Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

- 4 -



Gadis menendang-nendang kerikil. Tangannya menggeret koper, benda segiempat yang bahkan belum sempat dibongkar sepulang dari bandara. Dia merapatkan mantel, sedikit menggigil di suhu 19 derajat celcius.

Menyebalkan!

Gadis memaki diri sendiri. Orang tuanya baru saja mengusirnya dari rumah. Hanya karena dia menolak perjodohan. Benar-benar menyebalkan. Tak ada demokrasi lagi di keluarga 4G. Gadis menggeram kesal bersamaan dengan perutnya yang menyalak keroncongan.

“Diam, perut!” Gadis mendesis keras. Satu lengannya memeluk perut ramping yang terbungkus pakaian tiga lapis. Jet lag belum hilang, sekarang ditambah kelaparan. Benar-benar awal yang bagus untuk memulai kehidupan mandiri.

Benaknya mengingat lagi dialog sarat emosi beberapa jam sebelumnya. Satu sudut bibir tertarik ke belakang. Entakan rasa sedih kembali menyergap jiwa.

“Aku tetap tak mau menerima perjodohan ini, Pa, Ma.”

“Lihat dulu calonmu. Dia sangat prospektif. Dia juga baik.”

“Kenapa tidak kalian saja yang menikah dengannya?”

“Gadis!” Papa dan Mama serempak membentak.

Gadis memutar bola mata. Dia mencabut pisau komando dan memutar-mutarnya di tangan. Keahlian Papa sebagai mantan anggota intelijen masih belum hilang. Bahkan setelah pria itu melewati separuh abad usia.

“Namanya Alexander Javier Ortega. Dia dosen baru di Sheffield. Dia baik dan jatuh cinta padamu.”

Gadis mendengus. “Mama yakin dia sebaik itu? Dosen baru kata Mama? Bisa jadi sekarang dia sedang bermesraan dengan salah satu mahasiswinya setelah mengatakan bualan tentang cinta pada kalian.”

“Jaga bicaramu, Gadis Gavina Farrer!”

“Jawabanku tetap sama. Aku menolak perjodohan ini. Dan satu lagi, aku tak akan berhenti menjadi pencuri. Aku menyukai pekerjaanku, Ma, Pa.”

Papa dan Mama bertukar pandang penuh arti. Ada anggukan tak kentara sebelum Papa mengeluarkan ultimatum.

“Silakan urus hidupmu sendiri, Gadis. Papa dan Mama lepas tangan darimu.”

Tangannya kembali merapatkan mantel. Beberapa minggu di Indonesia membuatnya kerasan. Cuacanya selalu hangat. Matahari tak pelit bersinar. Alih-alih lapar, di sana Gadis selalu merasa haus. Berkebalikan dengan London yang kelabu. Perempuan itu mengeluh. Perutnya kelaparan. Seharusnya dia bisa mengerem emosi. Diusir dari rumah tak mengapa, asal perut terisi penuh.

Gadis merogoh kantong. Makiannya terdengar lirih. Ponselnya mati kehabisan daya. Rencananya menelepon Lucas dan minta izin menginap beberapa hari gagal total. Pergi ke rumah lelaki itu? Jauh. Lucas sudah pindah ke Cambridge beberapa tahun lalu.

Dia kembali melangkah menyusuri pedestrian Pembridge Road. Sesekali menoleh berharap Genta menyusul. Nihil. Dirinya benar-benar seorang diri sekarang. Harta satu-satunya hanya koper berisi baju dan beberapa perlengkapan remeh. Matanya melirik arloji. Beberapa jam lagi tirai malam diturunkan.

Dia harus segera mendapat tempat tinggal sebelum membeku di luar. Kepalanya celingak-celinguk mencari kesempatan. Menilik sikap Papa, dia percaya akses keuangannya sekarang sudah diblokir. Kini Gadis harus menghemat tiap sen yang dimilikinya.

Seorang wanita berwajah India melintas di dekatnya. Usianya mungkin memasuki akhir tiga puluhan. Jalannya santai, tak terburu-buru. Lebih penting lagi, wanita itu memakai totebag kecil tanpa resleting.

Lebih mudah mencuri dari tas macam itu dibanding ransel. Seringai Gadis lebar. Dia berjalan mengekor di belakang si wanita. Matanya jelalatan, seksama mengamati sekitar. Trotoar tak terlalu ramai. Rumah-rumah bercat putih tertutup rapat. Dia mengikuti si wanita hingga di pertigaan Havona House.

Ada beberapa orang berkerumun di dekat mobil. Empat orang, Gadis menghitung cepat. Keberuntungan berpihak padanya karena si wanita India turut berhenti. Perlahan Gadis mendekati kerumunan itu, memosisikan diri tepat di samping wanita India. Berpura-pura menanyakan arah jalan, tangan Gadis sangat cepat merogoh ke dalam tas. Hanya butuh beberapa detik dompet kulit di dalam totebag berpindah tangan.

Bersiul riang, Gadis berjalan cepat meninggalkan kerumunan kecil itu. Kakinya nyaris mengambang di udara. Perlu beberapa waktu bagi si korban menyadari barangnya hilang. Saat itu terjadi, Gadis sudah berada cukup jauh dari lokasi.

Mata kecokelatan Gadis berbinar melihat isi dompet. Ada banyak lembaran pound di dalamnya. Juga koin-koin penny di salah satu kantong dompet.

“Maafkan aku, Nyonya. Kuharap kau punya cukup banyak uang di bank karena isi dompetmu sudah kukuras habis.”

Seharian itu Gadis berpesta pora. Dia mengisi lambung dan daya ponsel. Sesuai dugaan, kartu kredit dan debetnya terblokir. Setelah mengamankan sisa jarahannya di dasar koper, Gadis mulai mencari hotel murah untuk menginap.
Nasib sial sekali lagi menghampiri. Semua penginapan penuh. Gadis termangu di depan bangunan terakhir yang mampu dijangkau kakinya.

“Sudah penuh,” desahnya pelan. Mencari kamar kosong di tengah musim karnaval Notting Hill memang cukup sulit. Gadis menggigit-gigit bibir dan kembali melangkah ke arah timur.

Jalanan beraspal mulus dan lebar mulai menyempit. Gadis mulai lelah. Dia belum merebahkan badan sama sekali. Kakinya bergerak sendiri mengikuti jalur setapak dengan lapisan beton yang gompal dan berlubang-lubang di beberapa bagian. Penerangan mulai berkurang hingga Gadis berhenti tepat di hadapan tembok tinggi besar.

Jalan buntu. Dia menghela napas. Lengkap sudah kesialannya hari itu. Tembok yang menjulang di hadapannya memaksa Gadis berbalik, tapi dia enggan kembali.

Saat menoleh, dia mendapati bangunan suram di sebelah kiri. Pintu dan bingkai jendelanya dari kayu gelap. Ada sulur-sulur tebal menempel di beberapa bagian dinding. Tak jelas benda apa itu karena minimnya pencahayaan. Lampu neon merah elektrik menyala seolah tak berjiwa. Terang tidak, redup pun tidak. Cahayanya menyinari papan nama berkarat di atas pintu.

The Arms Bar.

Bak diskenario takdir, pintu kayu berjarak lima meter di depan Gadis terayun membuka. Seorang pria paruh baya dengan jenggot lebat menatapnya tajam.

“Apa kau Helena?”

Gadis melongo sambil menunjuk diri sendiri. “Aku?”

“Ah, sudahlah! Cepat masuk! Kau sangat terlambat. Harusnya kau datang tiga jam yang lalu.”

Pria itu memberi isyarat dengan jari telunjuk agar mengikutinya masuk. Gadis terbengong-bengong, tak mengerti apa yang telah terjadi. Namun, dia mencoba peruntungannya. Jika tebakannya benar, si Helena pasti seorang pegawai di bar itu.

Atau ini adalah knock shop [1]  dan Helena seorang wanita penghibur. Gadis meringis dengan prospek salah tebaknya. Dalam hati dia terus berdoa agar sisa-sisa keberuntungan masih menyertai.

“Perantaramu bilang kerjamu sangat bagus, tapi kau sudah terlambat di hari pertama kerja. Sangat mengecewakan.”

Gadis mengangkat alis. Ukuran seorang pria, jiwa maskulinitas orang di depannya ini patut diragukan. Tingkat kecerewetannya mengalahkan Mama. Hati Gadis berdenyut nyeri mengingat nama yang masih bercokol kuat di sanubari. Dia menyusut hidung, mengalihkan perhatian atas fakta keluarganya sama sekali tak menghubungi teleponnya. Bahkan tak ada sebaris pesan instan pun yang masuk.

“Jam kerjamu mulai pukul lima sore sampai satu pagi. Tambah satu jam untuk Jumat, Sabtu, dan Minggu. Upah diberikan tiap hari Minggu. Kau dapat istirahat dua kali sebulan. Ada pertanyaan?”

Oke, ini keberuntunganku. Gadis mengulum senyum, berusaha menahan sorakan gembira di hati. Maafkan aku, Helena. Siapa pun kamu, terima kasih karena tak hadir di sini sekarang.

“Apakah .... Apakah aku bisa tinggal di sini semalam saja? Aku belum mendapat tempat tinggal.”

Alis perak milik pria paruh baya di belakang mini bar terangkat tinggi. “Hanya untuk semalam saja?”

“Ya, Sir. Hanya untuk malam ini saja.”
Pria itu mengedikkan dagu. “Ada gudang kosong di lantai atas. Tak terlalu bersih, tapi bisa kau tinggali untuk semalam. Ambil saja selimut di kantorku.”

Gadis nyaris meloncat tinggi-tinggi. Tak selamanya kesialan menemani. Mengangguk kuat-kuat, dia berterima kasih setulus hati.

“Terima kasih, Sir! Terima kasih!”

“Panggil aku Philip.” Pria itu menyodorkan apron. “Segera kerja. Tamu malam ini banyak.”

Ujung-ujung bibir Gadis berkedut. Hidupnya mulai sangat mudah. Kabur dari rumah? Siapa takut?

Bersiul riang dia naik ke lantai atas, berniat menyimpan koper. Sampai di ujung koridor Gadis sempat menghentikan langkah. Dia merogoh kantong dan mengambil ponsel. Benda persegi hitam itu berpendar di keremangan lorong. Gadis menggeser layar dan melihat foto yang sempat dicurinya dari gawai Genta.

Seorang pria dengan garis wajah Latin. Bibir merah mudanya jelas tak tersentuh racun nikotin. Cambang halus menghiasi rahang kokoh pria itu. Gadis menyentuh layar. Suaranya lirih saat bergumam.

“Selamat tinggal, Alexander Javier Orteg. Hanya di sini saja pertemuan kita. Silakan kau cari calon istri yang lain.”

Mantap jempolnya menekan ikon tong sampah. Tak butuh waktu lama, potret pria tampan itu menghilang dari layar ponsel.

-O-

Terima kasih sudah berjejak di karya ini. 😘

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro