Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 12 : Pasangan Serasi

Menjadi sempurna itu melelahkan, tetapi membiarkan ketidaksempurnaan juga bukan pilihan yang menyenangkan.

🌸🌸🌸

Rahman baru saja keluar dari mobil Carry merah yang ia parkir di halaman depan rumah ibunya ketika Salma muncul. Senyum ceria menghiasi wajah bulat gadis itu. Dari tangannya terulur selembar kertas tebal bermotif bunga-bunga merah muda.

"Undangan buat Mas Rahman," ujar Salma, bahkan sebelum Rahman memasuki pintu. Memang banyak teman yang masih menghubungi Rahman lewat sang ibu, termasuk mengirim undangan ke rumah Nurul Aini. Hanya segelintir saja yang tahu jika ia sudah tinggal di rumah yang berbeda.

Diterimanya benda itu, lalu Rahman berusaha mengingat sosok pemilik nama yang tercetak dalam undangan. Sejak menetap di ibukota selama beberapa tahun, cukup sulit baginya mengingat teman-teman yang tak begitu dekat. Kebanyakan teman sekolahnya mengenal Rahman karena mudah diingat. Putra Bu Nurul Aini, pemilik katering yang cukup terkenal di Malang. Namun, sebaliknya Rahman justru tak bisa mengingat mereka kecuali yang pernah menjadi teman akrabnya.

"Ini Fatur temen SMP-ku?" tanya Rahman memastikan. Salma mengangguk mengiakan lalu bergegas masuk mendahului sang kakak sepupu.

Rahman membawa masuk undangan tersebut seraya memikirkan tentang kehadirannya. Haruskah ia datang? Mereka tidak terlalu dekat saat sekolah dulu, tetapi ibu Fatur adalah teman Nurul Aini. Namun, jika tidak datang ia sama saja dengan tidak menghargai pengundangnya.

Belakangan ini ia sedikit trauma bertemu dengan banyak orang. Statusnya sebagai suami Maudy kerap menimbulkan obrolan tidak bermutu yang ujung-ujungnya membuat hati dongkol. Seringnya, Rahman akan menumpahkan kekesalan itu pada Maudy saat tiba di rumah. Memang bukan emosi yang melibatkan kekerasan fisik. Rahman hanya akan memilih diam dan tak menggubris istrinya. Namun, lambat laun ia merasa itu tindakan dzalim. Rahman harus menghentikannya jika tak ingin terus menjadi suami yang dzalim. Dan, menghindari pertemuan dengan orang banyak adalah yang pertama kali terpikir.

Lagipula, Rahman juga merasa jika Maudy tak sepantasnya terus menerus diperlakukan seperti itu. Kesalahannya di masa lalu mungkin fatal, tetapi bukan berarti tiap orang bebas membicarakan dan mengolok-oloknya, terlebih lagi saat Maudy sendiri sudah berusaha untuk berubah jadi lebih baik.

"Man, setengah jam lagi kirim pesanan selanjutnya, ya? Ke Lawang, daerah Wonosari," ujar Nurul Aini yang melihat kedatangan putranya memasuki area dapur. Perhatiannya lalu teralihkan pada undangan di tangan Rahman. "Jangan lupa datang ke pernikahannya Fatur, ya? Sekalian kamu ajak Maudy."

Rahman yang tadinya tak fokus pada sekitar kini terperanjat. Nama Maudy berhasil mengambil alih perhatiannya.

"Sama Maudy, Bu?" tanyanya balik dengan ekspresi kebingungan.

"Sama siapa lagi, Man? Masa' sama ibu. Kamu, kan, sudah punya istri." Nurul Aini menjawab seraya tertawa kecil.

Mengajak Maudy datang ke acara pernikahan tampaknya bukan ide yang buruk meski Rahman belum sepenuhnya yakin. Namun, toh, tidak akan ada yang melarang. Mereka pasangan suami istri, wajar jika datang bersama. Masalah gunjingan orang tentang Maudy yang tak ada habisnya, Rahman tahu jika ia harus belajar untuk mengabaikannya. Dia memang tidak terikat perasaan dengan sang istri, tetapi tetap saja kehormatan mereka berdua menjadi satu. Baik Rahman maupun Maudy wajib menjaganya.

"Ya, nanti Rahman bilang ke Maudy, Bu," balas Rahman. Ia lalu melipat dan memasukkan undangan tersebut ke saku baju. Langkahnya menuju ke arah panci besar berisi rebusan daging ketika sang ibu kembali memanggilnya.

"Kamu mau ke mana, Man?"

"Nurunin panci, Bu." Rahman mengambil serbet dan sudah bersiap mengangkat panci tersebut ketika ibunya berseru.

"Lho, itu, kan, belum matang, Man."

"Tapi barusan Ibu yang nyuruh, kan?"

Nurul Aini menggeleng-geleng. Rahman pasti sedang memikirkan hal lain hingga tak mendengar dengan benar ucapan sang ibu.

"Nanti kamu antar pesanan selanjutnya ke Wonosari, Man. Bukannya ngangkat panci." Nurul Aini menepuk keningnya, disusul tawa berderai para perempuan yang menjadi pegawainya di sana.

"Masih kangen sama Mbak Maudy mungkin, Bu Nurul," celetuk salah satu dari mereka.

Rahman menoleh dan segera menyangkal. "Nggak, kok. Lagi serius baca undangan aja, Bu."

"Iya juga nggak apa-apa, kok, Mas Rahman," timpal yang lain.

Rahman tak berniat untuk membalas candaan itu. Ia hanya tersenyum tipis seraya meletakkan kembali serbet di tangannya. Lalu, diambilnya kotak-kotak yang ditumpuk di atas salah satu meja lebar. Lebih baik dia segera mengantar pesanan daripada menjadi bulan-bulanan para ibu-ibu tukang masak.

"Lho, mau dibawa kemana itu, Man?" Namun, teguran sang ibu menghentikan gerakan Rahman.

"Mau diantar, Bu. Ke Wonosari, kan?"

Tawa berderai yang tadi sempat mereda kini kembali terdengar. Rahman yang kini membopong kotak-kotak hanya bisa menatap bingung ke arah Nurul Aini.

"Tuh, Bu Nurul. Sepertinya memang masih kangen sama Mbak Maudy."

Rahman merasa tidak nyaman dengan celetukan itu, tetapi ia tetap bertanya pada sang ibu.

"Kenapa, to, Bu?"

Nurul Aini kembali menggeleng-geleng. Namun, senyum tipis terulas di bibirnya.

"Pesanannya memang diantar ke Wonosari, tapi setengah jam lagi, Man. Nanti cepat pulang, deh, cepet ketemu Maudy biar nggak linglung begini."

Rahman tak menjawab ataupun bertanya lagi. Hanya bergegas mengembalikan kotak-kotak tadi ke tempatnya semula dengan wajah memerah menahan malu.

***

Rahman sudah memutuskan untuk mengikuti saran ibunya, kalau tidak bisa dibilang perintah. Ia akan mengajak Maudy datang ke pernikahan Fatur. Namun, dalam perjalanan pulang hingga tiba di rumah, Rahman masih belum bisa menemukan cara yang tepat untuk mengatakannya pada Maudy.

Sebenarnya mudah. Rahman hanya perlu bilang 'ayo kita ke pesta pernikahan temanku' pada sang istri. Maudy tidak akan menolak, bahkan akan langsung mengiakan tanpa bertanya. Namun, Rahman dipenuhi kebimbangan yang tercipta oleh pikirannya sendiri. Sebagian besar masih dikuasai gengsi yang selama ini menggelayutinya.

Rahman yakin, meski bibirnya menyuarakan setuju, pikiran Maudy jelas tak akan melewatkan banyak pertanyaan yang muncul dari ajakan sang suami yang terbilang langka. Kenapa tiba-tiba Rahman mengajaknya? Setelah semua sikap abai dan menjauh yang nyata. Apakah Rahman sudah bisa menerimanya? Mungkinkah Rahman sudah tidak peduli dengan masa lalu Maudy?

Rahman memang berniat memperbaiki sikap, tapi tidak lebih dari itu. Belum ada dorongan untuk mengasihi sang istri dengan cinta. Karena itu, ia takut terkesan memberi harapan pada Maudy. Karena ingin bersikap lebih baik bukan berarti lantas harus menyuguhkan sesuatu yang belum pasti.

Sungguh, Rahman bingung. Ia harus bisa mengajak Maudy pergi tanpa terkesan membuka hati. Hanya sebatas menunjukkan kewajiban diri.

Suara lembut Maudy yang mengakhiri bacaan Al Qur'an-nya terdengar kala Rahman menyongsong pintu depan. Salah satu hal yang ia sukai ketika pulang. Suara gadis itu melantunkan ayat-ayat suci di sore hari seolah membuat penatnya terlepas perlahan dan tergantikan dengan rasa tentram yang melegakan.

"Assalamualaikum," seru Rahman seraya membuka pintu. Kemudian terdengar langkah kaki mendekat dari arah kamar ibu mertuanya. Langkah tergesa milik Maudy.

"Wa'alaikumsalam, Mas."

Maudy muncul untuk menyambut sang suami yang kini sudah duduk melepas lelah di ruang tamu. Setelah berbasa-basi, gadis itu berbalik menuju dapur untuk menyiapkan minuman wajib untuk sang suami sebelum kembali berkegiatan lain. Segelas teh manis hangat.

Sepeninggal Maudy, Rahman masih tercenung memikirkan undangan pernikahan Fatur. Cukup lama ia berkutat dengan pikirannya sebelum akhirnya memutuskan untuk mandi terlebih dahulu. Berharap segarnya air bisa membuat otaknya lebih tangkas dalam berpikir, bukannya diselimuti kebimbangan tanpa henti.

Bergegas bangkit dari duduknya, Rahman pun menuju kamar mandi. Namun, saat melewati mesin jahit Maudy, kedua netranya menangkap sebuah benda yang menarik. Ia mendekat dan mendapati jika tidak hanya ada satu, tetapi dua. Benda itu sepasang.

"Ini sarimbit pesananku?" Rahman meraih kemeja batik bermotif kembang tanjung warna kuning-sawo matang. Bertepatan dengan itu, Maudy baru saja keluar dari dapur dan menghampirinya.

"Iya, Mas. Baru selesai tadi siang," jawab Maudy.

Rahman meraba jahitan pada kemeja di tangannya. Halus dan rapi. Modelnya standar, tapi tidak jadi masalah untuknya. Hasil jahitan yang bagus jauh lebih penting. Ia lalu meraih pasangannya, blus batik bermotif serupa. Pemakainya pasti akan tampak sangat serasi. Cukup lama Rahman memegangi kedua benda itu sampai akhirnya ia berseru pelan.

"Kebetulan. Bisa langsung kita pakai."

Maudy tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya akan ucapan Rahman. Ia menatap sang suami lalu bertanya.

"Memangnya mau dipakai ke mana, Mas?"

"Pernikahan temen SMP-ku. Tadi baru dapat undangannya. Acaranya dua hari lagi. Di kampung sebelah." Rahman meletakkan kembali sarimbit tersebut, kemudian mengambil alih gelas teh manis dari tangan Maudy. "Aku mau makan dulu, ya. Sudah lapar banget," lanjutnya, mengurungkan niat untuk mandi lebih dulu.

Maudy mengangguk mengiakan sebelum akhirnya berbalik kembali menuju dapur. Dalam langkahnya, gadis itu tersenyum seolah baru saja mendapatkan kebahagiaan. Sementara itu, Rahman mengambil duduk di kursi terdekat, menyeruput tehnya dengan keyakinan jika yang baru saja ia lakukan adalah cara yang tepat. Menurutnya sarimbit itu membuat Rahman tak perlu memberi harapan untuk Maudy. Mereka akan datang sekalian mencoba busana baru. Hanya itu.

Sayangnya, kali ini Rahman salah.

***
Sebagaimana acara pernikahan pada umumnya, pernikahan Fatur dengan sang istri yang berasal dari luar kota sangat ramai. Sebagian besar karena orangtuanya adalah salah satu orang terpandang di wilayah tempat tinggal mereka. Makanan yang dihidangkan pun sungguh luar biasa. Mereka menyewa katering yang lebih besar dibanding milik Nurul Aini. Dengar-dengar katering berkelas hotel bintang lima. Namun, acara sengaja tidak diadakan di gedung untuk menjangkau semua kalangan undangan.

Rahman yang pada dasarnya datang hanya demi memenuhi undangan tak begitu takjub dengan pesta tersebut. Dekorasinya boleh saja super bagus, dengan ratusan bunga mawar segar yang ditata menyerupai kubah, menaungi pelaminan. Makanannya pun boleh saja sekelas bintang lima, begitu pun sang mempelai perempuan yang memang jelita. Namun, tiap orang tentu memiliki sisi sendiri dalam bahagia yang mereka rasakan. Tak terkecuali Rahman.

Karena masih bekerja pada hari itu, Rahman datang bersama Maudy pada malam hari. Safitri mereka amanatkan pada si kembar yang dengan senang hati menerima sementara mereka pergi. Sewaktu masih di rumah tadi, tidak ada yang istimewa. Namun, segera setelah melihat Maudy memakai blus batik sarimbit buatannya, Rahman tak bisa menolak untuk tidak terpesona.

Maudy cantik. Itu adalah fakta yang tidak bisa dipungkiri. Kalau tidak, mana mungkin dulu banyak pemuda yang patah hati saat gadis itu masih remaja. Teman-teman Rahman bahkan banyak yang menjadi korban. Namun, apa yang Rahman lihat dulu dan sekarang berbeda. Maudy yang ia kenal sebelumnya lebih glamor dan terkesan angkuh. Bisa jadi karena status sang ayah. Sekarang, gadis itu begitu sederhana, tetapi di mata Rahman anehnya kecantikannya justru terpancar sempurna. Hanya make up tipis dan sebuah blus batik kembang tanjung. Tanpa perhiasan atau dandanan berlebih, tapi sukses membuat Rahman tak berkedip dan sering curi-curi pandang pada sang istri.

"Mas Rahman mau makan dulu atau ke pengantinnya dulu?" Pertanyaan Maudy mengejutkan Rahman dari keasyikannya mengagumi paras rupawan sang istri. Sedikit tergagap laki-laki itu menjawab.

"Ke pengantinnya dulu aja, biar nanti pas makan nggak buru-buru."

Maudy mengangguk sembari tersenyum. Tak sadar jika hal itu membuat hati Rahman semakin berdesir.

Keduanya lalu melangkah menuju pelaminan untuk menyapa mempelai. Berfoto bersama sebagai formalitas sebelum akhirnya menuju meja hidangan yang disediakan.

"Mas Rahman mau diambilkan makanan apa?" tanya Maudy seraya mengambil piring dan sendok.

"Aku ambil sendiri aja," tolak Rahman. Ia hanya berusaha untuk tetap bisa memandangi sang istri diam-diam. Masih malu rasanya menunjukkan hal itu secara terang-terangan mengingat sikapnya pada Maudy selama ini.

Maudy pun mulai melangkah untuk memilih makanan yang ia kehendaki. Meninggalkan Rahman yang menjaga jarak. Dari jauh pun, Rahman bisa melihat kecantikan sang istri yang ia sesali karena baru menyadarinya sekarang. Ia memang tahu Maudy cantik, tetapi setelah hidup bersama berbulan-bulan ia baru benar-benar yakin jika gadis itu memiliki kecantikan luar dalam. Seharusnya Rahman bersyukur untuk itu. Namun, lagi-lagi gengsi menahannya untuk sepenuhnya berpaling dari pendirian. Rahman merasa ia harus membuat proses atau Maudy akan menganggapnya berubah terlalu drastis dan mempertanyakannya.

Keasyikan Rahman mengagumi Maudy terusik tatkala kedua matanya menangkap sosok yang tak asing. Perempuan paruh baya yang sangat ia hindari, kini berdiri di hadapan Maudy yang tengah mengambil nasi. Bu Sugeng, kali ini tidak sendirian. Perempuan penggosip itu sedang bersama dua ibu-ibu lain seumuran. Mendadak perasaan Rahman jadi tak nyaman, terlebih saat ia bisa melihat tatapan penuh arti Bu Sugeng pada Maudy. Ia pun bergegas menghampiri sang istri, berusaha menyelamatkannya dari masalah.

"Eh, Nak Rahman. Datang sama pasangan, to?" Bu Sugeng langsung menyapa dengan keramahan yang dibuat-buat. Bahkan terdengar penekanan saat menyebutkan kata pasangan.

"Iya, Bu." Rahman hanya menjawab singkat. Ia hendak meraih tangan Maudy ketika Bu Sugeng dengan cepat kembali bicara.

"Wah, kalian sarimbitan? Pasangan yang serasi. Manis sekali," Bu Sugeng berkata sembari mengerling pada dua rekannya, "semoga rumah tangga kalian juga manis, ya, meski si istri sudah sepah. Maklum, kan, ya, udah mengalami kata pepatah. Habis manis sepah dibuang. Nak Rahman berhati baik sekali bisa menerimanya."

Rahman sadar dia juga pernah tidak menyukai Maudy karena masa lalunya, tapi kata-kata Bu Sugeng menurutnya sudah keterlaluan. Ia menoleh pada Maudy, takut istrinya itu bersedih hati dan tak bisa menahan air mata karena baru saja dihina. Namun, apa yang dilihat Rahman kemudian tidak sama seperti dugaannya.

Maudy tidak menangis, bahkan tidak sekadar berkaca-kaca. Mata gadis itu justru dipenuhi amarah. Tangannya yang menggenggam sendok kuat-kuat meyakinkan Rahman jika Maudy sudah kehilangan kesabaran. Satu hal yang tidak pernah Rahman lihat sebelumnya. Mendadak ia khawatir akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Karenanya, saat Maudy bersiap membuka mulut untuk bicara, Rahman segera menariknya pergi. Ia bahkan tidak berbasa-basi pada Bu Sugeng karena meninggalkannya.

Mereka berdua kini berada di meja hidangan lain yang cukup jauh dari Bu Sugeng. Rahman melepaskan cekalannya pada tangan Maudy dan masih melihat tatapan penuh amarah itu.

"Kamu nggak apa-apa, kan?" tanya Rahman, meski ia yakin jawabannya adalah tidak.

Maudy tidak menjawab. Tatapannya masih tertuju pada Bu Sugeng. Masih penuh amarah. Namun, gadis itu tetap menutup mulut saat Rahman menanyainya untuk kedua kali.

Rahman bingung. Ia hanya takut terjadi pertengkaran, karenanya ia mengajak sang istri menjauh. Awalnya ia tidak yakin hal itu bisa terjadi, tetapi melihat perubahan pada diri Maudy, Rahman mendadak tidak yakin dengan dugaannya. Istrinya itu bisa marah sewaktu-waktu dan tidak ada yang tahu seberapa besar kemarahan seseorang yang selama ini terlihat sabar.

"Jangan marah sama Bu Sugeng. Orangnya memang begitu, kan." Rahman kembali bersuara, mencoba mencairkan suasana. Namun, Maudy tetap diam dan justru meninggalkan Rahman sendirian menuju meja lain.

Rahman hanya bisa mematung di tempat. Ia melihat Maudy yang berjalan menjauh, lalu berpaling pada Bu Sugeng yang masih asyik bergosip dengan rekan-rekannya sembari menyantap makanan. Jujur, ia tidak suka dengan sikap Maudy hari ini, tapi itu bukan sepenuhnya salah gadis itu. Rahman hanya bingung karena tidak tahu cara menghadapinya, bahkan ia takut Maudy juga marah padanya. Setelah beberapa saat, bahu Rahman pun merosot, lalu ia mengembuskan napas panjang dan bergumam dalam hati.

Kenapa, sih, Bu Sugeng ada di mana-mana?

***
Setuju nggak kalau spesies macam Bu Sugeng itu memang ada di mana-mana? Apa jangan-jangan mereka ini satu klan? Hehehe.

Jangan lupa tinggalkan jejak, ya, biar makin sayang😊

Salam Baca
Suki

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro