Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 11 : Harapan Kecil

Ada sesuatu yang seringkali terlupa saat kita berduka, bahwa tanpa ia maka kita tak akan pernah mampu mengungkapkan rupa sukacita.

🌸🌸🌸

Rahman terbangun dengan badan terasa pegal dan kaku. Tidur seharian tak sepenuhnya membuat rasa lelah di tubuhnya berkurang, tetapi setidaknya demamnya sudah turun. Ditengoknya nakas di samping tempat tidur, lalu beralih pada jam dinding yang menunjukkan pukul tiga sore.

Teh manis yang Maudy buatkan pagi tadi masih tersisa setengah gelas. Rahman hanya meminumnya sedikit setelah sarapan, lalu minum obat. Minuman itu sudah dingin, dan perutnya bersuara meminta diisi. Teringat bubur tawar yang disajikan sang istri untuk sarapannya tadi. Cukup enak untuk ukuran orang sakit, tetapi Rahman berharap bisa menyantap hidangan yang lebih menggugah selera.

Terdengar suara mesin jahit sewaktu Rahman memutuskan untuk beranjak dari tempat tidur. Ia melangkah pelan menuju pintu, lalu mengintip sang istri sebelum benar-benar keluar kamar. Selama ini ia tak pernah benar-benar memperhatikan kegiatan Maudy selama di rumah. Rahman hanya tahu istrinya itu menjahit pakaian, mata pencahariannya sejak sebelum menikah, tetapi ia bahkan tidak tahu baju-baju apa yang sedang dibuat gadis itu.

Tampak Maudy sedang duduk menghadap mesin jahitnya, berkonsentrasi mengutak-atik selembar kain bermotif batik. Di meja kecil di sampingnya, tergeletak sebuah kemeja batik seukuran laki-laki dewasa dengan motif serupa. Mendadak Rahman penasaran.

Dengan langkah perlahan, Rahman akhirnya menghampiri Maudy. Gadis itu begitu serius dengan pekerjaannya hingga tak menyadari kehadiran sang suami.

"Kamu lagi buat apa?" tanya Rahman, berhasil mengejutkan Maudy yang sedang menjahit bagian lengan. Hampir saja jahitannya melenceng.

"Lho, Mas Rahman sudah bangun?" Maudy menghentikan pekerjaannya, kemudian melihat jam dinding. Ia mengucap istighfar ketika mendapati hari sudah sore. Terlebih saat beberapa saat kemudian terdengar pujian-pujian menjelang azan ashar dari masjid terdekat. "Mas sudah merasa enakan? Demamnya sudah turun?"

"Udah mendingan. Makasih banyak, ya." Rahman tidak bisa berpura-pura lupa kalau Maudy sudah merawatnya dengan baik, terlepas dari Rahman sehat ataupun sakit. Berada di rumah saat hari kerja juga menjadikan Rahman memiliki sedikit kesadaran untuk lebih menghargai sang istri. Setidaknya berupa ucapan terima kasih yang selama ini hampir tak pernah ia sampaikan dengan sungguh-sungguh.

Maudy tersenyum tipis, tak merasa perlu merespon ucapan tersebut karena baginya merawat sang suami merupakan kewajiban. Ia lalu menyisihkan kain yang sedang ia kerjakan dan bangkit dari duduk.

"Alhamdulillah," ucap Maudy penuh kelegaan. Rahman hampir tersenyum melihat reaksi sang istri. Perempuan lain sejatinya tak perlu bertanya lebih dulu dan akan langsung menempelkan telapak tangan di dahi sang suami untuk mengecek demamnya. Namun, dalam hubungan mereka berdua interaksi semacam itu sama sekali bukan hal yang biasa. "Oh, ya. Biar aku ambilkan makanan. Mas Rahman harus makan lagi setelah itu minum obat."

Maudy sudah hampir berdiri ketika pertanyaan Rahman menghentikannya. "Ini kamu buat apa?"

Rahman mengulangi pertanyaan pertamanya. Kali ini sembari memegang kemeja batik yang telah jadi di atas meja.

"Oh, itu, Mas. Ada yang pesan sarimbit untuk sekeluarga, tapi aku baru nyelesaiin kemeja buat ayahnya saja."

Rahman mengangguk mengerti. Rasa penasarannya terjawab sudah. Tadinya ia mengira itu pesanan seorang laki-laki saja, yang berarti untuk bisa menentukan ukuran baju, sang pemesan harus datang ke Maudy. Membayangkan seorang laki-laki datang ke rumah saat ia tak ada membuat Rahman tidak suka. Namun, penjelasan sang istri membuatnya bernapas lega. Jika itu adalah pesanan keluarga, biasanya sang istri atau ibu yang akan turun tangan untuk menghandle semua. Tak perlu ada laki-laki yang mendatangi Maudy. Dan, cerita Nurul Aini jika Maudy begitu menjaga jarak dengan laki-laki setidaknya bisa dipercaya.

Selesai dengan rasa penasaran Rahman, Maudy pun melanjutkan niatnya yang tertunda. Ia beranjak menuju dapur untuk menyiapkan makanan bagi sang suami. Tak diduga, Rahman mengikutinya.

"Ibu tidur ya?" tanya Rahman yang dijawab dengan anggukan oleh Maudy. Tangan gadis itu dengan cekatan mengambil piring dan mengisinya dengan nasi serta lauk pauk berupa ayam goreng dan sayur sop. "Kamu sudah makan?"

Maudy tidak yakin maksud dari pertanyaan Rahman tersebut. Kalau boleh berharap, ia ingin kalimat itu berisi perhatian yang bisa membuat mereka lebih dekat. Namun, ia sadar jika terlalu banyak berharap tidak akan membuatnya bahagia. Karena yang ia perlukan sebenarnya adalah usaha nyata. Usaha agar sang suami bisa melihat ketulusannya dan menerima Maudy apa adanya. Sayang, Rahman bukan tipe laki-laki yang bisa melupakan masa lalu dengan mudah dan Maudy lebih dari sadar diri untuk mengetahui hal itu.

"Belum. Tadi habis masak, aku langsung lanjutin jahit," jawab Maudy seraya mengangsurkan piring pada Rahman yang sudah duduk menunggu.

"Kalau gitu ayo makan sama-sama," ajak Rahman yang sukses membuat Maudy terkejut. Meski bagi orang lain makan bersama dengan pasangan adalah hal lumrah, bagi Maudy sebuah ajakan untuk itu dari Rahman adalah anugerah. Suaminya tidak lagi bersikap dingin dan menjaga jarak. Itu berarti sebuah kemajuan.

Maudy pun mengangguk. Ia lalu mengambil piring untuk dirinya sendiri. Setelah itu duduk di samping sang suami untuk menyantap makanan bersama. Namun, sebelum kegiatan itu dimulai Maudy lagi-lagi dikejutkan dengan ucapan dan tingkah Rahman selanjutnya.

"Oh, ya. Pesanan sarimbit tadi masih lama nggak selesainya?"

"Nggak sampai seminggu bisa selesai, Mas. Kenapa?"

"Nanti kalau sudah selesai, kamu buatin sarimbit lagi ya? Buat aku."

Maudy yang menahan diri untuk tak sering berharap hanya bisa melontarkan pertanyaan netral. "Mas Rahman pengin dibuatin kemeja batik juga?"

"Ya kamu juga. Namanya sarimbit, kan, mesti berpasangan."

Rahman menjawab sembari tersenyum canggung. Namun, itu lebih dari cukup bagi Maudy untuk tahu jika harapan yang selalu berusaha ia sisihkan ternyata Allah kabulkan. Bukan sesuatu yang besar, tetapi amat patut disyukuri. Karenanya, Maudy mengangguk mengiakan permintaan sang suami dan balas tersenyum.

***
"Assalamualaikum."

Meski belum melihat rupa tamu yang mengucap salam di luar pintu rumahnya, Rahman sudah bisa mengenali suara cempreng dobel itu. Milik si kembar yang pasti datang untuk menjenguknya. Hari ini pekerjaan di katering cukup banyak dan Rahman justru meminta libur. Rasanya tidak nyaman meski atasannya adalah ibu Rahman sendiri. Namun, Nurul Aini dengan senang hati justru mengizinkan dengan alasan Rahman belum pernah mengambil libur.

"Wa'alaikumsalam," jawab Rahman seraya melangkah menuju pintu depan. Benar saja, ketika pintu terbuka tampaklah sosok dua gadis remaja berwajah sama yang tengah nyengir padanya.

"Lho, katanya sakit, Mas?" Seperti biasa, Salma langsung memulai obrolan bahkan sebelum Rahman mempersilahkannya masuk.

"Emang lagi sakit, tapi udah enakan," jawab Rahman. Ia memberi jalan agar kedua sepupunya bisa masuk.

"Alhamdulillah," balas Salwa, "sekalian bisa berduaan sama Mbak Maudy di rumah."

"Wa, bertiga, dong. Kan, ada Bu Safitri juga," timpal Salma diikuti gelak tawa keduanya. Rahman hanya bisa menghela napas karena kejailan sepupu kembarnya itu sudah muncul lagi.

"Ibu nggak apa-apa? Pesanan hari ini cukup banyak, kan?" Rahman mengabaikan candaan si kembar dan menanyakan ibunya segera setelah si kembar duduk manis di kursi ruang tamu.

"Nggak apa-apa. Cuma kecapekan, makanya kita yang nawarin diri buat jenguk Mas Rahman. Biar Bude bisa istirahat."

Posisi supir di katering Nurul Aini memang tak memiliki cadangan. Perempuan itu sendiri yang akan turun tangan. Nurul Aini bisa mengemudikan mobil sendiri, keahlian yang ditinggalkan sang suami dengan harapan istrinya tak terlalu menggantungkan orang lain. Untuk ukuran perempuan paruh baya, Nurul Aini cukup mahir mengemudi. Namun, atas alasan usia pula ia tidak menyentuh kemudi kecuali benar-benar diperlukan.

"Bagus, kalian memang keponakan yang berbakti," puji Rahman yang membuat si kembar tersenyum lebar. Beberapa saat kemudian, keduanya tiba-tiba bangkit. Teringat pada kantung plastik berisi buah tangan untuk si sakit yang masih dalam genggaman tangan.

"Kita mau ke dapur, ya, Mas? Sekalian ketemu Mbak Maudy," izin Salma yang bergegas ke dapur disusul saudarinya.

Maudy ternyata ada di ruang tengah, masih menyelesaikan pekerjaannya siang tadi. Ia tersenyum menyambut kedatangan si kembar.

"Eh, maaf aku nggak tahu kalau kalian datang. Lagi sibuk jahit," ujar Maudy yang dengan segera menghentikan pekerjaannya.

"Nggak apa-apa, Mbak. Oh ya, ini kami bawa buah sama roti. Aku taruh di meja dapur, ya," balas Salma. Ia bergegas melakukannya dan segera kembali untuk bergabung dengan saudarinya yang tengah mengamati pekerjaan Maudy.

Maudy sudah hampir selesai mengerjakan kemeja batik anak untuk sarimbitnya. Permintaan Rahman tadi sore membuatnya bersemangat untuk segera menuntaskan pesanan terakhir dan bisa segera membuatkan sang suami kemeja batik juga.

"Wih, bagus ini, Mbak. Jahitannya halus, rapi. Pesanannya siapa?" tanya Salwa yang memegang hasil karya Maudy.

"Keluarga Bu Joko," jawab Maudy. Ia merasa senang ketika ada yang menganggap hasil kerjanya bagus, terlebih lagi jika mereka senang memakainya. Pujian mereka membuat Maudy bersyukur dan senang. Bantuan keluarga Rahman, tepatnya Nurul Aini untuk membiayai kursus menjahitnya jadi tidak sia-sia.

"Oh, kirain buat Mas Rahman," jawab Salma.

"Mas Rahman akan aku buatin sendiri nanti." Jawaban Maudy sukses membuat si kembar saling mengerling jail. Terlebih pada saat yang sama Rahman juga masuk ke ruang tengah. Ia tidak heran sewaktu mendapati sepupu kembarnya tertawa kecil sekaligus misterius. Itu berarti ada sesuatu yang mereka temukan untuk bisa kembali menggodanya. Rahman hanya tidak tahu apa itu.

"Jahitnya dilanjutin besok aja. Sudah seharian juga. Nanti ikut sakit juga gimana?" Rahman akhirnya memilih berpaling pada sang istri dan bersikap layaknya suami yang perhatian. Ia tidak yakin mengapa melakukan itu selain hanya karena ia ingin melakukannya.

"Cie, cie. Baru juga sehari berduaan di rumah, udah perhatian aja."

"Mentang-mentang mau dibikinin kemeja batik sarimbit-an."

Rahman tertegun dengan bercandaan si kembar. Menyadari jika itulah sumber keisengan mereka. Ia lalu menatap Maudy dengan ekspresi tak terbaca. Cukup lama, tetapi tanpa kata-kata. Dan, sebelum ada reaksi lebih lanjut dari Maudy maupun si kembar, Rahman sudah melangkah menuju kamarnya. Meninggalkan ketiga gadis itu dengan pikiran masing-masing.

Sementara Salma dan Salwa bertukar pandang dan tampak bingung, Maudy justru tercenung. Merasa telah melakukan kesalahan lagi. Padahal ia dan Rahman baru saja mulai dekat.

Sesaat kemudian, Maudy hanya bisa mengembuskan napas panjang. Harapan kecilnya mungkin tak jadi terwujud.

***
Halo, kangen nggak sama Rahman dan Maudy? Kalau iya, berarti meski nyebelin si Rahman tetep ngangenin, ya? Hehehe.

Btw, wattpad kalian baik-baik saja, kan? Soalnya beberapa hari ini wattpad-ku nggak bisa diakses. Aku coba di gadget lain pun sama. Jadinya, maaf, ya, update-nya jadi terkendala.

Alhamdulilah sekarang udah bisa lagi. Semoga nanti nggak ngadat lagi karena aku belum tahu kendala yang kemarin-kemarin karena apa.

Finally, selamat membaca. Semoga kalian suka. Feel free untuk meninggalkan jejak, ya. Terima kasih.

Salam Baca 😉
Suki

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro