Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 15 : Belum Sepenuhnya

Hidup tidak hanya tentang mencapai kebahagiaan, tetapi juga tentang membaginya dengan orang-orang tersayang. Sebab kebahagiaan itu lebih bermakna jika tidak hanya dirasakan oleh kamu seorang.

🌸🌸🌸

Hari Minggu yang cerah. Cuaca sedang bagus dan udaranya jadi terasa semakin menyenangkan. Dari jendela kamarnya yang kini terbuka lebar, Rahman bisa melihat dengan jelas gunung Arjuna yang gagah. Tak ada awan yang menyelimuti sehingga pepohonan di sana bisa terlihat, bak miniatur dalam maket. Warna hijau dan biru gelap menyajikan lekuk gunung tersebut dengan semakin indah.

Sembari mengancingkan kemeja Rahman tersenyum senang. Tidak biasanya ia begitu memperhatikan latar belakang jendela kamar yang sejatinya bukan hal istimewa itu. Ia bisa melihatnya setiap hari, tetapi hari ini baginya terasa begitu indah. Tak bisa dipungkiri jika kegiatan hari inilah yang membuat hal itu terjadi. Minggu ini adalah hari spesial, setidaknya bagi Rahman. Menurutnya, memandang setiap hal dengan positif akan menjadikan harinya lebih menyenangkan.

"Mas, sudah siap?" Suara Maudy terdengar bersamaan dengan masuknya gadis itu ke kamar. Ia mendapati sang suami baru saja selesai berpakaian dan tersenyum manis. Meski tidak tahu pasti dengan isi pikiran Maudy saat melihatnya, Rahman berkeyakinan jika istrinya itu menyukai penampilan sang suami.

"Sudah. Yuk!" Rahman mengajak Maudy keluar dari kamar. Sejenak diamatinya penampilan sang istri. Tidak ada yang istimewa. Maudy memakai daster lengan panjang dengan kerudung berwarna senada. Bisa dibilang itu adalah busana kesehariannya. Berbeda dengan Rahman yang hari ini penampilannya begitu rapi.

Setelah yakin tidak ada yang tertinggal, Maudy pun mengunci pintu rumah. Lalu, ia balas menatap Rahman yang masih belum beranjak dari mengamatinya.

"Kenapa, Mas?" tanya Maudy heran.

"Nggak apa-apa," jawab Rahman cepat. Ia lalu menjajari langkah sang istri yang mulai meninggalkan rumah. "Kita beneran mau belanja mingguan aja? Kamu lagi nggak pengin sesuatu?"

Masih dengan kaki yang melangkah, Maudy menoleh pada sang suami. Permintaan Rahman untuk menemaninya berbelanja saja sudah terasa aneh, dan pertanyaannya semakin terdengar aneh di telinga Maudy.

"Nggak ada, sih, Mas."

Rahman mengulum senyum. Sadar jika sang istri mempertanyakan sikapnya. Mereka memang akan pergi ke supermarket terdekat untuk belanja mingguan. Ya, hanya belanja kebutuhan sehari-hari yang rutin Maudy lakukan sendirian sebelumnya. Namun, sekarang Rahman meminta ikut serta. Ia bahkan berpenampilan rapi jali dan menitipkan penjagaan sang ibu mertua pada si kembar yang kebetulan sedang senggang. Katering juga tengah libur.

Norak dan aneh. Pasti itu adalah hal pertama yang terpikir jika mempertanyakan sikap Rahman. Namun, baginya sama sekali tidak. Suami yang ingin berduaan saja dengan sang istri adalah hal wajar, terlepas dari kegiatan dan tempat apa yang akan mereka jalani. Lagipula, menurutnya masih terlalu mendadak dan akan lebih mencengangkan jika Rahman mengajak Maudy liburan, misalnya. Selain keuangan mereka yang belum seberapa untuk hal-hal bersifat tertier seperti itu, ia yakin Maudy lebih suka hal-hal sederhana. Ya, walaupun keputusan Rahman untuk berpenampilan lebih rapi dari biasanya cukup membuat sang istri kebingungan. Namun, seperti biasa Maudy adalah tipe orang yang tidak suka banyak bertanya.

Jarak tempat yang dituju lumayan dekat sehingga Rahman dan Maudy memilih untuk berjalan kaki. Butuh hanya lima belas menit untuk menempuhnya, tetapi bagi Rahman waktu tersebut cukup berarti. Dalam perjalanan singkat tersebut ia berusaha melemparkan berbagai topik untuk dibicarakan. Maudy yang pada dasarnya memang berwawasan luas selalu bisa mengimbangi. Namun, bukan hal itu tujuan utama Rahman. Dia hanya ingin terus terhubung dengan sang istri. Meski belum sepenuhnya yakin dengan perasaannya, Rahman menyadari jika hatinya telah mulai terbuka untuk Maudy. Terlepas dari masa lalu yang sering mengusik pikiran Rahman, ia tidak dapat memungkiri jika yang ada dalam hubungan mereka sebagian besar adalah rasa nyaman.

Bangunan besar dengan banner berisi berbagai promosi produk menyambut kedatangan Rahman dan Maudy. Keduanya lalu memasuki supermarket tersebut, mengambil keranjang belanja dan segera menuju rak toiletries.

"Ini sabun yang biasa kamu pakai, kan?" Rahman yang membawa keranjang berhenti di depan produk sabun mandi yang ia tahu digunakan oleh istrinya. Diambilnya sebuah benda berbentuk kotak dengan warna ungu dan putih tersebut, lalu ditunjukkannya pada Maudy. "Nggak beli ini?"

"Eh, iya. Tapi, masih banyak, kok, Mas. Lain kali aja beli." Maudy menjawab dengan sedikit heran. Ia sendiri tengah mengambil sebuah pasta gigi, lalu meletakkannya ke keranjang.

Rahman ber'oh' panjang, tetapi tetap mengambil botol sabun cair tadi. Terus terang, ia menyukai wanginya yang samar-samar beraroma melati. Bukannya Rahman pernah mencobanya, tapi ia pernah tak sengaja menyenggol botol itu hingga tumpah saat hendak mandi. Terkadang, ia juga bisa mencium aromanya pada Maudy yang selesai mandi. Harum dan menyegarkan.

Mereka berdua kembali melanjutkan acara belanja dengan bergerak menuju rak tempat sabun cuci. Ketika memasukkan sebungkus besar sabun cuci ke dalam keranjang, Maudy melihat botol sabun cair favoritnya. Namun, ia tidak bertanya, hanya menatap sang suami sekilas. Ia menahan rasa penasarannya dalam-dalam.

Maudy menyadari perubahan sikap Rahman belakangan ini. Setelah makan malam sederhana, tetapi istimewa di rumah makan Padang waktu itu, Rahman tidak lagi menjaga jarak dengannya. Laki-laki itu sekarang tak segan mengajaknya bicara banyak hal, meminta pendapat untuk berbagai masalah dan bahkan melontarkan candaan yang seringkali ampuh membuat Maudy tertawa. Perubahan yang baik dan tentunya ia harapkan, tetapi Maudy tak henti mengontrol diri agar menyikapi hal tersebut tidak secara berlebihan.

Rahman mungkin memang tak lagi memandang Maudy seperti dulu, tetapi semua kedekatan mereka masih belum bisa dikatakan lebih dari teman. Karenanya, Maudy cukup terkejut ketika Rahman bahkan memperhatikan sabun mandi favoritnya. Diam-diam Maudy tersenyum, tersipu mendapati jika itu adalah bentuk perhatian kecil yang menghangatkan hati.

"Jangan lupa beli mi instan rasa kari, ya," pinta Rahman, mengejutkan Maudy dari isi pikirannya. Tak terasa langkah mereka memang telah meninggalkan rak toiletries dan tengah menuju rak makanan serta minuman. "Tapi, aku juga pengin coba yang pedas berlevel itu, sih. Boleh, ya, aku beli itu?"

Rahman terus saja berbicara sembari pandangannya menyusuri deretan mi instan beraneka rasa di hadapan mereka. Ia tidak menyadari jika Maudy terheran-heran untuk kesekian kali. Tak biasanya Rahman meminta izin untuk sesuatu. Meski yang baru saja dikatakannya terbilang hal sepele, nyatanya tetap saja membuat hati Maudy berbunga-bunga. Ia merasa Rahman mulai mengakuinya sebagai 'seseorang' dalam hidup laki-laki itu.

"Boleh, Mas. Tapi, jangan banyak-banyak." Maudy menjawab dengan nada lebih lembut dari biasanya. Ia membiarkan Rahman menikmati acara berbelanja mereka dengan sibuk memilih berbagai barang kebutuhan. Sementara ia hanya mengekor dan menikmati tingkah suaminya.

"Man, nggak nyangka kita ketemu di sini. Kapan balik? Kok nggak ngabari aku?"

Kemunculan seorang laki-laki seumuran Rahman menginterupsi kebersamaan Maudy dan sang suami. Lelaki asing itu bersama seorang perempuan cantik yang Maudy duga adalah istrinya. Penampilan mereka tampak bergaya dan juga serasi. Berbeda dengan dirinya dan Rahman yang terbilang sederhana. Namun, Maudy tidak tahu siapa gerangan laki-laki tersebut. Tebakannya adalah orang itu teman lama Rahman, tapi yang jelas Maudy tidak mengenalinya sebagai salah satu warga di sekitar tempat tinggalnya. Bisa jadi laki-laki itu tinggal di kecamatan sebelah.

"Eh, Ded. Aku juga nggak nyangka, nih." Rahman menjabat tangan lelaki itu dengan gaya tertentu. Kemudian, melirik perempuan di sebelahnya dan tertawa. "Istrimu?"

Laki-laki bernama Dedi itu mengangguk. Senyumnya semringah, tetapi Maudy lebih menangkap kesan jika laki-laki itu merasa bangga akan fakta tersebut.

"Lah, kamu sendiri udah nikah juga nggak bilang-bilang. Berarti kita impas, dong." Rahman tergelak.

"Iya, sih," Dedi ikut tertawa, "aku nikah baru sebulanan, sih. Nikahnya juga di luar kota, tempat istriku dan nggak besar-besaran. Kalau kamu pulang udah sejak kapan? Beneran tahu gitu aku mampir."

"Udah hampir empat bulanan, sejak Bapak meninggal." Rahman menjeda kalimatnya lalu kembali berekspresi ceria, "dan aku juga udah nikah, sih. Kita samaan."

"Beneran? Wah, wah. Jadi penasaran sama istrimu, Man."

Bertepatan dengan ucapan tersebut, Maudy yang tadinya berdiri cukup jauh dari Rahman pun mendekat dengan ragu-ragu. Ia tidak begitu yakin Rahman mau memperkenalkannya.

"Nah, ini dia istriku. Namanya Maudy." Rahman menarik lembut lengan Maudy agar mendekat padanya dan dengan ekspresi bangga mengenalkan sang istri.

Teman Rahman tersebut juga mengenalkan istrinya yang bernama Lani. Meski penampilannya tergolong glamor, perangainya justru lembut dan sopan. Jauh dari kesan berlebihan. Dari perkenalan singkat tersebut, Maudy akhirnya tahu jika Dedi adalah teman SMU Rahman yang setelah lulus segera merantau ke Jakarta. Sayangnya, mereka tidak lagi berkomunikasi secara intens sejak itu. Namun, sesekali saat pulang kampung, Dedi yang hanya memiliki paman sebagai kerabat di Malang itu akan mengunjungi Rahman dan keluarganya.

"Aku beneran kaget waktu dengar Bapak meninggal, Man. Tapi aku pas ada di Malaysia. Dan baru balik waktu nikah sama Lani," terang Dedi. Lorong rak makanan dan minuman itu mendadak menjadi tempat reuni dadakan.

"Nggak apa-apa, Ded. Toh, sekarang kamu ada di sini, kan? Bawa istri cantik pula," Rahman menggoda sang rekan, "padahal dulu kupikir kamu nggak bakal berani nikah."

Dedi tergelak. Teringat hal-hal yang pernah dilaluinya bersama Rahman saat muda dulu.

"Berani, dong. Kriteriaku juga nggak muluk-muluk, eh ternyata malah dapat yang super." Dedi tiba-tiba memelankan suara hingga hampir berbisik ketika melanjutkan kalimatnya, "kamu sendiri gimana? Istrimu masih tingting, kan? Pasti, dong, ya. Kalau nggak mana mau kamu."

Dedi tertawa kecil setelah mengatakan hal tersebut. Meski merasa telah memelankan suara, nyatanya Maudy dan Lani masih bisa mendengar. Jelas tidak ada efek apa pun pada Lani, tetapi ucapan terakhir Dedi tersebut sukses membuat Maudy tertegun.

"Ngomong apaan, sih?" sergah Rahman yang menyadari perubahan ekspresi Maudy.

"Lah, masa kamu lupa, Man? Kamu sendiri dulu yang bilang mending nggak nikah daripada dapat bekas orang."

Lani yang merasa ucapan suaminya sudah keterlaluan segera menarik lengan Dedi. Memberi isyarat agar sang suami segera menghentikan percakapan tersebut. Ia juga mengajak suaminya untuk berpamitan dengan setengah memaksa. Raut wajahnya menunjukkan rasa malu karena merasa sang suami tidak bisa menjaga sikap.

Rahman hanya mengiakan ketika teman lamanya itu berpamitan. Ia lalu menoleh pada Maudy yang kini kembali diam. Rona bahagia yang tadi terpancar dari wajahnya kini meredup meski Maudy tersenyum merespon pandangan sang suami.

"Kita pulang juga, yuk! Atau ada yang masih mau dibeli?" Rahman memilih bertanya hal lain dan tidak menyinggung ucapan Dedi tadi sama sekali. Ia masih belum tahu cara menyikapinya dan takut salah langkah.

"Aku mau beli teh dan kopi dulu, Mas." Maudy menjawab dengan cepat, lalu bergegas mendahului Rahman menuju rak yang dimaksud.

Rahman mengikuti sang istri dengan langkah lambat. Diembuskannya napas panjang perlahan. Berharap Maudy tak terpengaruh dengan ucapan Dedi tadi dan mereka bisa melanjutkan kebersamaan yang seharusnya menyenangkan.

***

Rahman melipat sajadahnya yang baru saja ia gunakan untuk salat isya. Dipandanginya sang istri yang baru saja memasuki kamar. Maudy tak salat berjamaah dengannya karena tengah berhalangan dan menghabiskan waktu dengan menjahit beberapa pesanan. Sejak pulang dari supermarket tadi, Maudy tampak tidak fokus dan beberapa kali melakukan kesalahan saat menjahit. Meski tidak lantas berubah drastis seperti kemarin-kemarin, Rahman yakin sedikit banyak penyebabnya adalah pertemuan mereka dengan teman lamanya di supermarket tadi.

"Kamu mau ke mana?" tanya Rahman ketika Maudy yang baru masuk dan mengambil sesuatu dari laci di nakas bergegas keluar.

"Eh, aku mau lanjut jahit, Mas. Banyak yang perlu diperbaiki," jawab Maudy. Langkahnya yang sempat terhenti hendak kembali bergerak ketika Rahman memanggilnya lagi.

"Ada yang mau aku tanyain sama kamu. Duduk dulu," pinta Rahman.

Maudy terdiam sejenak sebelum akhirnya menurut. Ia kembali dan menempati bibir ranjang sembari menebak-nebak hal yang akan dikatakan oleh Rahman.

"Soal apa, Mas?"

Rahman tak segera bersuara. Ia tidak yakin perubahan apa yang tengah terjadi pada dirinya, tetapi ia tahu jika saat ini segala hal yang ia inginkan sebagian besar berhubungan dengan Maudy. Salah satunya membuat gadis itu merasa bahagia dan nyaman. Sayangnya, kenyataan justru menunjukkan sebaliknya. Maudy lebih sering merasa tak nyaman dengan ucapan dan tindakan orang di sekitar yang cenderung meremehkannya, termasuk Rahman sendiri. Karena itu, Rahman memberanikan diri untuk meminta kejujuran, setidaknya untuk beberapa hal.

"Kamu terganggu dengan ucapan Dedi tadi?" tanya Rahman akhirnya. Ia yakin jawabannya adalah ya, tapi ia juga yakin Maudy tidak akan serta merta mengucapkan kata yang sama.

Untungnya Maudy tidak bersikap pura-pura tidak mengerti atau lupa. Gadis itu jelas-jelas tahu arah pembicaraan mereka.

"Sedikit, tapi itu tidak perlu, kan? Jadi aku berusaha melupakannya."

Rahman tidak menyadari embusan napas lega yang lolos begitu saja. Namun, ia tetap khawatir.

"Aku minta maaf. Kamu boleh marah jika memang merasa begitu, Maudy."

Maudy tersenyum, tapi Rahman tahu itu bukan senyum tertulus yang Maudy miliki. "Nggak apa-apa, Mas. Masalah itu sudah kita ketahui sejak awal, kan. Aku tidak berhak marah. Mas Rahman juga tidak perlu minta maaf karena memang nggak salah."

"Tapi, aku---"

"Aku beneran nggak apa-apa, Mas. Jangan terlalu memikirkannya." Maudy merasa pembicaraan mereka telah berakhir dan memutuskan untuk beranjak. "Ya sudah. Aku lanjut jahit, ya. Kalau Mas Rahman perlu sesuatu, bisa panggil aku."

Rahman terpaksa mengangguk dan membiarkan Maudy pergi meninggalkan kamar mereka. Pandangannya kini terpaku pada ranjang yang dihiasi guling di tengahnya, batas yang ia dan Maudy buat sejak mereka tidur di ruangan yang sama. Benda itu masih berada di tempatnya sejak awal. Tak ada perubahan. Namun, batin Rahman menyuarakan hal lain.

Rahman ingin perubahan. Bukan sekadar batas yang perlu dihilangkan, tetapi juga rasa percaya yang harus segera ia tumbuhkan.

Rahman ingin pernikahan yang utuh bersama Maudy.

***

Good Morning Everybody. Siapa hayo yang paling demen kalau dapat notif cerita ini update? Angkat beban, angkat tangan, eh angkat jari ya buat kasih komen ter mantul. Hehehe

Ini penginnya nambah bab dari rencana semula. Karena nggak afdol kalau Rahman segampang itu dapat yang dia mau, kan, ya? Atau gimana, nih, enaknya?

Semoga diberi kesehatan dan ide yang berlimpah buat terus lanjut cerita ini. Begitu pun buat para pembaca setia, semoga nggak cuma diberi kesehatan tapi juga kebahagiaan dan keselamatan di mana pun berada. Aamiin.

Terima kasih banyak 😊
Have a nice day

Salam Baca
Suki

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro