Bagian 1
Plak!
Rasa panas dan kebas seketika menjalar ketika sebuah tamparan yang lumayan keras hingga membuat kepala gadis yang sedari tadi berdiri tertoleh ke sisi kanan serta kakinya refleks melangkah mundur satu langkah. Ia tak menyangka jika kepulangannya ke rumah malam ini malah disambut dengan tamparan dari sang bibi. Apa yang terjadi?
"Bibi?" Ara mematung tak percaya, tangan kirinya menangkup pipi kiri yang kini berdenyut karena kuatnya tamparan yang dilakukan bibinya, terlihat jejak bekas merah yang cukup kentara di sana.
"Mbak Ajeng!" Ratna yang merupakan ibu Ara, semula duduk tak jauh dari Ara tergopoh mendekat pada putrinya seraya menatap tajam pada wanita paruh baya yang merupakan kakak iparnya, ia pun tak menyangka jika kedatangan kakak iparnya hanya ingin mencari gara-gara saja.
"Aku ke sini cuma mau kasih ketegasan sama kamu ya. Minggu depan Laras menikah, jangan sekali-sekali tampakkan dirimu di sana! Cukup kemarin kamu sakiti anakku dengan diam-diam menemui calon suaminya. Kamu mau merayu calon mantuku biar balik sama kamu lagi kan? Jangan harap aku akan diam saja." Bibi Ajeng melenggang pergi setelah memberi peringatan, meninggalkan Ara yang masih mematung mencerna apa yang bibinya katakan.
Menemui calon suami Laras? Bahkan kemarin Areslah yang memintanya datang meski dirinya telah menolak hingga pria itu nekat menghadang Ara saat pulang kuliah. Ares membawanya lebih tepatnya memaksa dirinya ikut bahkan meninggalkannya begitu saja setelah menghancurkan hati Ara tanpa sisa.
"Ra, kamu nggak apa-apa, Nak?" Ratna tahu pasti jika tak ada kata baik-baik untuk keadaan putrinya.
"Enggak apa-apa kok, Bu." Ara menggeleng perlahan, menurunkan tangan dari pipinya agar sang ibu tidak semakin khawatir.
Terkejut, itulah yang pertama kali Ratna rasakan ketika melihat undangan yang seminggu lalu Ajeng bawa ke rumahnya. Nama yang sangat tak asing untuk dirinya tiba-tiba akan bersanding dengan keponakannya. Hati ibu mana yang tidak terluka, jika dibalik kebahagiaan orang lain ada hati anaknya yang terluka.
"Udah, nggak usah dengar omongan bibimu itu. Ayo duduk dulu, Ibu ambilkan teh hangat dulu biar kamu tenang." Ratna berusaha menenangkan Ara serta menuntun anak gadisnya untuk duduk di sofa.
Sepeninggal ibunya, dalam duduknya Ara tersenyum masam. Kenapa dia yang disalahkan? Apakah ini adil? Dia yang disakiti dan dia pula yang di anggap bersalah oleh orang lain.
Dulu, Areslah yang mengejarnya hingga kemudian hatinya luluh untuk menerima Ares sebagai kekasihnya. Namun, saat perasaannya berada di puncak serta impian untuk mereka bersama semakin dekat, Ares tiba-tiba menghancurkan semua dengan membatalkan pertunangan secara sepihak dan lebih mirisnya hak itu terjadi tepat di hari pertunangan mereka akan berlangsung. Bahkan seperti tak cukup mempermalukan Ara dan keluarganya, kemarin pun kedatangan Ares hanya untuk kembali menorehkan luka tak kasat mata dengan membawa undangan pernikahan pria itu. Sakit di hati yang belum sembuh semakin terasa sesak ketika tanpa disangka sebelumnya nama Laras lah yang muncul di sana, seharusnya jika semua masih baik-baik saja namanya yang akan tertera di sana.
Ara tekan kuat dadanya, tak pernah ia sangka jika semua ini terjadi padanya. Kenapa Ares tega melakukan ini padanya?
"Kenapa melamun?" Terdengar suara sang ibu yang entah sejak kapan telah berada di sampingnya. Ara terlalu larut dalam perasaannya sampai tak menyadari apa pun.
"Enggak, Bu. Mungkin yang dikatakan Bibi memang benar, Ara tidak perlu ke sana minggu depan. Itu akan lebih baik buat Ara dan juga buat menjaga perasaan Mbak Laras." Ara menunduk meremas tangannya. Sakit dan panas bekas tamparan di pipinya seketika hilang tertutup dengan rasa sesak di dada saat mengatakan hal itu.
"Kenapa kamu masih diam saat disalahkan? Ibu tahu betul kalau anak Ibu enggak salah di sini." Ratna menyentuh lembut pundak Ara, membuat Ara mendongak dengan mata yang telah berkaca-kaca mendengar perkataan ibunya.
"Ara enggak tahu, Bu. Ara pengen bilang semuanya, tapi Ara enggak bisa. Semakin Ara berusaha untuk katakan ke keluarga mbak Laras, akan semakin sakit rasanya di sini. Nyatanya tak bisa Ara pungkiri kalau Ara masih cinta sama Mas Ares setelah apa yang terjadi. Bukankah dikatakan atau tidak juga akan sama saja, bagi mereka tetap Ara yang salah." Ara menyentuh dadanya. Isak lirih dari bibir gadis itu membuat sang ibu segera mendekapnya.
Ratna tahu betul seperti apa dan bagaimana putrinya. Ara selalu berusaha untuk tak pernah menyakiti siapapun selama ini. Namun ternyata takdir baik sepertinya masih belum berpihak padanya. Anaknya justru disakiti oleh orang-orang yang dia cintai dan sayangi.
***
"Berengsek!" Wira bersiap melayangkan tinjuannya pada Ares, namun tertahan ketika wajah Laras muncul dari balik pintu ruangan milik Ares. Hal itu membuat Ares tersenyum meremehkan, ternyata kehadiran Laras dalam hidup mereka merubah Wira yang biasanya tenang menjadi tak terkendali.
"Aku pergi," ucap Wira meninggalkan Ares seraya berjalan melewati Laras begitu saja.
"Ingat, bawa pasanganmu minggu depan." Suara Ares membuat langkah Wira yang akan mencapai pintu keluar tertahan.
"Hm." Tanpa berbalik Wira melanjutkan langkahnya. Ia butuh menenangkan pikirannya. Tak ia sangka demi meraih sebuah cinta, Ares mampu melakukan segala cara tanpa menghiraukan persahabatan mereka.
Ternyata tak hanya uang yang bisa merubah segala hal, tapi cinta pun memiliki kekuatan yang sama besar untuk merubah seseorang dan suatu hubungan persahabatan.
...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro