3 (Revisi)
"Main ludo kuy!" Gadis menaruh ponselnya ke meja belakang dimana Rita –salah satu sahabatnya duduk.
Gadis sepertinya sedang dilanda kegabutan. Pelajaran Matematika yang digabung jadi tiga jam pelajaran, kali ini kosong full, tapi meninggalkan tugas dari buku paket.
"Si, main, kuy!" Gadis mendorong kursi teman semejanya itu dengan kaki. Sisi yang sedang mengerjakan tugas meniup poninya dan melihat Gadis jengkel.
"Kalian ajalah. Gue ngerjain tugas dulu."
Gadis mendelik. "Elah. Lo rajin amat. Paling si Mario Bros bakalan lupa."
Mario Bros. Panggilan Gadis pada Pak Rahmat yang notabene guru Matematika. Panggilannya spesial buatan Gadis sebab Pak Rahmat memiliki tubuh yang tambun dan pendek seperti pemain nintendo itu.
"Ayo, Si!" bujuk Gadis.
"Oke. Tapi, satu babak, ya!"
Gadis mengangguk. Sisi pun meletakkan pensil dan menutup buku, kemudian berbalik.
"Eh, si doi enggak akan ikut tuh!" tunjuk Gadis oleh dagunya pada teman semeja Rita yang sedang tertidur pulas.
"Jangan deh jangan," elak Rita dengan muka enggan.
"Kenapa?" tanya Gadis bingung.
"Gue pernah coba bangunin." Rita menjelaskan dengan nada terpaksa. "Ilernya udah kayak bisa bikin kolam lele, anjir."
Sisi dan Gadis tergelak. Pantas saja selama Erika –teman semeja Rita—kalau tidur wajahnya tertutup oleh rambut yang agak panjang. Mungkin guna untuk menutup aib.
"Serius, Ta?" tanya Gadis sembari masih terkekeh geli.
Rita mengangguk. "Terus gue kan pernah minjem novel dia." Rita menghela napas. "Tuh kertas novel kayak yang kena air gitu, kan keringnya jadi beda, ya. Gue tanya dia, jawaban si Erika katanya itu bekas iler."
Gadis tambah ketawa ngakak. Beberapa orang melengos ke arahnya. Tidak ada yang mengecam karena kelas 11 IPA 4 tidak semuanya belajar. Bahkan, salah satu sudut kelas ada yang menonton drama korea lewat satu laptop. Untuk cowok, ada yang main PS dekat colokan.
"Jijik, anjir!" umpat Gadis.
"Udahlah, jangan omongin, enek gue lama-lama," ucap Rita sambil mengutak-ngatik ponsel Gadis. "Kalian mau warna apa? Gue biasa, ya, kuning."
"Gue biru!" jawab Gadis.
"Gue merah aja, deh!" sahut Sisi.
Permainan dimulai. Giliran pertama dari Rita, Gadis, lalu Sisi. Sembari bermain, sesekali mereka membicarakan beberapa hal termasuk Rita yang penasaran pada luka-luka di muka Gadis.
Teman sekelas Gadis atau yang memang kenal Gadis tidak aneh kalau Gadis suka babak belur seperti sekarang. Namun, biasanya mereka akan tahu alasannya sebab rata-rata Gadis suka bergulat dengan sekolah sebelah atau teman sekolah sendiri. Tidak terlalu sering, tapi cukup membuat Gadis dikenal banyak orang.
Gadis bukan jenis badgirl sebab lawannya sama-sama cewek. Paling jambak-jambakkan atau cakar-cakaran. Kalau dengan cowok, Gadis hanya berani menyalak. Mungkin cewek itu sadar diri pada kemampuan bela dirinya.
"Dis, gue penasaran sama tuh muka. Lo berantem sama siapa, sih?"
"Gue kan udah bilang, masalah biasa," jawab Gadis sambil menyentuh layar ponselnya sekali. "Enggak usah taulah."
"Lo buat masalah ya di kampus Kak Ali?"
Gadis sontak menoleh pada Sisi dengan muka kaku. "Lho?"
Sisi berdecak dan memainkan gilirannya, lalu melihat Gadis lagi. "Lo kan kemaren pulang ke sana, pasti lo bikin masalahnya enggak akan jauh-jauh dari sana."
Bukannya merasa takut, Gadis malah menepuk-nepuk pundak Sisi seolah Sisi mendapatkan kejuaraan nasional. "Pantes ya lo masuk ranking trus. Otak lo encer juga."
Sisi mendengkus dan mengusap-usap pundaknya karena agak ngilu. Pukulan Gadis tidak bisa dianggap sepele.
"Beneran, Dis?" tanya Rita kaget.
"Eh, itu giliran lo dulu, Ta," tunjuk Gadis dan Rita pun menyentuh ponsel Gadis tersebut.
"Kok bisa sih, Dis? Masalah apa lo sama calon dokter itu?" tanya Rita sesaat selesai memainkan gilirannya.
Gadis menghela napas sebentar. Sebenarnya, dia malas unuk menceritakan kronologi peperangan kemarin itu seperti apa. Gadis selalu naik darah kalau mengingatnya.
"Gue kan nembak Kak Ali kemarin ...." Belum sempat menyelesaikan ucapannya, Rita hampir terjungkal ke belakang dengan wajah kaget.
Tak kalah dari Rita, Sisi yang biasanya cuek sekarang tak tahan untuk tidak menganga. "Lo gila?"
"Kenapa, elah?" Gadis memutar bola matanya.
"Pantes, ya, lo jomlo terus sampe sekarang," sahut Rita dengan muka mengejek.
"Maksud lo apa?" Gadis protes.
Rita berdecak, kemudian geleng-geleng prihatin pada Gadis. "Lo mau tujuh belas tahun, tapi masalah cowok awam banget."
Penjelasan Rita membuat Gadis menatap cewek itu bingung.
"Cowok itu enggak suka cewek yang agresif, Dis. Bikin dia penasaran kali-kali. Jangan disahutin mulu, elah."
Muka Gadis mendadak masam. "Lo boleh bilang gitu kalau lo sendiri sekarang udah punya pacar kali."
Rita sontak kicep.
"Terus tuh luka lo dapet dari mana?" Sisi mengalihkan pembicaraan saat suasana jadi suram. Lagian Sisi tidak terlalu suka untuk membicarakan soal cowok.
"Dari pacarnya," jawab Gadis sambil bermain gilirannya.
"Pacar?" sahut Sisi kaget.
"Kak Ali udah punya pacar, Dis?" timpal Rita. Ketiganya pun membiarkan permainan ludonya terhenti sebentar. Cerita Gadis lebih seru dibandingkan kemenangan dari permainan itu.
"Gue juga awalnya enggak tahu." Gadis menyender pada tembok di belakangnya. "Yaudah, gue tembak aja kemarin tuh. Gue kan mikirnya mungkin Kak Ali malu atau sibuk sampe enggak bisa bikin kejutan buat nembak gue."
"Geer anjir lo!" Rita melempar kertas yang diremas pada Gadis.
"Junjung rasa percaya diri di atas segalanya, guys!" sahut Gadis mengepalkan tangannya ke udara.
"Trus trus?" tanya Sisi lagi tanpa peduli pada orasi Gadis barusan.
"Gue juga kan ngiranya kalau tanggal di bionya itu tanggal ultah. Jadi, gue enggak pernah tanyain dia udah punya pacar atau belum," lanjut penjelasan Gadis. "Pas gue nembak, ya pasti gue ditolak, kan. Gue nanya, terus tanggal itu tanggal apa?"
"Kak Ali jawab apa?" Rita mencondongkan badannya ke arah Gadis.
"Ya bener itu tanggal ultah Kak Ali," jeda sesaat, kemudian Gadis meneruskan, "sama hari jadiannya."
"So sweet, ya, mereka." Rita malah menerawang betapa manisnya hubungan Kak Ali dengan pacarnya dan sukses membuat raut Gadis tambah muram, sedangkan Sisi menatap teman semejanya itu tajam.
"Tuh, kan gue juga bilang apa, Dis. Udah deh nyari cowok lain aja. Jangan dari kampus-kampus gitu. Dari sekolah sendiri kek atau sebelah."
Gadis yang jengah pada nasihat Sisi yang itu-itu mulu mengangguk. "Iya, Ibu Sisi."
Permainan ludo yang sempat tertunda pun dilanjutkan lagi dengan topik yang dibicarakan berbeda. Meski Gadis yang sesekali terus disudutkan.
**
Gege turun dari matic-nya disusul oleh Gery –sahabatnya— yang naik ninja di samping Gege. Keduanya disambut oleh cowok yang saat ini baru saja membuka sepatu di teras rumah. Kernyitan bingung tidak lepas dari cowok tersebut.
"Kalian ngapain ke sini?"
Gege mengedik. "Tahu tuh si Gery ngajakin ke sini."
Gery nyengir di samping Gege. Senyum Gery selalu mempunyai makna lain.
"Gue bawa film baru."
Gege menarik ujung bibirnya. "Lo berguna di saat kayak gini, Bro!"
Dika pun mengerti apa yang dibicarakan dua temannya, kemudian ia mengajak Gery dan Gege untuk masuk ke dalam rumah.
"Lo sibuk apa, sih, Dik? Waktu SMP lo selow aja sama tugas."
Dika yang baru saja masuk ke dalam kamar karena meletakkan sepatunya dulu langsung ditanya Gery. Dika mengembuskan napasnya lega setelah melempar tas dan duduk selonjor di depan dua temannya itu.
"Biasalah anak SMK. Enak lo pada enggak banyak praktek. Nah, gue? Nyepelein tugas sama aja bunuh diri. Bisa-bisa gue di-DO."
Gery meringis. "Menderita banget ya lo kayaknya."
"Eh, nyokap lo di mana?" tanya Gege.
"Oh ad—"
"Tante! Tante!"
Muka Dika mendadak masam. Gege mengernyit penuh tanda tanya sama halnya dengan Gery.
"Tuh siapa, Dik?" tanya Gery heran. Baru kali ini rumah Dika didatangi suara perempuan, kecuali ibunya.
Dika baru saja mangap dan seorang cewek sudah berdiri di ambang pintu kamarnya.
"Eh, Dik. Nyokap lo di mana?"
"Lo?" Suara Gege mengalihkan perhatian cewek itu.
"Eh, anjir si tukang micin di sini," sahut Gadis sembari melenggang masuk ke dalam kamar Dika dan duduk di atas karpet seperti tiga cowok di depannya itu.
"Lo ngapain di sini?" tanya Dika ketus saat melihat Gadis.
Gadis mengedik. "Nyokap lo manggil gue ke sini kalo pulang sekolah. Kalau kalian ngumpul di sini ngapain?"
Gery yang baru saja menarik sebuah kaset dari dalam tasnya seketika kaku. Gadis yang sudah mengetahui kebiasaan Dika dan teman-temannya kalau sudah kumpul mengilat jenaka.
"Nonton porno, ya?"
Gery menggeleng, tapi mukanya cukup mencurigakan bagi Gadis. Cewek itu cepat berdiri dan hendak ke luar kamar. "Tante! Dika non—"
Mulut cewek itu langsung dibekap oleh Dika.
"Hmpphh le—" Saat tenaga Dika sudah kehabisan karena Gadis yang terus memberontak, cewek itu memanfaatkannya untuk mendorong Dika dan cowok itu berhasil terjengkang ke belakang, "Tante! Dika nonton porno, Tan!"
"Anjir!" Gege mengumpat.
Dika cepat-cepat menahan betis Gadis dan membuat cewek itu jatuh mencium lantai dengan suara yang cukup ngilu. Dika memberi kode pada Gery untuk mengambil bedcover dari atas ranjang. Gadis pun diselimuti oleh Gery dan ditindihnya cewek itu oleh tumpukan bantal dan Gery yang menahannya. Cowok itu bagian kepala, Dika menahan tangan Gadis, dan Gege kakinya.
"Eh, Dika?" Suara mama Dika membuat tiga cowok itu mendongak kaget.
"E-eh, Mama?" Dika menyengir dengan keringat dingin di dahinya.
"Tadi Mama denger suara Gadis. Sekarang di mana ya anaknya?" tanya Ratna sembari mengintai kamar Dika. "Itu siapa, Dik? Kasian diselimutin gitu," lanjutnya sembari menunjuk pada sesuatu yang ditutupi bedcover serta ditahan oleh tiga orang sekaligus. Sesekali ada pergerakan, setelahnya diam.
"Hmm ... t-temen Dika, Ma."
"Temen siapa?" tanya Ratna, lalu mendekati ketiganya.
Dika mendadak kelimpungan. Bisa bahaya kalau tahu Gadis ternyata yang sedang disekap.
"Ma, ambilin camilan aja, ya."
Mama sedikit curiga, tapi wanita paruh baya itu menurut dan keluar dari kamar Dika.
Melihat itu, Gege lekas menutup kamar. "Untung, untung ...." Gege bernapas lega.
Gery menjauhkan tangannya dan menyender ke tembok sembari terengah. "Tenaga cewek ini gede banget, anjir."
"Eh, tapi, kok udah enggak gerak?" Dika menatap heran pada Gadis yang masih di bawah bedcover-nya. Cewek itu tadinya masih gerak-gerak, tapi sekarang malah terdiam seperti sudah mati.
"Eh, anjir, lepasin tuh bantal. Keabisan napas dia!" seru Dika dan diangguki oleh Gege.
Lalu, disibakannya bantal serta selimut tebal tersebut. Tampak Gadis yang sudah pucat dan napasnya yang terengah dengan posisi badan telungkup. "Gila, lo." Gadis pun menutup matanya. Tiga cowok itu pun mengembuskan napasnya panjang.
"Untung Gadis yang dibekap," gumam Dika melihat Gadis yang sepertinya sudah pingsan.
**
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro