang jempolan.
"Man, kamu mau ngapain?" tanya Nurul Aini sewaktu melihat putranya menyingsingkan lengan baju dan hendak berjongkok di depan sekantung besar wortel. "Bagian kamu itu transportasi dan distribusi saja. Nggak perlu ikutan masak."
Rahman urung melakukan niatnya dan tersenyum malu. Digaruknya kepala yang tidak gatal sewaktu ketiga perempuan yang tadinya tengah sibuk memasak jadi beralih fokus padanya.
"Daripada nggak ngapa-ngapain, Bu."
"Kamu sarapan aja dulu. Terus siapin diri buat nanti sore," ucapan Nurul Aini ikut menarik perhatian para pegawainya.
"Mas Rahman mau ada acara penting, ya, Bu?" tanya Sarinah yang sudah berpindah tempat ke depan tumpukan kentang.
"Mau ke rumahnya Maudy." Jawaban Nurul Aini anehnya membuat para pegawainya itu tersenyum senang dan dengan segera memberi ucapan selamat pada Rahman. Ucapan yang sama sekali tidak pada tempatnya.
"Tak doakan lancar, Mas Rahman." Mutini yang pendiam saja ikut bersuara.
Rahman hanya bisa memberi reaksi dengan sebuah senyuman. Namun, dalam hati ia merasa tidak nyaman karena harus berpura-pura di hadapan para perempuan itu.
Rahman hanya akan menemui Maudy, tapi orang-orang menganggap seolah ia sudah akan melamar gadis itu. Mereka tidak tahu saja kalau bukan karena wasiat ayahnya, Rahman akan berpikir sejuta kali untuk menjalin hubungan dengan Maudy.
"Ya wes, Man. Cepat sarapan sana. Ibu mau masak," perintah Nurul Aini. Didorongnya tubuh sang putra atau segera meninggalkan dapur.
Rahman menurut. Perutnya memang sudah memanggil-manggil makanan untuk masuk. Masalah Maudy, dia tidak terlalu peduli. Ia hanya akan bertamu, tak lebih. Menurutnya tidak ada yang perlu disiapkan.
***
Rumah di hadapan Rahman itu benar-benar jauh dari yang ia bayangkan. Meski tahu jika kondisi keuangan keluarga Maudy jatuh total semenjak kejadian enam tahun lalu, Rahman tidak mengira jika mereka benar-benar tidak mampu untuk sekadar memiliki tempat tinggal yang layak.
Dulu, keluarga Maudy yang merupakan salah satu keluarga kaya di kampungnya memiliki rumah yang jadi impian banyak orang. Rumah besar bak istana yang terletak di jalan masuk kampung. Bahkan, ada dua orang sekuriti yang berjaga di pintu masuk, menunjukkan betapa pentingnya posisi keluarga itu di lingkungannya.
Namun, bangunan dengan dinding bercat kusam dan kusen jendela serta pintu yang mulai lapuk itu sama sekali berbanding terbalik dengan masa kejayaan mereka dulu. Belum lagi ukurannya yang kurang dari setengah rumah Rahman, padahal rumahnya pun tidak termasuk besar. Rahman lalu mengamati lantai ubin lama berwarna kuning pucat yang ia injak. Setidaknya itu masih lebih baik dibandingkan lantai tanah.
"Assalamualaikum," Nurul Aini mengucap salam. Di tangannya tergenggam sebuah kantung plastik berisi roti dan buah-buahan. Inisiatif perempuan itu sendiri karena Rahman benar-benar tidak menyiapkan apa pun.
"Wa'alaikumsalam," balas sebuah suara dari dalam rumah. Tak lama kemudian, sosok Maudy muncul dari balik pintu yang terbuka. Gadis itu tersenyum begitu mengetahui siapa tamunya. "Budhe Nurul, Mas Rahman, silakan masuk."
Rahman dan ibunya mengangguk lalu melangkah menuju ruangan 2x3 meter yang difungsikan sebagai ruang tamu. Keduanya lalu duduk di kursi usang yang tersedia. Rahman sempat berjengit sewaktu kursi tersebut mengeluarkan suara berderit saat ia duduki. Bantalannya pun begitu kempes hingga menciptakan cekungan ketika ditempati.
Maudy izin masuk setelah mempersilahkan tamunya duduk. Dari ruang tamu terdengar jelas suara air yang dituang ke gelas serta dentingan sendok yang tengah mengaduk. Gadis itu tengah membuatkan minuman.
Tak lama, Maudy muncul dengan nampan berisi dua gelas teh panas.
"Silakan diminum, Budhe, Mas," ujarnya seraya mengangsurkan gelas-gelas tersebut. "Maaf, hanya ada ini."
"Aduh, Maudy, harusnya nggak perlu repot-repot," ibu Rahman berbasa-basi, tetapi kemudian tetap diminumnya isi gelas itu setelah dirasa mulai mendingin.
Maudy sama sekali tidak bertanya maksud kedatangan Rahman dan ibunya. Gadis itu pastinya sudah tahu. Bagi Rahman, hal itu justru menyulitkan untuk ia mulai berbicara. Akan lebih mudah ketika Maudy bertanya dan keharusan Rahman untuk menjawab jadi mempermudah tujuannya.
"Oh, ya, ibu kamu mana?" Nurul Aini menanyakan sosok yang tak dilihatnya sedari ia datang. Maudy kembali meminta izin untuk masuk dan beberapa saat kemudian keluar bersama seorang perempuan paruh baya di atas kursi roda.
Rahman terperanjat. Ia mengenali perempuan itu. Safitri, ibu Maudy. Meski sang anak Rahman kenal sebagai gadis sombong, ia bisa memastikan jika kedua orangtuanya jauh berbeda. Safitri dan suaminya, Kurniawan adalah orang-orang yang dermawan dan rendah hati. Rahman mengagumi sosok mereka meski tidak halnya dengan sang putri.
"Bulek Fitri," tanpa disuruh Rahman segera mendekat dan meraih tangan perempuan itu, lalu menciumnya. Namun, reaksi perempuan itu hanya sederet kalimat yang terputus-putus karena ia kesulitan berbicara normal. Rahman tahu kabar jika Safitri terserang stroke setelah kematian suaminya, tetapi melihatnya sendiri dalam keadaan seperti itu membuat Rahman merasa sedih. "Maaf, Rahman baru berkunjung."
Safitri berusaha tersenyum. Dengan gerakan isyarat ia meminta Maudy mendorong kursi rodanya lebih dekat ke arah Nurul Aini, sementara Rahman kembali duduk di tempatnya dan Maudy mendampingi sang ibu di sampingnya.
"Fitri, seperti yang pernah aku dan Mas Lukman sampaikan sebelumnya, kami datang untuk membicarakan wasiat beliau," Nurul Aini memulai penjelasan akan maksud kedatangannya. "Dan, Maudy bilang jawabannya adalah jawaban dari kamu."
Safitri menatap ke arah Rahman, mengamati calon menantunya tersebut untuk beberapa saat. Lalu, sebuah kata terdengar diucapkan patah-patah dari bibirnya.
"Menantuku."
Hanya satu kata, tetapi cukup untuk membuat Rahman mengambil keputusan dengan yakin. Wasiat sang ayah selama ini hanya menempati separuh dari kemantapan hatinya untuk meminang Maudy, bahkan meski ia tahu pernikahan itu adalah suatu keharusan untuknya. Namun, ucapan Safitri barusan seolah sebuah permintaan. Dan, Rahman masih memiliki hati nurani untuk tidak mengabaikannya.
"Man," tegur Nurul Aini lembut. Disentuhnya lengan sang putra agar memberikan respon.
"Saya ingin meminang Maudy, Bulek." Tiba-tiba saja keberanian itu muncul. Keraguan yang sejak awal membayangi benak Rahman seolah pupus begitu saja. Dalam hatinya seketika tertanam keyakinan jika ia tidak boleh egois. Wasiat ayahnya, keinginan sang ibu dan juga ibu Maudy adalah hal yang harus ia wujudkan. Bukan lagi sekadar keharusan atau kewajibannya sebagai seorang anak, tetapi juga keinginan untuk membahagiakan orangtua.
Maudy tidak menunjukkan ekspresi terkejut. Tentu saja karena gadis iu tahu jika mereka memang diharapkan untuk bersatu dalam ikatan pernikahan. Ia justru mengucapkan kalimat yang membuat keyakinan Rahman bahwa semuanya telah terselesaikan kembali memudar.
"Pinangan sudah diterima sejak Pakdhe Lukman mengatakannya pada saya." Maudy mengatakannya dengan begitu tenang. "Tapi dengan satu syarat."
***
Ceritanya ini dibuat untuk project Novel Lintas Jurusan. Saya mengambil genre romansa dan religi islami, walaupun untuk religinya bisa dibilang sedikit sekali. Selain bukan zona saya, ilmu saya untuk itu masih cethek sekali. Jadi, jangan sungkan untuk memberi koreksi dan masukan kalau kalian menemukan ada yang janggal atau tidak sesuai ya.
Oh, ya. Insyaallah cerita ini juga akan publish setiap hari. Semoga lancar ya dan tentu saja semoga kalian suka.
Terima kasih sudah mampir hari ini.
Salam Baca
Suki
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro