Bagian 8
"Di sini?" Wira mengamati keadaan sekitar, tepat di sebelah kiri mobilnya berhenti terdapat gang sempit yang Ara tunjukkan. Sebenarnya jika ia memaksa masuk mengendarai mobilnya masih bisa, namun jika berpapasan dengan kendaraan lain akan sulit baginya untuk bergerak.
"Iya, Pak."
Wira sedikit memajukan mobilnya dan menepi di tempat yang agak luas agar tidak menghalangi jalan.
"Terima kasih sudah mengantar saya sampai sini, Pak." Ara tampak memaksakan senyum tak enak hati.
"Ayo." Wira yang malah mematikan mesin mobilnya kemudian melepas sabuk pengaman yang ia kenakan selama mengemudi membuat Ara menatap heran pada pria yang ia sebut bos itu.
"Bapak mau kemana?"
"Turun." Wira membuka pintu mobilnya kemudian memutar untuk mengetuk kaca mobil bagian tempat Ara duduk menyuruh gadis itu bergegas turun.
"Bapak enggak mau langsung pulang?" tanya Ara hati-hati.
"Kamu mengusir saya?" Wira yang menaikan sebelah alisnya membuat Ara sedikit bergidik. Kelakuan bosnya sungguh random.
"Eng ... enggak, Pak."
"Jalan, sebentar lagi hujan." Pria itu berjalan lebih dulu tanpa menghiraukan ekspresi anak buahnya yang kebingungan.
Ara yang menyadari maksud ucapan Wira segera berbalik dan mensejajarkan langkah ke depan. Entah apa tujuan pria itu kali ini, yang Ara rapalkan dalam hati hanyalah semoga tak ada yang melihatnya berjalan dengan pria ini atau ia akan kembali menjadi santapan para penyebar gosip di kampungnya.
"Saya bukan pemandu kamu, jalan di depan," titah Wira ketika melihat banyak kendaraan bermotor yang mulai berlalu lalang di sepanjang jalan sempit diapit tembok tinggi yang mereka lalui.
Ara hanya menurut apa yang Wira ucapkan, mendahului langkah pria itu sedikit lebih cepat agar segera sampai di rumah. Beruntung ibunya hari ini libur, ia akan meminta sang ibu nanti untuk mengeluarkannya dari situasi aneh ini.
Sampai di ujung jalan, terlihat jalan yang lebih besar serta deretan rumah yang berjajar. Wira mengernyitkan keningnya, merasa ada sesuatu yang janggal namun berusaha menahan untuk tak bertanya, hingga Ara menuju sebuah rumah yang sangat sederhana dengan halaman yang terlihat asri meski sepertinya rumah yang Ara tempati masih berupa bangunan asli tanpa renovasi, kontras dengan bangunan rumah di sekitarnya yang terlihat modern.
"Assalamu'alaikum," Salam Ara ketika membuka pintu rumah dan masuk, namun Wira masih tetap bergeming di tempatnya.
"Pak? Bapak mau mampir?" Tak selang berapa lama Ara kembali terlihat di ambang pintu ketika menyadari Wira tak mengikutinya masuk.
Belum sempat Wira membuka mulut, sebuah tanya terdengar dari dalam rumah disusul kehadiran wanita paruh baya telat di belakang Ara.
"Kamu sama siapa, Ra?" ucapnya seraya melongok ke luar pintu.
"Loh, ada tamu ternyata. Kok nggak disuruh masuk sih, Ra," lanjutnya ketika menyadari kehadiran orang lain di sana.
"Ayo, Mas, silahkan masuk. Jangan di depan pintu aja." Bu Ratna tersenyum mempersilahkan tamu puterinya masuk.
Wira masuk dan mendudukkan diri, tak lama Ara datang dengan membawakan nampan berisi minuman untuknya. Sambil menyesap minumannya, Wira mulai memperhatikan satu persatu sisi ruangan yang terlihat olehnya, sangat sederhana namun terasa hangat. Bu Ratna juga memperlakukannya dengan baik sebagai tamu.
Tak selang berapa lama, Wira memilih undur diri mengingat ia meninggalkan mobilnya begitu saja si pinggir jalan.
"Pak Wira tadi jalan kaki?" Bu Ratna bertanya setelah tak menemukan satu kendaraan pun yang terparkir di depan rumahnya.
"Tidak Bu, mobil saya parkir di ujung gang sana." Wira menunjuk jalan yang ia lalui tadi.
"Loh? Kenapa nggak pilih lewat jalan utama sini saja, jadi enggak perlu jauh jalannya."
Memdengar ucapan bu Ratna, seketika Wira mendelik ke arah Ara yang berdiri d belakang ibunya untuk meminta penjelasan.
"Kalau lewat jalan utama mesti putar arah jauh Bu, Ara juga enggak tau kalo ternyata Pak Wira mau mampir," kilah Ara sebelum sang ibu meminta penjelasan.
***
Sepeninggal Wira, Ara memilih menghabiskan waktunya dalam kamar mengingat tak ada kegiatan yang ingin ia lakukan di luar rumah.
Baru sebentar ia merebahkan tubuhnya, dering pesan masuk terdengar dari ponsel yang ia letakkan di bawah bantal. Saat Ara membukanya, ternyata tak hanya ada satu pesan, melainkan dua pesan dari dua pengirim berbeda, namun salah satunya mampu membuat suasana hati Ara berubah drastis.
Mbak Laras
Ra, besok kamu dateng ya. Mbak mau kamu jadi pendamping di acara mbak nanti.
Keinginan Ara untuk mengistirahatkan badannya menguap seketika setelah membaca pesan tak terduga dari Laras. Ini pertama kalinya saudara sepupunya itu menghubunginya setelah insiden pertunangan Ara yang dibatalkan sepihak, namun pesan pertama itulah yang membuat hati Ara seperti diremas.
Menyaksikan pernikahan Laras dengan orang yang Ara cintai, bukankah itu seperti Ara yang harus mencoba mematikan perasaannya sendiri. Tanpa sadar cairan bening meluncur bebas dari pelupuk mata gadis yang terpejam erat menghalau kenangan yang berkelebat.
Apakah ia sanggup bersandiwara menutupi lukanya kali ini?
Tak berapa lama, dering ponselnya kembali meronta. Kali ini bukan sebuah pesan, melainkan telepon dari atasan yang belum genap setengah jam meninggalkan rumahnya.
Baru Ara menekan tombol hijau panggilan tersebut, sebuah suara tepatnya ancaman bagi Ara, lebih dulu membungkam gadis itu.
Besok pagi saya tunggu kamu di butik tadi, kalau kamu terlambat, jangan harap posisi kamu di kafe saya akan aman. Dan sekali lagi, saya tidak suka pesan saya diabaikan.
Lagi, belum sempat Ara mengatakan sesuatu, panggilan telah diputus sepihak oleh Wira. Apa-apaan ini. Kenapa rasanya tak seorangpun yang membiarkan dirinya bernapas dengan tenang?
...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro