Bab 19 Permulaan
Ketika membenci seseorang karena pengaruhnya dalam hidup kita, ingatlah jika kita pun mungkin berdampak sama pada hidup orang lain. Karena sesungguhnya setiap manusia adalah ujian bagi manusia lainnya
🌸🌸🌸
Suara mesin mobil terdengar memenuhi halaman rumah Nurul Aini. Rahman memang baru saja memanasi carry merah milik keluarganya itu. Bersiap untuk mengantarkan pesanan pertama katering mereka hari ini.
Sembari menunggu, Rahman mengecek ponsel. Memastikan sudah ada pesan balasan atau belum dari temannya yang hendak menjual motor. Begitu mendapat izin dari Maudy kemarin, ia langsung gerak cepat menghubungi temannya tersebut. Semakin cepat ia bisa melihat kondisi kendaraan tersebut, semakin cepat ia bisa memutuskan untuk membelinya atau tidak.
"Mas Rahman, pagi-pagi udah umek (sibuk) sama hape aja, sih?" tegur Salma yang baru keluar dari rumah. Disusul Salwa di belakangnya, kedua gadis itu memakai seragam putih abu-abu. Bersiap untuk berangkat sekolah.
"Urusan penting," jawab Rahman tanpa mengalihkan pandangan dari layar ponsel. Tangannya juga sibuk mengetik sesuatu untuk membalas pesan yang baru diterimanya.
"Janjian sama Mbak Maudy, ya?" goda Salma seraya mendekat. Berpura-pura hendak mengintip ponsel sang kakak sepupu. Namun, Rahman tidak menghindar, justru membiarkan saja tingkah keponakannya itu.
"Ngapain janjian segala? Tiap hari juga udah ketemu di rumah," jawabnya santai hingga membuat Salwa yang sedari tadi diam jadi ikut tertarik. Kini dua sepupu kembar Rahman itu mengerubunginya, penasaran dengan urusan penting yang sedang Rahman geluti. Sesuatu yang tidak berhubungan dengan Maudy, tapi bisa membuatnya begitu serius menghadap ponsel. Padahal, biasanya Rahman tidak terlalu suka mengutak atik benda tersebut.
"Mas Rahman nggak selingkuh, kan?" Salwa bertanya tapi terdengar seperti menebak-nebak.
"Hush, ngawur aja kalau ngomong. Naudzubillahi mindzalik," sergah Rahman cepat.
Salma dan Salwa kompak cekikikan. Itu memang kemungkinan yang sangat kecil. Bahkan mereka yakin hampir tidak ada. Bukannya meremehkan, tapi di luar pegangan agama, Rahman juga tidak termasuk kriteria yang diincar perempuan. Nggak kaya, tampang biasa-biasa saja dan terus terang sikapnya seringkali menjengkelkan. Walaupun bagi kedua gadis itu Rahman justru sangat menyenangkan unyuk dijahili. Lagipula pria itu tidak akan membiarkan si kembar yang tengah kepo bisa melihat begitu saja isi chat-nya kalau itu adalah hal yang buruk.
"Ya, siapa tahu meski namanya di situ Seno aslinya Susi," celetuk Salma yang bisa melihat sekilas pemilik nama yang mengirimi Rahman pesan.
"Ya emang namanya Seno. Kalau penasaran pakai banget sekalian kalian aja yang berbalas pesan sama dia, nih." Rahman menyerahkan ponselnya alih-alih marah. "Dia mau jual motornya. Dan kebetulan aku pun lagi cari motor."
"Pakai punya Pakde, kan, bisa, Mas," ujar Salwa. "Nggak ada yang pakai juga."
Di rumah tersebut memang ada motor matik peninggalan Lukman Husein. Sesekali memang Rahman memakainya jika memang dibutuhkan. Namun, selebihnya motor itu lebih banyak berdiam di garasi. Si kembar memang bisa mengendarai motor tapi merasa tidak terlalu membutuhkannya. Kedua gadis itu tipikal anak rumahan yang jarang keluar.
"Aku sekalian bantuin temen. Itu motor Bapak kalian aja yang pakai," jawab Rahman beralasan.
"Iya, deh, yang pengin pacaran sama Mbak Maudy. Kalau harus minjem dulu bikin lama. Keburu kebelet bermesraan," celetuk Salma dengan kejailannya yang tidak pernah absen. Ia mengerling pada saudarinya yang segera kompak melayangkan senyum jail.
"Nah, itu udah tahu. Nggak efisien kalau harus minjem dulu." Di luar dugaan, Rahman dengan santai menanggapi candaan itu. Tidak lagi mengelak atau jengkel seperti setiap kali nama Maudy tercetus untuk menggodanya.
"Wah, Mas Rahman. Unbelievable. " Salma berdecak kagum, sengaja dengan gaya dilebih-lebihkan. "Kakak sepupuku akhirnya mengakui fakta."
"Fakta apaan, Ma?" Salwa dengan sigap menanggapi. "Kalau Mas Rahman cinta bener sama istrinya alias Mbak Maudy?"
"Betul betul betul." Salma merespons ucapan kembarannya dengan gaya ala kartun favorit tontonan mereka, disusul tawa kedua gadis itu yang penuh kepuasan.
Rahman memang tidak keberatan dengan godaan semacam itu sekarang. Tapi, tetap saja rasanya seperti anak SMA yang ketahuan lagi naksir temannya. Antara senang tapi juga malu. Dan, ia tidak mau hal semacam itu tertangkap oleh mata jeli kedua sepupu kembarnya yang jail.
"Udah, Upin Ipin jangan bicara cinta-cintaan. Sana buruan berangkat, nanti dicariin Cikgu Melati," usir Rahman sembari mengibaskan tangan ke arah si kembar.
"Baik, Kak Ros," jawab si kembar kompak, lalu mengucap salam dan melenggang pergi bersama tawa yang masih berderai. Menyisakan Rahman yang terdiam setelah membalas salam.
Seperginya Salma dan Salwa, Rahman menghela napas panjang. Tiba-tiba ia teringat Maudy dan ingin sekali menghubungi istrinya itu. Padahal belum ada satu jam mereka berpisah. Namun, sebelum ia melakukan hal tersebut, Rahman pun tertawa kecil. Menertawakan dirinya sendiri yang merasa konyol.
Maudy mungkin tidak akan keberatan jika Rahman menghubunginya sekarang. Mereka kan suami istri. Masalahnya, alasan apa yang akan Rahman katakan jika istrinya bertanya alasan? Haruskah Rahman bilang jika ia merindukan sang istri?
Mendadak Rahman menggeleng. Ia belum siap berubah sedrastis itu. Walau alasan sebenarnya adalah ia tidak yakin bisa merangkai kata yang tepat untuk mengungkapkan hal itu. Sebab Maudy adalah perempuan istimewa, jadi mana boleh diperlakukan biasa saja.
Lamunan Rahman terhenti ketika terdengar panggilan sang ibu dari dalam rumah. Suara Nurul Aini terdengar panik, sehingga Rahman bergegas masuk dan mendapati ibunya tak hanya tampak panik, tapi juga khawatir.
"Ada apa, Bu?" Rahman bertanya pada sang ibu, seraya berusaha menenangkan.
"Maudy, Man." Nurul Aini mencoba mengatur napas. "Maudy ada di rumah sakit sekarang."
***
Maudy terduduk diam di atas salah satu brankar ruang UGD. Kaki kirinya yang terbalut perban masih terasa sakit, tapi sudah terasa lebih baik sekarang. Ia teringat kilasan saat sepeda motor ugal-ugalan tadi menabraknya, membuat Maudy yang hendak pulang dari berbelanja harus berakhir di rumah sakit karena terluka.
"Mbak Maudy, saya sudah nelpon Bu Nurul. Insyaallah setelah ini beliau datang," ujar Bu Kiki. Perempuan seusia mertua Maudy itu adalah salah satu pelanggan katering. Beliau kebetulan berada di tempat kejadian dan mengenali Maudy. Bu Kiki juga yang membawa dan menemaninya ke rumah sakit. Salah satu orang yang tidak terpengaruh dengan masa lalu Maudy dan selalu bersikap baik padanya.
"Terima kasih, Bu Kiki." Maudy hanya bisa mengucapkan terima kasih. Sejatinya dia tidak ingin membuat mertuanya khawatir, tapi tidak memberitahu kondisinya juga bukan pilihan yang baik. Nurul Aini pasti akan lebih khawatir jika sampai tahu belakangan. Lagipula Bu Kiki juga melakukannya tanpa diminta. Hanya inisiatifnya dalam menolong sesama.
"Sama-sama, Mbak Maudy. Tapi saya cuma nemenin. Pak Dokter yang mengurus semuanya."
Maudy kembali terdiam. Ia sangat menghargai orang-orang yang membantunya, tapi ia tidak bisa memungkiri jika benci mengetahui fakta lainnya. Fakta jika bukan hanya Bu Kiki seorang yang wajib mendapat ucapan terima kasih darinya.
"Selamat pagi." Meski sudah bertahun-tahun tak lagi berbicara dengannya, Maudy tidak bisa melupakan suara itu. Pertemuan terakhir mereka memang hanya
berlangsung beberapa saat dan hampir tidak ada percakapan. Namun, sepatah dua patah kata itu sudah cukup untuk membuat Maudy kembali bisa mengingatnya.
"Pagi, Pak Dokter." Bu Kiki yang membalas salam, sebab Maudy tidak mau repot-repot melakukannya. Bahkan kalau bisa ia ingin menghilang saja dari sana. Tidak ingin sama sekali bertatap muka dengan pria itu.
Evan yang hari itu tidak memakai jas dokternya tampak khawatir. Namun, sebisa mungkin tidak terlalu menunjukkannya, sebab Bu Kiki hanya mengenalnya sebatas dokter sekaligus tetangga barunya. Ia tidak ingin sikapnya membuat orang-orang terarah pada masa lalunya dan Maudy.
"Bagaimana kondisinya? Apakah ada yang serius?" Evan bertanya sembari mengamati kaki Maudy yang diperban. Dari penampilannya, pria itu jelas sedang tidak praktek. Namun, Maudy tidak ingin mencari tahu lebih jauh mengapa bisa Evan yang membawanya ke rumah sakit.
"Sudah ditangani, Pak Dokter. Tapi sepertinya Mbak Maudy nggak bisa banyak beraktivitas dulu sekarang," terang Bu Kiki.
Evan mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya dari Maudy. Gadis itu sebaliknya tak mau balas melihat sedikit pun. Kalau saja tidak ada Bu Kiki di antara mereka, Maudy pasti sudah mengusir Evan dari hadapannya.
Ponsel Bu Kiki lantas berdering. Layarnya menampilkan nama sang suami sehingga membuatnya harus izin menerima panggilan tersebut ke tempat lain.
"Pak Dokter, Mbak Maudy, saya permisi terima telepon dulu, ya." Tanpa menunggu jawaban, Bu Kiki segera beranjak dari sana. Menyisakan Maudy dan Evan saja karena tidak ada lagi pasien di ruangan tersebut. Satu petugas yang ada pun tengah sibuk sendiri di mejanya yang terletak cukup jauh di sudut ruangan.
"Apa lukanya parah?" tanya Evan pada Maudy. Nada suaranya terdengar khawatir. Pria itu bahkan berusaha menyentuhnya, tapi dengan cepat ditepis oleh Maudy.
"Terima kasih atas bantuannya, tapi selebihnya kita nggak ada urusan lagi." Maudy bersikap ketus, berharap itu bisa menyadarkan Evan jika kehadirannya tidak diinginkan.
"Nggak bisa, Maudy. Aku harus pastikan kondisi kamu sepenuhnya."
"Nggak perlu. Sudah ada dokter yang menangani. Dan, saya baik-baik saja." Maudy berusaha untuk bangun, hendak pergi dari sana atau setidaknya menghindari Evan. Sebab ia yakin pria itu tidak akan dengan sukarela meninggalkannya sekarang. Tindakan yang kontras dengan apa yang dilakukannya dulu.
Namun, upaya Maudy tidak membuahkan hasil. Kakinya jelas masih sakit, dan semakin bertambah rasanya saat ia paksa gerakkan. Ia tak dapat mengelak dari mengernyit karena nyeri yang melanda kakinya.
"Tetap di sini, Maudy. Kamu butuh banyak istirahat." Evan kembali berusaha menyentuh Maudy. Meski niatnya hanya membantu, tapi respons dari Maudy jelas berpikir sebaliknya. Evan menyadari hal itu dan tidak dapat menahan diri untuk mengungkapkannya. "Bisakah kita lupakan dulu soal pribadi dan fokus pada kondisi kamu sekarang?"
"Akan jauh lebih baik kalau Dokter meninggalkan saya sendiri." Maudy sengaja tidak menyebut nama Evan dan hanya gelarnya. "Jangan khawatir, jika ada biaya yang harus saya ganti, saya pasti akan ganti."
Evan menghela napas, tahu alasan dari sikap Maudy yang sama sekali tidak bersahabat. Ia tidak berhak keberatan karena memang itu adalah hasil dari sikapnya terdahulu. Lagipula, Evan ingin mengambil hati Maudy bukannya membuat gadis itu semakin membencinya.
"Ini bukan soal biaya, Maudy. Aku hanya khawatir sama kamu." Evan mencoba bicara dengan tenang. Tak ingin membalas emosi Maudy sekaligus menghindari kecurigaan dari petugas yang juga ada di sana.
"Itu bukan kewajiban Anda, Dokter." Maudy bertahan tak melihat wajah Evan sekali pun. Jika tidak menunduk, maka ia akan berpaling.
Evan tidak bisa memungkiri jika Maudy adalah satu-satunya gadis yang selalu menemani hari-harinya selama ini. Meski hanya berupa nama dan ingatan akan wajah cantiknya, Maudy tetap menempati ruang terindah di hatinya. Terlepas dari kesalahan di masa lalu, tidak pernah ada gadis lain. Hanya Maudy seorang.
Evan pun memilih untuk mengalah. Ia hanya berdiri di sana, diam menemani Maudy yang jelas sekali tidak senang dengan kehadirannya. Namun, setelah beberapa saat, ia memberanikan diri untuk kembali bicara.
"Maudy. Aku benar-benar minta maaf soal dulu." Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir Evan. Sebenarnya ia ingin mengatakannya di saat dan waktu yang tepat. Dengan begitu ia berharap Maudy akan lebih bersikap lunak dan menerima permintaan maafnya. Harapan yang sepertinya kosong.
Maudy tidak merespons. Gadis itu hanya diam seolah tidak ada yang baru saja berbicara padanya.
"Itu hak kamu untuk membenciku, tapi kamu sedang terluka dan aku benar-benar khawatir."
Masih tidak ada reaksi apa pun. Evan mulai merasa putus asa karena benaknya menginginkan Maudy bersikap sebaliknya. Wajar jika ada kebencian, tapi ia masih ingin mendapati cinta dalam tatapan Maudy padanya. Sesuatu yang dulu pernah mereka miliki bersama.
"Maudy, aku minta maaf. Sungguh, apa yang harus aku lakukan agar kamu bisa maafin aku?" Evan kembali mencoba menyentuh tangan Maudy, berharap dengan begitu ketulusannya akan lebih bisa dimengerti oleh gadis itu. Namun, lagi-lagi Maudy menepisnya. Bahkan kali ini disertai kalimat yang berhasil mengejutkan Evan.
"Tidak ada." Maudy akhirnya bersuara.
Evan menghela napas, tetapi merasa cukup lega. Setidaknya Maudy tidak lantas mengusirnya tanpa mengatakan apa pun. Gadis itu mendengarnya, hanya tidak mau berbicara lebih banyak sebagai balasan.
"Aku sungguh-sungguh minta maaf soal kejadian waktu itu, Maudy."
"Dokter," Maudy sengaja menekankan nada suara saat menyebut gelar Evan sebelum mulai berbicara. "Saya sudah menikah dan tidak ingin membahas masa lalu."
Evan sejatinya tidak percaya begitu saja dengan pengakuan Maudy. Menurutnya, gadis itu hanya belum bisa memaafkannya. Meski kemungkinan jika Maudy sudah menikah itu ada, ia lebih percaya dengan dugaannya sendiri jika itu semua hanya upaya menjauhinya.
"Aku nggak bermaksud ganggu kamu. Sungguh. Aku hanya minta maaf."
"Sudah saya maafkan," sela Maudy cepat. "Sekarang, tolong biarkan saya sendiri." Maudy mengatakannya dengan ekspresi kelewat datar.
Evan bergeming. Pernyataan singkat Maudy bukanlah respon yang ia harapkan. Dia butuh lebih banyak kesempatan untuk berbicara dengan Maudy.
"Maudy, tidak bisakah kita---,"
"Maudy!" Panggilan dari suara lelaki lain memutus ucapan Evan. Di ambang pintu, muncul Rahman yang bergegas menghampiri. Evan tanpa sadar mendengkus, tidak menyukai interupsi dari lelaki yang tidak dikenalnya tersebut.
Namun, Maudy justru tersenyum dan terkesan menyambut kehadiran Rahman. Jauh berbeda dengan sikapnya pada Evan. Mengamati Rahman yang segera menghampiri Maudy, ia hanya bisa menyadari fakta jika ucapan gadis itu sedari awal benar adanya.
"Kamu nggak apa-apa? Apanya yang luka?" tanya Rahman begitu mereka telah berhadapan. Ia lalu melihat kaki sang istri yang terbalut perban. "Astaghfirullahal adzim. Pelakunya udah ketangkep?"
"Langsung kabur, Mas." Maudy menggeleng. Sesaat kemudian ia menyadari sesuatu. "Mas Rahman kok ke sini? Kerjaannya gimana?"
"Aman." Hanya itu jawaban Rahman. Sebab ia tak mau membuat Maudy merasa menjadi beban. Pekerjaannya jelas harus ditinggal dan Nurul Aini terpaksa menyewa mobil online untuk mengantar pesanan sebab mobilnya Rahman pakai. Namun, ibunya itu sendiri berpesan agar tidak memberitahu Maudy tentang itu. Hal terpentingnya adalah keadaan Maudy sendiri.
"Syukurlah kalau gitu. Tapi, aku sudah baikan, kok, Mas. Dokternya tadi juga ngizinin untuk pulang."
"Alhamdulilah. Kalau gitu aku urus dulu administrasinya, ya." Maudy mengangguk yang dibalas senyuman oleh Rahman. Namun, tatapannya kemudian segera beralih pada Evan. Ia mengernyit sebab menyadari jika pria itu sedari tadi bergeming di sana. Apalagi Evan sedang tidak memakai baju dinasnya sebagai seorang dokter.
Ragu-ragu, Rahman mempertanyakan sosok Evan. "Anda siapa?"
Sebelum Maudy menjawab, Evan mendahului. Merasa perlu mengenal Rahman tanpa perlu campur tangan Maudy.
"Saya Evan, salah satu dokter di sini. Tapi kebetulan saat ini bukan jam praktek saya. Saya datang untuk mengantar Maudy berobat." Evan mengulurkan tangan. Ia berharap tebakannya salah. Meski Maudy terlihat lebih senang bersama Rahman, bisa jadi mereka berkerabat dan Rahman bukan suaminya. Ya, kemungkinan itu bisa saja ada.
"Oh, jadi Pak Dokter yang bawa istri saya ke sini? Terima kasih sekali, ya, Pak Dokter." Tanpa prasangka apa pun Rahman membalas uluran tangan tersebut. Mengetahui fakta itu seketika membuatnya semringah. Merasa jika Evan adalah dewa penolong sang istri yang berhak diberi sikap ramah.
"Sebetulnya saya dan Bu Kiki. Kebetulan kami bertetangga dan tadi sama-sama ada di tempat kejadian yang menimpa Maudy." Evan berusaha keras menyembunyikan keterkejutannya atas pernyataan Rahman. Pria itu memang suami Maudy, gadis yang ia cintai.
Maudy akhirnya tahu alasan dari kehadiran Evan di sana. Lokasi kecelakaan tadi memang berada di daerah rumah Bu Kiki. Dan, jika Bu Kiki bertetangga dengan Evan maka tidak heran pria itu bisa ikut serta.
"Sama saja. Intinya Pak Dokter sudah membantu istri saya. Sekali lagi terima kasih, Pak Evan."
"Sama-sama, Mas ... " Evan menggantungkan kalimat karena belum tahu namanya.
"Rahman. Nama saya Rahman. Dan saya suami Maudy."
Gerakan Evan terhenti sejenak mendengar jawaban itu. Ia melirik ke arah Maudy yang tidak tampak keberatan dengan ucapan tersebut. Penyesalan seketika membanjiri hatinya. Gadis yang menjadi tujuan hidupnya ternyata tak lagi sendiri.
"Oh, begitu. Senang berkenalan dengan Mas Rahman." balas Evan, berusaha bersikap sewajar mungkin. Namun, keinginan untuk segera pergi dari sana dan menenangkan diri tak dapat dielakkan. "Kalau begitu, saya permisi dulu."
Rahman mengangguk mengiakan. Dan, segera setelah Evan berlalu meninggalkan mereka, Rahman yang sejak tadi merindukan sang istri tak tahan untuk tidak menggodanya.
"Dokternya ganteng, tapi kamu jangan naksir, ya?"
Maudy tahu jika sang suami hanya bercanda, tetapi kenyataan jika ia dan Evan pernah memiliki ikatan di masa lalu membuatnya terusik.
"Masa'? Menurutku dia jelek banget, Mas," jawab Maudy, tanpa sadar bernada sinis. Namun, Rahman hanya menganggap sang istri mengimbangi candaannya saja.
Setelah Rahman selesai mengurus administrasi, keduanya pun bersama-sama meninggalkan rumah sakit. Dengan penuh perhatian, Rahman menuntun Maudy berjalan menuju mobil. Mereka berdua tampak seperti pasangan yang serasi dan harmonis. Sayangnya pemandangan itu justru membuat hati Evan terasa sakit. Meski begitu, ia hanya bisa memandangi mereka berdua dari jauh sebelum menghilang dari pandangannya.
***
Halo, Guys.
Maaf, akhirnya Maudy dan Rahman baru bisa tayang. Pasti udah pada kangen, nih.
Ya udah tanpa banyak cingcong, langsung aja baca bab ini dan jangan lupa tinggalkan jejak, ya.
Terima kasih dan Salam Sayang dari author. Allah bless you all. Aamiin.
Suki
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro